Setiap manusia berhak atas kesempatan kedua.
Tapi, bagiku…
Semua orang ini tak pantas mendapatkannya…
.
.
N or M?
by ceruleanday
beta-ed by Ninja-Edit
Disclaimer :
Kishimoto Masashi (Naruto) & N or M? (Agatha Christie)
Warning : some bloody scenes, AU
.prologue.
Two perfect assassinators with brilliant brains.
One is man. And the other is a woman.
But when the case was started, people kept asking.
Who is the murderer?
.
.
.
Bergen, September 1942
War World menjadi awal dari segalanya—penebar benih-benih kehancuran pada sebagian besar negara di Eropa. Dilanjutkan dengan sesi kedua di awal September 1939. Lalu… Holocaust.
Tahukah kau apa itu holocaust?
Ya. Kau mengenalnya namun kau tak tahu sosok yang menjadi dalang dari pembumihangusan warga-warga yahudi di sana. Sungguh sebuah kejahatan genoside terbesar yang pernah terjadi di abad ke-dua puluh.
Adalah Adolf Hitler. Penggerak spionase dan penghancuran negaranya.
Nazisme—sebuah paham yang dimilikinya. Menyebarnya layaknya bibit-bibit subur yang kian tumbuh menjadi awal kebencian warga dunia.
Dengan tekad dan keberaniannya, penghancuran itu mengakar hingga ke manapun, seperti pohon ercis dengan berbagai warna.
Namun, ia memilih warna merah—warna darah. Darah orang-orang yang dibencinya.
Lalu…
Jerman memilih dua agen terpilihnya tepat pada saat perang dunia ke-dua.
Hitler membawa pesan permusuhan pada setiap negara yang membelot dari usulnya—mengasingkan seluruh warga Yahudi dari tanah-tanah negerinya. Kemudian, rasa bencinya terhadap dunia menjadikannya seorang psikopat dengan nafsu membunuh yang besar.
Hingga suatu hari, niat iblis itu muncul di bilik jantungnya.
Ia paham benar. Suatu saat nanti, dunia akan menyumpahi kebengisannya. Kematiannya akan tersebar luas dengan cepat, seolah dibawa oleh gagak-gagak melintasi Jerman—hingga ke ujung belahan bumi yang lain.
Menjadi kabar yang menggembirakan bagi warga sipil Jerman—dan seluruh warga dunia.
Semua pengungsi keturunan yahudi kembali ke tanah-tanah mereka, memulai hidup yang baru, atau bahkan masih menyisipkan sedikit rasa benci itu. Kebencian semu yang tersembunyi dalam wajah-wajah tenang.
Hitler tahu itu. Ia tahu itu.
Maka, dengan sisa-sisa nafsu iblis yang tertanam dalam dirinya, ia memulai lagi semua yang tak tercapai olehnya, yakni—
—menghancurkan negara-negara sekutu perlahan-lahan.
Caranya?
Mereka. N dan M.
Dua anak terpilih yang sangat dibanggakan oleh pria berkumis tipis ini. Ia menculik bayi-bayi yang baru dilahirkan dari seluruh negara, membawanya ke sebuah pulau dengan kamuflase sebagai panti asuhan pemerintah Jerman, dan menyembunyikan dengan apik dalam sekam berdarah.
Hanya dua yang terpilih. Mereka mengemban tugas tuk menghancurkan negara sekutu tepat di day X
Day X—sebuah hari yang telah ditentukannya lama sebelum semua kisah ini dimulai. Sebuah kisah yang malah menjadi tombak besi bagi jantungnya yang telah mati itu.
N dan M. N atau M.
Satu di antaranya adalah lelaki, dan yang lainnya adalah wanita.
Dua anak manusia yang jenius
Namun…
Kisah ini bukanlah menceritakan akan kesuksesannya membawa misi itu hingga di day X. Kisah ini dimulai hanya tentang N dan M.
Dua anak manusia yang terjebak dalam keputusasaan dunia. Dan dua anak manusia yang tak pernah terpisahkan sebelumnya. Semuanya bermula ketika ikatan itu terpisahkan oleh salah satunya. Satu dari mereka menghilang, maka yang lainnya harus mencari. Bila tidak, misi day X akan gagal.
Kau takkan pernah mengira siapa yang menjadi pihak villain dalam kisah ini. Kau juga takkan bisa mengira-ngira siapa N maupun M. Sebab… mereka ada di antara kita semua—bersembunyi dalam selimutmu atau bahkan sahabatmu selama ini.
Ketika satu menghilang, maka yang lainnya mencari. Untuk itu, satu diantaranya menerka-nerka di mana rekannya. Lalu, caranya?
Dari sinilah kisah itu dimulai. Tepat ketika satu tubuh yang terkoyak penuh darah dengan hanya meninggalkan jejak kasar irisan pisau di kedua telapak tangan mereka. Tertulis…
N di tangan kanan—
—M di tangan kiri.
Lalu, kata OR besar bersarang di abdomen si korban.
Tak peduli dengan rasa sakit yang menjalar oleh bekas tusukan, terjaman, hingga irisan-irisan tak manusiawi itu pada orang-orang yang tak bersalah asalkan sang rekan kembali pada dirinya yang sesungguhnya.
Korban pertama adalah awal dari pencarian sang rekan yang menghilang. Dengan begitu, hawa keberadaan sang rekan akan terasa.
Petunjuknya hanya dua huruf alphabet saja. Baik interpol kelas atas masih kebingungan dengan randomnisasi korban dan tempat pembunuhan yang dipilih oleh orang ini. Mereka pun mulai mengira-ngira-lagi—N atau M-kah pembunuhnya?
Jadi…
Which one is the villain? Is it N or M?
Tebaklah. Dan tebaklah. Tebaklah selama kisah ini bermula dan berakhir…
Ataukah… maukah kau menunggu jawabannya hingga tubuhmu kelak menjadi satu dari puluhan korban N atau M?
.
.
I remembered black skies
the lightning all around me
I remembered each flash
as time began to blur
Like a startling sign
that fate had finally found me…
.
.
"M, anakku. kau akan muncul dan membawa kehancuran bagi dunia. Dunia ini sudah begitu kotor, anakku. Dan di saat itulah… you're gonna be the new God of this world…"
"Lalu, bagaimana dengan N, Sir?"
"Hmm. Ia, tentu saja akan berada di sampingmu—menemanimu hingga misi itu terwujud. Kau harus selalu bersama-sama, kalau tidak…"
"Kalau tidak?"
"Kalian harus saling mencari meski harus menarik perhatiannya meski dengan membunuh orang-orang yang berada di sekitarnya."
"Aa, yes Sir. Aku mengerti."
"Hm, hm. That's my son…"
.
.
So give me reason
to prove me wrong
to wash this memory clean
let the flood cross
Like a startling sign
the distance in your eyes...
.
.
"Namamu?"
"Mr. Covayec menamakanku N. Kau?"
"Aa! Jadi, kau N? Senang sekali akhirnya bisa bertemu dengan rekan seumur hidup kita!"
"Maksudmu?"
"Aku M! Suatu saat nanti, setelah kita lulus dari tempat ini, kita akan menjadi partner seumur hidup! Tak pernahkah kau mendengar peraturan dua alphabet yang saling bertautan akan menjadi rekan selamanya. Bila satu hilang, maka yang lainnya harus mencari…"
"Oh. Maaf, sepertinya tidak."
"Tapi… tetap saja aku senang… Sangat senang…"
"Kenapa kau senang begitu?"
"Hmm, soalnya… Mr. Covayec selalu mengatakan bahwa N dan M adalah nama kehormatan. Sejak zaman dulu, dua nama itu hanya diberikan pada anak-anak yang jenius saja. Kau tahu, sebelumnya aku tak pernah mengenal siapa kedua orang tuaku, siapa keluargaku, dan—well, semuanya. Mereka tampak asing. Tapi, entah mengapa saat melihatmu… aku yakin aku tidak akan merasa sendiri dan kesepian lagi…"
"Kesepian ya?"
"Apa kau juga merasakan hal yang sama, N-kun?"
"Hn, mungkin. Jadi… kalau rekan seumur hidup senang, seharusnya aku juga senang."
"Hmm. Kalau aku hilang, kau harus mencariku ya. Dan begitu pula sebaliknya! Kalau kau hilang dari sisiku, aku akan mencarimu meski harus menyingkirkan orang-orang yang mengambilmu…"
"Hn, ya, aku tahu itu kok."
"Mulai saat ini, kau jangan jauh-jauh dariku ya, N-kun…"
.
.
There was nothing in the sight
but memories left abandoned
There was nowhere to hide
the ashes fell like snow
And the ground caved in
between where we were standing
.
.
…selamanya, kita akan selalu bersama, N. Meski harus membunuh semua orang itu, kau harus kembali padaku dan melanjutkan misi day X kita…
…aku tak peduli akan hidup orang-orang itu, asalkan…
Kau kembali ke ingatanmu yang lalu itu. Dan juga… mimpi kita…
Our dream to become God and Goddess of this world...
.
.
Frankfurt, September 2009
Apa yang Anda lihat?
"Aku melihat sebuah pulau kecil yang dikelilingi oleh lautan yang asing…"
Lalu?
"Sebuah kereta tua berwarna hitam—berusia lebih dari satu abad. Hitam pekat. Berjalan dengan pelan di atas relnya. Lalu, lokomotif dengan asap mengepul. Pepohonan pinus atau—cemara? Entahlah. Mereka tampak begitu hijau. Dan…"
Kereta tua? Apakah Anda melihat nama stasiunnya?
"Mm, tidak. Aku terlalu sibuk dengan barang-barangku hingga akhirnya aku masuk dalam kompartmenku. Angka tiga belas tercetak dengan huruf old English sepertinya. Di sana aku terduduk mematung dan segera aku menatap jendela yang sedikit basah…"
Hm, berarti hari sedang hujan saat itu?
"Kurasa demikian… Lalu… ada seorang anak lelaki berambut kuning atau jingga? Aku lupa. Warna matanya serupa dengan warna langit sebelumnya…"
Biru?
"Hn, mungkin."
Apakah ia masuk ke dalam kormpartemenmu?
"Ti-tidak. Ia hanya lewat tapi ia melambaikan tangannya ke arahku dan… tersenyum…"
Lanjutkan.
"Selama satu atau dua jam aku berada di atas kompartemenku. Tak ada hal lain yang kuperhatikan selain ke arah jendela sana. Tampaknya ada yang berbeda dengan langit setelahnya. Aku melihat hutan—hutan yang begitu rimbun. Dan… aku memasuki dunia yang begitu aneh."
Aneh? Apa yang Anda lihat di dalam hutan itu?
"Hanya pepohonan besar dan tinggi tapi… terlalu banyak bayang-bayang mengerikan. Seperti asap—asap atau kabut yang begitu tebal. Tak lama setelahnya, sebuah stasiun muncul. Lagi, aku tak memperhatikan nama dan plangnya. Hanya nomor—tiga belas. Aku turun dari kereta dan menunggu hingga yang lainnya juga turun. Beberapa menit berikutnya… aku sudah berada di sebuah gedung aneh. Seperti museum. Banyak perkakas kuno dan juga… lukisan zaman romawi. Lalu, ada tangga. Tangga yang berbentuk spiral dan memutar hingga ke tiap-tiap lantai. Aku kebingungan tapi…"
Tapi?
"Semuanya jadi blur. Mung-mungkin aku pingsan atau entahlah… aku bingung—tidak, aku lupa. A-aku… aku tidak ingat!"
Bertahanlah Mr. Uchiha. Lanjutkan ceritamu.
"Aku melihat sebuah wajah. Tapi… wajah itu… adalah aku. Aku yang tengah—darah, merah, dan… arrgghh!"
Mr Uchiha?
"…"
Mr Uchiha, apakah Anda masih bersama saya?
"…"
PRAANGG
Beberapa kepingan ingatan berbentuk puzzle yang solid memecah begitu saja. Kemudian, di antara kepingan tajamnya, warna merah menunggu tuk mewarnainya. Organ tubuh manusia yang teronggok begitu saja terlihat berserakan bersamaan dengan pecahan kristal atau kepingan memori itu. Dua huruf alphabet menjadi satu-satunya nama terakhir yang tertera pada bilah tangan si mayat.
N or M.
"Shit!" jerit pemuda pucat itu. "Bisakah kita berhenti? Ke-kepalaku sakit sekali."
Dua jam lewat empat puluh detik berlalu dengan tenang dalam dengkuran jam kuno di sudut ruangan bernuansa karamel.
Terdapat sebuah meja kayu besar dengan aksesori berbagai pendulum yang bergerak-gerak sendiri—menunjukkan mekanisme kerja fisika dalam elekrostatika.
Pot-pot tanaman bonsai menghiasi selusur jendela yang terbuka sedikit dan menyisakan cahaya mentari yang meminta menyinari bagian dalam ruangan yang tampak begitu pengap. Di tengah-tengahnya, sebuah karpet Turkish membatasi antara lantai marmer dan kursi panjang konseling—mirip seperti kursi malas namun bisa dibilang mirip kursi tidur saja.
Sosok itu tetap tak bergeming dari posisinya, hanya saja kini ia mulai terusik dengan kembalinya pecahan memori yang terselip-selip di sudut terjauh pikirannya. Ia lupa atau mungkin tak pernah memiliki memori macam begitu.
Hanya mimpi buruk yang terasa nyata, tetapi… sungguh sangat tidak menyenangkan.
Sang psikiater mengangkat moon specs-nya yang nyaris melorot, menaikkan alis tinggi-tinggi, dan masih mencatat beberapa hal di balik buku agendanya. Ia masih menulis pelan-pelan, sedikit melirik ke arah si pasien yang telah terbangun dari alam bawah sadarnya—kini tengah memegang kepalanya yang terlihat mulai mengalami nyeri pasca sesi konseling.
Selalu dan selalu saja.
Memori itu selalu berhenti tepat ketika ia melihat dirinya sendiri—berdarah, merah, darah, dan sebagainya. Ia akan terbangun setelahnya, terengah-engah, dan lelah. Kemudian, pergi dan kembali menjadi dirinya lagi.
Sang psikiater tak bisa memberikan solusi. Lagi. Sudah empat puluh satu psikiatar, dokter kejiwaan, bahkan ahli nujum pun ditemuinya dan tak ada hasil konkrit akan memori mengerikan itu. Bahkan pecahan puzzle itu seperti semakin menjadi-jadi saja. Semakin diingat-ingat, rasa ngerinya semakin bertambah saja.
"Ini. Coklat bagus untuk Anda. Setelah mengalami sesi yang berat—sekali lagi—coklat bagus untuk mengembalikan energi di otak Anda. Lagipula… Anda adalah seorang Interpol kan, Mr. Uchiha?" tutur sang psikiater sembari menawarkan sebatang coklat nyaris leleh ke arah pemuda berambut hitam pekat itu.
Pemuda itu menggeleng. Berdiri tegak dan meraih mantol panjangnya yang berwarna coklat tua. Ia menekan-nekan dahinya sebelum akhirnya benar-benar berdiri di samping kursi tidur itu.
"Tidak, terima kasih. Aku tidak suka makanan manis."
"Hm, saya rasa bukan masalah Anda suka atau tidak, Mr. Uchiha, tetapi lebih menitikberatkan pada sebuah sugesti dalam diri Anda bahwa coklat itu berbahaya bagi kesehatan Anda. Jadi, masih tak terpikirkan untuk menyicipnya meski sedikit saja?"
Coklat—salah satu jenis aphrodisiac namun berkonsentrasi rendah. Rasa benci pemuda ini dengan coklat bukannya tanpa alasan. Mungkin hanya disebabkan sebuah masa lalu atau lagi-lagi memori itu?
Yang jelas, bila disuruh menelan mentah-mentah coklat batangan itu di hadapan orang, refleks ia akan segera menolak.
Si pemuda pun menimbang-nimbang. Lama ia berpikir—bukan—ia hanya membandingkan baik-buruknya perkataan si psikiater ke dua puluh enam yang ditemuinya di Frankfurt. "Nanti. Nanti akan kumakan. Aku harus segera ke flat. Masih banyak data kasus yang belum sempat kukirim ke Head Quarters."
"Oh, ya. Baiklah, kalau begitu. Semoga hari Anda menyenangkan, Sir—"
—dan, tetap biarkan memori itu kembali lagi hingga Anda benar-benar mampu membedakan antara kenyataan dan mimpi…"
"Hn. Aku paham itu."
Derap langkah sepatu kulit menyelusuri lantai-lantai marmer di ruangan pengap itu. Sang Interpol memutar gagang emas si pintu kayu mahoni dan melengang pergi. Setelah menyusupkan batang coklat tadi dalam saku terdalam mantolnya, ia melesat menuju arah parkiran—menemui sang black jaguar dan membawanya berlari sejauh-jauhnya dari dunia yang masih asing bagi pikirannya.
Ia hanya lupa akan dirinya di masa lalu. Atau mungkin ia hanya berpura-pura lupa?
Potongan puzzle itu masih menjadi kebimbangan terbesar bagi dirinya. Beberapa kalipun diingat, diingat, dan diingat, tak ada satupun yang benar-benar nyata. Nyata? Ataukah semua potongan memori itu hanya mimpi?
"Siall!"
Speedometer black jaguar-nya melesat naik. Tak peduli dengan mobil-mobil lain yang juga ikut berdampingan pelan dengannya. Pikirannya masih berkecamuk—pecah dan hanya menyisakan wujud satu orang saja. Ya, hanya satu orang saja.
Sosok anak lelaki kuning atau jingga dengan mata berwarna biru langit…
"Siapa dia? Dia itu siapa? Siapa sosok anak laki-laki itu sebenarnya?"
.
.
Amapa, Brazil, September 2009.
Lima puluh sembilan.
Enam puluh tiga. Hmm, plus dua belas?
Sinar terang muncul dari arah salah satu layar notebook di sudut kamar kecil itu. Tak ada sinar lain. Hanya dari layar itu saja. Sosok yang menatap lekat ke dalamnya masih berkutat dengan hal-hal yang sulit tuk dipahami. Huruf-huruf sandi—atau entah apalah itu—bermunculan secara acak di dalamnya.
Ia hanya perlu menekan tuts enter, maka seluruh nama dan profil calon-calon korbannya mulai bermunculan.
Satu, dua, tiga, sepuluh—ah, lebih dari tiga puluh.
Satu di antaranya menampilkan foto seorang pemuda yang sempat menyisakan memori kekanakan di sudut terjauh pikirannya. Ia tersenyum menyeringai dan tanpa membaca nama maupun profil sosok di depannya, ia segera menekan tuts enter. Yang berarti :
Korban mati selanjutnya.
.
.
"Hnn, now, now, gotcha. Finally, I've found you… my lovely N."
.
.
In every loss in every lie
In every truth that you'd deny
And each regret and each goodbye
was a mistake to great to hide
.
.
.
.tbc.
New Divide by Linkin Park
cerulean says :
Btw, prolog yang sebelumnya mengalami sebuah kesalahan. Err-salah upload file sih sebenarnya. =w=
Tapi, udah diperbaiki kembali karena ingat kesalahan ini benar-benar fatal. #teriak.
Yasud, the last...
Mind to review?
