Sinner
Disclaimers: Tite Kubo owned Bleach.
Summary: Ia tak pernah mengira, bahwa pertemuan dan pertemanannya dengan seorang anak berkulit sangat putih pucat dan memiliki rambut seputih salju serta beriris emas terang mengantarkannya pada mimpi terindah sekaligus terburuk dalam hidupnya...
Warning: bahasa berantakan, deskripsi kurang, EyD kacau, typo(s), AU, OoC, judul ngga nyambung dengan cerita, a HichiRuki fanfic.
Rate: M for gore, violence, and blood.
DON'T LIKE, CLICK BACK IMMEDIATELY
»«
.
«»
.
Sore hari, seperti biasa ia berjalan pulang ke rumahnya setelah seharian penuh berkutat dengan buku-buku pelajaran dan ulangan. Senandung lirih terdengar dari bibir mungilnya. Tas berbentuk hewan bertelinga panjang berwarna oranye gelap memeluk tubuhnya erat dari belakang. Kaki-kaki kecil berbalut sepatu ungu melompat rendah disetiap jalan yang dipijaknya, menandakan jika hatinya tengah berbunga-bunga.
Hanya tinggal beberapa blok sebelum sampai di tempat di mana ia dapat melihat senyum hangat kakak tercinta. Manik ungunya menatap taman yang terlihat sepi karena kurang terawat. Tidak seperti dulu saat ia masih kecil, taman yang merupakan tempat yang wajib dikunjungi jika senja tiba. Bermain-main dengan teman sebayanya dan— Ah! Ada seorang anak sedang bermain sendirian di bangku ayunan. Dengan kepala menunduk dalam, seperti tak mampu menahan beratnya.
Dilihatnya jam tangan kelinci yang melingkar di pergelangan tangan kanannya, belum pukul 4 sore. Mungkin tak masalah jika ia bermain sebentar di sini sambil mengenang masa kanak-kanaknya dulu.
"Hei, boleh aku ikut bermain?" suara lembut Rukia membuat bocah yang menundukkan kepala mendongak melihat siapa yang mengajaknya berbincang. Mata ungu sedikit melebar mengetahui wajah anak laki-laki di depannya lebam-lebam dan darah yang mengering di sudut bibir.
"Terserah," ucapnya dingin.
Pantat mungil mengambil tempat tepat di ayunan sebalahnya. "Umm, namaku Rukia. Salam kenal!" gadis cilik itu memperkenalkan namanya dengan cukup semangat. Ia menunggu balasan atas kesopanannya pada orang yang baru dikenal. Namun setelah 1 menit berlalu, tak ada suara yang menimpali sikap ramahnya. "Aku belum pernah melihatmu di sekitar tempat ini, apa kau baru pindah kemari?" ia mencoba kembali bersuara. Namun hasilnya tetap sama, bocah berambut salju itu tetap bungkam. "Oh baiklah, jika kau anak baru di sini di mana rumahmu? Dan sekolahmu? Eh, jangan-jangan kita satu sekolah, tapi kenapa aku tidak pernah melihatmu?" lagi-lagi Rukia merasa seperti berbicara pada tembok tebal. Tak ada balasan sama sekali! "Kau... sepertinya tidak banyak bicara ya..." hanya suara ayunan yang berdecit menjawab semua pertanyaan gadis 8 tahun itu. Menghela napas panjang, ia melepas tas-nya, mencari sesuatu yang pasti dibawanya untuk—
"Hei! Kau mau kemana?" bocah yang tadi duduk tenang kini mulai beranjak meninggalkannya. Sama seperti yang tadi, ucapan Rukia seperti tidak sampai ke dalam gendang telinganya.
'Cukup!' teriak gadis mungil dalam hati. Ia berdiri dan mencengkeram kuat pergelangan tangan bocah putih dan mencoba mendudukkannya kembali di tempatnya tadi. "Apa maumu perempuan!" teriaknya yang membuat Rukia berjengit kaget.
Ditatapnya mata emas yang berkilat diterpa cahaya senja. Sebelum si bocah berbalik, ditariknya telinga kanan dan kiri milik seseorang yang baru saja dikenalnya hingga meringis menahan sakit. "Makanya turuti kemauanku dan kau akan baik-baik saja!" gadis itu kambali menggandeng tangan pucat milik bocah tak sopan. "Dan sudah kukatakan tadi, namaku Rukia bukan perempuan, Shiro!"
Anak laki-laki yang kira-kira berumur 2 tahun lebih tua dari gadis cilik terlihat pasrah saat ia dipaksa untuk kembali duduk. Mata emas menterengnya tak lepas dari tindak-tanduk Rukia yang mengambil benda kotak dari dalam tas kelincinya. Begitu dibuka, nampaklah peralatan P3K. Bocah yang tadi dipanggil Shiro masih tak melepaskan tatapan tajamnya ketika sang gadis mulai mengambil kapas dan menyiramnya dengan sedikit alkohol, kemudian disapukannya pada luka lebam di pipi dan sudut mulutnya. Sensasi dingin sekaligus perih tak dihiraukannya. Ia hanya diam mematung memperhatikan anak yang baru dikenalnya jongkok di hadapannya, tetap memandang iris ungu yang kini menarik perhatiannya.
"Nah, selesai!" teriakan nyaring itu membangunkannya dari fantasi aneh akibat hipnotis manik terindah dalam hidupnya. Diraba mukanya yang kini terdapat beberapa plester yang menempel di sana.
Mulutnya terbuka ingin mengatakan sesuatu, tapi pita suaranya terasa kaku untuk bergetar.
"Tak usah berterimakasih, aku senang membantu orang lain," Rukia tersenyum melihat mulut bocah di depannya terbuka tertutup namun tak bersuara.
'krruuuk~'
Rukia tertegun mendengar suara perut yang bukan berasal darinya, kemudian tertawa lepas. Namun hal itu malah membuat 'Shiro' semakin tertunduk malu.
"Ahahaha, maaf, maaf, aku tidak bermaksud untuk mentertawakanmu, hehehe," gadis kelas 3 SD itu kembali mengeluarkan benda berbentuk kepala kelinci dari dalam tasnya. "Ah, kalau kau mau , aku masih punya sisa makan siang tadi. Nee-san membuatkannya terlalu banyak untukku," ia menyodorkannya ke hadapan teman barunya.
Iris kuning menatap Rukia dan sekotak bento bergantian, seolah memastikan kejadian yang dia alami sekarang bukanlah sekadar mimpi. Tangan kanannya sedikit ragu untuk meraih makan siang gratis, sebelum anggukan dan senyum tulus Rukia meyakinkannya. Ia mulai membuka penutup berwarna krem dan bau khas makanan menginvasi indera penciumannya.
"Maaf Shiro, hanya sedikit. Dan itupun sisaku..." Rukia kembali duduk berjongkok di depan bocah salju.
Kepala putih itu menggeleng kuat-kuat, "Ti-tidak apa, ini sudah cukup. Dan terima kasih Rukia-chan."
Gadis mungil tersenyum lebar mendengar namanya disebut untuk pertama kali oleh bibir 'Shiro'. "Nah sekarang cepat makan!"
Isi dari bento Rukia hanya nasi yang hanya tinggal setengah, beberapa potong telur dadar, sawi, dan juga sedikit udang goreng yang sudah nampak lembek. Tapi itu semua sudah cukup lezat untuk ukuran bocah yang kelaparan. Dengan cekatan diambilnya nasi dengan tangannya, sama sekali tak peduli jika kotor. Membuat mulut Rukia terbuka, tercengang dengan aksi santap Shiro. Hanya 4 kali suap, kotak berisi nasi sudah bersih dari butiran putih oval. Mulutnya terlihat menggembung karena kelebihan daya tampung. Seperti mengikuti lomba makan cepat, sawi dan telur dadar ikut memenuhi rongga mulutnya yang semakin sesak.
"Waw, kau seperti tidak makan seharian Shiro."
Bocah berkulit pucat itu dengan cepat mengunyah dengan cepat dan menelannya terburu-buru, membuat oksigen yang akan masuk dalam paru-parunya tertahan. Ia memukul-mukul dadanya pelan, seolah ingin melancarkan aliran udara dalam tubuhnya. Melihat temannya kesulitan menelan sisa makanan, Rukia buru-buru mengambil sebotol air mineral dalam tasnya. Dengan cepat tangan yang terlihat agak kusam menyambarnya dan langsung meneguknya hingga habis. Mereka berdua lalu menertawakan tingkah konyol si bocah salju.
Sisa senja hari itu mereka nikmati dengan ceramah dari Rukia tentang tata cara makan yang benar. Cerita tentang sekolah, teman, pelajaran dan juga hal-hal lain yang tidak jarang membuat 'Shiro' tersenyum mendengarnya. Tanpa ia sadari, bocah laki-laki itu telah menerima kehadiran seorang teman yang selama 10 tahun tidak pernah ia punyai. Seseorang yang mau berbagi dan bercanda dengannya tanpa sekalipun mempertanyakan ataupun mencela kenapa kulit dan bola matanya sangat berbeda dari orang kebanyakan.
Mentari yang semakin tenggelam ke arah barat membuat gadis berambut hitam harus segera pulang. Jika tidak kakak perempuan satu-satunya akan cemas dan khawatir.
"Namaku Hichigo!" teriak bocah kumal itu sebelum Rukia menghilang dari jarak pandangnya.
Rukia yang sudah hampir berbelok kembali menengok kebelakang. Ia tidak menyangka jika bocah pendiam itu mampu berteriak sangat kencang. "Ya! Sampai jumpa besok sore Hichi-kun!" tangan kanannya melamai dengan penuh semangat.
...
Selama kurang lebih 1 minggu, Rukia selalu menyisakan makanannya untuk si bocah salju. Selama itu pula 'Shiro' selalu menunggunya di tempat yang sama, dengan wajah ceria gadis kelas 3 SD pasti akan menemuinya. Namun tidak untuk hari ini. Raut muka Rukia agak sembab, dengan jejak air mata yang sudah mengering membelah pipinya yang putih. Cara jalannya pun sedikit pincang, begitupun dress selututnya yang kotor di bagian depannya.
"Kenapa kau menangis Rukia-chan?" ujar Hichigo menghampiri Rukia dan membantunya berjalan dengan memapahnya.
Gadis itu terus berjalan dengan bantuan temannya, kemudian duduk di bangku ayunan seperti hari-hari sebelumnya. Bocah berambut putih melihat kedua lutut Rukia yang tergores dan mengeluarkan darah. "Siapa yang melukaimu?"
"Eh? Tidak ada yang melukaiku kok. Aku hanya terjatuh saat berlari karena dikejar seekor anjing hitam yang galak, hehehe... Dan untung saja dia belum menggigitku saat aku terjerembab karena pemiliknya datang menolong dengan menarik tali dilehernya," Rukia tersenyum lebar untuk menutupi rasa sakitnya.
Tanpa aba-aba, lidah Hichigo menjilat luka di salah satu lutut Rukia. Gadis itu menjerit kaget dan berusaha menahan kepala putih untuk melakukannya lagi. "Apa yang kau lakukan Hichi? Itu kotor dan... menjijikan," lirih Rukia.
Mata emas kembali menatap tajam Rukia, "Jika terluka, aku sering menjilati bagian yang luka hingga darahnya hilang supaya lukanya cepat mengering. Aku sudah mencobanya berulang-ulang pada diriku sendiri, dan buktinya lukaku jadi cepat sembuh. Yah, kecuali luka di wajah, karena lidahku tidak cukup panjang untuk menjilatinya," lidah merah muda itu kembali terjulur, ingin melanjutkan ritual yang tertunda.
"Ta-tapi—"
"Percayalah padaku."
Rukia tidak lagi memprotes apa yang dilakukan bocah itu selanjutnya. Kedua lututnya terasa geli karena sapuan dari daging lembek, membuatnya tidaka dapat menahan tawa. Meskipun masih terasa nyut-nyut'an sih.
Setelah selesai 'membersihkan' luka Rukia, ia langsung mendapat jatah makannya seperti biasa. Hanya saja yang berbeda adalah sekotak bento yang diberikan Rukia masih utuh. Manik kuning emas itu menatap Rukia bingung.
"Aku menyuruh nee-chan untuk membuatkan 2 bekal hari ini." ucap Rukia seolah tahu pertanyaan diam Hichigo. Tanpa banyak tanya lagi, ia habiskan semua isi dalam kotak persegi itu dengan lahap. Memang sore hari seperti inilah saat yang paling ditunggunya dalam 24 jam setiap hari.
Gadis beriris ungu langsung pamit pulang ketika Hichigo menyerahkan kotak bekal yang sudah kosong. Ia ingin segera membersihkan tubuhnya yang kotor akibat terjatuh tadi. Warna mata emas menjadi sedikit gelap ketika sosok Rukia benar-benar pergi. "Anjing hitam ya..." gumamnya lirih sebelum kakinya melangkah pulang ke rumah yang ia sebut sebagai neraka dunia itu.
...
Bulan sama sekali tidak menampakkan sinarnya malam ini. Begitupun bintang-bintang yang menghiasi langit yang gelap. Suara petir bersahut-sahutan meramaikan orkestra di angkasa. Namun setitik air dari langit belum menyapa bumi. Waktu telah menunjukkan hampir tengah malam, jam yang biasanya sanggup membuat anak-anak tertidur pulas. Tapi tidak dengan sosok mungil yang berjalan dengan tenangnya di kegelapan malam yang mencekam. Jaket kusam dan kebesaran menjadi baju besi untuk menghadapi ganasnya serangan angin malam.
Langkah kakinya terhenti di depan sebuah rumah dengan halaman yang cukup luas. Dilihatnya kandang anjing yang terisi penghuninya yang telah terlelap. Seringai di bibirnya tertarik ke samping, menandakan mangsa yang ia cari telah ia temukan. Hanya ada 1 anjing di sekitar komplek ini, hewan itu pun baru beberapa hari menjadi warga baru di sini, wajar jika ia masih ganas.
Pagar yang tingginya hanya 1 meter dilewatinya dengan mudah. Dengan berjalan pelan dan tanpa suara, didekatinya hewan berkaki empat tersebut. Tali tambang berukuran kecil, dikeluarkannya dari saku jaket. Kepala anjing yang terjulur keluar memudahkannya untuk menyergap dan mengikat moncongnya. Anjing hitam tersebut langsung terbangun dan berusaha memberontak. Namun sayang, ia kalah cepat dengan anak manusia yang mengikat keempat kakinya menjadi 1.
"Jadi inikah yang kau gunakan untuk berlari?" pisau daging yang mengkilat terkena cahaya lampu mengusap kaki kanan depan si anjing sebelum secara pelan-pelan memotongnya hingga terputus.
"Aaafffhgg!" geraman kesakitan tertahan oleh tali yang mengikat moncongnya. Darah segar mengucur deras dari nadi yang hilang dari raga.
"Inikah mata yang kau pakai untuk melihat mangsamu, hm?" benda tajam itu mengiris kelopak mata melingkar, baru kemudian menusuk bola mata dengan 3 jarinya yang berkuku tajam. Cairan berwarna merah muncrat, saat ia menarik jarinya sekaligus sebuah benda bulat sebesar bola bekel yang kemudian diremasnya hingga hancur.
Napas anjing hitam sudah tak beraturan. Geramannya semakin lirih seiring berjalannya penyiksaan terhadap tubuhnya.
"Ah! Aku lupa kalau kau juga menggunakan kaki belakangmu untuk mengejar seorang gadis sore tadi!" tanpa ampun tangan kanannya mengayunkan pisau dengan sekuat tenaga pada 'lutut' kaki belakang.
Crraassh
Lagi-lagi darah merah keluar, meski semburannya tidak sekencang yang tadi. 2 kaki belakang telah terpisah dari tubuh utama. Membuat sang pelaku menyeringai puas. "Kau tahu apa hukumannya jika sudah membuat 'Ratu'ku menangis, hm?"
Hewan yang tinggal memiliki 1 kaki tersebut sepertinya sudah tak mampu lagi merespon apapun. Perutnya kembang kempis mencoba tetap bergerak dan bernapas. Sebelah matanya tak dapat lagi ia buka, terasa sangat berat. Kesadarannya masih sedikit tersisa saat pisau dingin yang telah bercampur dengan darahnya secara perlahan merobek perutnya. Anjing itu dapat merasakan isi perutnya yang terburai keluar dari dalam sangkarnya. Kini ia benar-benar menyesal telah mengejar gadis mungil tadi yang berniat memberinya makanan.
Kedua tangan yang berubah merah masih tetap menarik keluar semua organ dalam milik si anjing yang sudah tak bernyawa. Dicabik-cabiknya tubuh lemah itu sepuasnya.
"Ahahahahahahah! Inilah hukuman untuk siapa saja yang berani membuat sang Ratu menangis! Aku tidak peduli jika kau seekor anjing ataupun harimau! Siapa saja yang menyebabkan Ratu-ku bersedih, maka ia akan segera kukirim ke neraka!"
CTTAARRRR
Petir kembali menyambar. Memberi kilatan cahaya di langit, seketika itu juga hujan deras mengguyur bumi. Menghilangkan jejak darah di tubuh bocah yang masih berumur 10 tahun. Mengiringi kematian korban pertama yang pernah ia renggut nyawanya.
.
.
.
.
.
.
.
.
Bersambung. . .
A/N: Errr, adegan pembantaian Hichi apa masih kurang sadis? Hehehh...
Oh, cerita ini terinspirasi dari komik horor yang waktu kubaca waktu SMA kemaren, dan aku lupa judul dan siapa mangaka-nya! Maaf, T_T. Adakah yang tahu? Komik ini isinya beberapa cerita, tapi yang melekat di otak cuma cerita ini. Itu manga lama sih yang dipinjem temen dari persewaan buku, jika ada yang inget silahkan beri tahu ya! Hanya ide pokok tentang pembunuhannya kok yang sama. Soal jalan cerita, pasti lain.
btw... apa genre-nya udah pas? -_-a
Jadi, apa masih layak dilanjut? Atau cukup sampai di sini?
Sooooh, mind to give some review? ^^b
