-Special for SIVE 2013-
"ShikaIno Splash the Rainbow to Color Your Day"
If you love ShikaIno, please join;
ShikaIno FB Group: Purple Haze
Twitter: phazesanctuary
Fansite: www. phaze - ina. co. nr (*tanpa spasi)
-Guardians-
Disclaimer: bukahkah seluruh karakter dalam Naruto milik Masashi Kishimoto?
Genra:Romance, Drama, Hurt/Comfort
Main Chara: Ino Yamanaka and Shikamaru Nara
Warning: author amatiran, abal tak terkira, banyak kesalahan dalam penulisan, payah EYD, bergelimpungan typo(s), hanya berharap maklum dari para readers.
Rainbow Classic
One years ago...
Sebentar lagi penerimaan untuk masuk extrakulikuler tari di sekolahku akan segera diadakan. Aku yang notabene tahun ini baru menduduki kelas satu di Kohona International High School, dengan sangat bersemangat memilih tari balet sebagai kegiatan di luar jam sekolahku.
Sayangnya, tidak sembarang orang bisa diterima sebagai anggota. Ada beberapa tes yang diberikan oleh senior dan tentunya guru pengampu. Dari kertas yang tertempel di papan mading menyatakan, setidaknya calon anggota bisa menguasai beberapa teknik dasar balet.
Aku yang sebenarnya sudah mempelajari balet dari usia sepuluh tahun, tentu tidak akan terbebani bila hanya diminta untuk memperagakan teknik dasar sebagai balerina. Tapi begitu aku membaca bahwa musik pengiring tarinya adalah Swan Lake, aku yang ingin sekali menampilkan kemampuan terbaik dengan iringan musik dari Tchaikovsky berniat memberikan beberapa gerakan rumit.
Tak bisa, aku tidak mendapatkan feel dari musik orchestra abad awal kesembilan belas ini. Rasanya begitu tidak mendapatkan timing yang sesuai dengan alunan musiknya. Aku sudah mencoba berulang-ulang di rumah, hingga sekarang aku tetap berada di dalam kelas ruang seni tari untuk melakukannya.
Kuputar musik yang sama dari ponselku, dan mulai lagi mencoba melakukan gerakan dasar seperti Plie, yaitu membengkokan lutut pada kedua kaki dengan posisi sejajar dengan pinggang. Lalu ku liuk-kan tubuhku selincah mungkin, yang kusambung dengan menaikan salan satu kaki dengan tegak, A La Saconde. Aku juga melakukan gerakan bernama En Pointe yang terkenal itu, berjinjit dengan ujung kaki sembari melakukan gerakan-gerakan balet.
Namun titik tersulitku saat ini berada pada Piroutte, gerakan memutar-mutar berulang dengan satu kaki, sedangkan Swan Lake sendiri tentunya dilakukan dengan banyak gerakan tersebut. Maklum saja, dari judul yang mengartikan angsa, gerakan rumit itu mengacu pada seolah-olah penarinya membentuk gerakan seperti seekor angsa yang menari. Tidak percaya? Lakukan saja!
Aku terdiam beberapa saat, kumatikan alunan musik merdu yang menemaniku. Aku dihantui rasa kegagalan, dan aku tidak percaya akan hal itu. Aku terduduk tepat di tengah ruangan yang di sekelilingnya dihiasi cermin-cermin tinggi. Kulirik jam di tanganku, seharusnya aku sudah berada di rumah sekitar dua jam yang lalu.
Aku sudah nampak seperti balerina profesional dengan skirt hitam, leotard berwarna ungu pucat, stocking warna kulit dan tentunya sepasang sepatu balet terpasang manis di kedua kakiku. Aku berdiri lagi, ku bentuk posisi lengan dan tanganku di pinggang, tepat di atas skirt-ku. Memulai untuk menari tanpa alunan suara apapun. Melakukan Fouttes En Tournant, atau biasa diartikan dengan tigapuluh dua putaran dalam teknik balet.
Bebarapa teknik dasar bisa kulakukan dengan baik, tapi sekali lagi begitu ingin melakukan gerakan Piroutte, aku terhenti. Rasanya belum memiliki keyakinan untuk melakukannya. Aku mendudukan diriku pada tempat yang sama lagi. Hari terasa terus saja hujan, mendung, tidak ada cahaya apapun. Jadi jangan berharap ada hari yang cerah, bila penerang matahari saja sirna. Aku tidak yakin, hilang keyakinan.
Ting...Ting..Ting..! Tiba-tiba aku mendengar suara dentingan piano, mungkin dari ruang musik yang berhadapan dengan tempatku saat ini. Entah siapa yang memainkannya, nada ini sepertinya familiar dengan telingaku, hanya saja dengan gubahan dari pianisnya membuatku masih menerka-nerka alunan apa yang tengah dimainkan. Aku berdiri lagi, otak-ku berkerja untuk mengenali musik yang berdenting itu.
Kuangkat lengan kiriku, mengamati jam yang berjalan. Menghitung sekiranya berapa lama alunan itu bersuara. Tepat di satu menit empatpuluh detik, alunan itu terganti dengan musik yang tentunya siapapun akan tahu begitu mendengarnya. Canon In D Major. Hebatnya, gubahan yang begitu indah! Seketika membuatku menggerakkan tubuhku untuk menari ditemani alunan yang diberikan oleh orang yang belum kutahu.
Aku melakukan Rise, berjinjit dengan kedua kaki sejajar. Berputar dengan indahnya untuk melakukan Fouttes En Tournant sekali lagi. Gerakan dasar seperti Plie, A La Saconde,dan lain sebagainya berhasil kuperagakan. Aku terhenti beberapa detik, kedua tanganku rentangkan kedepan, dan secara ajaib aku mampu melakukan Piroutte, bahkan Triple Piroutte. Kuulang lagi setiap gerakan yang sudah kuhapal di luar kepala, sembari terus menikmati dentingan misterius itu.
Bagiku seketika hujan mereda, langit mencerah, pantulan cahaya terhadap air sisa hujan tadi membantuk seberkas cahata optik yang dikenal dengan nama pelangi. Aku benar- benar merasa ringan, tanpa beban. Sesekali kulihat diriku dari pantulan cermin, ada rasa bangga dari dalam dadaku. Aku menari ditemani pelangi yang diciptakan seseorang dengan dentingan piano itu, memainkan sebuah alunan merdu yang mempu memberikanku keyakinan.
Ting..! Satu dentingan terakhir, aku melakukan salam ala balerina saat menyelesaikan pertunjukannya. Curtsy.
Kembali terdiam sambil menatapi diriku sendiri dari pantulan cermin di depanku. Benar-benar merasa amat sangat senang, dan berhasil. Amazing! Kepercayaanku untuk lolos menjadi meningkat secara signifikan. Aku tersenyum kepada diriku sendiri, kualihkan netraku pada setiap cermin yang memberikan maya-ku. Tidak ada siapapun di sini selain aku, tapi rasa senang membuatku merasa dipenuhi oleh tatapan penonton dengan sorot yang terpukau olehku.
Blaaam..!
Kudengar seseorang baru saja menutup pintu ruangan di depan sana. Membuatku tersadar dari rasa yang melambung untuk kembali ke realitas. Bergegas, aku memakai jaketku untuk menutupi balutan leotard bagian atas yang sangat ketat. Secepatnya aku berjalan keluar untuk menemukan seseorang yang mungkin inspirator-ku.
Terlambat, aku sudah tidak menemukan siapapun. Tanpa pikir panjang, kususuri koridor panjang kelas. Dan tepat di ujung sana, aku melihat seseorang berjalan sendiri.
"Heeii kau, tunggu..!" teriak-ku senyaring yang kubisa. Kulihat langkahnya terhenti, ia lantas berbalik ke arahku. Kudapati seorang anak lelaki, berambut ikat model buah nanas, bertampang malas, tatapan mata cuek dan nampak baru bangun tidur. Segera aku melangkah untuk bisa lebih dekat dengan sosoknya.
"Kau lihat ada orang lain?" tanyaku tanpa basa-basi. Kulihat ia menatapku dengan tatapan tanpa antusiasme.
"Yaa." perkataan yang ia berikan begitu singkat.
"Siapa?"
"Kau!" jawabannya itu membuatku kecewa, tapi rasanya salahku juga yang memberikan pertanyaan yang bersifat ambigu dan retoris itu. Aku terdiam lagi, memikirkan pertanyaan apa selanjutnya yang bisa kuberikan.
"Kenapa kau baru mau pulang?"
"Kau sendiri kenapa tidak pulang?" astaga! Ia malah berbalik bertanya padaku. Hal itu membuatku dengan otomatis mengembungkan kedua pipiku.
"Kau tidak lihat dari pakaianku? Aku berlatih tari."
"Aku tertidur, dan sekarang baru mau pulang."
"Apa kau dari ruang seni musik?" kudapati ia mengangguk, perasaanku kembali bersemangat untuk menemukan siapa yang mendentingkan piono misterius itu.
"Apa saat kau tertidur, kau mendengar suara dentingan piano?"
"Tentu."
"Kau tahu siapa yang memainkannya?"
"Tidak! Mana mungkin aku tahu bila aku tertidur." aku kecewa untuk kesekian kalinya mendengar jawaban darinya. Aku ingin melemparkan pertanyaan mengenai apakah ia yang mendentingkan suara piano tersebut, tapi rasanya aku hanya mendapati jawaban yang semakin akan membuatku kecewa. Secara, ia tertidur, mana mungkin dalam keadaan tidak sadar ia bisa memainkan piano dengan sempurna.
Kuamati ia, dia pun membalas netraku. Namun tidak lama, karena akhirnya ia mengalihkan tatapannya pada langit yang agak menggelap, "Kau tidak pulang?" aneh, untuk pertama kalinya ia bersuara tanpa tanya yang ku berikan. Aku tersenyum, " Ini sebentar lagi."
Ia kembali menatapku dan mengangguk, membalikkan tubuhnya dan tentu berniat untuk menjauh.
"Eeh.. Siapa nama mu?" tanyaku, sekali lagi langkahnya terhenti dan membalikan badan kembali karena ulahku.
"Nara. Shikamaru Nara."
"Nara-senpai, apa kau yang memainkan dentingan piano yang tadi kudengar?" akhirnya aku memberanikan diri untuk bertanya yang tadi tidak ingin kulontarkan. Sebelum menjawab, ia memberikanku sebuah tatapan aneh, sebelah alisnya terangkat, dan tampangnya itu benar-benar membuatku yakin akan kembali kecewa menerima jawabannya.
"Yang mana?" nhaa kan, sudahku bilang. Aku kembali kecewa, menghela napas pendek, "Tidak, tidak ada." jawabku pelan.
"Siapa namamu?"
"Aaah, panggil saja Ino, Nara-senpai." ujarku sambil mengulurkan tangan kanan untur berjabat dengannya. Ia menerima uluran tanganku, dengan senyuman tipis, " Panggil aku Shikamaru. Aku baru kelas satu, jadi bukan seniormu."
"Aku juga kelas satu, Shikamaru."
"Kau tidak ingin pulang? Langit mendung, sebentar lagi akan hujan. Lagipula, kurasa hanya tinggal kita berdua."
"Kalau begitu, kita pulang bareng sampai stasiun yaa? Aku takut pulang sendirian." ajak-ku, entah kenapa aku begitu mudahnya berkata demikian kepada seseorang yang belum aku kenal. Aku menerima senyuman tipis dengan anggukan kepala pelan darinya, tanda ia mengiyakan permintaanku. Tanpa membuang waktu, secepatnya aku kembali ke ruang tari untuk mengganti pakaianku dan membereskan barang bawaanku. Lalu pulang dengan seorang anak lelaki, Shikamaru Nara namanya.
Dua hari kemudian, kegiatan seleksi untuk masuk klub seni tari balet dilaksanakan. Aku dengan keyakinan yang kudapat menggerakan tubuhku di hadapan para senior, guru pengampu, calon anggota yang lain dan beberapa siswa yang sengaja datang untuk melihat. Musik yang mengalun jelas milik Tchaikovsky, namun aku merasa dentingan yang diterima alat audiotoriku malah karya Pachelbel.
Tepat saat aku melakukan gerakan Curtsy, kuterima suara tepuk tangan yang meriah dari setiap sisi ruangan. Aku tersenyum, rasa senang kembali membuncah dalam dadaku. Terutama saat guru pengampu mengatakan aku diterima sebagai anggota, rasa senangnya menjadi berlipat-lipat.
Shikamaru di ujung sana, sebagai salah satu audiens tentunya, ikut memberikan tepuk tangan padaku. Ketika aku berjalan di sampingnya saat pulang sekolah, ia mengatakan 'good piroutte'. Aku sadari, aku bisa melakukanya karena dorongan secara implisit dari seseorang yang dengan misterius memainkan piano.
Mulai saat itu, diam-diam aku terus mencoba menemukan siapa orang yang menjadi inspiratorku. Aku ingin sekali mengucapkan terimakasih padanya, mau sekali lagi menari ditemani dentingan pianonya yang indah itu. Merasakan pelangi menemani dan ikut menari bersamaku.
o
O
o
Present day...
"Shikamaruuu...!" teriak-ku sambil membuka pintu sebuah ruangan, apalagi kalau bukan ruang seni musik. Aku sudah hapal kebiasaan buruknya yang satu ini, ia memang amat suka tidur di ruang musik karena merasa senang saat berlayar kepulau mimpi ditemani alunan musik. Orang yang kumaksud, tetap pada posisinya, berbaring pada kursi penonton. Kudekati ia, dan langsung saja kupukul lengannya agar terbangun. Benar saja, ia sedikit mengerang dan akhirnya menuntaskan tidurnya. Duduk sembari mengucek kedua matanya bersamaan, menatapku dengan tatapan mengantuk andalannya.
"Kenapa sih?" ia bertanya tanpa ada rasa bersalah sama sekali.
"Kau tahu ini sudah jam berapa?" aku balas bertanya sambil menyodorkan pergelangan kiriku padanya, bermaksud memerintahkannya untuk melihat jam tanganku. Ia sendiri, bukannya memberikan jawaban malah membuang arah mukanya ke arah lain, menggaruk kepalanya yang pastinya tidak gatal.
"Ayo pulang..!" paksaku sambil menarik lengan kanan-nya, ia bukannya beranjak dari posisi awalnya, malah menarik-ku hingga aku terduduk di bangku sebelahnya. Bergerak sedikit untuk merebahkan kepalanya di pahaku. Tertidur lagi.
"Sayaaang..!" rengek-ku sembari mengangkat kepalanya dengan pelan agar ia tidak merasakan sakit. Yaa.. Lelaki yang kutemui setahun yang lalu itu sekarang sudah menjadi kekasihku. Banyak perubahan yang terjadi padaku setelah hampir setahun lebih bersekolah di sini. Sudah lima bulan aku menyandang status sebagai pacar dari si sleeping lover ini.
Ketika itu hari ulang tahunku, yang sehari sebelumnya adalah ulang tahunnya. Tidak tahu apa yang terjadi padaku, saat ia mengatakan selamat di ruang seni tari yang ketika itu aku sendirian, aku menariknya dalam pelukanku dan berkata aku mencintainya.
Hmm... Mungkin banyak waktu yang lalu bersamanya hingga membuatku jatuh hati pada pemuda pemalas satu ini. Bersamanya aku bisa merasakan emosi yang diwakili oleh warna.
Saat kesal, ada warna Merah.
Saat tersipu, ada warna Jingga.
Saat aku menunggu dan mencarinya, ada warna Kuning.
Saat aku merindukannya, ada warna Hijau.
Saat aku memikirkanya, ada warna Biru.
Saat aku sedih karenanya, ada warna Nila.
Dan saat aku sadar membutuhkannya, ada warna kesukaanku. Ungu.
Heeii... Apa kalian sadar?! Bersamanya aku seperti memiliki satu paket warna pelangi. Berbagai macam perasaan dan warna bersatu padu, dan ia sendiri adalah awan yang selalu bergelantungan di langit dengan warna putih. Polos. Aku benar-benar menyayanginya, nanas kesayanganku.
"Apa?" tanyanya dengan tetap posisi berbaring di pahaku.
"Bantu kerjain pe-er, nhaa...!" pintaku dengan nada manja yang sudah sangat ia kenali. Demi perkataanku sebelumnya, ia akhirnya beranjak untuk bangun, "malas." tolaknya dengan amat singkat. Ku gembungkan kedua pipiku, sembari mengambil sesuatu dari dalam tasku. Buku tulis khusus pekerjaan rumah pelajaran fisika, memperlihatkan padanya.
"Kau tadi bolos pas pelajaran Asuma-sensei, tahu-tahu karena tidak ada kau yang biasa menjawab kuisnya, akhirnya dijadikan pe-er."
Bukan hanya kekasih, ia juga teman sekelasku. Sebelumnya, semua orang di sekolah ini sudah mengira bahwa aku ada hubungan yang lebih dari sekedar teman biasa. Aku tak pernah ambil pusing untuk merealisasikan pemikiran orang lain, walau aku sadar bahwa perhatian yang kuberikan padanya lebih dari sekedar teman ataupun sahabat. Tapi saat mendengar keakrabannya denga salah satu kakak tingkat bernama Temari, aku kontan menjadi sibuk sendiri.
Moment-nya, saat ia mengucapkan selamat ulang tahun padaku di ruangan seni tari, aku memberanikan diri untuk menjadikannya milik-ku. Daripada ujung-ujungnya langitku mendung lagi karena patah hati, lebih baik kukatakan saja. Hasilnya, ia sah menjadi kekasihku. Yaay..!
Tapi lucunya, begitu hubungan kami berdua sudah sah sebagai sepasang kekasih, orang-orang di sekolahan ini malah menganggap kedekatan kami cuma sekedar mencari sensasi saja, rumor. Hanya beberapa orang di sekolah ini yang benar-benar tahu bahwa Shikamaru memang sudah menjadi pacarku. Hahahaaaa..! Aku tertawa dibuatnya. Tapi yaa sudahlah, untuk apa aku ambil pusing dengan ucapan orang lain.
Shikamaru mengambil buku yang kuperlihatkan padanya, melihati soal fisika yang kumaksud, lantas mengembalikan buku itu padaku. Ia membarikan tatapan cuek andalannya, lalu mengalihkan ke arah lain, "Itu saja, masa kau tidak bisa?" ia bertanya. Ihhh...warna merah, aku kesal! Kalau aku bisa mengerjakannya sendiri, mana mungkin aku akan meminta bantuannya.
Benar-benar kesal, kutarik saja bajunya, dan detik kemudian kubekap bibirnya dengan ciumanku. Selepasnya, kudapati wajahnya yang tetap pada expresi malas.
"Pliisss..!" rengek-ku sekali lagi, sambil mengangkat buku dengan tulisan pekerjaan rumah yang harus diselesaikan mengarah padanya.
"Hmm..." ia memberikan respon dengan menggumam, tanda mengiyakan. Yes..! Sukses. Shikamaru kulihat beranjak untuk tegap berdiri, merentangkan kedua tangannya ke udara, merenggangkan tubuhnya yang terasa kaku.
"Ayo pulang!" ajaknya dengan mengulurkan tangannya kearahku, ku sambut saja uluran tangan kekasihku itu dengan ringannya. Lagipula, rasanya aku tidak punya alasan yang tepat untuk menolaknya. Kami berdua berjalan beriringan seperti biasanya, tapi saat netraku menangkap sebuah objek mati, membuatku berubah pikiran.
"Shikamaru, bagaimana bila kau menemaniku sebentar berlatih tari?"
"Katamu tadi kau ingin pulang, sekarang berlatih tari. Sebenarnya mau-mu itu yang mana?"
"Tadinya pulang, sekarang aku ingin berlatih tari sebentar." ujarku sambir terus memeluk lengannya, ia sendiri hanya bisa bergumam untuk kesekian kalinya.
Entah mengapa, saat aku melihat piano aku kembali teringat waktu satu tahun yang lalu. Saat dimana aku membutuhkan sebuah keyakinan untuk bisa, dan dentingan piano misterius itulah yang memberikannya. Bersama Shikamaru aku memiliki tujuh warna pelangi, namun tidak untuk cokelat. Warna cokelat yang berisikan rasa penasaran, dan tidaktahuan akan seseorang yang tanpa sengaja menjadi inspiratorku.
Memang, sudah hampir satu tahun lebih ini aku mencoba mencarinya, namun hasilnya nihil. Aku sudah mencoba bertanya pada beberapa orang terdekatku, rekan seangggota klub baletku, bahkan memberanikan diri menanyakan pada beberapa anak klub musik. Tapi hasilnya, nihil.
Bukan berarti aku memiliki perasaan khusus pada my chocolate itu, aku hanya ingin menemukanya dan mengucapkan banyak terimakasih. Pikirkan saja, untuk apa aku menukar sebuah warna gelap, bila aku sudah memiliki tujuh warna yang indah!
o
O
o
Aku berjalan menyusuri koridor kelas, bermaksud menuju ke kelasku. Pagi ini Shikamaru mengatakan melalui messanger bahwa ia akan sedikit terlambat ke sekolahan, dan memintaku untuk tidak menunggunya. Jadi, sendirilah diriku. Aku terus saja menapakan kaki langkah demi langkah, hingga dari belakang kudengar seseorang memanggilku.
"Inoooo..!" suara orang yang sudah sangat kuhapal melengking dengan desibel tinggi, Sakura. Spontan menghentikan jejak kakiku dan membalikan tubuh, ku dapati ia setengah berlari ke arahku. Ini masih pagi, untuk apa ia berteriak senyaring itu? Sudah jelas tidak ada suara-suara lain yang akan menghambat panggilannya.
"Apa?" tanyaku saat ia tepat satu meter di hadapanku. Sakura sedikit terengah, dengan senyuman sumringah andalannya. Bukannya menjawab tanyaku, ia malah menyerahkan selembaran kertas. Aku langsung menerimanya, dan kubaca.
"Yang benar?"untuk kedua kalinya aku bertanya begitu selesai membaca tulisan di kertas yang ia berikan untuk-ku. Ia merespon dengan anggukan yakin. Langsung saja, aku kembali membaca deretan tulisan yang tertata rapi itu.
Senangnya! Akhirnya apa yang kutunggu datang juga. Audisi seleksi dari klub balet untuk dapat berpartisipasi tampil saat pentas seni yang akan dilaksanakan sekitar enam hari lagi. Aku benar-benar tidak sabar untuk ikut ambil andil di dalamnya. Pasti rasanya akan sangat menyenangkan bisa ikut berpartisipasi mewakili klub sendiri.
Yosh..! Baiklah, aku akan rajin untuk berlatih.
"Kau pasti ikutkan?" tanya wakil ketua OSIS sekolahku, dari matanya nampak berbinar mengharapkan jawaban mengiyakan dariku.
"Tentu. Ooh, apa anak klub balet yang lain sudah tahu?" Sakura menggeleng, "Tidak, baru hanya kau yang ku beritahu. Sisanya, anak klub balet yang lain bisa melihat di papan mading."
Pilih kasih? Sepertinya memang iya. Sakura adalah sahabat baik-ku, ia salah orang yang juga mendesak-ku untuk menyatakan perasaanku pada ketua OSIS, yang juga seorang ketua klub MIPA di sekolah. Seorang sahabat akan dinilai lumrah bila memprioritaskan teman baiknya, dan itulah yang dilakukan Sakura.
Ngomong-ngomong tentang ketua OSIS dan juga ketua klub MIPA, tentunya tidak perlu ku jelaskan siapa makhluknya. Dengan IQ diatas 200, rasanya tidak akan ada orang yang bisa meragukan kemampuan rusa kesayanganku itu.
Hal itu pula yang membuat ku semakin meyakini bahwa bukan Shikamaru-lah orang yang ku cari selama ini. Pertama, ia bukan salah satu anggota dari klub musik dan tentu kemungkinan besar ia tidak bisa memainkan alat musik. Kedua, ia terlalu lebih memilih untuk menikmati musik, dari pada memainkanya. Terbukti, ia sering kali kudapati tertidur di ruang seni musik sebagai anggota ilegal.
"Eeh Ino, bagaimana, apa kau sudah menemukan orang yang memainkan piano yang kau ceritakan itu?" Sakura teman baik-ku, tentu ia akan mengetahui seluk-beluk diriku, tak terkecuali mengenai inspiratorku.
"Tidak, aku sudah bertanya kemana-mana. Tapi tidak kutemukan juga, padahal bila aku bertemu dengannya, aku ingin sekali saat audisi nanti menari dan di temani alunan dentingan pianonya." kataku, sekedar memberikan intermezzo belaka dengan keinginanku tersebut.
"Kalau saja kau menemukannya, apa kau akan mengatakan cinta untuknya?" Sakura bercanda dengan mengatakan demikian, ia berpura-pura menjadi salah satu orang yang tidak tahu apa-apa mengenai siapa kekasihku.
"Mungkin saja." balasku, ikut menanggapi candaannya dengan mengatakan hal yang tidak mungkin kulakukan.
Bruuk..! Seseorang dari arah kanan koridor menabrak-ku berdua. Kupikir saat ini hanya ada aku dan Sakura, sehingga aku tidak memperhatikan sekelilingku. Padahal suara kami berdua sudah berbicara senyaring itu, seperti memakai toa saja. Tubuhku sempat terhuyung ke belakang, namun refleks seorang balerina dengan balance yang baik, mampu membuatku kembali mengimbangkan tubuhku agar tidak terjatuh.
"Maaf aku tak sengaja. Kau tak apa?" tanya orang yang menabrak-ku. Anak lelaki dengan kulit pucat, rambut eboni, dan membawa kuas lukis. Ku berikan ia respon mengiyakan dengan menganggukan kepalaku, "iya, aku baik-baik saja."
Mendengar penuturanku, ia menganggukan kepala dan bergegas melangkah pergi dari meninggalkan kami. Anehnya, ia membawa kuas lukis tapi memasuki ruang seni musik.
"Kalau tidak salah namanya Sai Himura. Ia anak klub seni musik dan seni lukis." ujar Sakura membuka percakapan kami kembali, setelah sedari tadi ia hanya menjadi penonton. Ia yang notabene seorang wakil ketua OSIS, seperti diwajibkan untuk mengenali setiap siswa yang ada di sekolah ini.
Poor Sakura!
"Tapi rasanya, aku baru kali ini melihatnya memasuki ruang seni musik." kataku tanpa menghadap sedikitpun ke arah Sakura, kami berdua pun dengan konyolnya masih stagnan di tempat yang sama.
"Ia memang lebih aktif di seni lukis. Lagipula, kau itu anak balet. Mana mungkin kau bisa mengenali setiap anggota dari klub lain."
Aah, benar juga apa yang dikatakan Sakura. Mana mungkin aku bisa dengan baik mengenali satu persatu anggota dari klub lain, dan aku juga bukan Sakura yang diharuskan menghapal setiap identitas manusia di sekolah ini.
Aku mengendikan kedua bahuku secara bersamaan, lantas kembali melanjutkan langkahku untuk ke kelas. Mengobrol dengan Sakura, sembari menunggu Shikamaru.
o
O
o
"Baiklah, sepertinya kalian sudah tahu pengumuman apa yang akan kusampaikan." guru pengampu tari baletku, Kurenai Yuhi memberikan arahan setelah kami semua selesai berlatih. Sebagai jawabannya, kami yang ditanya malah memberikan senyuman manis kearahnya.
"Seleksi akan dimulai tanggal duabelas februari nanti. Aku serta senior kelas tiga yang akan menilai penampilan kalian, untuk memilih siapa dua orang yang akan mewakili klub kita di pentas seni tepat tanggal empatbelas februari nanti." ia melanjutkan kalimatnya. Memang, anak kelas tiga tidak diperbolehkan untuk mengikuti audisi ini, dikarenakan sudah senior dan lebih difokuskan pada ujian negara yang akan dihadapi mereka sekitar dua bulan lagi.
"Sensei, apa boleh kami sendiri yang memilih musik pengiringnya?" Karin mengangkat tangan kanannya, begitu dipersilahkan untuk berbicara, ia berkata demikian.
"Tentu, kalian bebas untuk memilih. Karena itu saya mengharapkan kalian bisa menampilkan pertunjukan yang luar biasa memukau." Kurenai-sensei memberikan tanggapan atas pertanyaan salah satu anggota klub kami, setelah itu seorang lain kembali mengangkat tangannya.
"Sensei, kalau menari dengan iringi musik langsung dari salah satu anak klub musik bagaimana?" Tenten bersuara.
"Itu akan menjadi nilai tambahan bagi yang bisa mengajak anak seni musik untuk berkolaborasi." demi mendengar jawaban dari Kurenai-sensei, mata kami semua berbinar dengan pikiran yang tentunya sama, yaitu siapa orang dari anak klub musik yang bisa kami ajak untuk ber-colabt?
"Baiklah, sampai disini saja latihan untuk hari ini, kalian boleh pulang." Kurenai-sensei mengakhiri sesi latihan kami. Semuanya beranjak mendekati tas masing-masing dan bergegas mengganti perlengkapan tari balet dengan baju seragam sekolah kembali. Aku sendiri, malah memilih untuk mendudukan diri dan berniat untuk kembali berlatih nanti.
"Inooo,kau tidak pulang?" tanya Hinata, saat disadarinya hanya aku yang tidak sibuk mengepak barang ke dalam tas. Aku menggelengkan kepalaku, "Aku ingin berlatih sebentar."
"Kau terlalu rajin Ino." suara Tenten ikut ambil andil dalam percakapanku dan Hinata.
"Aku tidak akan menemukan orang di klub musik yang bisa kuajak untu berkolaborasi, jadi mau tak mau harus lebih giat." aku memberikan alasan logis pada kedua rekanku ini, yang mereka tanggapi dengan senyuman saja. Lagipula, waktu yang kupunya sebelum audisi tinggal empat hari lagi.
"Baiklah Ino-chan, kalau begitu kami duluan yaa?!" pamit Hinata, dan satu persatu teman seklub seni tari baletku meninggalkan ruangan ini. Menyisakan aku sendiri. Aku bergerak sedikit untuk mengambil tas selempangku yang sedari tadi tetap berada di sampingku, kuambil ponselku dan mendapati pesan dari Shikamaru bahwa ia memintaku menunggunya karena ia ada urusan dengan klub MIPA-nya.
Benar saja pilihanku untuk kembali berlatih, apabila tidak maka aku akan mati kebosanan di dalam laboratorium MIPA itu. Aku berdiri dengan ponsel di genggamanku, sebelum aku menaruh objek yang kubawa di atas kursi, aku memutar musik klasik sebagai pengiring berlatihku. Apalagi kalau bukan Canon In D Major. Musik klasik dengan judul yang sama saat kudengarkan satu tahun yang lalu, namun aransemen yang berbeda.
Aku kembali mengerakkan tubuhku untuk melakukan gerakan-gerakan ballet seperti Plie, Rise, Pointe, dan lain sebagainya. Aku bahkan bisa melakukan Piroutte dengan sempurna. Sedikit terbersit untuk menambahkan sebuah aksi saat penampilanku nanti. Grand Jet, yaitu melompat dengan kedua kaki lurus sejajar lantai. Tapi seperti yang telah lalu, aku kembali tidak memiliki keyakinan untuk dapat melakukan gerakan rumit tersebut.
Aku terus saja melakukan gerakan tarian balet hingga sebuh ketukan nyaring. Seketika, itu membuatku menghentikan kegiatanku, untuk memberikan atensi sepenuhnya pada seseorang yang mengintrupsiku. Kutemukan anak lelaki yang tadi pagi bertabrakan denganku, ia berdiri di ambang pintu.
"Iyaa... Ada apa?" aku berkata sambil melangkah sedikit mendekatinya.
"Begini, tadi pagi aku tak sengaja mendengarkan mu berbicara tentang orang yang memainkan piano sekitar satu tahun lalu saat pulang sekolah." ia mulai mengutarakan maksudnya berdiri di ambang pintu klub seni tariku.
"Aku juga sudah mendengar dari anak klub musik lain bahwa kau sudah menanyakan orangnya." Begitu mendengar perkataannya barusan, membuat ku menjadi antusias.
"Yaa.. Kau tahu siapa orangnya?"
"Tentu."
"Siapa? Dimana orangnya?" tanyaku, benar-benar tidak sabar untuk segera mengetahuinya.
"Maaf, tapi orang yang selama ini kau cari adalah aku, dan sekarang aku ada di hadapanmu."
Aku terkejut karena mendengarkan jawabanya, dan spontan aku menutup mulutku dengan kedua telapak tanganku. Tak mengira, bahwa selama lebih satu tahun ini aku mencarinya, tapi hari ini ia malah datang sendiri.
To Be Continued...
A/N:
Astaaagaaaa..! apa yang saya tulis buat SIVE ini? Maksa banget pula bawa-bawa PELANGI-nya! Moga ga ancur dan tidak merusak acara ini. #histeris di depan notebook.
Oke, Yank sadar punya banyak utang fic seabrek. C22H harusnya sudah dikerjakan, FH sebaiknya sudah dalam tahap pengetikan, SS yang memang harus secepatnya di up-date, tapi author abal ini malah bikin fic baru dan ikut-ikutan event ShikaIno. Multichap pula, dan harus diselesaikan sebelum deadline!
Terimakasih pada F. Ichiyomi-chan yang udah mau menawarkan saya untuk ikut ambil andil dalam SIVE. Dan saya benar-benar minta maaf pada seluruh readers bila cerita yang saya buat ini mengecewakan. Saya sendiri saja kurang yakin dengan apa yang saya buat untuk meramaikan SIVE tahun ini. #mewek di pojokan.
Dan terakhir, saya harap bisa menerima banyak saran dan kritikan yang membangun dalam penulisan maupun pengembangan cerita. So, review please...
