"Tidak apa-apa, Natsu. Aku akan melindungimu! Karena kau adalah tuan putri, dan aku adalah pahlawanmu, bukan?"
[[Ah.]]
"Aku akan menjadi pahlawan yang bisa melindungi siapapun yang membutuhkan! Aku akan melindungimu meskipun nyawaku menjadi taruhannya!"
[[...Katakan lagi, Natsu.]]
"Aku berjanji!"
[[Bagaimana caranya menjadi seorang pahlawan?]]
.
.
.
hero
chapter 1 – The Beginning
.
Author—Nacchan Sakura
.
Haikyuu!—belongs to Haruichi Furudate
.
Enjoy!
.
Cerahnya hari itu ditemani dengan langit jernih yang tak ditemani banyak awan—warna biru tersebut tak nampak kesepian meskipun kumpulan warna putih tak ada bersamanya; tetap menjalankan tugas untuk menemani matahari di atas sana.
Di taman belakang sekolah yang tidak dikunjungi banyak orang, rerumputan liar mulai tumbuh tanpa ada yang mempedulikan; tak ada yang memiliki keinginan untuk memangkasnya agar tempat ini bisa dipakai untuk kegiatan yang berguna. Kegiatan apa? Oh, entahlah. Makan siang bersama teman-temanmu di bawah pohon rindang? Menyatakan cinta kepada orang yang kau suka selama satu tahun lamanya? Apapun bisa.
—Asalkan bukan...
"...Kau ini tidak memiliki mulut, hah!?"
"...af.."
"BICARA LEBIH KERAS!"
"—..Maaf..."
..Hal seperti ini.
Satu tendangan yang tidak ditahan oleh apapun mendarat kembali di perutnya—si pemilik tubuh kecil itu sudah kehabisan akal dan tenaga. Tidak bisa adu mulut dengan mereka, dan terlalu lemah untuk bisa menonjok wajah dari salah satu yang mengasarinya.
Rambut cerahnya yang berwarna oranye dijambak dengan kasar—memaksa wajah mungilnya yang dipenuhi memar untuk menghadap kepada sekumpulan orang yang hanya tahu soal kekerasan. Tongkat pemukul baseball dan juga kayu tebal sudah membosankan; mereka berpikir kepalan tangan mereka jauh lebih kuat dan ampuh dibanding benda-benda sebelumnya.
Ini eksperimen, ucap mereka. Ini bukan penindasan ataupun kekerasan, karena lelaki ini memang pantas mendapatkannya.
Sekali tidaklah cukup, ucap mereka. Berkali-kali sampai kami puas, itulah jawaban yang tepat.
[[Biarlah.]]
Hinata Shouyou sudah menganggap hal ini seperti hal yang biasa—sama seperti bagian dari hidupnya. Sama seperti bernafas. Sama seperti aliran darah dan detak jantungnya. Sudah tidak ia anggap hal yang besar.
[[Aku bukan seorang pahlawan. Aku gagal.]]
Sudah berapa kali, semenjak ia menjadi murid tahun ajaran baru di sekolah ini? Entahlah, sudah tidak bisa dihitung, rasanya. Setiap bekas luka yang mereka torehkan memudar dan hilang, mereka akan melukiskan luka baru di atas tubuhnya. Hal itu terus berulang tanpa alasan yang tidak diketahui dengan jelas.
[[Lagipula, menjadi pahlawan itu..]]
Karena dirinya terlihat kecil dan lemah? Iya, mereka memang bilang itu alasannya.
Karena ia begitu ceria dan juga lantang—karena ia begitu baik hati dan kebetulan saja di hari itu menghentikan mereka dari melecehkan seorang anak perempuan?
—Ya, itu juga salah satu alasannya.
[[Menjadi pahlawan itu..]]
Karenanya—
[[Melelahkan, bukan?]]
Hinata Shouyou sudah menyerah.
Menyerah akan segalanya.
.
.
.
"Hey, Shouyou." Salah satu dari mereka memanggil namanya dengan nada yang betul-betul menjijikan; seolah memasang topeng anak baik di balik senyumnya yang benar-benar licik. "Membosankan jika kau diam saja. Ayolah, bersuara! Kau menikmatinya, bukan?"
[[Aku bukan seorang masokis. Apa yang membuatmu berpikir demikian?]]
"Mungkin ia sudah mati? Ah, jangan dong! Kalau kau mati, nanti siapa yang akan kami ajak bermain?" Suara lainnya tertawa lantang dengan nada yang mengejek; menganggap bahwa kematian Hinata adalah sesuatu yang bisa dijadikan bahan guyonan.
[[Aku lebih baik mati.]]
"Shouyou? Heeey, Shooou-yooou! Lihat apa yang kupegang ini~" Salah satunya mengangkat bola voli yang diambil dari tas Hinata tanpa izin; mengangkatnya tinggi-tinggi seraya tersenyum lebar. "Bola voli? Sudah kukatakan, bukan, kau tidak kami izinkan untuk mengikuti klub apapun di sekolah ini. Kau melanggar aturan!"
"T—tidak! A.. Aku berlatih sendirian.. tidak ikut.. klub—"
"Bukan berarti kami mengizinkanmu untuk berlatih sendirian juga, Shou~you." Lelaki tersebut melempar bola voli milik Hinata ke sembarang arah. "Bisa merepotkan kalau bakat terpendammu itu diketahui oleh banyak orang. Nanti kami tidak bisa bermain denganmu lagi."
[[...Ah, sudahlah.]]
"—..Tap—" Hinata menutup kembali mulutnya—ah. Untuk apa juga ia melawan? Jika tidak dibalas dengan satu pukulan lagi atau dengan barang-barang berharga miliknya yang akan dirampas. Ia lebih baik diam.
[[..Mereka memang selalu merampas segalanya meskipun aku tak melawan.]]
[[Aku sudah lelah.]]
[[Aku tidak ingin menjadi pahlawan..]]
[[Untuk saat ini saja..]]
.
.
[[Aku ingin seseorang menjadi pahlawan untukku.]]
.
"Kau masih memilih untuk diam, eh, Shouyou?" Tawa mengejek kembali menutupi kesunyian. "Ayolah, kau tahu 'kan kalau itu tidak menyenang—"
"—Oh, kau ingin sesuatu yang menyenangkan?"
Tawa itu seketika beralih perhatian dan kembali menjadi kesunyian—fokus mata mereka bukanlah lagi lelaki berambut oranye yang tengah tersungkur kesakitan; kini mereka menoleh ke arah sumber suara dimana ada seseorang yang tak diundang.
Hinata ikut melihat ke arah seseorang yang kini menjadi pusat perhatian—di tangannya ada bola voli milik Hinata yang tadi dilempar seenaknya. Meski dengan pandangan yang buram, ia sedikit bisa melihat sosok dari seseorang yang menghentikan penderitaannya tersebut; rambut hitam dan juga iris biru malam. Mata yang tajam dan juga jaket olahraga berwarna gelap..
"—Akan kuberitahu kalian seperti apa definisi menyenangkan yang sesungguhnya."
—Dan yang Hinata lihat terakhir kalinya adalah, bola voli miliknya yang di-spike dengan keras oleh lelaki asing tersebut; tepat mengenai wajah salah satu orang yang memukulnya.
Setelah matanya tertutup dan kesadarannya melayang; hanya suara pukulan yang ia dengar samar-samar.
[[Oh.]]
[[Apa semua pahlawan wajahnya terlihat menyeramkan seperti itu?]]
.
.
.
.
Membuka mata adalah kebalikan dari apa yang ia suka—ia lebih menyukai tinggal di dalam mimpi yang indah dimana ia tidak menderita; sementara dunia nyata ketika ia membuka mata adalah mimpi buruk yang tak pernah ia inginkan.
Hinata disambut dengan tekstur lembut dan empuk di balik punggungnya—warna putih menguasai seisi pandangannya. Rasa sakit di tubuhnya masih terasa meskipun tidak separah sebelumnya; dan ia merasa tubuhnya saat ini begitu hangat
—Apakah ia sudah berada di surga?
"Hinata?"
Suara yang lembut memangil namanya; Hinata yakin ini bukanlah salah satu dari mereka yang hobi memukulinya. Suara tersebut memiliki nada yang lembut dan tanpa kebencian; namun tetap saja, ia tak mengenalnya. Apa ia malaikat?
"Ah, kau sudah tersadar! Hinata Shouyou, itu namamu, bukan? Anak dari kelas 1-B?"
Hinata mengedipkan matanya beberapa kali—dan pemandangan di sekitarnya perlahan terlihat semakin jelas. Ah, ini bukan surga. Ini hanyalah ruang kesehatan sekolah. Dan Hinata kecewa akan kenyataan tersebut.
"Hinata, jangan paksakan dirimu untuk bangun kalau kau masih merasa sakit. Mau kuantarkan pulang ke rumahmu?"
Hinata kini tak lagi memandang lurus kepada kekosongan—perlahan ia menoleh dan melihat seseorang tengah berdiri di samping kasurnya. Dengan wajah yang ramah dan juga senyum yang lembut; orang itu benar-benar seperti malaikat. Bahkan rambutnya berwarna putih seperti cahaya—Hinata ragu ini bukan surga.
"...A.. kenapa.. disini—"
"Umm, kalau kau bertanya kenapa kau disini, aku juga tidak tahu. Tadi kau tiba-tiba ada di atas kasur dengan penuh luka saat aku kembali dari ruang guru, sepertinya seseorang membawamu kesini—apa yang terjadi kepadamu?"
[[Ya, aku dipukuli oleh banyak orang, dan ini sudah lebih dari satu kali mereka lakukan.]]
"..Tidak... tangga.. terjatuh—"
"Kau terjatuh dari tangga?" Lelaki tersebut menarik satu alisnya ke atas. "...Uh, tapi lukamu banyak sekali, apa kau tidak berbohong?"
[[Ya, aku berbohong.]]
Hinata hanya menggelengkan kepalanya.
"Ah, baiklah.. oh, namaku Sugawara Koushi, anak kelas 3-A. Kau bisa memanggilku Suga—aku anggota pengurus kesehatan! Aku sudah mengobati lukamu semaksimal mungkin, namun aku yakin sakitnya pasti masih terasa. Kau sudah merasa baikan?"
[[Tidak, pengobatanmu sama sekali tidak berguna.]]
[[Besok mereka akan membuat luka baru, jadi tidak ada gunanya.]]
"..Iya. Aku.. tidak apa-apa."
"Ah, syukurlah kalau begitu.." Suga menarik nafas lega dan kembali melemparkan senyumnya. "Kalau ada apa-apa, katakan saja kepadaku, ya? Aku akan membantumu. Untuk sekarang, tidurlah kembali—aku akan membangunkanmu ketika waktunya bel pulang."
Suga menaruh telapak tangannya pada punggung kecil Hinata; membantunya untuk berbaring kembali di atas kasur beraroma obat penutup luka. Kembali rasa sakitnya menguasai isi pikiran—ia ingin kembali ke dunia mimpi setelah menutup mata.
Kegelapan membawanya semakin jauh dari dunia nyata—dan untuk sesaat, Hinata yakin bahwa ia mendengar Suga berbicara kepada dirinya,
"Aku tahu yang sebenarnya."
—Dan Hinata kembali pergi ke dalam dunia mimpinya.
.
.
.
Jika Hinata kembali mengingat—semua hal ini terjadi karena ia ingin menjadi seorang pahlawan.
Ia tak mungkin berdiam diri saja ketika melihat seorang gadis hendak dilecehkan oleh beberapa orang lelaki, bukan? Tindakannya tidak salah—ia hanya menolongnya.
Gadis dengan rambut pirang tersebut mungkin sudah tidak ingat akan sang pahlawan—namun anehnya, meski kini Hinata yang mendapatkan kesialan—Hinata tak pernah sekalipun menyesali keputusannya; ia tak pernah menyesal karena sudah menyelamatkan gadis tersebut.
[[Namun aku harus mengakuinya,]]
[[Aku sudah tak mau lagi menjadi pahlawan.]]
Hinata terbangun ketika bel pulang belum berbunyi—masih ada waktu tiga puluh menit lagi sampai Suga kembali. Hinata menarik nafas panjang dan membuangnya—bersamaan dengan angin yang bertiup dari jendela. Tirai putih menari-nari ketika angin membawanya untuk mengikuti irama—dan Hinata melihat langit yang kini sudah menjadi jingga.
Siapa yang menyelamatkan dirinya dan membawanya kemari? —adalah apa yang Hinata pikirkan selanjutnya. Sungguh, berbulan-bulan ia mendapatkan perlakuan kasar ini—dan ia rasa, tak ada satupun yang peduli. Baru kali ini ia melihat ada seseorang yang cukup peduli untuk menolongnya—bahkan sampai membawanya ke ruang kesehatan.
Rambut hitam dan iris biru tua. Tatapan mata yang menyeramkan itu rasanya pernah ia lihat, entah dimana..
[[Mungkin ia anak kelas satu juga. Mungkin ia sebenarnya ada dekatku meskipun aku tidak menyadarinya.]]
[[...Mungkin.]]
"—Looh? Ada anak manis yang sedang terluka toh disini~"
Suara pintu yang terbuka membuat pandangan tajam lelaki yang ada di benaknya menghilang—rambut oranye miliknya yang mengembang ikut bergerak ketika ia menoleh dengan cepat. Hinata mengharapkan Suga untuk berdiri di ambang pintu tersebut; namun apa yang lihat saat ini malah berkebalikan dengan sosok Suga.
Rambut hitam—lagi—namun kali ini modelnya betul-betul aneh dan melawan gravitasi. Senyumnya—tidak sama—lebih mirip dengan seringai dan tidak ramah seperti Suga. Namun ia juga tidak terlihat memiliki niatan untuk memukuli Hinata—yang artinya, aman.
"Anak manis? Mana, mana?" Di belakang lelaki tersebut ada lelaki jangkung lainnya—namun wajahnya tidak seseram si pemilik rambut ayam. "Oh, lelaki yang sedang terluka! Ia lebih mirip tuan putri yang sedang menunggu dijemput pangeran, ya?
Yang kali ini memiliki senyum mempesona—namun kepribadian yang tidak Hinata suka. Dan ia mengenali cukup baik lelaki yang satu ini; si cowok populer dan tukang rayu di sekolahan..
"Kuroo, sepertinya kau tidak beruntung hari ini, tak ada siapapun di ruang kesehatan yang bisa mengobatimu. Ah, tetapi, aku beruntung karena bisa bertemu anak semanis ini!"
"Tuuu-nggu dulu, Oikawa. Yang melihatnya pertama kali itu aku, loh?"
—Dan Hinata terdiam seketika. Uhh, apa? Sekarang ia diperebutkan oleh dua orang lelaki tidak dikenal? Baiklah.
"Bagaimana kalau kita perkenalkan diri dulu kepada si mungil ini? Jadi kita bisa membiarkan ia memilih. Ah~ tapi bisa saja dia sudah mengenal kita, bukan? Kita sudah terkenal dengan titel 'si duo anak nakal', sih."
—Oh.
Sekarang Hinata ingat; duo anak nakal. Bukan karena mereka hobi menindas ataupun memalak—yang satu hobi melanggar aturan, dan yang satu hobi membolos demi merayu banyak wanita. Langganan kelas detensi dan selalu ada di daftar anak-anak yang harus menulis surat permohonan maaf.
"Jadi, bagaimana, chibi-chan? Kuroo Tetsurou dan Oikawa Tooru, mana yang akan kau pilih?"
Mungkin dunia ini benar-benar sudah gila, pikir Hinata. Kemarin selama berbulan-bulan ia menderita—kemudian hari ini, ia tiba-tiba dijadikan bahan rebutan.
"..Aku.. bukan—chibi.."
"Wah, suaranya kecil dan halus sekali. Imutnya~" yang bernawa Oikawa Tooru berjalan mendekat dan mengacak-acak rambut Hinata. "Lukamu banyak sekali. Apa yang terjadi?"
"Ah, jangan-jangan, kau ditindas?" Kuroo Tetsurou ikut mendekatinya di samping kasur. Hinata menelan ludah.
"..Terjatuh.. dari tangga." Jawaban lemah yang sama—mungkin mereka berdua tak akan memperhatikan kebohongannya.
"Hmm? Benarkah? Kau berbohong, ya~?"
"Ah, kau tahu, bukan—bahwa anak yang berbohong biasanya akan dapat hukuman?"
—Tolonglah. Siapapun. Hinata mulai lelah dengan semua nada bicara yang merayu dan senyuman penuh arti milik mereka ini.
"..Tidak.. berbohong."
"Jawabanmu sedari tadi singkat sekali. Apa mereka juga menyakiti suaramu?"
Ah, sial—pikir Hinata. Yang bernama Kuroo ini ternyata cerdas.
"Aku tidak berbohong—aku terjatuh dari tangga.. dan aku.. tak memiliki banyak tenaga.. untuk berbicara."
There. Hinata berusaha meyakinkan mereka bahwa ia 'terjatuh dari tangga'—mungkin kalau mereka percaya, mereka akan bosan dan pergi meninggalkannya.
Hinata ingin dibiarkan sendirian.
"Begitukah? Ah, bagaimana kalau aku mengantarkanmu pulang? Aku akan menjadi pangeran yang mengantarkan putrinya untuk pulang, kalau kau mau!"
...Atau tidak. Terkutuklah Oikawa Tooru dan juga kata-katanya yang menjijikan; Hinata tak habis pikir dengan wanita yang mau saja digombali olehnya..
"Aku juga bisa mengantarkanmu pulang. Oikawa, kau tidak boleh bolos kegiatan klub~ ingatlah, Iwaizumi akan marah besar kalau kau ketahuan kabur."
—Tidak, tidak kau juga, kepala Ayam; pikir Hinata. Ia tak mau pulang diantar oleh siapa-siapa—Ayolah, ia ingin dibiarkan sendirian.
"—Tetapi mengantarkan Hinata sudah menjadi janjiku tadi siang. Maaf, ya."
Ada suara baru dari balik pintu—dan Hinata tak bisa lebih bersyukur lagi ketika Suga ada disana. Senyumannya yang khas menghiasi wajah seperti biasa; dan ia berjalan menghampiri Hinata.
"Jadi, kenapa kalian berdua ada disini? Kalian membolos lagi?" Suga menghela nafas. "Kalian ini—"
"Eh, bukan begitu, Suga~ kali ini kami tidak bolos, kami dapat izin. Lihat, sikutku terluka dan Oikawa menemaniku ke ruang kesehatan. Tak ada pelanggaran aturan sekolah kali ini."
Ah—Hinata baru sadar bahwa sikut lengan Kuroo terluka.
"Kebetulan sekali Oikawa yang mengantarmu, kemana Kenma?" Suga menghela nafas lagi. "Baiklah, baiklah.. duduk disana, aku akan mengobati lukamu—dan Oikawa, jangan coba-coba menyentuh Hinata. Kau juga, duduk disana."
"Cih.."
Hinata terkesima akan Suga yang bisa bersikap tegas dibalik sifat ramahnya; Oikawa dan Kuroo bahkan tak bisa melawan.
"Ah, Hinata, tunggu sebentar, ya—setelah selesai mengobati Kuroo, aku akan mengantarmu pulang."
"..Aku.. mau pulang sendiri."
"—Eh?"
"Terima kasih.. sudah mengobatiku." Hinata perlahan beranjak dari kasur empuk ruang kesehatan; ia mengambil tasnya yang tersimpan rapi di loker kecil ruang kesehatan—oh, sepertinya lelaki asing tadi juga membawakan barang-barangnya tanpa ada yang tertinggal. "Aku permisi dulu, Suga-san.."
"Ah, Hina—"
—Dan Hinata tak berbalik untuk mendengar kata-kata Sugawara—ia bergegas pulang.
[[Maaf, bukannya aku ingin menolak kebaikan hatimu.]]
.
.
.
—Tak pernah ada yang menopangnya untuk menjadi semakin kuat.
Ketika kembali ke apartemen kecilnya—tak ada tawa riang dari sang adik ataupun belaian lembut dari ibunya; tak ada ayahnya yang mengajak ia untuk menonton pertandingan voli di TV bersama-sama, ia betul-betul sendirian.
Ini memang keputusannya, bukan? Untuk menjauh dari mereka.
Bukan karena tak ada sekolah yang bagus di tempat ia tinggal—hanya saja, menimba ilmu di Tokyo akan menjamin masa depan yang lebih cerah. Ini semua demi keluarganya juga—ia ingin menjadi pahlawan untuk mereka.
[[Lucu. Menggelikan. Pantas untuk ditertawakan. Kini aku sama sekali tidak menjadi pahlawan, pada kenyataannya.]]
Esok hari adalah sebuah kutukan—tak pernah ia bisa kabur apapun yang ia lakukan. Tidak mendatangi sekolah sama dengan rasa sakit yang lebih banyak; mereka tahu bahwa Hinata menghindar dan berusaha kabur, dan Hinata akan mendapatkan hukumannya.
Memberitahu guru ataupun seseorang hanya akan membahayakan mereka—dan juga dirinya.
Namun, memberitahu orangtuanya juga bukan keputusan yang tepat. Di dalam dirinya, jauh di dalam hatinya—ia masih memiliki keinginan untuk bisa menggapai mimpinya; demi Ayah, Ibu, dan juga adik kecilnya.
[[Namun aku sudah tidak tahu lagi apa yang tepat dan apa yang tidak tepat.]]
Suara khas terdengar dari dalam perutnya—tubuhnya sudah meminta untuk makanan dan Hinata baru sadar bahwa ia hanya memakan roti panggang untuk sarapannya pagi hari ini.
Tidak, tidak, aku terlalu lelah—aku tak bisa berjalan, pikir Hinata. Namun jika tak ada satupun makanan untuk mengisi perutnya—Hinata tak akan memiliki tenaga untuk esok hari menghadapi sekolah.
Hinata menghela nafas. Biarlah, mati kelaparan juga aku sudah tidak peduli.
"...Urgh, tidak, tidak... aku tidak boleh mati.." Hinata akhirnya mengikuti kemauan cacing-cacing di dalam perutnya dan berjalan menuju dapur—tangannya meraih gagang pintu kulkas dan menariknya terbuka. Dingin menusuk kulitnya—namun juga terasa menyejukkan. Dan Hinata harus mengumpat karena tak ada sesuatu yang bisa ia makan di dalamnya.
[[Kapan terakhir kali aku pergi berbelanja?]]
"Ramen instan..." Hinata menutup kulkas dan membuka lemari kecil di atas kompor—sarang laba-laba dan juga beberapa bungkus saos tomat menyambut pemandangannya. Hinata menggerutu kesal.
"Aku harus keluar rumah, pada akhirnya.." Hinata kembali menghela nafas—dengan malas ia mengambil jaket bertudung dan juga dompet untuk membeli makan malam; ia akan membeli apapun yang jaraknya paling dekat.
Ketika Hinata menutup dan mengunci pintu apartemen kecilnya—banyak kardus yang tergeletak begitu saja di pintu kamar sebelah; pintu nomor 9 itu terbuka dan beberapa orang dengan seragam kerja berwarna biru terlihat sibuk memasukan barang-barang. Ah, penghuni baru, pikir Hinata. Kamar di sebelahnya berukuran lebih besar dari kamarnya—mungkin yang pindah ada dua orang?
[[Aku tidak peduli sama sekali, sesungguhnya.]]
[[Namun aku tak bisa menghindari rasa penasaran, bukan?]]
Lelaki dengan T-Shirt berwarna putih keluar dari dalam ruangan; mengatakan sesuatu kepada salah satu pekerja yang dibalas dengan anggukan. Hinata menatap sosok tersebut tanpa sadar—takjub dengan tinggi badannya.
Ia memakai kacamata dan kulitnya berwarna putih pucat—dia penghuni barunya, mungkin?
"—Oi, Ou-sama, semua barang-barangnya sudah siap; dan kuharap kau akan membereskan barang-barangmu sendiri atau aku akan membuang semuanya ke pinggir jalan."
"Tsukishima sialan, aku akan membunuhmu kalau kau berani melakukan hal itu!"
"Terserah apa katamu, kau tak prnah benar-benar membunuhku walau sudah berjanji akan melakukannya." Lelaki dengan kacamata tersebut tertawa mengejek dan akhirnya menyadari bahwa Hinata menatap ke arahnya. "Oh. Lihatlah, Ou -sama, tetangga baru kita sudah datang untuk menyambut. Manis sekali."
"—Siapa juga yang menyambutmu? Aku dari tadi hanya diam disini dan tak berbicara apa-apa, hanya kebetulan aku ada disini.."
[[...Ups.]]
Hinata menutup mulutnya cepat-cepat; ketika ia sadar bahwa ia mengucapkan isi pikirannya dengan lantang. Lelaki jangkung yang dipanggil Tsukishima tersebut masih memasang wajah netralnya—tak terlihat marah ataupun sebal akan respon yang diberikan Hinata.
"Oi, Tsukishima! Ditaruh dimana kue kering yang tadi kau bawa dari rumahku? Itu untuk dibagikan ke tetangga yang ada disini, bukan?"
"Berisik, Ou-sama. Lebih baik kau kesini dulu daripada harus berteriak terus dari dalam, temui saja dulu... si pendek yang tinggal di sebelah kita ini."
[[..Pendek?]]
—Oke, itu pukulan terakhir. Hinata hendak pergi tanpa mengatakan apapun setelah ini—lelaki jangkung ini sama menyebalkannya dengan Kuroo dan Oikawa; mulutnya juga kasar dan ia terlihat hobi mengejek orang. Hinata tak mau berurusan dengannya.
...Ya, sungguh, Hinata memang berniat untuk pergi.
Namun—
"Pendek? Kau ini bicara ap—"
...Keinginan Hinata untuk pergi terhapus begitu saja; ketika sosok lain yang sedari tadi berbicara dari dalam ruangan—kini bertatapan muka dengan dirinya.
[[...Oh.]]
Rambut hitam,
Iris biru tua,
Tatapan mata tajam..
[[Bukannya aku benci akan pahlawan; hanya saja, aku lebih ingin menolong orang daripada ditolong oleh seseorang.]]
[[Itu mimpiku semenjak kecil, namun aku tak memiliki pilihan lain dalam kehidupanku sekarang ini.]]
[[Aku hanya ingin menemukannya. Seseorang yang akan menolongku—]]
"...Kau! kau yang dipukuli oleh berandalan tadi siang!"
[[—Sang pahlawan.]]
.
.
.
[[Dan aku menemukannya.]]
.
T B C
.
A/N:
Karena EveryonexHinata adalah kesukaan saya sepanjang masa.
Klise shoujo manga, seperti biasa. Maaf, saya memang terlalu banyak ide yang ceritanya terlalu alay...
Sampai bertemu di chapter depan! Akan lebih banyak karakter diperkenalkan di chapter dua~
