Setelah berpikir panjang, aku ingin coba membayangkan diriku adalah Mouri sendiri. Sedangkan Motochika? Aku juga tidak tahu pikirannya seperti apa. Yah, maklum sajalah.Mungkin ceritanya terlalu berada di level tinggi, terutama bagiku yang memenuhi karirku menulis di ffn.Yak! Langsung kita mulai sajalah episode pertamanya. Dan karena berhubung ini adalah cerita berchapter pertama saya, mohon reviewnya~
Apa yang membuatmu begitu benci padaku?
Apakah karena kamu tak ingin bersamaku?
Apakah karena aku telah membuatmu iri, hingga kau jengkel padaku?
Apakah aku belum bisa kau percayai?
Ataukah kau membenci sifatku yang bertolak belakang padamu?
Kumohon!
Kumohon jawablah!
Aku tidak ingin,
Selalu merasakan hal negatif bila selalu bersamamu, kau tahu!
Aku tidak ingin, kita selalu berkelahi karena hanya
Kesalahpahaman.
"Hei, long time no see." sang pemuda yang cukup tampan dan mengenakan eye patch sebelah kanan—juga berpakaian yang bisa dibilang dapat membuat orang yang tak pernah mengenalnya mengira dirinya preman, menyapaku di sebuah tempat magangku.
Padahal kurasa, tempat magangku ini strategis—namun tidak strategis seperti hutan sih. Aku berlonjak dari tikar tempatku duduk—tempatku menunggu kailku disambar oleh hewan berinsang, dan memeluk pemuda itu.
Entah, apa yang telah membuat kami berdua saling bertemu. Biasanya juga, dia selalu sibuk dengan urusannya. Apalagi dia adalah anak tunggal dari keluarga kaya yang ternama.
"Yo! Date Masamune!" seruku. "Kau kenapa bisa kesini? Dan kurasa, kita baru saja bertemu sabtu lalu deh."
"Aku melihat dirimu disini, Motochika." ujar sahabat karibku ini. "Iya sih, kita bertemu di sekolah tiap hari kecuali minggu. Tapi dari urutan hari minggu kan, baru kali ini aku lihat dirimu."
"Iya, iya... Tapi, kenapa kau bisa kemari?" tanyaku lagi.
"Yah, kau tau? Ini adalah tempatku kabur dari urusan perusahaan keluargaku. Kojuurou mungkin takkan tau aku lari disini."
Aku membisu.
Padahal ini kan tempat magangku. Aku selalu kesini tiap hari. Tidak ada hari yang bisa lolos dari jadwalku pergi ketempat istimewaku ini, dan aku tak pernah melihat dirinya disini.
Tapi dia berkata seperti itu, seakan-akan dia sudah lama berada ada disini.
Dia celingak-celinguk, mencari sesuatu. Mungkin karena takut ketahuan Kojuurou, butler setia Masamune yang merawat pemuda eye patch itu sedari kecil.
"Kenapa kau begitu, Masamune? Apa mencari Kojuurou?" tanyaku, heran melihat dirinya yang aneh seperti itu.
Pemuda berpakaian preman tampan ini mengacuhkan pertanyaan yang baru saja kulontarkan—yang jelas masuk kedalam alat indra pendengarnya itu.
"Baiklah!" aku mulai kesal. "Kau mau ku—"
"Masamune-dono!" tegur seorang pemuda, dengan wajah kalem dan rambut berwarna coklat berpotongan rambut acak. Ia berlari menuju arah kami dengan nafas tersengal-sengal.
Aku tau siapa dia. Dia Sanada Yukimura—sang rival perusahaan klan Date, klan Takeda. Dia teman sekelasku—sekaligus teman sebangku Masamune.
Kudengar, dia bukan anak kandung, melainkan anak angkat. Kedua orangtuanya menyerahkan dirinya pada ayah angkatnya, Takeda Shigen. Kedua orangtuannya mati saat melindungi Yukimura dari kejaran orang yang mengagumi bakat anak satu ini saat kecil.
"Ada apa, adikku?" tanya Masamune pada teman sekelasnya itu. Ia mengacak rambut Yukimura yang harum nan lembut itu.
"Jika kita bertemu, selalu saja bilang adik melulu padaku. Aku punya nama, tau!" protes Yukimura. "Apalagi, kita ini sekelas! Seumuran! Sebaya! Se—se..." Yukimura tidak meneruskannya.
Masamune hanya menatap heran teman seumurannya ini. Hening. Hanya terdengar suara desiran air kolam dan daun-daun kering yang berguguran yang terdengar sejauh indra pendengarku mendengar.
"Hei." kataku, memecahkan keheningan. "Aku—"
Belum sempat kata-kata yang ingin kulontarkan keluar, tiba-tiba saja ada suara ringtone yang menandakan adanya sms masuk dari kontak hp-ku.
Kurogoh handphoneku dari tas selempang yang kutaruh di bawah pohon tempatku berteduh tadi. Tertulis, dari Tokugawa Ieyasu.
'Motochika! Hari ini ayo kita mencari bahan buat proposal kita! Pak Shimazu dari tadi nagih mulu minta proposal kita, nih! Aku sekarang punya kamera kok! Nanti kita foto di bukit belakang SMA kita jam satu siang, ya?'
Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal. Haduh...
"Ada apa?" tanya Masamune sambil melihatku dengan tatapan cemas.
"Ieyasu." mulaiku. "Membawaku hari ini untuk tugas sekolah kita. Astaga... Aku baru saja mancing disini! Dia bilang jam satu. Tapi ini sudah jam setengah satu! Kenapa nasibku begini sih?"
"Sabar, Motochika!" raut wajah Yukimura terlihat prihatin, menepuk pundakku. Entah mengejek atau memang prihatin padaku.
"Yukimura, ayo kita lari lebih jauh lagi." Masamune mengeret tangan Yukimura secara seketika. Namun Yukimura menahannya.
"Ma—Masamune-dono! Kita baru saja bertemu disini dan kau—"
"Sudah, Yukimura. Ikuti saja aku!" ia menempelkan jari telunjuknya pada bibir tipis nan lembut Yukimura.
"Baiklah, aku baru saja melihat adegan yaoi disini. Apalagi ini adalah adegan langsung dari tempatku nongkrong. Sungguh tragis." bicaraku dalam hati. Memandang mereka dengan tatapan iri.
Kuharap, aku juga punya orang yang bisa ku jadikan hanya milikku seorang.
Seseorang yang hanya mengerti aku, begitu pula sebaliknya...
Seseorang yang mengistimewakanku dari orang lain...
Yang selalu membuat hidupku berarti. Mengetahui apa arti aku hidup didunia ini...
Meskipun dia melakukan kesalahan padaku, namun aku bisa memaafkannya—begitu juga sebaliknya...
Yang menyukai, menyayangi diriku.
Meskipun aku punya sahabat, tapi dia adalah orang yang berbeda..
Dari Ieyasu dan Masamune.
Tapi, aku tidak tahu!
Apakah tuhan akan memberikanku seseorang yang aku inginkan seperti itu...
Tapi meskipun begitu,
Aku akan terus menanti dan menunggunya...
Sampai waktu memanggilku sekalipun.
Aku tetap akan menanti.
Mereka pergi begitu saja tanpa pamit padaku, yang sepertinya diriku hanya menjadi patung bagi mereka. Entah terbawa suasana hati atau apa.
Atau mungkin karena mereka tidak enak membangunkan lamunanku?
"Hah—" desahku. Aku membereskan barang-barang memancingku. Sambil menenteng coolbox dan pancinganku, aku melihat-lihat sekitar perjalananku.
Seperti biasa, hanya terlihat pohon-pohon dan tanaman liar. Apartemenku memang jauh dari tempat ini. Tapi apa boleh buat? Ini tempat magangku, dan aku suka tempat ini. Biar sungai dengan aliran deras menghadang sekalipun, aku tetap akan menuju tempat terindahku ini bagaimanapun caranya.
Kurang dari dua puluh lima menit, sampailah aku mendatangi apartemenku. Kulihat jam dinding, sudah menunjukkan jam satu kurang lima menit. Dengan tergopoh-gopoh, aku menaiki tangga apartemen dan sampai di kamarku.
"Hah—capek!" keluhku sembari menghantamkan tubuhku—terbaring di kasur empukku. Tinggal dua menit sebelum rencana Ieyasu dilaksanakan.
Kubuka sebentar laptopku. Syukur saja, apartemen ini mempunyai sistem hotspot gratis bagi yang menginap di apartemen ini.
Sebuah pesan email muncul dari orang yang kukagumi.
Nichirin-yo, itu nama emailnya.
'Bagaimana? Apakah kamu sudah membuat novel perdanamu?'
Aku tersenyum. Ku ketik satu demi satu tombol huruf disana, mewakilkan kata-kata dalam benak pikiranku.
'Sudah sih. Malah sudah ku kirim ke rublik yang senpai sarankan. Tapi cerita senpai yang terbaik bagiku. Karena ceritaku sepertinya ampuradul.'
'Sudah ya? Seru kan menulis cerita kehidupanmu itu? Soal bagus atau tidak, itu tidak usah dipikirkan. Yang penting kamu sudah keluarkan perasaanmu. Ya di novel yang kamu buat itu! Dan terima kasih atas pujiannya.'
Seseorang mendobrak pintu kamarku. Sang pria berhoodie kuning muncul di depan pintu kamarku.
Aku lupa mengunci pintu kamarku. Dan aku baru saja ingat, dia tinggal di apartemen ini baru-baru saja.
Cih!
"Cepat! Ini sudah jam—"
Ia melihatku, yang duduk di kasur dengan laptop di pahaku. Dan seketika pun berlari, meluncur dengan kecepatan yang tak bisa kuduga.
Mencoba untuk melihat apa yang sedang aku lakukan.
Mungkin dia berpikir aku selama ini menyembunyikan sesuatu darinya karena dia mengira aku membuka situs porno atau sebagainya.
Tapi aku harus berpikir positif.
Aku menutup laptopku sebelum ia menghantamkan tubuhnya kekasur. Aku tahu, itulah tindakan pertamanya saat melihatku bermain laptopku.
"Seperti biasa, setiap aku ingin melihatmu bermain laptop, selalu saja disembunyikan!" kesalnya padaku, tidak jadi menghantamkan tubuhnya.
"Kau tidak boleh lihat, Ieyasu!" balasku dengan sedikit mengeluarkan amarahku.
"Ayolah! Sekali ini saja! Ayolah~ ayolah~" pintanya padaku.
"Maksa amat sih." kesalku dalam hati.
"Ya? Ya? Nanti tugas Pak Shimazu serahkan padaku deh! Kau hanya perlu memotret saja. Sisanya aku yang urus!"
Aku mendesah.
"Iya!" ketusku. Kubuka laptopku dan memperlihatkan isi pesan emailku pada Ieyasu.
Wajahnya terlihat kecewa seketika.
"Astaga Motochika! Kukira selama ini kau menyembunyikannya dariku karena situs porno atau sebagainya. Ternyata bukan ya?" ucapnya kecewa.
Sudah kuduga, itulah pikirannya. Dasar Ieyasu!
"Emang kau suka yang begituan, ya?" kataku, dingin. Ia tersenyum cengegesan.
Dia membalikkan wajahnya, memperhatikan baris demi baris kata-kata di emailku. Setiap balasan senpai juga balasanku dibacanya dengan cermat.
"Hei! Dia itu siapa sih? Kakak kelasmu?" tanyanya sedikit penasaran.
"Aku juga baru berpikir sekarang. Aku tidak tahu siapa dia."
"Huu—bisa-bisanya!" omelnya padaku. Aku hanya menggaruk kepalaku yang tidak gatal.
"Soalnya, kukira dia bukan orang sini. Orang sini mana ada yang hebat seperti itu, bukan?"
"Coba tanya dia! Siapa tahu, kamu kenal dengannya."
Kok, aku baru berpikir sekarang?
"Iya, ya.." jawabku, singkat. Ku mengetik sebuah kalimat untuknya.
'Senpai, boleh gak kita ketemuan?'
Tidak ada balasan.
Lima menit, juga tidak ada balasan.
"Yah! Kayaknya dia tidak mau tuh!" gerutu Ieyasu.
"Tunggu saja dulu." ujarku, menenangkan Ieyasu yang sepertinya tidak suka membuang waktu.
Sepuluh menit pun enggan dibalasnya.
"Daripada menunggu hal yang tidak mungkin, ayo! Kita juga harus cepat memotret nanti. Waktu kita tidak banyak!" protesnya.
"Sepertinya, dia memang tidak ingin membalasnya." ucapku, lirih. Ku meletakkan laptopku di meja belajarku, sembari mengarahkan mouse-ku menuju tempat 'log off'.
Tapi sebelum sempat menekan tombol off, sebuah pemberitahuan email masuk di kontak pesanku.
Mataku membesar.
"Dia membalas emailku!" jeritku, senang.
"Apa katanya?" tanya Ieyasu penasaran. Ia menengok ke arah laptopku.
"Katanya 'Oh, baru penasaran dengan senpai ya? Kalau gitu, gimana kalau sekarang kita ke bukit sma A?'." ejaku.
"Wah! Pas banget! Ayo cepat! Aku juga penasaran siapa sih orang yang kau puja itu." Ieyasu menjerit tak kalah dariku—dekat telingaku.
'Aku nanti ke sana sekarang memakai jaket berwarna nila dan aku bersama temanku yang memakai hoodie kuning.'
Tanpa sempat menunggu balasannya, aku menutup emailku dan mematikan laptopku.
Senpai, tunggu aku!
Apabila kau adalah pilihan orang yang akan bersamaku layaknya Yukimura dan Masamune,
Aku bahagia, senang!
Karena,
Karena dirimu layaknya penjual minyak wangi bagiku.
Meskipun kau telah memberikan minyak wangi pada pembeli,
Namun ditubuhmu, bukan—tapi telapak tanganmu,
Masih tercium aroma minyak wanginya.
Layaknya meskipun kau telah mempunyai rival yang kuat dariku—orang berarti bagimu,
Aku akan selalu menganggap dirimu panutanku.
Begitu juga dirimu, bukan?
"Ayo! Jangan buang waktu!" Ieyasu menarik tanganku seperti kesetanan menuju keluar kamarku.
"Hei! Aku belum mengunci kamarku, bodoh!" sebatku.
Kami berlari secepat mungkin menuju tempat lokasi sambil membawa kameraku yang sempat kumasukkan dalam tas selempangku.
Sampai ditempat tujuan, kami duduk dibawah pohon rindang yang cukup besar—untuk bernaung. Kami bisa mencari sudut indah dengan menaiki pohon rindang yang kami tumpangi ini.
"Motochika, aku ke warung dulu ya?"
Aku mengangguk, membiarkan wajahku diterpa oleh angin sepoi yang meniup daun-daun kering. Daun-daun itu menari diatas kepalaku.
Kulihat sesosok manusia sekitar sini, duduk disebelah pohon rindang yang kududuki ini. Ia mengenakan rompi abu-abu putih dan pakaian lengan panjang—serta potongan rambut sebahu berwarna coklat.
Ku kepalkan tanganku.
"Aku yakin, dia adalah Mouri Motonari. Sang pria jenius yang keluarganya adalah seorang dokter dan peneliti. Lidahnya yang tajam adalah salah satu kebiasaannya yang kami benci. Iya, itu pasti dia." bicaraku dalam hati.
Aku menelan ludah. Lidah tidak bertulangnya itu sangat tidak bisa ditoleransi. Kadang-kadang, sasarannya adalah orang yang menganggu konsentrasinya. Terutama diriku.
Tapi, aku tidak kalah membencinya.
Meskipun kami dulu bersahabat saat kecil,
Tapi peristiwa itu takkan pernah membuat diriku,
Berharap darinya kembali menjadi sahabatku!
Takkan pernah!
Biar kau memberiku permata,
Aku takkan pernah menghilangkan apa yang selama ini ada dibenakku tentang dirimu!
"Mouri, apa yang kau lakukan disini?" tanyaku, mencoba menegur dirinya—meskipun agak sebal, daripada aku hanya diam.
Hening. Tidak ada sahutan. Bahkan satu detik dia melengokku pun tidak.
"Hah, sudahlah. Bila itu maumu." gerutuku padanya.
"Baik!" ujarnya ketus. "Apa yang kau inginkan?"
"Kau sedang apa, hah?" tanyaku lagi dengan suara agak menantang.
"Apa kau tidak lihat aku sedang apa?" omelnya dengan tidak sedikitpun melengokku.
"Tidak!" jawabku, singkat.
Dia membisu.
"Sepertinya, dia melakukan sesuatu yang mencurigakan." ucapku dalam hati.
Ia masih saja mengetik.
"Baik, jika begitu aku akan melihat apa yang akan kau lakukan."
Dia menengok asal suaraku seraya berkata, "Jangan—"
Belum sempat ia melanjutkan kata-katanya—yang kuyakini adalah cacian biadabnya, dia mematung. Sepertinya, Mouri syok melihatku.
Tapi, kenapa?
"Hei Motochika! Kenapa melamun?" teriak Ieyasu sembari menenteng perbelanjaannya, menuju kearahku.
Ia semakin kaget. Dan dia menutup laptopnya dan langsung berkemas—mencoba meninggalkan kami.
"Hei Mouri. Kenapa—"
"Tidak apa-apa!" selanya. Dia berlari secepat ia bisa lakukan. Dirinya lenyap bersama daun-daun yang menari ditiup angin sepoi.
"Motonari aneh, ya?" Ieyasu mengerinyitkan dahinya. "Ia seperti habis melihat setan saja."
"Iya." ucapku, datar.
Aku merasakan, bahwa ia bukan sedang ketakutan. Tapi menyembunyikan sesuatu.
Aku yakin, ini ada kaitannya denganku.
Pasti!
"Senpaimu tidak datang?" tanya Ieyasu padaku.
Aku menggelengkan kepalaku.
"Sepertinya dia tidak bisa datang, ya? Atau nyasar?" Ieyasu tertawa sembari merangkulku.
Aku hanya tersenyum, miris.
Tapi kubiarkan saja. Lagian, bukan urusanku juga. Lebih baik, aku mengerjakan tugas Shimazu-san daripada memikirkannya.
Matahari mulai tak menampakkan sinarnya. Aku dan Ieyasu menyenderkan tubuh kami pada batang pohon besar andalan bukit belakan sekolahku.
"Syukur saja, kita selesai memotret sekitar jam tiga sore. Jadi kita santai saja menikmati minuman berkarbonasi ini sambil makan cemilan dari toko Mitsunari."
Aku menengok wajah Ieyasu yang santai memakan kripik ubi andalan toko Mitsunari.
"Jadi, kau membeli semua ini dari tokonya?" tanyaku.
"Iya. Soalnya aku suka kripik ubi buatan kakak angkatnya itu, Ootani. Dia adalah yang terbaik!" Ieyasu tertawa girang.
Meskipun aku tidak percaya apa yang dikatakannya, namun kuturuti saja.
Matahari pun tenggelam dengan sangat pelan. Kami berdua memutuskan untuk kembali ke apartemen kami bersama-sama. Sambil berlomba berlari bersama Ieyasu, aku masih memikirkan kenapa Mouri melakukan hal aneh saat itu.
Kenapa kau berlari, Mouri?
Apa yang tak ingin kau beritahukan padaku?
Mungkin ini terdengar egois.
Namun, aku ingin mengetahuinya!
Ku membuka pintu apartemenku, dan pertama yang kulakukan ialah membuka kembali laptopku.
Sebuah pesan email baru—dari penulis pujaanku, kubuka.
Begitu ku membukanya, aku syok setengah mati setelah membacanya.
"Ini—"
Aku kaku. Sangat, sangat kaku.
Dia membalas emailku sebelum aku menuju ke bukit SMA A itu, dan menulis—
'Aku memakai rompi putih abu-abu berlengan baju panjang. Aku bertengger di pohon rindang besar. Akan kutunggu dirimu. Hati-hati, ya?'
"Jadi, Mo—Mouri..." aku benar-benar tidak bisa mengatakan apa-apa saat itu juga. Aku tidak bisa bayangkan, perilaku yang sering ia ucapkan dengan kami—terutama aku sangat jauh dibanding pesan emailnya padaku.
Apakah itu alasanmu menyembunyikan sesuatu dariku, Mouri?
Apakah itu alasanmu mematung seperti itu?
Mouri...
Mouri...
Ingin rasanya aku memanggilmu saat itu.
Jika kutahu, kaulah sang senpai itu—
Tidak.
Aku tidak ingin,
Bila senpaiku sendiri adalah pria berperangai buruk seperti itu.
Yang telah membuat hidupku hancur.
Yang telah mengubur arti kehidupanku.
Kenapa musti kau!
Kenapa malah dirimulah senpaiku?
Kenapa?
Ku mengetik sebuah pesan padanya, bertanya sesuatu dengannya dengan sedikit menahan jeritan hatiku.
'Apa selama ini senpai adalah Mouri?'
Tidak ada balasan.
Hampir setengah jam ia tidak membalas emailku. Kini, amarahku tiada terbendung—dan hatiku semakin menjerit.
'Baik, senpai! Bila senpai mau kita berakhir disini, baiklah! Aku tidak ingin mengirim pesan pada senpai lagi!'
Aku terlanjur kesal.
Kenapa aku musti menghormati orang jahat seperti itu?
Apakah kau membeli nama senpai?
Tapi, kenapa?
Aku tidak rela!
Tidak rela bila kau senpaiku!
Tidak!
Aku tidak mau!
Kau pasti bukan senpaiku!
Kau tidak boleh menjadi senpaiku,
Aku takkan sudi memanggilmu senpai!
Sampai kapanpun!
Tiba-tiba, balasannya muncul di layar laptopku.
'Maaf, Chousokabe. Sebenarnya aku ingin berbicara padamu secara langsung. Aku kaget saat kulihat orang yang memanggilku senpai adalah laki-laki macho yang dulu adalah sahabatku sendiri.'
Aku mendesah.
'Tapi sudahlah, memang beginilah kenyataannya. Mungkin selama ini kau mengira aku bukanlah senpaimu. Karena cara bicaraku dan cara menulis email sudah sangat jauh berbeda. Aku memang tidak bisa mengendalikan diriku jika berbicara pada orang. Tapi akan kujelaskan lebih lanjut apabila kita berdua bertemu, ok?'
Aku tertawa. Bisa-bisanya Mouri—si manusia lidah tidak bertulang, mengetik seperti merasa bersalah seperti itu.
Bukan tertawa biasa, namun tertawa sinis.
"Jangan pura-pura tidak ingat apa yang kau lakukan padaku, Mouri." desisku.
Aku masih belum menerima kenyataan pahit seperti ini!
'Baiklah senpai. Akan kutunggu keteranganmu besok.'
Kututup laptopku. Sebelum masuk dalam dunia tidurku, aku terus memikirkan apa yang selama ini terjadi.
"Sudahlah. Sekali senpai, tetap saja senpai. Aku tidak boleh menyesalinya."
Ku tarik selimut tebalku dan mencoba berpikir tenang saat ini.
Aku takkan pernah menganggapmu sahabatku atau senpaiku.
Ketika kaulah pembawa malapetaka bagiku.
Tidak mungkin kau menjadi penjual minyak wangi bagiku!
Selamanya kau takkan pernah,
Kumaafkan!
Ingat itu, Mouri!
Selesai juga fic pertama yang udah tertahan di Facebook sampe berjamur(?)
Sebenarnya tidak ada pikiran mau publish ini, namun tidak ada salahnya kan?
Next Chapter :D
