Dua puluh tujuh tahun.
Dan selama itu pula dia tak pernah mengerti apa esensi dari rumah.
Orang-orang mengatakan rumah adalah tempat untuk berlindung, menerima cinta kasih dan berbagi kehangatan. Tempat untuk pulang.
Namun baginya, rumah hanyalah bangunan berisi teriak, caci maki, suara tamparan dan pecah belah yang dilempar sampai berceceran—juga aroma menyengat parfum murahan dan bau menjijikkan.
Di masa kecil, tiap pagi ia akan melihat ibunya—tak perlu salah paham, kesudiannya menyebut wanita itu dengan ibu adalah gratifikasi kecil karena wanita itu berjasa melahirkannya, berdiri di balik konter dapur menyiapkan sarapan. Itupun jika omelet berisi cangkang telur dan beras setengah masak adalah hal yang layak disebut sarapan. Lebam membiru, luka dengan bekas darah mengering di fisik ibunya adalah pemandangan lumrah.
Ia tak pernah bertanya mengapa tiap petang ibunya selalu membawa pulang pria berbeda, berikut derit ranjang dan desahan heboh yang sejujurnya menyakitkan telinga. Pun begitu dengan kemarahan pria dewasa yang sialnya adalah ayahnya di tengah malam. Padahal bajunya pun berbau parfum menyengat yang biasa digunakan penghuni rumah bordil, padahal pria bermata mabuk itu juga menerima lembaran uang dari ibunya. Pria itu tetap menyetubuhi ibunya yang menatap kosong.
Jadi saat di suatu pagi ia menemukan pria itu tergeletak dengan tancapan pisau di tenggorokan; ia pun tak bertanya apa-apa.
Saat ibunya tertawa kesetanan dan menginjak-injak tubuh tak bernyawa itu, ia juga tak bertanya.
Saat ia ditinggalkan dengan pria paruh baya bertampang bengis dan penuh bekas luka, ia masih tak bertanya.
Mungkin ia masih tiga belas saat itu, tapi ia tahu siapa dirinya, siapa orangtuanya, dan mengapa ia akhirnya ia ditinggalkan bersama kakeknya itu.
Ia tumbuh tanpa cinta kasih. Sejak kecil ia begitu familier dengan kekerasan dan hal-hal terlarang. Pekerjaannya tak jauh dari baku hantam dan kekerasan, sampai bunuh membunuh pun tak meninggalkan kesan mendalam pada dirinya. Mati ya mati. Ia tak peduli dengan orang lain, setakpeduli dirinya pada para pecandu obat dari kalangan borjuis yang menjadi kenalan tetapnya sejak belia.
Bersama belati dan revolver yang sudah seperti kebutuhan yang nyaris menyamai makanan, ia pun nyaris tiap malam mengunjungi kamar rumah bordil demi raut seduktif menggoda dan tubuh mulus tanpa cacat di atas ranjang.
Sebagai cucu dari penguasa di wilayah itu, para penjilat menempatkannya sebagai penerus yang akan menggantikan kakeknya untuk duduk di atas tumpukan mayat dan genangan darah. Dikelilingi kupu-kupu polos yang berterbangan menggerayangi dada.
Setidaknya, itulah yang kakeknya katakan.
Karena sang Ibu sudah menyandang nama besar salah satu orang berpengaruh di kota ini. Tentu sudah tak sudi berurusan dengan anak lelakinya yang menyedihkan dan kotor ini.
Sejak awal hidupnya sudah rusak, dan ia hanya menapaki jalan yang ada di depannya tanpa banyak babibu. Ia tak pernah memikirkan jalan lain yang mungkin sedikit lebih indah, karena ia tak pernah mempunyai bayangan tentang hal itu.
"Sehun, kau tahu, aku ingin tinggal di rumah dekat laut."
Tapi ternyata, takdir punya caranya sendiri untuk bermain.
Seorang gadis lusuh yang memimpikan rumah di dekat laut, yang masih bisa memiliki warna suara yang ringan saat kakinya dirantai; menjadi alasannya untuk mencoba mencari jalan lain yang sedikit lebih indah.
.
.
.
Arianne794 Present
A non-profit HunHan GenderSwitch FanFiction
.
.
.
"A Home Near The Sea—Another Beautiful Way"
.
.
.
Romance, Angst, Crime / Mafia!AU / M (R17) / Warning : Mature Content, Violence
BGM Song : 오아시스(Oasis) by EXO; Clarity by Zedd ft. Foxes; Universe by EXO; River Flows in You by Yiruma (Violin Cover Ver. by Daniel Jang)
Oh Se Hun X Lu Han (GS)
.
.
.
Desahan menggoda menjadi pengisi senyap udara. Berikut suara kecupan tak sabaran dan fabrik bergesekan; kemeja hitam dan lingerie yang nyaris meluncur dari atas bahu.
Sepasang manusia berbeda gender bergerak di atas ranjang beraroma manis mengundang, menautkan tubuh bersama tangan yang menggerayang ke semua bagian. Lelaki berambut hitam kelam itu menciumi leher mengkilat basah yang disambut lenguhan.
Hanya ada gairah yang mendidih di atas kepala.
"Ah, Sehun… Kau bersemangat sekali malam ini, heum?"
"Diamlah dan buka pakaianmu, Irene."
Irene mengulum senyum menggoda, menjauhkan tubuhnya sedikit sementara pinggulnya masih bergerak provokatif di atas pangkuan pria bernama Sehun itu. Lingerie merah ditarik melewati kepala, terlempar ke lantai dan asetnya terumbar percuma. Ah, tidak percuma, karena ia sudah dapat bayaran pantas sebelumnya.
Irene mendesah manja saat Sehun meraupnya, akan berlanjut menjadi suara yang lebih agresif jika saja pintu tidak terbuka paksa.
Cumbuan terhenti bersama sorot mata tajam yang mengarah ke pintu. Seorang lelaki jangkung dengan seringai di bibir tipis melambai jenaka.
"Maaf mengganggumu, Cantik. Tapi aku butuh Sehun sekarang." Mata itu menyorot belahan dada yang penuh, bibir dijilat penuh arti. "Wow, sudah lama sejak aku merasakannya."
Irene tersenyum seduktif, nyaris membalas godaan nakal itu sampai Sehun bangkit, membuatnya terhempas ke ranjang. "Hei!"
"Cari pria lain malam ini." Sehun merapikan kancingan kemeja dan memakai jas yang tersampir di kursi meja rias. Irene merengut.
"Kau kan sudah membayar…"
"Peduli apa." Acuh tak acuh Sehun menggumam. Pria berkulit putih itu meraih revolver dan menyelipkannya ke balik jas. Pergi dari kamar primadona yang merengut makin parah. Pria yang tadi menunggu masih sempat mengedipkan mata sebelum pergi.
"Bye, Cantik. Aku akan mampir jika sempat nanti."
Pria jangkung itu mengikuti Sehun dengan raut wajah yang berubah. Tak ada seringai menggoda pun raut jenaka. Dua pria dewasa itu berjalan menyusuri gang yang cukup gemerlap. Mendapat tatapan lapar dari wanita berpakaian kurang bahan juga tatapan penuh arti dari kumpulan pria berwajah sangar. Tapi tak ada yang berani mendekat; mereka menyingkir untuk memberi jalan.
"Apa yang terjadi, Park?" Sehun berkata tenang setelah cukup jauh dari kerumunan.
"Kai diserang di perbatasan."
"Kawanan Yongguk?" Sehun melirik Pria Park yang berjalan di sisinya.
Satu anggukan. "Masalah Kyungsoo."
"Jadi brengsek itu masih tidak terima Kyungsoo bersama Kai sekarang?" Sehun mendengus. "Dia sendirian?"
"Tidak, dia bersama Kyungsoo."
"Sialan, itu sama saja sendirian."
Kekehan terdengar bersama lambaian singkat si Pria Park pada orang-orang yang sudah siap di dalam mobil hitam. Tak banyak, hanya ada empat termasuk yang akan ia tunggangi bersama Sehun nanti.
"Apa yang salah dari ucapan Park Chan Yeol yang tampan ini, heh?"
Sehun mendengus, membuka pintu kemudi dan menyalakan mesin. Chanyeol menyusul di kursi samping sembari membebat dua telapak tangan dengan kain putih. Tak ada percakapan berarti, hanya ada hening selain derum halus mesin mobil yang melaju ke perbatasan daerah kekuasaan kakeknya.
Dari kejauhan Sehun bisa melihat gerombolan orang berpakaian hitam tengah menghajar seseorang yang tersungkur di aspal. Satu bajingan yang ia kenali sebagai Bang Yongguk memegangi seorang gadis—ah, wanita muda, yang menjerit keras sembari memberontak.
Terlihat sangat tidak seimbang dan sangat pengecut baginya.
Mobil-mobil itu berhenti.
Sehun dan Chanyeol masih berjalan tenang saat bawahan mereka sudah menyerbu gerombolan itu. Baku hantam terjadi. Pukulan-pukulan keras terarah ke bagian mana saja yang dapat dicapai, memang tak perlu banyak hal untuk menyelesaikan perihal keroyokan dari kawanan pengecut itu.
Sekilas tak ada perbedaan berarti pada kawanan manusia yang saling menghajar tanpa ampun itu, tapi jika diperhatikan lebih dekat bebatan kain putih pada telapak tangan menjadi pembeda siapa kawan siapa lawan.
Salah seorang pria muda mendekat dengan wajah berurat, hendak melayangkan hantaman ke wajah Sehun yang masih datar tanpa banyak ekspresi. Namun sedetik sebelum kepalan tangan itu menyentuh ujung hidungnya, Chanyeol sudah mencengkeram lengan si pria muda yang cukup bernafsu.
Satu kibasan keras dan pria muda itu terbanting ke atas aspal dengan lengan terpelintir. Chanyeol menggeretakkan lehernya sebelum maju menerjang Bang Yongguk yang nampak mulai pucat.
"Hei, bajingan…" Ucapnya dengan seringai kecil sebelum menarik Kyungsoo dan langsung meluncurkan pukulan.
"Sialan!" Yongguk menggeram murka.
Dua orang berbadan tinggi besar itu bertarung satu lawan satu.
Kyungsoo yang terduduk di sisi jalan hanya bisa tergugu, tangannya terangkat berusaha meraih kekasihnya yang masih tersungkur di antara kerumunan orang-orang yang saling menghantam. Air matanya mengalir pedih penuh ketakutan.
Sehun mendekat tanpa suara, melepas jasnya dan melemparkannya pada wanita muda itu.
"Ini yang kau dapat jika kau bersama Kai; kau tahu resikomu."
Hanya karena Kai adalah orang yang dekat, merangkap sebagai saudara yang tumbuh di sisinya bersama Chanyeol, ia akan menghargai wanita muda yang kini menatapnya penuh permintaan tolong itu. Jika Kai tidak mencintai wanita muda ini, tentu ia akan abai.
Meskipun begitu, Sehun hanya akan menyebutnya sebagai solidaritas semata.
"Kai tidak akan mati semudah itu." Kata Sehun singkat.
Pria berkulit pucat itu berjalan tenang ke kerumunan massa. Menangkis pukulan yang terarah kepadanya, tanpa peduli jika orang yang menyerangnya akan patah tulang atau semacamnya, bahkan mungkin yang ia lakukan masih belum ada apa-apanya dengan yang Chanyeol lakukan. Pria Park itu tampaknya sedang menggunakan kesempatan untuk membalas dendam pada Bang Yongguk yang pernah merebut mainannya beberapa tahun lalu. Park Chan Yeol memang yang paling hebat soal dendam.
Bawahannya memberi jalan. Menyingkirkan serangga penganggu di sekitarnya.
Dan ia merangkul Kai yang sudah babak belur. Tak ada tenaga berarti pada pria berkulit tan yang nyaris kehilangan kesadaran itu.
"Kyungsoo… d-dia baik-baik… saja?" Kai terbatuk. "Agh, sial… Kurasa ada rusuk yang patah."
Sehun mendengus tanpa kentara. "Kau hampir mati hanya karena wanita, menyedihkan sekali."
Kai terkekeh susah payah, berusaha memukul Sehun namun hanya berakhir dengan tangan yang terkulai. "Kau akan tahu jika jatuh cinta suatu saat nanti. Kurasa kau akan lebih parah."
Sehun tak ambil pusing dengan kalimat itu.
Suara ledakan mobil dan cahaya api kemerahan yang membumbung mengisi malam yang seharusnya senyap dan gelap itu. Aroma daging terbakar dan amis darah melayang-layang. Sehun menatap pemandangan itu dari kaca spion tanpa raut wajah berarti. Lalu beralih ke Kai yang berusaha susah payah menenangkan Kyungsoo yang tak henti menangis dan menyesali apa yang baru saja terjadi.
Chanyeol menyeringai di sampingnya. Pria itu mendapat cukup banyak memar, tapi tampak puas dengan bebatan kain putih di tangannya yang sudah memerah pekat dan beraroma amis.
"Tak paham dengan itu, heh?"
Sehun hanya mendengus kecil.
.
.
.
Yang Sehun harapkan setelah hari yang membosankan juga aroma anyir menyelimuti pakaiannya adalah tidur, meski itu tak akan banyak berefek di pagi hari saat ia membuka mata. Jadi saat salah satu bawahannya datang kepadanya dengan sebuah informasi yang menuntutnya menunda istirahat, ia membiarkan raut wajahnya makin gelap.
"Lim baru saja membawa tawanan."
Sehun melepas bebatan kain putih pada tangannya yang sudah berbercak merah dan melemparnya ke kobaran api dalam drum. Memikirkan pria pirang bernama Lim yang setahunya baru saja menyerang salah satu rumah petinggi kota yang bermasalah beberapa jam lalu. "Tawanan? Lim tidak pernah membawa tawanan."
Salah satu bawahannya itu menyeringai.
"Bos, dia simpanan Kris." Sehun merasa harinya akan sedikit lebih menyenangkan mendengar nama musuh besarnya itu. "Simpanan yang benar-benar dia jaga."
Sehun hanya mengangguk saat Chanyeol memberi gestur selamat malam dengan Kai yang terkulai di bahunya, dipapah bersama Kyungsoo yang masih terisak. Sehun mengikuti bawahannya ke satu-satunya mansion megah bercat putih di kawasan itu, hanya mengangguk singkat saat beberapa orang berpakaian hitam berhenti sejenak dan membungkuk saat ia lewat.
Langkahnya menapaki tangga bawah tanah yang mulai menebarkan atmosfer dingin dan pengap, pintu dungeon yang dijaga dua orang bersenjata terbuka dan matanya menangkap lorong panjang gelap dan bersekat-sekat. Dungeon itu dibangun menyerupai labirin dengan dinding batu yang disusun rapat. Lampu kecil menerangi setiap beberapa pintu lorong bersama tebaran kamera pengawas tak kasat mata di antara celah batu. Terlihat menyesatkan dan membingungkan, tapi Sehun tumbuh di sini dan hal termudah adalah menghafal setiap jalur di dungeon.
Sehun menemukan ruang yang ia tuju begitu menangkap pintu dengan besi hitam melintang. Sehun menekan passcode akses di panel samping dan pintu itu terbuka.
Sehun menatap tanpa arti pada sesosok gadis muda yang terduduk di sudut ruang dengan kaki terantai. Gaun putihnya lusuh dan kotor, koyak di mana-mana. Dia tertunduk dengan rambut berantakan, tapi tak terdengar satupun isakan seperti selayaknya gadis muda lain yang mengalami hal yang sama.
"Kau yakin dia simpanan Kris?" Keadaannya kontradiksi dengan kalimat 'simpanan yang benar-benar dijaga.'
"Sangat yakin, Lim berkata bahwa dia pernah melihat Kris bersama seorang gadis muda yang tidak kita ketahui." Sehun mengangguk mendengarnya. "Setelah menghabisi seisi rumah Kim Young Ho, Lim menemukan gadis ini di salah satu kamar, dan Lim yakin dia adalah gadis yang sama."
Sehun mendengus. "Aku tak tahu apa yang dipikirkan bajingan itu menitipkan simpanan serentan ini di rumah Kim Young Ho."
"Mungkin dia mengira itu tempat yang aman karena selama ini Kim Young Ho tidak pernah berurusan dengan kita, musuh besarnya." Kata bawahannya.
Sehun mendengus. "Tidak berlaku setelah dia mencoba menyentuh jalur heroin mafia ini."
"Dan itu menjadi keuntungan kita, Bos. Segera setelah Kris tahu simpanannya raib dia pasti akan mengamuk."
Sehun menyeringai. Ia mendekati gadis muda itu, keremangan cahaya tak menyulitkannya. Sehun merendahkan tubuh, berlutut dan menarik kasar wajah tertunduk itu dan mendapati sebuah mata emerald menatapnya.
Hal pertama yang terlintas adalah; itu sangat mengganggu. Karena keindahan sudah lama menjadi hal yang begitu menyedihkan untuknya.
"Siapa namamu?" Sehun bertanya.
"Luhan." Gadis itu menjawab tanpa gemetar, bahkan sepercik rasa takut pun tak ada dalam warna suaranya. "Apa kau atasan dari pria pirang yang membawaku kemari tadi? Kalau begitu terimakasih."
Sehun benar-benar terkejut, tak menyangka nada seringan awan itu terucap dari gadis terantai yang hidupnya bisa saja berakhir sekejap mata.
"Apa?"
Luhan, gadis itu, menyematkan sebuah senyum tipis di bibirnya yang robek. "Aku bilang terimakasih. Kau tidak mendengarnya?"
Sehun menatap dingin. "Terimakasih? Kau pikir kau selamat?"
"Tentu saja tidak," Luhan menggeleng pelan. "tapi ini lebih baik daripada berada di rumah Kris atau Tuan Kim; mereka suka sekali menyiksaku."
Sehun meneliti tubuh gadis muda di hadapannya, dan menemukan bilur-bilur memar kemerahan di sepanjang lengan dan kaki jenjang yang terekspos, juga di bagian bahu yang terbuka. Sehun benar-benar tak mengerti di mana bagian 'simpanan yang benar-benar dijaga' itu.
"Lihat? Aku punya bilur-bilur itu di sekujur tubuhku, diperbarui tiap beberapa minggu sekali, atau kurang."
"Dan kau berpikir kau tidak akan mendapatkan hal yang sama di sini?"
Luhan memberikan senyum tipisnya lagi. "Kurasa kau bukan orang yang menyiksa seseorang tanpa alasan."
Sehun tertegun. Merasa begitu terganggu dengan warna emerald yang serasa berpendar dalam keremangan cahaya juga warna suara tanpa rasa takut, bahkan ia sekilas mencicip setitik optimis di sana. Sehun tak bisa mendeskripsikan dengan jelas apa yang ia rasakan. Gadis bernama Luhan ini sangat berbeda. Dia tak tampak menderita atau sedih walaupun kondisinya tak ubah peliharaan. Sebanyak apa kepedihan yang telah ia rasakan hingga membuatnya sekebas ini dengan rasa sakit? Atau, kenangan seindah apa yang membuatnya bisa tetap tersenyum semengganggu itu setelah disiksa?
Sehun merasa sangat iritasi dengan semua hal itu.
Ia menghempaskan tangannya, membuat Luhan kembali tertunduk lunglai.
Sehun pergi dari ruang tawanan itu tanpa banyak kata. Di pertengahan jalan, ia berhenti.
"Katakan pada Lim untuk membakar rumah Kim Young Ho dan menghilangkan jejak. Malam ini juga."
Sehun tak memperhatikan seperti apa raut wajah bawahannya itu, ia hanya kembali berjalan.
Sehun pun tak tahu mengapa ia mengatakannya. Sebelumnya ia berpikir mungkin dua hari dari sekarang setelah Kris menemukan bahwa yang membunuh Kim Young Ho dan juga mengambil gadis mainannya adalah klan mafia ini; mungkin ia akan bersenang-senang dan menggunakan gadis bernama Luhan itu sebagai umpan.
Namun, ia merasa ia ingin melihat mata emerald itu sedikit lebih lama.
Dia ingin mencari tahu. Tentang apa yang membuat tatapan mata dan warna suara gadis bernama Luhan itu begitu mengganggu.
.
.
.
"Apa gadis di dungeon itu kau klaim menjadi milikmu?"
Sehun tertegun. Mengangkat pandangan dari revolver yang tengah ia bersihkan ke sebelah kiri, di mana kakeknya memeriksa beberapa berkas di balik meja kebesarannya.
"Darimana anggapan itu muncul." Sehun kembali ke revolvernya, sambil sesekali menatap karpet Persia di bawah kakinya.
Ruang kerja bernuansa putih kelabu itu hening sejenak.
"Ini sudah seminggu sejak gadis itu dikurung di sini, kupikir kau akan segera menggunakannya untuk memancing Kris." Pria tua yang sudah beruban itu menyelipkan sedikit kekehan di akhir kalimat. "Kau pasti sudah dengar kabar dia mengamuk karena hal itu, dia mulai mencurigai klan ini meski bawahanmu sudah melenyapkan jejak." Sehun mendengus, mencampakkan revolver ke meja kaca dan bersandar di sofa hitam itu.
"Kau penerusku, tapi jika suatu saat muncul masalah dengan hal ini aku tidak akan campur tangan." Suara itu ringan, nyaris tanpa penekanan tapi Sehun sudah hafal benar apa artinya, dan ia tak perlu bertanya apapun soal itu. Sehun memiliki wilayah, urusan dan juga orang-orang sendiri di bawah kekuasaan kakeknya.
"Aku bukan bocah lagi, Pak Tua. Aku tahu apa yang aku lakukan."
Sehun bangkit sembari mengambil revolvernya, pergi dari ruang itu meninggalkan suara debaman pintu.
Tujuannya adalah ruang tawanan di dungeon yang terakhir kali ia kunjungi dua hari lalu.
Lorong-lorong di sana masih sama, tapi Sehun sadar ada sesuatu yang mulai berubah dari pandangannya.
Pintu itu terbuka, dan Sehun menemukan Luhan masih di posisi yang sama. Duduk dengan kepala tertunduk di sudut ruang. Sehun masuk sambil menatap senampan makanan yang terlupakan di sisi gadis lusuh itu.
Sehun duduk di sampingnya, bersandar ke dinding yang terasa dingin.
"Kenapa kau datang lagi?" Luhan bergumam pelan.
Sehun bahkan tak tahu bagaimana ia harus menjawab. Ia hanya tahu ia ingin kesini.
"Kali ini kau ingin bercerita?"
Pertanyaan itu mungkin muncul karena selama ini, tiap Sehun datang ia akan duduk diam mendengarkan Luhan berceloteh tentang hal-hal tak penting—pengalamannya, masa kecilnya. Bukan sesuatu yang spesifik, hal itu sedikit banyak membuat Sehun jengkel karena ia dibuat makin ingin tahu. Tapi tentu harga dirinya tak membiarkan begitu saja.
"Kau lelah berceloteh?" Sehun mendengus kecil.
Luhan, gadis itu masih bisa mengusahakan kekehan lembut.
"Aku berusaha keras untuk bicara, tahu. Padahal di sini aku bisa makan enak, tapi untuk mengangkat sendok saja aku tak bisa."
Entah apa yang membuat Sehun menarik nampan berisi sepiring kentang tumbuk dan daging panggang yang sudah dipotong kecil-kecil. Sehun menyodorkan sendok penuh makanan ke depan mulut gadis itu. "Makan. Lalu kau harus bercerita."
Luhan terkekeh kecil, lalu mengambil makanannya.
Sehun merasakan sudut bibirnya berkedut mendengar gumaman senang saat Luhan mengunyah makanannya. Sehun menyuapi dalam diam, pun begitu dengan Luhan yang khidmat dengan makanannya. Mungkin Luhan memang jujur ketika dia berkata dia jarang makan sesuatu yang enak.
Luhan meneguk segelas air sampai tandas dan ikut bersandar ke dinding.
"Kau ingin aku bercerita apa?" Luhan terdengar lebih baik, dan Sehun merasa puas.
"Apa saja." Sehun berusaha terdengar tidak peduli, dan selama ini ia selalu sukses.
"Kutebak kau sangat ingin tahu perihal hubunganku dengan Kris?"
Sehun mendengus, tapi ia tahu ia tak bisa membantah.
Luhan menghela nafas. "Aku pernah bercerita padamu soal ibuku, kan? Dia wanita yang tangguh dan sangat menyayangiku sejak ayahku pergi—brengsek itu memang bajingan yang sangat hebat, dia kabur segera setelah tahu benihnya tertanam di rahim ibuku. Seperti cerita klise lain, hidup di kota ini sangat sulit. Ibuku bekerja keras, tapi ia tahu ia tak akan bisa hidup hanya dengan uang hasil buruh mencuci. Kadang aku berpikir akan sangat baik jika aku mati saja, setidaknya ia hanya harus mengurus biaya pemakaman, dan setelahnya dia tak perlu memberiku makan. Tapi dia akan marah dan menamparku keras-keras saat mendengar itu."
Sehun masih mendengarkan, menikmati suara Luhan.
"Dia berhutang pada seorang bangsawan kota, kau tahu Wu Fan Li?" Sehun nyaris berjengit mendengarnya.
"Ayah Kris Wu." Sehun mengangguk kecil, lalu melanjutkan. "Ibumu tak bisa membayar hutang, lalu dia mengambilmu sebagai gantinya?"
Luhan tertawa, dan Sehun bertaruh tawa itu akan terdengar seperti gemerincing lonceng yang tertiup angin musim semi saat dia jauh lebih baik. Sehun mengepalkan tangan erat-erat memikirkan gagasan itu.
"Klise sekali, memang, ya? Aku jadi pelayan Kris, mengurus segala hal yang diperlukannya. Dan dia sedikit aneh."
"Aneh?"
Luhan menoleh dengan senyum kecil. "Apa kau ingin aku membeberkan semua hal yang aku tahu soal Kris?"
Sehun menyeringai. "Kau tahu apa yang harus kau lakukan saat tertangkap musuh, kan?"
Luhan mengernyit. "Aku tidak pernah ada di pihak Kris, jadi sekarang aku tidak tertangkap musuh."
Sehun nyaris tertawa. "Baiklah, timbal balik untuk makanan enak yang kau makan selama di sini?"
"Itu terdengar lebih baik." Luhan tersenyum. "Kris selalu menyiksaku, mencambukku berkali-kali tetapi juga mengobatinya. Kupikir dia punya masa lalu yang mengerikan soal perempuan; mungkin dia melakukannya sebagai pengampunan dan remedi; entahlah. Dia juga terlihat benci dan menahan diri saat melihat ibu tirinya. Tetapi jika aku punya ibu tiri semengerikan itu, aku juga pasti benci sekali, sih."
Sehun melayang pada sosok ibu tiri mengerikan yang Luhan maksud, dan dia nyaris tertawa sinis. "Jadi dia melampiaskannya padamu, begitu?"
"Hmm, mungkin."
"Lalu kenapa dia menitipkanmu ke Kim Young Ho?"
Luhan menghela nafas. "Beberapa musuhnya mulai melihat keberadaanku, dan mereka mulai menganggap kalau aku akan sangat bagus dijadikan umpan. Aku tahu kau juga salah satu dari mereka."
Sehun mengedikkan bahu tak peduli.
"Kim Young Ho juga melakukan hal yang sama padaku. Dan malam itu saat bawahanmu—siapa namanya, ah iya, Lim—saat Lim menyerang rumah Kim Young Ho, aku baru saja dicambuk. Dua orang itu sepertinya punya gangguan yang sama."
"Kau ingin lukamu diobati?"
"Memangnya boleh?" Luhan menatapnya, dan Sehun kembali merasa terganggu dengan tatapan itu.
"Kau tidak menginginkannya?"
Luhan kembali menatap ke langit-langit ruang yang kusam dan remang. "Apa kau sadar kau berubah menjadi lebih ramah padaku sekarang? Setiap kau datang, kau menjadi lebih banyak berbicara padaku."
Sehun tertegun.
"Apa yang kau inginkan dariku?" Luhan bertanya langsung. "Jika kau ingin aku memberitahumu soal Kris, aku bisa melakukannya. Tapi akan lebih baik jika kau katakan langsung padaku."
Sehun masih bungkam. Dia tak bisa serta merta mengatakan bahwa ia ingin tahu apa yang membuat Luhan masih bisa tersenyum, masih bisa memiliki warna suara yang sebegitu ringan setelah semua hal berat yang ia alami di masa lalu. Itu terdengar sangat menyedihkan dan juga memalukan. Sangat bukan dirinya.
"Jangan merasa tertekan dengan ucapanku, sejak kecil aku memang sudah terlatih membaca roman wajah seseorang."
Sehun menoleh cepat. Apa itu artinya, gadis ini bisa mengetahui apa yang ia rasakan? Sehun merasa begitu bodoh.
"Apa kau ingin tahu seperti apa dirimu di mataku?"
Sehun tidak menjawab apapun, hanya melihat bagaimana tatapan Luhan mulai berubah.
"Kau pasti punya masa kecil yang mengerikan, kau tumbuh dengan kenangan yang menyakitkan. Sangat terlihat dari caramu berkata dan juga menatap orang lain; seakan kau menganggap dunia ini hanya omong kosong tak bermakna, sampai ke tahap di mana manusia memang sudah seharusnya memiliki penderitaan masing-masing dan tak ada yang perlu mengiba akan itu."
Sehun tak tahu apa yang sebenarnya terjadi saat ia merasakan dadanya mulai terhimpit. Sejak awal, sejak ia mulai bisa mengerti betapa dunia ini sangat menjijikkan, Luhan adalah orang pertama yang berani mengatakan hal sesensitif itu. Selama ini, orang-orang hanya diam, menatapnya seolah menyesal dengan apa yang terjadi padanya bercampur tatapan kagum dan takut, tak bertanya apapun tentang apa yang ia rasakan, tak pernah mencoba mencari tahu betapa berat saat mimpi buruk tentang masa lalu datang, dan menganggap itu hal lumrah dan ia pasti bisa menanggungnya.
Hal yang sama yang membuatnya memandang bahwa penderitaan memang sesuatu yang seharusnya dimiliki seseorang. Hal yang sama yang membuatnya tak suka saat melihat seseorang masih bisa tersenyum seolah merasa semuanya akan baik-baik saja, masih bisa punya setitik rasa bahagia di tengah penderitaan.
"Kau tahu apa soal diriku…"
Luhan tersenyum kecil, memandangnya dengan emerald yang berpendar lembut. Pendaran yang mengirimkan sesuatu yang aneh ke pembuluh nadinya.
"Kau tidak pernah bercerita padaku soal dirimu, jadi yang aku tahu hanya sebatas apa yang bisa aku lihat dari bagaimana kau bersikap. Bukankah aku sudah mengatakannya tadi?"
Sehun memejamkan mata.
"Apa yang membuatmu bisa tersenyum? Kenapa warna suaramu begitu ringan? Kenapa kau masih bisa menatap dengan tatapan itu? Itu sangat menggangguku."
Lama hening, sampai Luhan menjawab pertanyaan yang sangat jujur itu. Dengan warna suara yang untuk pertama kalinya, terdengar menyedihkan.
"Sehun, kau tahu, aku ingin tinggal di rumah dekat laut."
Sehun menatap tak mengerti. Lalu berubah menjadi terkejut saat ia mendapati Luhan mulai menenggelamkan wajahnya di lututnya yang tertekuk.
Sehun terpana.
"Saat aku masih kecil, aku pernah membaca buku tentang rumah-rumah di dekat laut dan itu … sangat indah dan membekas. Hanya impian kosong itulah yang membuatku bisa bertahan, impian kosong itu membuatku memiliki harapan kecil. Siapa yang tahu bahwa suatu saat nanti, mungkin aku bisa tinggal di rumah dekat laut?" Luhan tercekat. "Aku selalu berpikir, jika aku menyerah dengan cepat, bagaimana kalau ternyata besok aku bisa bebas dan bisa mendapatkannya? Jika aku membiarkan diriku larut dalam rasa sedih dan derita, harapan itu mungkin akan perlahan pupus dan … aku tak bisa membayangkannya."
Luhan mengangkat wajah dan mengusap air matanya kasar. Luhan mengusahakan seulas senyum.
"Ah, maaf. Terdengar sangat omong kosong dan kekanakan, ya?"
Sehun tidak menjawab, ia hanya mengambil revolvernya dari balik jas.
Suara desingan peluru yang menghancurkan rantai besi menggema dari ruang tawanan yang remang itu. Luhan menatap terkejut, tapi hanya ada kebingungan di sana, tanpa kilatan takut sedikitpun.
"Apa yang kau—astaga!"
Luhan memekik ketika Sehun memanggul tubuhnya ke atas bahu. Sehun membawa Luhan keluar dari ruang tawanan itu, mengabaikan semua tatapan terkejut yang ia terima dari para penjaga yang berhamburan juga pertanyaan-pertanyaan Luhan yang terdengar seperti kereta api.
"Apakah harus membuang pelurumu macam itu? Memangnya sulit memanggil seseorang untuk mengambil kunci borgol? Sebenarnya apa yang kau lakukan?"
Sehun tertawa, tawa yang bukan tawa sinis, meremehkan atau menghina, hanya sebuah tawa sederhana.
"Kau tertawa?" Luhan terdengar takjub di balik punggungnya. Sehun berhenti sejenak saat ia akan menapaki tangga menuju lantai atas.
"Aku ingin tahu, bagaimana bisa hal sepele seperti itu bisa membuatmu memiliki senyum dan warna suara itu."
"Sehun…"
Sehun tak mengatakan apa-apa lagi, dia hanya terus melangkah dengan Luhan yang tersampir di bahunya.
.
.
.
Udara malam bertiup pelan melewati jendela besar sebuah kamar berdinding putih gading dengan perabot kayu berpelitur coklat tua yang hangat. Membelai tirai, balutan sofa hingga sprei berwarna krim lembut. Mengisi ruang luas tapi tidak terasa kosong itu, yang begitu kontradiksi dengan kepribadian si Pemilik Kamar.
"U-uh…"
"Perih?"
"Tak apa." Luhan mencoba menghalau rasa tercekit yang ia dapatkan dari bilur-bilur lukanya yang tengah Sehun obati. Luka-luka itu mulai mengering, tetapi tetap saja mengirimkan rasa perih saat tersentuh obat.
Luhan duduk di atas ranjang dengan punggung terbuka, tangannya mendekap erat handuk putih di depan dadanya, dan selebihnya, ia tak memakai apapun. Gadis itu merasa sedikit risih, Sehun menyadarinya, tapi mungkin Luhan tampak tenang karena ia sendiri berusaha tidak berkata apapun soal itu.
"Kenapa kau melakukan ini? Ini kamarmu, kan? Apa kau jatuh cinta padaku?"
Sehun mendengus, tangannya bergerak mengoleskan kapas yang tercelup obat pada bilur-bilur merah di punggung ramping dan pucat itu.
"Apa kau gadis yang suka dengan dongeng pangeran berkuda putih dan nyanyian cinta sejati?" Sehun bertanya dengan sinisme terbalut lembut. Dan itu membuat Luhan terkekeh pelan.
"Tidak," kata Luhan geli. "aku bertanya karena apa yang kau lakukan ini sangat spektakuler untuk pria dingin kejam macam dirimu."
Sehun tak membantah. "Apakah lanjutannya adalah ternyata aku masih memiliki belas kasihan?"
Luhan, anehnya, menggeleng. "Tidak juga. Aku menerka-nerka, kurasa kau butuh teman, dan secara kebetulan aku adalah orang yang mungkin kau anggap bisa menerimamu? Hmm, untuk bisa mendengar sesuatu, karena aku yakin kau punya banyak cerita."
Sehun merasa dirinya seperti lembaran terbuka sebuah buku. Kenapa gadis ini bisa dengan begitu mudah mengatakan hal yang Sehun butuh waktu dan gelut pikiran untuk sekadar mengakuinya?
"Ibuku seorang pelacur, ayahku pemabuk berat. Aku melihat ibuku membunuh ayahku saat aku masih tiga belas. Aku menggunakan kepalan tangan pada pria dan jari tengah pada wanita sejak belia. Aku menjadi kartel narkoba, aku membunuh banyak orang sejak Pak Tua itu memperbolehkanku memegang senjataku sendiri. Ada pertanyaan?"
"Apa kau ingin istirahat sejenak?"
Tangan Sehun terhenti di udara, menatap sisi wajah Luhan yang terlihat sebagian saat gadis itu bertanya di luar konteks.
"Atau kau ingin ke rumah bordil lebih dulu? Kalau begitu katakan padaku kapan kau akan kembali, aku akan menunggu."
Sehun benar-benar tak paham bagaimana bisa Luhan mengatakan hal itu. Tapi dia menggeleng.
"Tidak." Sejujurnya selama seminggu terakhir, ia nyaris tak memikirkan tempat itu.
"Hm-mm. Sekarang bisa pinjami aku baju untuk tidur?" Luhan berbalik menatapnya, mata emerald-nya berpendar lembut. Sehun mengangkat sebelah alis. "Kalau kau lupa, gaun lusuh-ku sudah kau buang ke tempat sampah setelah kau menceburkanku ke bath tub."
Sehun menahan kedutan senyum di sudut bibir. Beranjak ke kloset dengan sisa kapas dan botol obat, mengambil satu kemeja hitam dari rentetan koleksi kemeja monokromnya. Sehun keluar dari kloset dan mendapati Luhan sudah duduk menyandar di kepala ranjang dengan selimut membalutnya. Sehun melempar kemeja itu ke wajah Luhan, lalu berkutat dengan kemejanya sendiri.
Saat melepas kancing kemejanya, ia merasa begitu bodoh karena berpikir untuk berbalik dan memberikan Luhan sedikit privasi. Padahal sehari-hari ia tak segan menarik kasar pakaian wanita-wanita di rumah bordil sampai robek tak bersisa. Sehun menggelengkan kepalanya, lalu menghempaskan diri ke kasur ranjangnya yang entah mengapa bisa terasa berbeda. Mungkin karena untuk pertama kali Sehun memiliki seorang gadis di atas ranjang yang sama.
Sehun bisa merasakan Luhan beringsut turun. Sehun berpikir Luhan akan tidur membelakanginya—pikiran itu pula yang membuatnya tidur menghadap ke luar ranjang, tapi tidak ketika ia bisa merasakan jari-jari mengetuk punggung telanjangnya.
Sehun menoleh dan menemukan Luhan menatapnya dengan tatapan entah apa, ia tak bisa mendeskripsikannya.
"Kau tidak ingin memelukku atau sesuatu lain?"
Sehun nyaris menghantamkan kepalanya ke bantal mendengar pertanyaan aneh itu, tapi tidak, karena itu sangat bukan dirinya. Sehun belum pernah mendengar seorang gadis mengundangnya dengan kalimat sepolos itu. Sehun berbalik, menggunakan sebelah tangannya sebagai bantal dan menatap Luhan.
"Apa yang barusan kau katakan?"
"Jika kau tidak menginginkannya, harusnya kau menaruhku di kamar lain, atau bahkan tidak membawaku kemari sama sekali, bukan begitu? Kurasa kau adalah tipe pria timbal-balik."
"Kau ingin aku setubuhi atau apa?"
Luhan tidak memperlihatkan sedikitpun perubahan air muka, dia hanya tersenyum kecil.
"Memarku masih ada, kau bisa melakukannya saat aku sudah sembuh nanti. Hanya pelukan kecil."
"Kenapa?" tanya Sehun tak paham "Aku benar-benar tak punya ide soal ini."
"Kenapa aku melakukan ini, maksudmu? Kalau begitu, katakan padaku kenapa kau melakukan ini padaku. Jelaskan secara gamblang padaku."
Sehun terdiam.
"Nah, kau tidak bisa menjelaskannya. Begitupun aku. Bisakah kita berdamai dengan itu?" Sehun mulai menatap Luhan dengan benar, dan dia menemukan Luhan sangat menawan. Senyum kecil masih ada di bibirnya yang pink pucat. "Anggap saja ini hanya hal kecil yang bisa aku lakukan setelah kau memberiku semua ini, bagaimana?"
Merasa tak punya pilihan lain, Sehun menarik Luhan ke pelukannya dengan hati-hati. Luhan mengusak wajahnya mendekat, sampai ia bisa merasakan hembusan nafas hangat gadis ini begitu dekat di perpotongan lehernya. Anehnya … ini terasa nyaman.
Sehun mencuri satu tarikan nafas di antara rambut Luhan yang menguarkan aroma yang sedikit berbeda meski ia menggunakan produk pembersih milik Sehun. Sehun merasa aneh saat melingkarkan tangannya di punggung dan belakang leher Luhan untuk mendekap lebih dekat. Tapi setelah ia melakukannya, itu terasa jauh lebih baik.
"Selamat malam…"
Sehun hanya menggumam dan membiarkan matanya terpejam.
Entah mengapa, Sehun merasa ia terlelap di tempat yang berbeda. Tempat asing yang anehnya terasa nyaman dan ringan, seolah ia tak memiliki satu hal pun yang membebani bahunya, seolah ia tak memiliki satupun kesulitan di dunia ini.
Sehun tak bisa mengingat, kapan terakhir kali ia bisa memejamkan mata dengan perasaan seperti itu, atau mungkin, ini adalah pertama kalinya.
.
.
.
Sejauh yang bisa ia ingat, setiap pagi ia bangun karena ia memang harus bangun. Berlama-lama di atas tempat tidur hanya seperti bualan semata, berpotensi mengirimkan mimpi buruk yang tak akan pernah sudi ia akui. Tapi saat ini, Sehun merasa ia tak ingin bangun.
"Sebentar lagi… Sedikit lebih lama…"
Di ambang kesadaran ia menggumam saat ia mendengar lenguhan pelan dari seseorang yang menggeliat dalam pelukannya. Sehun membuka sebelah mata, menemukan rambut cokelat gelap memenuhi pandangan. Refleks membuatnya mengeratkan pelukan, nyaris menggumamkan tidurlah lebih lama sampai suara lain datang mengganggu.
"Aku heran mengapa sampai hari ini Sehun tidak juga memulai provokasi dan cari perkara dengan Kris… Oh, oh, ternyata—"
"Hal yang sama yang membuatnya tak melirik kamar Irene; ternyata dia punya bidadari di tempat tidurnya, heh?"
Oh Se Hun sepenuhnya membuka mata awas, menemukan dua pria tinggi berdiri di depan ranjang dengan tangan terlipat juga seringai lebar menjengkelkan. Sehun melempar bantal ke mereka. Kai mengaduh paling keras, mengumpat soal luka wajahnya yang belum sepenuhnya pulih.
"Sial kau membuatnya nyeri lagi, Bodoh!"
"Jangan bicara terlalu keras!" Sehun menggeram.
"Ah, terlambat, bidadarimu sudah bangun."
Sehun merasa baru menyadari semuanya ketika Luhan melenguh sedikit lebih keras, mengusak-usakkan wajahnya sebelum mengucek mata. Sehun kehilangan cara untuk bernafas ketika mata itu terbuka; ia tak pernah tahu betapa indah saat mata emerald itu ditimpa sinar matahari. Sehun seolah melihat kilatan warna emas sampanye di netra itu.
"Sehun? Kau sudah bangun?"
Suara separuh mengantuk itu terdengar berkabut. Dan itu sangat tidak baik.
"Gadis cantik yang punya suara indah," Sehun menoleh tajam pada Kai. "tolong jangan memperlihatkan mata indah itu di pagi yang masih cerah ini, oke? Kau membuat kami nyaris tak bisa bernafas."
Sehun nyaris murka saat mendengar redaman gairah di balik suara Kai.
"Kalian berdua keluar dari sini." Katanya tajam, penuh finalitas.
Chanyeol dengan pengertian menarik Kai pergi meski dia masih sempat mengedipkan mata pada Luhan. "Ini sudah jam 8 pagi, Bos. Tinggalkan bidadarimu sejenak karena kau punya pertemuan satu jam lagi."
Blam!
Pintu itu tertutup bersamaan dengan Sehun yang kembali menghempas ke bantal, kembali memejamkan mata. Ia merasakan jari-jari lentik mengetuk dadanya. Sehun membuka sebelah mata, menahan diri saat melihat mata Luhan yang ternyata bisa menyesatkan.
"Ternyata kau penggerutu di pagi hari." Katanya dengan suara terhibur.
Sehun mendengus lalu memejamkan mata, ia ingin kembali tidur. "Aku tak ingat pernah punya pagi yang menyenangkan."
Lalu Sehun merasakan Luhan menyentuh bekas luka memanjang di dada kirinya, tepat di atas jantung. Sehun terpaksa membuka mata, melihat Luhan yang tampak tertegun.
"Semalam aku tak menyadari kau punya bekas luka ini. Apa yang terjadi soal ini?"
"Seseorang pernah berniat membunuhku, tapi dia meleset." Sehun memikirkan seorang bajingan saat mengucapkannya.
Luhan mengusap bekas lukanya itu. "Ini pasti sangat dalam. Apakah terasa sakit?"
"Aku lupa rasanya, itu sudah sangat lama."
"Siapa yang melakukannya?"
Sehun merasa ia tak perlu menjawabnya, tapi ia juga tak punya alasan kenapa ia harus menyembunyikannya. "Kris, saat aku masih dua puluh."
Luhan terkejut. "Apakah kau benar-benar bermusuhan dengan Kris sejak lama?"
Sehun mendengus. "Kata bermusuhan terdengar seperti anak kecil, tapi sebagaimana penguasa yang berbagi wilayah kau pasti tahu tak ada hubungan baik di antara kami. Beberapa klan mafia berafiliasi, tapi tak pernah sepenuhnya. Pasti ada celah untuk menggulingkan salah satu."
"Klan ini tidak berafiliasi dengan siapapun?"
"Bekerja sama, ya, tapi tidak dengan afiliasi. Kelompok ini lebih besar dari kelompok lain. Yang membedakan dengan klan Wu hanyalah mereka punya banyak orang di pemerintahan termasuk Wu Fan Li sendiri, sementara kami menguasai lebih dari setengah di dunia bawah. Kami punya kans lebih besar."
Luhan mendengarkan dengan saksama, seolah baru mendengar kisah menakjubkan dari negeri seberang. Sekarang Sehun benar-benar kehilangan keinginan untuk kembali tidur. Mata emerald itu terlihat berkilauan.
"Kau yang akan mewarisi semua kekuasaan klan mafia ini?"
"Ya. Sekarang biarkan aku memejamkan mata. Kau bisa mandi dan lakukan apapun yang kau mau. Tapi jangan pergi kemanapun dan bangunkan aku setengah jam lagi." Sehun memejamkan mata, hanya untuk membiarkan Luhan pergi ke kamar mandi. Membasuh tubuhnya di bawah pancuran air sambil bersenandung pelan. Dan Tuhan, suaranya memang sangat indah.
Sehun menghabiskan setengah jam itu dengan melihat Luhan di antara kelopak matanya, dan dia sangat cantik.
Pagi itu Sehun pergi dengan Luhan yang berdiri di ambang pintu dengan senyum kecil, hanya mengenakan kemeja kelabu milik Sehun yang menyentuh pertengahan paha. Sejujurnya Sehun mulai tergiur.
"Kau tidak bertanya padaku untuk pakaian?"
"Kau akan memberikannya?"
Sehun menyadari Luhan selalu membalas pertanyaannya dengan pertanyaan, lalu dia berkata. "Aku akan memanggil Kyungsoo kemari untuk membantumu, dia kekasih Kai, pria yang merayumu tadi."
"Hm mm."
Sehun terdiam saat melihat senyuman Luhan. Dia merangsek maju, menarik Luhan ke pelukannya sembari mengangkat dagu runcing gadis itu. Menawan bibir merah muda itu dengan ciuman bergairah, melumatnya sampai puas dan menelusupkan lidah untuk mencicipi bagian dalam yang hangat.
Luhan terengah saat Sehun melepas ciuman itu, bibir itu kini memerah menggiurkan. "Jangan pergi kemanapun tanpa izinku."
"Eum."
Sehun mencuri satu kecupan cepat sebelum pergi menjauh. Sama sekali tak sempat melihat bagaimana ekspresi Luhan.
.
.
.
Sehun kembali ke kamarnya saat malam menjelang. Pertemuan ini itu soal kerjasama antara klan ini dengan kelompok militan di negeri seberang juga beberapa hal lain baru selesai saat matahari sudah tergelincir, dilanjutkan inspeksi ke pabrik obat-obatan yang ia kembangkan sejak beberapa tahun terakhir.
Sepanjang jalan ia berpikir tentang kata-kata Chanyeol dan Kai padanya.
"Jika kau memang serius menginginkan gadis itu, tentu kau tahu resiko yang menunggumu. Dia tak bisa selamanya ada di dalam. Kris pasti sangat murka jika benar-benar tahu kau mencuri gadis itu darinya, dan aku lebih dari senang untuk menemanimu menghabisinya jika suatu saat dia mencoba mengambil kembali gadis itu, ah, siapa namanya, Luhan?"
Sehun hanya menatap Kai datar saat itu, lalu teringat kalimat Luhan. "Mengambil kembali? Dia tak pernah ada di pihak brengsek itu."
Chanyeol menyeringai. "Bersiaplah dengan banyak masalah jika kau sudah berpikiran seperti itu, Oh Se Hun."
Dan Sehun lebih dari sekadar tahu tentang itu.
Sehun membuka pintu kamar dan menemukan Luhan tengah duduk di sofa dengan sebuah buku terbuka. Luhan menatapnya, lalu melambai kecil.
"Kata Kyungsoo kau punya banyak pertemuan hari ini; apakah baik-baik saja?"
Sehun mengangguk kalem. "Ya."
"Apa kau ingin mandi sekarang?" Luhan bertanya sambil beranjak dari sana, menutup buku dan meletakkannya ke meja kecil dan berjalan menuju kloset pakaian. Sehun mengikutinya, lalu menangkap tumpukan pakaian baru di sudut ruang kloset. Pakaian yang Kyungsoo siapkan atas permintaannya.
"Ah, kau melihatnya?" Luhan terhenti di pintu kamar mandi. "Apa kau bisa memberikan keranjang atau sesuatu seperti itu untuk menyimpannya? Kurasa aku harus minta izinmu dulu."
Sehun mengernyitkan dahi sambil melepas jasnya. "Kau bisa meletakkannya di samping pakaianku. Sisihkan mereka dan akan ada tempat."
Luhan mengerjap, dan Sehun menyadari apa yang ia ucapkan tanpa berpikir. Tapi itu sudah terlanjur dan menariknya kembali hanya akan terdengar bodoh.
"Bolehkah?"
"Kau butuh aku berkata dua kali? Minggir, aku akan mandi."
Sehun menyingkirkan Luhan dari ambang pintu dan masuk ke kamar mandi. Di sana ia membasuh tubuh. Memejamkan mata di bawah pancuran air sambil memikirkan apa yang akan ia lakukan dengan Luhan. Ini terasa asing, aneh dan ia tak bisa mendeskripsikan apa yang ia rasakan.
Apakah itu iba? Simpati?
Dua hal itu adalah hal terakhir dalam daftar perasaan yang akan ia rasakan.
Alasan mengapa ia membawa Luhan kemari, tidak menggunakannya sebagai umpan sebagaimana niat awalnya, adalah hanya karena ia ingin tahu apa yang membuat Luhan memiliki senyum dan warna suara itu, senyum dan warna suara yang sampai sekarang masih terasa mengganggu untuknya. Dan setelah ia mendapatkan jawaban langsung dari gadis itu lewat percakapan mereka, seharusnya ia tidak lagi menahan Luhan di sini—sebenarnya apa-apaan dengan masalah tempat untuk pakaian gadis itu tadi?!
Tapi, menemukan Luhan ada di sini terasa benar.
Selama ini ia tak pernah benar-benar memikirkan alasan untuk melakukan suatu hal, segala sesuatu mengalir begitu saja. Jika seseorang membuat masalah dengan klan ini, Sehun hanya perlu menyuruh salah satu anak buahnya untuk mengurus itu, atau jika itu sesuatu yang cukup penting, Sehun akan turun tangan sendiri. Ia pergi ke rumah bordil ketika ia butuh sesuatu untuk menuntaskan gairahnya, untuk melupakan sejenak betapa penat harinya. Selama ini semua yang ia lakukan tak pernah mengundang pertanyaan mengapa.
Sehun membuka matanya menyadari hal itu.
"Nah, kau tidak bisa menjelaskannya. Begitupun aku. Bisakah kita berdamai dengan itu?"
Luhan pun tampaknya tak lagi bertanya tentang alasan itu.
Sehun menerima sidang dalam pikirannya dan keluar dari kamar mandi setelah menyelesaikan acara mandinya. Di meja kaca tinggi dekat pintu kamar mandi, Sehun terhenti saat ia melihat satu set pakaian terlipat rapi di sana. Ia melempar pandangan ke kloset pakaian, dan menemukan blus dan gaun berwarna memenuhi setengah bagian, bersanding dengan kemeja-kemeja monokromnya.
Itu perubahan yang drastis, tetapi Sehun tidak merasa keberatan dengan itu.
Sehun hanya memakai celana panjang yang Luhan siapkan, tetapi tidak melempar kemeja pasangannya. Ia keluar dari kloset dengan tangan mengusak rambutnya yang basah. Di atas ranjang Luhan melambaikan ponselnya.
"Panggilan dari hngg, Wyvern?" Luhan mengernyitkan dahi dalam-dalam. "Nama yang aneh, kau menamai temanmu dengan jenis … naga?" Bibirnya mencebik lucu.
Sudut bibir Sehun berkedut mendengarnya, tapi ia tak berkomentar dan mengambil ponselnya. Mengangkat panggilan dari orang yang lebih pantas dipanggil sebagai anak buah itu, karena di sini, yang ada di tingkat teman yang Luhan sebutkan mungkin hanya Chanyeol dan Kai.
"Apa yang ingin kau katakan?" Sehun duduk di tepi ranjang, sebelah tangan masih bekerja mengeringkan rambut. Mendengarkan laporan tentang salah satu pejabat yang menolak tawaran yang diberikan klan ini untuk meloloskan perdagangan senjata ke satu daerah baru.
"Cari tahu apakah dia punya back up di—" Sehun terhenti ketika Luhan mengambil handuknya, melakukan pekerjaan kecil itu dengan lembut. Seumur hidup tak pernah ada yang menyentuh kepalanya semudah itu.
Sehun baru akan memprotes ketika Luhan membuat gestur tanpa suara dengan bibirnya. Lanjutkan urusanmu, aku bisa membantumu untuk hal kecil ini.
Mereka berbicara selama beberapa saat.
"Katakan padanya aku akan datang besok. Jangan biarkan dia kabur."
Panggilan itu terputus dan Sehun masih menatap Luhan.
Luhan tersenyum kecil. "Kau ingin tidur sekarang?"
Malam itu Luhan juga masuk ke pelukannya, bergelung nyaman di sana sampai terlelap. Sampai mereka terbangun keesokan pagi.
.
Tbc
.
Meskipun telat, Minal Aidzin Wal Faidzin. Selamat Lebaran untuk teman-teman yang merayakan! ^^
Ini twoshot, dan seperti biasa sudah saya tulis sampai END tinggal editing lagi. BGM-nya sengaja saya tulis, siapa tahu ada yang ingin membaca sambil mendengar lagu yang bantu saya membangun feel di Fic ini. Dua lagu terakhir untuk last shot minggu depan. Semoga kalian suka.
Terimakasih sudah membaca! ^^
.
Anne, 2019-06-09
