Disclaimer: Karakter dan beberapa setting hanyalah pinjaman dari series Gundam SEED. Kesamaan tentu saja disengaja untuk kelancaran cerita ini.

Seseorang pernah berkata padaku bahwa ia tidak tahu kenapa aku bisa mencintai orang seperti dirinya. Terus terang saja, aku juga tidak tahu. Kurasa aku adalah salah satu orang yang merasa kau tidak membutuhkan alasan untuk mencintai seseorang. Karena cinta terjadi begitu saja. Kau tidak bisa memaksakan diri mencintai seseorang, sama dengan kau tidak bisa memaksakan diri membenci orang yang kau cintai.

[Illana Tan – Sunshine becomes You]

.

Chapter 1

.

Pagi ini matahari begitu ramah, membuat udara dingin menolak untuk merambat masuk ke sela-sela pakaian hangat. Semua orang pun bahagia karena mereka bisa melakukan aktivitas mereka tanpa udara dingin yang menghalangi.

Cagalli pun begitu. Hari ini rasanya akan menjadi hari yang menyenangkan. Sinar matahari yang menghangatkan membuatnya lebih bersemangat. Apalagi bau harum kue sudah tercium dari dapur kuenya. Semua karyawan, sebut saja temannya, telah hadir lengkap sejak 20 menit yang lalu. Semua sudah rapih dan siap, waktunya untuk membuka toko.

Beberapa menit setelah toko dibuka, bel kecil di atas pintu berdentang. Satu pelanggan datang berkunjung ke tokonya. Seorang pelanggan kecil menggemaskan dengan tas pinggang kecil menggantung dari pundaknya. Matanya melihat ke sana dan kemari, kebingungan. Rasanya ia sudah berkali-kali mencoba menghampiri Cagalli dan Miriallia dan membuka mulutnya untuk bertanya, tapi untuk kesekian kalinya ia urungkan dan kembali berkeliling melihat beberapa kue dan roti yang telah didisplay.

Cagalli merasa tidak tega kepada anak itu dan kemudian menghampirinya. Ia merunduk sedikit, menyejajarkan tingginya dengan tinggi anak itu. Ia tersenyum lembut, mencoba membuatnya nyaman sebelum menanyakan kue mana yang diinginkan pelanggan kecilnya.

"Halo, adik kecil." Sapa Cagalli, "Ada yang bisa kubantu?"

Anak kecil itu kaget dan agak salah tingkah sesaat setelah Cagalli menyapanya. Ia merunduk dan menggigit bibirnya. Wajahnya terlihat seperti ingin mengatakan sesuatu, lagi, tapi rasa malu membungkam mulutnya. Tangannya mengepal, meremas tali tasnya yang menggantung dari pundaknya.

Cagalli menarik tangan kecilnya perlahan, mengajaknya melihat beberapa kue yang dipajang di dalam mesin pendingin. Ia berjongkok, menunjuk satu per satu kue cantik yang ada di dalam. Menanyakan kue mana yang adik kecil itu inginkan.

Adik kecil itu menggeleng pada setiap kue yang ia tunjuk. Ia baru berhenti menggelengkan kepalanya pada kue kelima yang Cagalli tunjuk. Adik kecil itu diam sejenak lalu kembali menggigit bibirnya. Ia memandang Cagalli sebentar dengan matanya yang besar. Seperti merayu Cagalli untuk mengambilkan kue kelima yang ditunjuk olehnya.

"Kau mau yang ini?" tanya Cagalli memastikan. Adik kecil itu mengangguk semangat. Wajahnya bercahaya ketika Cagalli mulai memasukkan tangannya ke mesin pendingin dan mengambil satu potong kue itu.

Sepotong strawberry shortcake.

Cagalli membawa sepotong kue itu ke meja kasir dan memasukkannya ke dalam kotak kecil berwarna putih. Ia memastikan tidak ada bagian dari kue itu yang rusak. Ia takut adik kecil di depannya ini kecewa karena kuenya tidak sempurna seperti yang tersaji di salam mesin pendingin.

"Semuanya 7 dollar." Jelas Cagalli dengan senyum ramah di bibirnya. Ia memberikan kue yang sudah ia bungkus kepada pria kecil yang sudah tak sabar untuk memiliki kue cantik pilihannya.

Pria kecil itu memberikan semua uang yang ada di genggamannya kepada Cagalli. Cagalli menghitung tiap koin yang diberikan oleh adik kecil itu. Sepertinya ia itu belum begitu pintar menghitung uangnya sendiri. Uang yang ia berikan tidak cukup untuk membayar potongan kue itu.

Adik kecil itu sepertinya sadar dengan kebingungan Cagalli. Ia pun mengeluarkan satu lembar uang kertas dari sakunya. Cagalli menerimanya, tapi uang itu masih belum cukup.

Cagalli pun penasaran dengan alasan pria kecil di depannya membeli kue itu. Dengan uang yang tak mencukupi, ia terlalu konsisten dengan usahanya mendapatkan kue cantik itu.

"Kamu mau memberikan kue ini untuk siapa?"

Ia menundukkan kepalanya sambil melirikkan matanya ke kanan dan ke kiri. Ia kembali meremas tangannya, seperti sedang berjuang dengan batinnya untuk menjawab pertanyaan dari Cagalli.

"Aku..." akhirnya ia mengeluarkan suaranya. Cagalli pun menunggu jawaban dari pertanyaannya dengan sabar. "Ibu ..."

"Kau ingin memberikannya untuk ibumu?" tanya Cagalli memastikan. Adik kecil itu mengangguk. Setuju dengan apa yang ditanyakan Cagalli.

"Ibuku hari ini ulang tahun." tambahnya dengan suara lirih. Masih sedikit malu pada Cagalli.

"Oh, benarkah?" adik kecil itu menjawab dengan anggukan.

Tiba-tiba Cagalli kagum pada adik kecil di depannya. Anak sekecil ini bisa ingat dengan ulang tahun ibunya dan berusaha untuk memberikan kejutan untuk ibunya. Sungguh luar biasa.

Cagalli menyimpan uang pemberian pria kecil itu ke dalam sakunya, lalu tersenyum padanya. "Ini sudah cukup." katanya sedikit berbohong. "Cepat berikan kue itu kepada ibumu." pinta Cagalli pada adik kecil itu sambil mengantarkannya keluar toko.

"Bilang padanya ia mendapatkan ucapan selamat ulang tahun dariku." Cagalli menepuk pelan kepala pria kecil di depannya. Lagi, adik kecil itu mengangguk dengan semangat. Ia melambai kepada Cagalli sambil terus berjalan menjauh dari tokonya.

Saat masuk ke dalam, sudah ada seorang perempuan berambut coklat yang menunggu di depan meja kasir. Ia melipat kedua tangannya, menunggu penjelasan Cagalli tentang kejadian barusan.

"Kalau kau begitu terus, kita akan bangkrut, Cagalli." ujarnya agak ketus.

"Adik itu datang ke sini untuk membelikan ibunya kue ulang tahun, Mir." jelas Cagalli, "Mana tega aku membiarkannya kembali ke rumah dengan tangan kosong."

Perkataan Miriallia Haww, temannya ini, memang ada benarnya. Kalau ia terlalu baik kepada orang seperti yang ia lakukan kepada adik kecil tadi, bisa-bisa tokonya bangkrut. Tidak akan ada lagi Bonheur. Tapi, untuk kali ini saja, ia ingin anak itu bisa memberikan ibunya hadiah.

"Ya, baiklah, Cagalli si baik hati." balas Miriallia sedikit mengejek. Ia tidak tahu bagaimana menurunkan tingkat kebaikan hati Cagalli. Hatinya terlalu baik sampai-sampai ia kesal dibuatnya.

Miriallia melirik keluar jendela. Ia melihat segerombol orang berkumpul di tengah jalan. Akan ada sesuatu yang merusak mood indah hari ini. "Cag, anak kecil tadi, ke arah mana ia pulang?" tanya Miriallia pada Cagalli yang sedang mengatur kembali kue dan roti kering yang didisplay di rak kaca.

"Ke arah utara. Ke sana." Cagalli menunjuk arah yang berlawanan dengan arah kerumunan orang yang dilihat Miriallia. Miriallia menghembuskan napasnya lega. "Ada apa?" tanya Cagalli yang sama sekali tidak tahu akan adanya segerombol orang di luar sana.

"Kemarilah." Miriallia mengajak Cagalli mendekat, melambaikan tangannya sambil masih berdiri di depan jendela, melihat kerumunan orang di luar. "Lihat itu." ia menunjuk kerumunan orang yang terlihat marah di luar. Orang-orang berteriak, memusatkan fokus mereka pada satu titik.

"Astaga." Cagalli kaget. "Ada apa itu?" refleks, Cagalli pun langsung membuka pintu, keluar dari toko untuk mendekati sumber masalah. Miriallia yang juga penasaran mengikutinya dari belakang.

Cagalli memperhatikan sebentar keributan tersebut. Sungguh, keributan itu benar-benar memekakkan telinga. Semua orang berteriak. Suara mereka saling beradu keras, berharap suaranya dapat mengusir orang yang sekarang mereka teriaki.

Cagalli memanggil seorang pria yang dikenalnya. Pria yang terlihat tidak begitu diprovokasi amarah. "Tolle," panggilnya. Suaranya tidak cukup kencang untuk membuat Tolle menoleh ke arahnya. Ia pun menepuk tangan Tolle pelan untuk menarik perhatiannya. Dan itu berhasil.

"Ah, Cagalli."

"Ada apa?" Cagalli menunjuk kerumunan di depannya.

"Zala, Patrick Zala datang ke sini." jawabnya singkat. Ia menunjuk pria berambut biru yang berada di dalam mobil.

Cagalli mengernyitkan dahinya. Bingung apa maksud dari perkataan Tolle barusan. "Zala datang ke sini?" tanya Cagalli memperjelas, "Apa maksud ia datang ke sini? Dan kenapa semua orang seperti cacing kepanasan seperti ini?"

"Orang-orang bilang kalau Zala ke sini untuk membongkar blok ini. Dan parahnya ia akan menjadikannya sebuah pusat perbelanjaan atau sejenisnya."

"Kenapa bisa begitu?" Miriallia ikut memanas, "Tidak ada pemberitahuan sebelumnya tentang hal ini." tambahnya kesal.

"Yang membuat orang-orang di sini bertambah kesal adalah, ia menyatakan bahwa ia telah membayar setengah harga dari lahan di blok ini." Tolle ikut kesal dengan apa yang ia ceritakan, "Katanya seseorang telah menjual lahan ini pada perusahaannya. Tapi siapa yang bisa menjual lahan sebesar ini, sedangkan lahan ini tidak hanya dimiliki oleh satu orang, ya 'kan?"

Cagalli mengingat-ingat nama Zala. Patrick Zala. Zala, corp.. Nama itu begitu familiar. Tidak, namanya tidak ada di tv, pun juga bukan seseorang yang ia kenal. Itu nama sebuah perusahaan. Sebuah perusahaan pengembang.

Ah, ia ingat. Nama perusahaan itu ada di sebuah koran lokal baru-baru ini. Mereka diberitakan telah melakukan penggusuran di sebuah perkampungan di pinggiran kota. Warga perkampungan di sana merasa hak tempat tinggalnya diambil begitu saja oleh mereka. Sempat mereka membawa kasus itu ke pengadilan, tapi kasus itu entah kenapa dapat dimenangkan oleh Zala.

Tiba-tiba hatinya mulai memanas dan kepalanya pun ikut memanas. Perasaan itu pun diperpanas dengan keadaan yang tak beraturan dan suara-suara teriakan yang terus menusuk telinga.

Saat kesabarannya habis, ia pun akhirnya menerobos lautan panas manusia. Mencari sumber dari keributan tersebut. Ya, sumber itu ada di sana. Di tengah kerumunan sebuah mobil sedan hitam tak bisa bergerak dari orang-orang yang marah. Pemilik mobil pun tidak ada usaha untuk keluar, berbicara dan menenangkan orang-orang yang terbakar emosi.

Cagalli menangkis tiap orang yang mendorongnya mundur dan tetap maju menuju mobil hitam itu. Ia, tanpa basa basi, langsung mengetuk jendela hitam yang memantulkan siluet seorang pria di dalamnya. Ia mengetuk jendela mobil itu dan meminta orang yang bertanggung jawab atas keributan itu keluar.

"Hei, Tuan Patrick Zala yang terhormat, keluar!" teriak Cagalli. Teriakkannya membuat beberapa orang diam, kaget karena seorang wanita berani melakukan hal tersebut. Beberapa orang mulai mengeluarkan ponselnya, sebagian memotret, sebagian lagi merekam kejadian langka itu.

"Tuan Patrick Zala!" Cagalli memaksa. Ia terus mengetuk jendela mobil itu. "Selesaikan masalah ini secara adil. Dengarkan suara kami, pemilik asli blok ini."

Cagalli tidak tahu alasan Zala berdiam diri di dalam tanpa menenangkan kerumunan yang ada di luar mobilnya, tapi yang pasti ini semua harus segera diselesaikan. Diam seperti itu tidak bisa menyelesaikan masalah. Ia, mereka, butuh penjelasan yang sangat jelas tentang masalah ini.

"Tuan Patrick Zala tolong keluarlah, sebelum kaca mobil mahal ini menjadi pecahan kecil." ancam Cagalli. Pemilik mobil masih belum menyerah meski ancaman telah keluar dari mulut Cagalli. Cagalli pun kembali menggedor kaca mobilnya. Melakukan realisasi dari kata-kata yang telah ia keluarkan.

Setelah pukulan keempat, kaca jendela pun diturunkan. Menunjukkan seseorang berambut biru dengan kacamata hitam yang menutupi matanya. Pria itu bukan orang yang seharusnya ia lihat. Ia seharusnya melihat pria paruh baya dengan rambut putih di sana. Bukan pria muda berkacamata yang duduk dengan tenangnya di dalam mobil.

"Kau mau aku mendengarkan suara kalian?" tanyanya tanpa menoleh, hanya melirik Cagalli yang berada di luar mobil. "Sepertinya aku sudah mendengarkan suara kalian sampai telingaku terasa sakit."

"Kau!" Kepala Cagalli terasa mau meledak, kesal dengan sikap acuh orang di depannya. Ia mengepalkan kedua tangannya. Ia merasa tangannya sudah siap untuk dilayangkan ke muka pria tidak sopan di depannya. "Tidak bisakah kau bersikap sopan. Turun dan lepas kacamatamu itu. Bicarakan masalah kita di luar."

Pria berambut biru itu tetap diam. Tidak menghiraukan kata-kata yang dilontarkan Cagalli.

"Kau pikir ini bukan masalah?! Mungkin ini bukan masalahmu, tapi ini masalah untukku dan orang-orang yang berdiri di belakang sana! Kau tidak bisa seenaknya saja menggusur tempat ini seperti kau menggusur orang-orang sebelumnya kau gusur!" Cagalli mengoceh tak sabar dengan pria di depannya.

Pria berambut biru itu menaikkan sebelah alisnya. "Sudah selesai?" tanyanya singkat.

Entah apa yang merasuki Cagalli. Ia reflek menarik kerah pria itu. Menariknya mendekati jendela agar semua orang melihat rupa dari orang yang akan mengambil hak dari tangan mereka. "Kau," Cagalli melebarkan matanya, "Jangan remehkan aku dan orang-orang di daerah ini."

"Oh?"

Cagalli melempar pria itu, membentur sandaran tempat duduk di mobilnya. Pria itu tersenyum sinis sambil membetulkan bajunya yang kusut karena cengkraman tangan Cagalli.

"Sudah puas?" tanyanya ketus. "Kalau sudah, tolong bilang pada orang-orang di depan mobilku untuk menyingkir. Aku ada urusan setelah ini." tanpa berbicara lebih panjang, pria itu menaikkan kaca mobilnya. Membuat Cagalli bertambah murka. Rasanya ia ingin menendang orang itu bersama dengan mobilnya. Untung saja seseorang menahannya dan meminta orang-orang yang berada di depan mobil itu untuk menyingkir.

Cagalli bersumpah, ia tidak akan melupakan wajah orang itu. Ia akan mengingatnya.

Pasti.

A/N:

Diedit pada tanggal : 26 Maret 2019