FIX YOU

.

Disclaimer: Naruto by Mashashi Kishimoto

Story: Ichiro Vava

Warning: AU, OOC, Typo, dan masih jauh dari sempurna

.

.

Happy Reading!

.

.

Bau menyengat tercium samar.

Hinata seketika sadar dari lamunan sorenya. Rautnya berubah panik meski tak begitu kentara. Selalu. Selalu seperti ini. Hinata ingin berteriak, tapi rasanya percuma. Orang itu tak bisa mendengarnya –lebih tepatnya tak mau mendengarnya.

Jemari lentiknya meraih gagang pintu utama. Membuka dengan gerakan kasar dan menutupnya dengan bantingan. Suara debaman mengalun berisik pun dengan satu engsel bernasib miris. Kritis. Sekali lagi Hinata tak peduli. Gadis berambut nila itu sudah terlanjur dibutakan oleh hal-hal yang sama dan membosankan, tapi anehnya ia merasa enjoy dengan itu semua. Lalu untuk perkara engsel pintunya yang diambang batas itu urusan kecil. Ia bisa minta tolong pada tetangganya, Yamato, yang bekerja sebagai tukang reparasi.

Hanya berjarak beberapa langkah Hinata sampai pada tujuannya. Walau terlampau dekat, gadis itu masih harus menormalkan nafasnya yang tersendat-sendat. Mengabaikan keadaan apartemen yang gelap, pengap, serta penuh ceceran sampah, Hinata berlari menuju area belakang. Sumber dari bau menyengat yang mengganggu penciumannya.

"Gosong lagi," matanya menatap nanar sepanci kari yang isinya berubah jadi abu. Itu kari buatannya yang ia buat dengan setulus hati dan sekarang berubah jadi benda yang tak layak dimakan. Jikalau sang pemilik kari masih ingin memakannya, pastilah bisa dipastikan sebentar lagi ia akan masuk unit gawat darurat.

Hinata membuat asumsi jika sang pemilik apartemen sebelahnya ini mungkin tengah kelaparan dan kehabisan stok makanan instan. Kemudian dia menilik dapur sempit dan menemukan sepanci kari pemberiannya yang –sebenarnya– rasanya enak, namun karena terlalu lama diabaikan malah menjadi sedikit aneh –mulai basi. Pikirnya kari itu masih layak dimakan jika dihangatkan sebentar.

Namun, kenyataan orang itu justru melupakan karinya yang berada di atas kompor menyala selama berjam-jam. Tak tahu apa yang dilakukannya. Mungkin saja dia meringkuk lesu di dalam kamar dengan wajah hampa atau tidur sepanjang dan menggumamkan nama seseorang. Hinata telah terbiasa dan sama sekali tak terkejut dengan kelakuan salah satu keturunan adam itu.

"Naruto-kun!" Hinata berdiri di salah satu pintu yang ditempeli stiker berbentuk pusaran air. Ia mengetuk beberapa kali guna mendapat respon tanpa arti. Entah itu jawaban super singkat atau gumaman tak jelas.

Hening.

Hinata menghela nafas. Lagi-lagi terbiasa. Tanpa permisi ia membuka pintu kamar yang sejatinya tak pernah dikunci oleh pemiliknya.

Hinata melihatnya dengan terperangah sekaligus prihatin. Seorang lelaki dewasa dengan mata biru laut yang tersembunyi di balik kelopaknya yang terpejam. Rahangnya kokoh serta dada bidangnya yang tak tertutup apapun itu tampak menggoda siapapun untuk mendekapnya. Rambut pirangnya yang berantakan dan mencuat tak tentu arah sama sekali tak mengurangi kadar daya tariknya. Wajahnya bahkan nampak lebih manis saat berada di alam mimpi. Naruto seksi dan manis di saat bersamaan.

Hah...

Hinata memukul dahinya. Bukan saatnya berpikir tak senonoh. Ia ingat harus melakukan sesuatu yang lain pada laki-laki yang masih bergelung dengan selimut itu.

"Naruto-kun, bangunlah." Hinata mengguncang pelan bahu Naruto dengan harapan lelaki itu segera bangun.

Benar saja. Beberapa detik kemudian lelaki itu membuka matanya. Bingung dan linglung adalah ekspresi pertama yang ia perlihatkan. Saat matanya bergulir menatap Hinata yang memandangnya khawatir, barulah ia sadar sepenuhnya.

"Hinata," gumamnya parau, "Apa yang kaulakukan di sini?" ia bangkit dan menyandarkan tubuhnya di kepala ranjang sembari mengucek matanya.

Hinata tersenyum canggung. Sebisa mungkin mengalihkan tatapannya dari tubuh atletis milik Naruto. Saat ini masuk pertengahan musim gugur. Apa lelaki itu sama sekali tak kedinginan?

"A-aku hanya ingin memastikan sesuatu," kata Hinata pelan. Mendadak suhu wajahnya menghangat. "Dan membangunkanmu, Naruto-kun. Ini hampir malam, kupikir tidak bagus jika kau tidur dalam keadaan begitu," sambungnya mencicit. Suaranya makin menghilang di akhir kalimat, tapi masih bisa ditangkap baik oleh telinga Naruto karena suasana sunyi diantara mereka.

Mendengar kata-kata Hinata, otomatis Naruto melihat keadaannya sendiri yang setengah telanjang di hadapan seorang gadis. Ia tentu mengerti apa yang dimaksud oleh Hinata. Pipi coklatnya spontan dijalari warna merah. Tangannya dengan cepat meraih kaos kuning yang ia lempar asal sebelumnya lalu memakainya.

Krugghh...

Argh.. Naruto ingin mengutuk perutnya yang berbunyi seenaknya.

"Naruto-kun, kau belum makan?"

Naruto tersenyum kaku pada Hinata. Gadis itu selalu bisa menebak apa yang tengah ia rasakan. Memang benar kenyataannya ia belum makan apapun sejak pagi sampai sekarang.

Hinata sudah tahu jawaban Naruto.

"Aku mau membuat nabe untuk makan malam. Rencananya aku mau mengundang Mei-san, Shizuka-san, Utakata-san, dna juga dirimu. Tapi, sepertinya mereka bertiga punya urusan masing-masing dan tak bisa datang. Padahal aku sudah membeli bahan-bahannya," Hinata sedikit merengut. Sebal dan kecewa Jika sudah menyangkut masakan, tak tanggung-tanggung ia akan bicara panjang lebar dan menunjukan berbagai macam ekspresi yang jarang ia tujukan pada orang lain. Hinata memang gemar memasak.

"Nabe ya.." Naruto berpikir sejenak. Sayang sekali jika tak ada yang memakan masakan Hinata yang terkenal enak itu. Mungkin di saat seperti ini ia harus bertindak layaknya penyelamat. Menyelam sambil minum air, pikirnya.

"Bukankah itu makanan yang sering disajikan saat musim gugur? Sepertinya menarik," kata Naruto senang. Padahal niatnya mau makan banyak dan gratis.

"Eh? Sepertinya begitu. Katanya nebe lebih cocok dimakan di musim gugur,"

"Kalau begitu aku ikut, Hinata!" ujar Naruto semangat. Hinata terpana sesaat memerhatikan wajah Naruto yang kegirangan.

"T-tapi bagaimana cara menghabiskannya kalau hanya kita berdua yang makan?" tanya Hinata sedikit cemas.

"Jangan khawatir. Kau 'kan bisa menyimpan sisa bahannya untuk membuat masakan lain. Tapi, kalau kau ingin memasaknya semua aku sama sekali tak keberatan," Naruto menyengir dan Hinata terkekeh dengan saran Naruto.

"Aku tidak serakus itu, Naruto-kun."

"Aku tidak mengatakan kau rakus, Hinata,"

"Berarti kau yang rakus,"

Giliran Naruto yang terkekeh. Namun tak lama wajahnya memucat. Ia baru saja mengingat sesuatu. Matanya melihat jam dinding yang telah menunjukan pukul 6 sore.

"Sial!" umpatnya pada diri sendiri.

"Naruto-kun, ada apa?" tanya Hinata bingung.

Tak menggubris pertanyaan Hinata, lelaki pirang itu sontak saja melompat turun dari kasur dan berlari keluar kamar untuk menuju ke dapur. Sesampainya ia dibuat terpaku dengan hal yang ia lupakan beberapa jam yang lalu. Pasti Hinata yang melakukannya. Mengetahui itu malah membuat Naruto tak sanggup melihat wajah manis Hinata nanti.

Hinata yang mengikuti Naruto hanya bisa terdiam tanpa berkomentar apapun. Mungkin sebentar lagi lelaki itu akan memaki dirinya sendiri.

"Bodoh, bodoh, bodoh! Kau bodoh sekali, Naruto!"

Ah.. dugaan Hinata lagi-lagi benar. Gadis itu berjalan mendekati Naruto di tempatnya berdiri dan menepuk bahu lelaki itu pelan. Sang empu bahu berjengit tanpa sadar.

"Sudahlah, Naruto-kun.. tak perlu menyesalinya. Itu hanya kari. Kalau kau mau, lain kali aku bisa membuatkannya kembali," Hinata tersenyum menyakinkan, dan Naruto hanya bisa tersenyum lega atas sikap Hinata yang tak mempermasalahkan keteledorannya. Gadis itu bak malaikat dalam wujud manusia.

"Terima kasih Hinata. Kau sungguh baik," jujur saja Naruto ingin sekali memeluk Hinata saat ini. Tapi Naruto sadar ia tak bisa melakukannya. Ia masih tahu batasannya.

"Kalau begitu datanglah nanti ke apartemenku, Naruto-kun. Aku akan memasak banyak untukmu. Dan.. untuk ruang tengah apartemenmu, besok pagi aku akan datang untuk membantumu bersih-bersih. Saat aku lewat tadi banyak sekali sampah dimana-mana," Hinata mengedipkan matanya sekali. Memberi peringatan kepada Naruto.

"Eh?!" Naruto tertegun. Ucapan Hinata memang halus sekaligus pedas. Kalimatnya jujur hingga terkadang menyinggung lawan bicaranya. Salah satunya Naruto.

"Aku pulang dulu, Naruto-kun. Sampai jumpa nanti,"

Sesaat setelah Hinata menghilang dari balik pintu keluar, Naruto mendesah panjang. Sesungguhnya ia ingin mengutuk Hinata diam-diam. Namun, mengingat perlakuan gadis itu selama ia tinggal di apartemen ini, membuat ia merasa tak pantas jika harus melakukannya. Hinata terlalu baik padanya. Naruto akui ia memang super jorok, dan lagi-lagi Hinata benar meski tak mengatakannya secara langsung.

Saat Naruto kembali lagi ke kamar, matanya tak sengaja menangkap sebuah amplop bewarna jingga dengan hiasan awan putih di sudut bawah. Wajahnya langsung berubah mendung dan mata birunya seketika meredup. Dalam amplop itu terdapat sebuah surat yang telah ia baca berkali-kali dan anehnya terus membuatnya meneteskan air mata seperti lelaki cengeng –ia berharap Hinata tak menyadari jika ia habis menangis tadi.

Naruto tak tahu mengapa. Ia ragu juga bimbang. Apakah ia harus memenuhi permintaan sang pengirim surat atau mengabaikannya saja. Jika seandainya Naruto tak mengacuhkannya, ia takut si pengirim surat itu akan membencinya. Naruto sungguh tak menginginkan hal seperti itu terjadi dalam hidupnya.

"Mungkin aku harus datang. Kalau aku datang, kau pasti bahagia 'kan?" Naruto memejamkan matanya guna menahan laju bulir bening yang hampir keluar. Hanya suara daun bergesekan yang menjawab pertanyaan sepihaknya. Bagaimanapun ia harus menguatkan hatinya sendiri untuk saat ini. Harus.

.

To Be Continued

.

A/N:

Terisnpirasi dari sebuah lagu yang berjudul sama.

Mencoba membuat cerita baru setelah hiatus hampir setengah tahun. Saya harap hasilnya tidak terlalu mengecewakan.

Terima kasih,

*Vava