Tittle : Save Your Life
Author: Kong Binnie
Main Cast : Jung Taekwoon, Lee Hongbin, Cha Hakyeon, Lee Jaehwan, Kim Wonsik, Han Sanghyuk, Gongchan
Genre : Hurt, friendship.
Rated : T
Warning : Typo, cerita pasaran, alur kecepatan, tidak sesuai EYD, dll.
Jangan di baca jika tidak suka.
.
.
.
Happy Reading!
SAVE YOUR LIFE
Chapter 1
Taekwoon
.
.
.
Seseorang harus merasakan kesedihan untuk tau makna dari kebahagiaan.
Jangan takut.
Seberapa besara luka yang kau punya, aku akan mencoba mengobatinya.
.
.
.
Saat itu pukul sepuluh malam ketika Hongbin pulang ke Apartemennya dalam keadaan basah kuyup. Dia baru saja menyelesaikan tugas kelompok bersama temannya ketika tiba-tiba hujan yang cukup deras turun saat dia dalam perjalanan pulang, dan hal buruknya Hongbin tidak membawa payung. Sehingga dia sampai ke Apartemen dalam keadaan basah kuyup yang cukup parah hingga membuat genangan di dalam Apartemen.
"Aigooo... Hongbin-ie, kenapa kau basah kuyup begini?" Hakyeon menjerit ketika melihat Hongbin masuk dalam keadaan basah kuyup. Dia berlari mencari handuk untuk Hongbin yang sedang tertawa di depan pintu.
"Hyung, di luar hujan. Makannya aku basah kuyup" Jawab Hongbin diselingi dengan tawanya.
Hakyeon menggelengkan kepalanya, dia berjalan menghampiri Hongbin sambil membawa handuk berwarna merah di tangan.
"Seharusnya, kau menunggu hujan reda sebelum pulang"
"Aku kehujanan saat dalam perjalanan pulang, hyung"
"Alassa_Huaaaa"
Hongbin menutup mulutnya terkejut, kedua bola matanya yang besar semakin membesar hingga terlihat hampir keluar. Dia terkejut ketika tiba-tiba Hakyeon jatuh terpeleset tepat di depannya.
"Hyung_"
"Oh my... Lihatlah anak nakal, kau membuat lantai menjadi licin sehingga aku terpeleset" Teriak Hakyeon kesal, meski sesungguhnya dia tidak benar-benar kesal. Tidak, Hakyeon tidak akan pernah bisa kesal ataupun marah pada Hongbin.
.
.
.
Apapaun yang terjadi, Hakyeon akan selalu menyayangi adikknya.
Meski nyatanya Hongbin bukan adik kandung Hakyeon.
.
.
.
Hongbin masih menutup mulutnya dengan tangan, dia mencoba menahan tawa sebaik mungkin. Namun gagal, dia terkikik geli dan mengabaikan tatapan tajam Hakyeon.
"Jadi? Kau akan terus berdiri disana dan tertawa, tanpa berniat untuk membantuku berdiri?"
Tubuh Hongbin menggigil kedinginan, kedua tangannya bergerak memeluk dirinya sendiri. Kakinya bergerak mundur satu langkah menjauh dari Hakyeon.
"Tidak" Ucapnya masih terkikik geli, bibir cerry nya bergetar karena menahan dingin.
"Kau akan memukulku" Lanjut Hongbin sambil menghentak-hentakkan kedua kakinya. Jelas, dia sangat kedinginan. Tubuhnya terus bergetar karena menahan dingin.
Hakyeon tersenyum lembut, dia menggelengkan kepalanya pelan dan mencoba berdiri sendiri. Perlahan dia berjalan menghampiri Hongbin.
"Dasar anak nakal" Ucap Hakyeon lembut, terdengar setengah berbisik. Dia menutupi tubuh basah Hongbin dengan handuk yang dibawanya.
"Kau kedinginan" Hongbin terkikik geli, dia merasakan kedua tangan melingkar dengan lembut pada tubuhnya yang tertutup handuk. Hakyeon memeluknya penuh sayang dari samping, membuat belahan pipi keduanya bersentuhan. Ia memeluk Hongbin dengan begitu hati-hati seolah dia takut Hongbin akan pecah jika ia memeluknya terlalu erat.
"Sekarang aku hangat" Hongbin tersenyum menunjukkan lesung pipinya yang manis, dia menoleh sehingga membuat jarak wajah keduanya begitu dekat. Hakyeon balas tersenyum dan mematuk pipi Hongbin singkat.
"Kau masih kedinginan" Hongbin kembali terkikik geli, tidak terlalu mempermasalahkan tindakan Hakyeon padanya.
"Sekarang ayo ganti baju" Hongbin mengangguk lucu.
"Baik, captain" Hakyeon sedikit mengeratkan pelukannya, ia membimbing Hongbin secara perlahan ke kamarnya. Tanpa berniat melepaskan pelukannya sedikitpun.
Samar-samar terdengar suara tawa Hongbin saat keduanya berjalan lebih dalam menuju kamar yang lebih muda.
Apakah Hakyeon terlalu berlebihan dalam menyayangi Hongbin?
Mungkin tidak.
Untuk semua masa lalu yang telah di hadapi keduanya, tidak ada yang salah jika Hakyeon dan Hongbin begitu saling mengasihi.
Bukan hal yang mudah untuk Hakyeon dapat hidup bersama Hongbin. Sangat sulit, terlalu rumit.
Bahkan kedua orang tua Hakyeon sempat menentang kehadiran Hongbin.
Keduanya sempat di pisahkan.
Namun itu wajar mengingat karena Hongbin, Hakyeon hampir masuk pernjara_
.
.
.
.
_Karena telah membunuh Ayah Hongbin.
.
.
.
.
Hongbin duduk di tepi tempat tidur, kakinya menjulur menyentuh lantai. Hakyeon berdiri di depannya, tangan bergerak mengeringkan rambut basah Hongbin menggunakan handuk kecil. Hongbin sudah mengganti pakaiannya dengan baju tidur lucu bergambar Panda. Ini adalah hadiah ulang tahun dari Jaehwan tahun lalu. Teman Hakyeon itu selalu berbicara bahwa Hongbin akan terlihat cute jika memakai sesuatu yang lucu. Yahh... Hakyeon tidak keberatan akan hal itu.
"Hyung, mereka sangat lucu. Mereka terus bersaing untuk dapat memakan bagian kue yang paling besar..."
Hakyeon tersenyum kecil mendengarkan celotehan Hongbin tentang temannya, Sanghyuk dan Gongchan. Jika mengingat masa lalu, rasanya begitu sulit untuk melihat Hongbin dapat seceria ini.
"Jadi, siapa yang mendapat bagian kue yang paling besar?" Hongbin tertawa senang, ia begitu manis karena terlihat bahagia.
"Tentu saja aku" Jawab Hongbin menepuk dadanya bangga, senyum lebar masih tercetak jelas di belahan bibirnya. Hakyeon menyimpan handuk di atas meja kecil di samping tempat tidur, lalu mengambil sisir untuk merapikan rambut Hongbin.
"Kenapa bisa begitu?" Tanyanya dengan sebelah halis terangkat. Hongbin kembali tertawa senang, seolah pertanyaan Hakyeon adalah hal yang ia nantikan.
"Aku memakan kue nya ketika mereka sedang bertengkar" Seolah bangga dengan tindakannya Hongbin terus tertawa tanpa henti, sementara itu Hakyeon terpana mendengar jawaban Hongbin. Hingga sedetik kemudian senyum kecil bertengger di bibirnya.
"Dasar anak nakal" Hakyeon mencubit gemas hidung Hongbin, sementara anak yang lebih muda terus tertawa tanpa henti.
"Hyung harus melihat cara mereka merengek meminta ku mengembalikan kue nya"
"Oww... Benar-benar anak ini" Hakyeon meletakkan sisirnya di samping handuk yg tadi ia simpan setelah selesai menyisir rambut Hongbin.
"Kau harus di hukum" Bersamaan setelah menyelesaikan ucapannya, kedua tangan Hakyeon bergerak di sekitar pinggang Hongbin dan menggelitikinya.
"Aww...hyung, aduhh... Ampun" Hongbin tertawa geli, ia mencoba bergerak menghentikan tangan Hakyeon namun tidak berhasil. Keduanya terus tertawa, memecah suara hujan deras yang masih masih turun. Kehangatan terpancar dalam hati keduanya, mengalahkan dinginnya malam.
"Hyuunnggg... Ampunnn" Hongbin jatuh terlentang di atas tempat tidur, ia memegangi perutnya yang terasa sakit karena terus tertawa dan menahan geli.
Hakyeon menjatuhkan diri di samping Hongbin dan memeluknya erat namun penuh kelembutan.
"Anak nakal... Anak nakal" Hakyeon menyerang pipi Hongbin dengan ciumannya berkali-kali, Hongbin terkikik geli dan tidak terlihat risih dengan tindakan Hakyeon.
Seolah itu adalah hal biasa yang sering terjadi.
Hakyeon berhenti mematuk pipi Hongbin ketika mendengar seseorang menekan bel Apartmennya. Keduanya saling berpandangan dengan tatapan bingung.
"Siapa?" Tanya Hongbin pelan, Hakyeon menggelengkan kepalanya.
"Ayo kita lihat" Yang lebih tua melepaskan pelukannya, ia bangun dan berjalan keluar kamar dengan Hongbin yang mengekor di belakang.
Setelah membuka pintu Hakyeon dan Hongbin tertegun. Itu adalah Jaehwan dan Wonshik. Keduanya basah kuyup, terengah-engah, dan jangan lupakan sosok laki-laki tak sadarkan diri dalam gendongan Wonshik di balik punggungnya.
Laki-laki itu berambut hitam, kulitnya putih, tampak sedikit lebih tua dari Hongbin. Hakyeon dapat melihat banyak bekas luka pada tangan anak tersebut, seperti bekas pukulan benda tumpul.
"Hakyeon... Hakyeon, aku mohon tolong dia?" Suara Jaehwan menyadarkan Hakyeon dari lamunannya, dia segera membuka pintu lebih lebar agar keduanya dapat masuk.
Tanpa pikir panjang Jaehwan dan Wonsik segera melangkah masuk dan membaringkan anak laki-laki tersebut di sofa. Hakyeon berlari untuk mengambil peralatan dokternya.
Ya, Hakyeon adalah seorang Dokter.
"Apa yang terjadi padanya?"
"A-aku tidak tau" Rasa takut dan khawatir membuat Jaehwan tidak bisa berbicara dengan benar. Wonsik meremas bahu Jaehwan pelan, mencoba menenangkan sebisanya.
"Kami menemukannya pingsan di taman dekat Apartemen, dia kehujanan. Kami tidak tau harus bagaimana? Dan hanya bisa teringat padamu" Ucap Wonsik menjelaskan.
Hakyeon menghela nafas, ia kembali merapikan peralatannya setelah memeriksa anak tersebut.
"Baiklah, dia tidak apa-apa" Hakyeon menghentikan ucapannya, kedua matanya mengamati bekas luka di tangan anak tersebut.
"Aku tidak begitu yakin. Maksudku... Dia hanya pingsan, dia kelaparan, dan tekanan darahnya begitu rendah. Tapi luka-luka yang sudah mengering itu" Hakyeon memberi jeda.
"Dia sudah mengalami banyak hal" Bisiknya nyaris tak terdengar.
"Aku yakin yang dia butuhkan bukanlah dokter sepertiku, jelas... Dia tidak hanya sakit secara fisik tapi juga secara psikis" Hakyeon menatap Jaehwan dan Wonsik secara bergantian.
"Kenapa kalian membawanya padaku?"
Hening.
Hakyeon tidak melepas tatapannya dari Jaehwan dan Wonsik yang masih membisu. Suara petir yang membelah hujan menyelinap dalam keheningan.
Itu adalah sekitar dua menit yang dibutuhkan Jaehwan untuk berbicara. Dia Melangkah maju dan menggenggam tangan Hakyeon dengan gemetar.
"H-Hakyeon_" Jaehwan memberi jeda, seolah di beri komando ia dan Wonsik menoleh menatap Hongbin secara bersamaan.
Anak laki-laki berusia 15 tahun itu sedang berdiri di sudut ruangan dengan tatapan kosong. Ia terperanjat ketika Jaehwan dan Wonsik tiba-tiba menatapnya. Dari awal sejak kedatangan keduanya dan membawa anak laki-laki tak di kenal. Hongbin sudah merasakan pirasat buruk.
Hakyeon mengerang pelan "Tidak lagi"
Jaehwan semakin erat menggenggam tangan Hakyeon, dan memberikan tatapan memohon.
"Hakyeon, kamu sudah mengalami hal ini bersama Hongbin"
Hongbin merasakan tubuhnya bergetar kecil, bukan karena kedinginan. Melainkan karena takut, takut akan masa lalu yang kembali melintas di pikirannya. Hakyeon melirik Hongbin dengan khawatir.
"Kami tidak tahu apa yang harus di lakukan, setidaknya tolong beritahu kami caranya mengatasi semua ini" Hakyeon menghela nafas pelan, nampak putus asa untuk menolak permintaan Jaehwan.
"Baik, tinggallah disini. Aku akan meminjamkan pakaian untuk kalian berdua, dan mencari pakaian Hongbin yang muat untuk anak laki-laki ini"
"Taekwoon"
"Apa?"
"Namanya Taekwoon" Jawab Jaehwan menunjuk anak laki-laki yang ia bawa bersama Wonsik. Hakyeon mengangguk.
"Baiklah, Wonsik tolong bawa anak_ maksudku Taekwoon ke kamar tamu" Wonsik mengangguk, tanpa banyak bicara ia menggendong Taekwoon bridal style dan berjalan mengikuti Hakyeon menuju kamar tamu. Jaehwan dan Hongbin mengikuti di belakangnya.
Beruntung pekerjaan Hakyeon sebagai seorang dokter membuatnya mampu membeli Apartemen yang cukup besar. Ia memiliki tiga kamar di Apartemennya, Hakyeon bisa tidur bersama Hongbin, lalu Jaehwan bersama Wonsik, dan membiarkan Taekwoon tidur sendirian.
Lima belas menit berlalu ketika Hongbin masuk ke kamar tamu sambil membawa pakaian untuk Taekwoon. Jaehwan dan Wonsik sudah mengganti pakaianya dengan yang kering.
"Ini hyung" Hongbin menyerahkan pakaian yang ia bawa pada Jaehwan yang sedang duduk di tapi tempat tidur.
"Terima kasih, Hongbin-ah" Jaehwan mengambil pakaian yang di berikan Hongbin dan menaruh di atas lututnya. Ia kemudia mencoba membuka pakaian Taekwoon dengan di bantu Wonsik.
Deg
Deg
Jaehwan menutup mulutnya menggunakan tangan karena shock, Wonsik mengumpat pelan. Hongbin memekik kecil sehingga Hakyeon segera berlari dan membawanya ke dalam pelukan. Mencoba menenangkan yang lebih muda atas apa yang baru dilihatnya.
Mereka pikir sejauh ini hanya tangan Taekwoon yang terdapat banyak bekas luka, namun nyatanya jauh lebih parah. Ada bekas lebam cukup besar di bagian perut dan bahu sebelah kanan Taekwoon, di bagian dadanya terdapat bekas sayatan benda tajam dengan darah yang sudah mengering.
Perlahan-lahan suara isakan Hongbin mengalun di udara, dia menyembunyikan wajahnya di bahu Hakyeon. Jaehwan dan Wonsik menatap Hongbin dengan tatapan menyesal, sementara Hakyeon menepuk-nepuk pungggung Hongbin mencoba menenangkannya.
"Kalian urus dulu Taekwoon, nanti aku kembali" Setelah menyelesaikan ucapannya, Hakyeon berjalan keluar bersama Hongbin yang masih meringkuk dalam pelukannya.
Butuh sekitar satu jam untuk dapat menenang Hongbin dan membuatnya tertidur. Keduanya meringkuk bersama diatas tempat tidur dengan Hongbin yang tertidur dalam pelukan hangat Hakyeon, tangan kanan Hakyeon terus bergerak mengusap lembut punggung Hongbin. Bibirnya bergerak kecil menyanyikan lagu untuk mengantar Hongbin ke alam mimpi.
Semuanya akan baik-baik saja, pasti.
Berapa lama yang dibutuhkan Hakyeon untuk dapat melihat Hongbin tersenyum?
Lebih dari empat tahun.
Pertama kali Hakyeon bertemu dengan Hongbin adalah di saat ia berusia 18 tahun, saat itu Hongbin masih berusia 9 tahun namun ia sudah memikul beban yang berat.
Setiap hari ia mengalami siksaan fisik dari Ayahnya. Hakyeon tidak pernah mengerti kenapa? Tapi sejak pertama kali melihat Hongbin, ia ingin sekali... Ingin sekali melindunginya.
Anggap saja ini takdir.
Anggap saja Hakyeon adalah orang yang dikirim untuk melindungi Hongbin.
Keduanya mengalami hari yang sulit bersama-sama, sangat sulit. Bahkan belum pernah terbesit dalam pikiran Hakyeon, ia akan bisa terus bersama Hongbin. Namun akhirnya sekarang Hakyeon bisa hidup bahagia dengan Hongbin di sisinya.
Tapi sekarang, apakah masih akan sama?
Hakyeon mengerti bahwa kehadiran Taekwoon hanya akan membawa kenangan buruk bagi Hongbin, namun ia tidak bisa menutup mata begitu saja. Hakyeon tidak cukup jahat untuk tidak memperdulikan Taekwoon.
Hakyeon memeluk Hongbin erat, merasakan nafas hangat yang lebih muda di dadanya.
"Semuanya akan baik-baik saja, semuanya akan baik-baik saja, pasti" Ucapnya berulang kali, seolah mencoba menguatkan dirinya sendiri untuk kemungkinan buruk yang mungkin akan terjadi.
Hakyeon hanya ingin melindungi Hongbin, namun ia juga tidak bisa mengabaikan Taekwoon.
.
.
.
Meski aku lelah di tengah-tengah dunia yang menyakitkan ini
Namun aku harus hidup dan bernafas
Aku memikul hari-hari ku.
.
.
.
Hongbin terbangun dari tidurnya ketika jam menunjukkan pukul empat pagi, ini masih terlalu awal untuk bangun di hari minggu. Namun meski ia sudah mencoba tidur lagi, kedua matanya tetap tidak bisa tertutup.
Mengerang pelan, ia bangun dan terduduk diatas tempat tidur, selimut tebal tersampir di bahunya. Rambut coklatnya mencuat ke segala arah, Hongbin menguap kecil dan menatap sekeliling dengan kedua bola mata setengah terbuka.
Tidak ada Hakyeon hyung.
Perlahan-lahan Hongbin bergerak turun dari tempat tidur, ia menarik selimut yang tersampir di bahu untuk menutupi seluruh tubuhnya, membiarkan bagian ujungnya jatuh menjuntai ke lantai. Hakyeon akan marah jika melihatnya, tapi Hongbin adalah adik nakal yang suka membuat hyung nya marah.
Langkah kakinya yang ringan bergerak secara perlahan menuju pintu kamar. Tangan kanannya menjulur dari balik selimut, memutar knop pintu secara perlahan dan mendorongnya pelan.
Pintu baru terbuka sedikit ketika Hongbin menghentikan pergerakan tangannya. Di balik celah pintu, ia dapat melihat Hakyeon yang sedang duduk berhadapan dengan Jaehwan, dan Wonsik di sofa. Dilihat dari wajah ketiganya, sepertinya mereka sedang membicarakan hal yang serius. Hongbin menajamkan telinga agar dapat mendengarkan pembicaraan ketiganya.
"Jadi, ceritakan... Ceritakan tentang anak bernama Taekwoon itu" Terdengar helaan nafas dari Jaehwan.
"Baiklah, jadi begini_"
.
.
.
.
Itu adalah hari pertama Jaehwan melihat Taekwoon setelah ia menyewa Apartemen baru. Jaehwan selalu melihatnya di taman bermain, Taekwoon akan duduk sendirian di ayunan dengan tatapan kosong.
Diantara bisingnya tawa kebahagiaan anak-anak, hanya Taekwoon yang terlihat tak hidup. Ia terlalu kelam untuk menjadi nyata.
Sejak saat itu Jaehwan sering melihat Taekwoon, masih duduk di tempat yang sama, dengan tatapan yang sama, bahkan Jaehwan bersumpah pakaiannya pun selalu sama. Berwarna hitam seperti surainya. Pernah sekali Jaehwan melihat perban melilit di kepalanya.
Jaehwan pikir Taekwoon adalah seorang gelandangan yang tidak punya rumah, namun ternyata dugaannya salah. Pengurus Apartemen yang melihat Jaehwan selalu terlihat mengamati Taekwoon bercerita, Taekwoon tinggal bersama ayahnya yang sering mabuk-mabukan, ibunya sudah meninggal enam tahun lalun tertabrak mobil karena menyelamatkan Taekwoon. Karena rasa kehilangan yang amat mendalam terhadap sang istri, Taekwoon jadi selalu di siksa oleh ayahnya.
Pernah satu kali Jaehwan mencoba berbicara dengannya. Saat itu sudah sore, namun Jaehwan masih melihat Taekwoon duduk di tempat yang sama. Dengan inisiatif nya Jaehwan berjalan menghampiri Taekwoon, ia duduk berjongkok di depan anak berusia 16 tahun itu.
"Hai, apa yang sedang kau lakukan disini?"
Taekwoon tidak menanggapi pertanyaan Jaehwan, seolah ia tidak mendengarnya, dan seolah Jaehwan tidak pernah ada di hadapannya.
Anak bersurai hitam itu menunduk ke bawah, menatap tanah yang seolah terlihat lebih menarik dari apapun. Ia mengabaikan Jaehwan sepenuhnya. Namun lelaki yang lebih tua tidak menyerah dan kembali mengajukan pertanyaan.
"Namaku Jaehwan, namamu Taekwoon kan?"
Hening
"Aku tinggal disini, kau bisa melihat jendela Apartemenku dari bawah sini. Mau mampir?"
Masih tidak ada jawaban.
"Ini sudah sore, kau tidak mau pulang"
Kali ini pertanyaan Jaehwan mendapatkan reaksi. Setelah mendengar kata 'pulang' Taekwoon mendongak menatap lelaki di depannya. Jaehwan mencoba tersenyum sebaik mungkin. Namun Taekwoon hanya terdiam dan terus menatapnya, membuat Jaehwan bingung dengan apa yang harus ia lakukan.
Bagaimanapun sepertinya Taekwoon tidak akan pernah merespon sesuai dengan harapannya.
Taekwoon kembali menundukkan kepalanya, Jaehwan menggaruk belakang kepalanya bingung. Taekwoon benar-benar mengabaikan kehadirannya. Menghela nafas pasrah, Jaehwan bangkit berdiri dan berjalan pergi meninggalkan Taekwoon.
Ia tidak menoleh kebelakang, terus berjalan tanpa henti. Jaehwan tidak pernah tahu, saat kepergiannya Taekwoon mendongak, menatap sendu punggungnya yang semakin lama semakin menjauh.
.
.
.
Semua orang selalu tersenyum
Beberapa mencoba berada di sisiku
Tapi kemudian mereka akan selalu pergi
Aku bukanlah siapa-siapa
Aku terlalu asing untuk seseorang mau bertahan disisiku
.
.
.
Satu minggu berlalu dan Jaehwan tidak pernah melihat Taekwoon lagi, ia terkadang mempertanyakan ketiadaan Taekwoon. Tapi kemudia ia berpikir, mungkin Taekwoon sudah merasa lebih nyaman di rumahnya.
Namun dugaannya salah, karena di hari berikutnya Jaehwan menemukan Taekwoon dalam keadaan terburuk di tempat yang sama ia sering melihatnya.
Taekwoon tidak duduk di ayunannya seperti biasa, ia tergeletak tak sadarkan diri di bawah derasnya hujan, tubuhnya tak bergerak di atas kubangan air.
Jaehwan yang kebetulan malam itu baru pulang kerja bersama Wonsik segera menghentikan mobilnya ketika melihat Taekwoon, ia berlari menerjang hujan bersama Wonsik untuk melihat keadaan anak tersebut.
"Taekwoon... Taekwoon, kau tidak apa-apa" Suaranya bergetar, membelah suara hujan dengan kekhawatirannya.
Jaehwan mencoban menggerakkan tubuh Taekwoon secara perlahan untuk mengetes kesadarannya, namun reaksi Taekwoon jauh di luar dugaan.
Anak itu mengerang kesakitan, kakinya menendang ke segala arah, dan kedua tangannya mengepal dengan erat. Jaehwan terkejut, ia hampir jatuh terjerembab jika tidak ada Wonsik yang menahan tubuhnya.
"Taek... Taekwoon" Dalam derasnya hujan, Jaehwan merasa kedua bola matanya memanas. Air mata siap meluncur dari pelupuk matanya. Ia melihat tubuh Taekwoon kembali terkulai lemas tak sadarkan diri. Dengan bibir bergetar Jaehwan mencoba berbicara, berharap suaranya masih dapat terdengar dalam derasnya hujan.
"Wonsik kita harus menolongnya"
"Kita harus membawanya ke Rumah Sakit" Jaehwan mengerang pelan. Suaranya pecah seperti menahan tangis.
"Terlalu jauh, Wonsik"
"Lalu?"
"Butuh waktu 15 menit untuk sampai ke Apartemen Hakyeon, itu lebih baik dari pada pergi ke Rumah Sakit" Wonsik mengangguk.
"Baik, ayo pergi"
Kali ini Taekwoon tidak melawan ketika Wonsik menggendongnya. Tubuhnya benar-benar lemas dan terasa ringan. Keduanya berlari menuju mobil, menempatkan Taekwoon di kursi penumpang dan pergi dengan kecepatan tinggi, berharap dapat sampai lebih cepat ke Apartemen Hakyeon.
.
.
.
Hongbin menutup pintu kamarnya secara perlahan, mencoba tidak meninggalkan suara sedikitpun. Ia bersandar di balik pintu, sebelum tubuhnya merosot secara perlahan-lahan ke lantai.
Kedua tangannya mencengkram selimut dengan erat, air mata perlahan mengalir membasahi belahan pipinya. Anak bersurai coklat itu menggigit bibir bawahnya, sekuat tenaga mencoba menahan isakan yang ingin keluar.
Lima tahun hidup bersama Hakyeon bukanlah hal yang mudah. Butuh waktu lama untuk membuat Hongbin sembuh dari depresinya. Meski sekarang Hongbin terlihat baik-baik saja, namun sebenarnya Hongbin belum sembuh total.
Ia masih sedikit takut dengan dunia luar. Sampai sekarang Hongbin hanya mau bergaul dengan Sanghyuk dan Gongchan. Ia juga kadang kerap menghindari kerumunan orang.
Masih terlalu sulit untuk menghilangkan trauma dalam diri Hongbin.
Tapi tak ada salahnya untuk menjadi kuat, dunia bukan tempatnya untuk orang-orang lemah. Meski sulit, tapi Hongbin selalu berusaha hidup dengan baik. Mencoba untuk tidak berbeda dari orang lain. Ia hanya ingin hidup normal dan bahagia.
Namun kehadiran Taekwoon secara tiba-tiba membuat segalanya akan terada lebih sulit. Melihat Taekwoon sama dengan melihat masa lalu yang di sodorkan tepat di depan matanya.
Hongbin menenggelamkan kepalanya di atas lutut, meredam isakan yang perlahan-lahan meluncur dari belahan bibirnya.
.
.
.
Hakyeon hyung.
Jangan biarkan dia berada disini.
Aku takut.
Aku tidak ingin melihatnya.
.
.
.
Tobe Continue.
