Bisa Apa?
Kim Mingyu x Jeon Wonwoo
T+
Disclaimer:
Sesungguhnya Seventeen adalah milik kita bersama.
Warning:
AU. Typo(s). Boys Love/sho-ai. OOC. Romance Comedy (mungkin)
.
.
Antara Aku, Ibuku, dan Tetanggaku.
.
.
"Kau datang bersama siapa Mingyu?"
Itu suara ibuku yang datang dari arah halaman ketika aku baru saja melepas sepatu dan menyuruh teman—ehem kekasihku untuk masuk.
Aku menghampiri ibuku, menggandeng tangannya dan sedikit menariknya untuk segera masuk rumah, "Ibu dari mana?"
Kulihat dahi ibuku mengernyit heran—mungkin heran karena aku bertanya seperti itu, padahal sebenarnya aku sangat tau kemana ibuku singgah, "Tentu saja kerumah keluarga Jeon."
Nah kan, sudah kuduga. Tapi tak apa, aku hanya ingin sedikit berbasa-basi kepada ibuku, agar terlihat rukun didepan kekasih cantikku.
Aku membimbing ibuku untuk masuk dan menyuruhnya untuk duduk diruang tamu, aku juga menyuruh kekasihku untuk duduk menemani ibuku sementara aku bergegas ke dapur untuk mengambilkan minuman dan camilan—yang tentu saja ditanggapi dengan raut heran dari ibuku.
Apalagi setelah aku meletakkan tiga gelas es limun dan juga setoples kue kering lalu mendudukkan diriku disebelah gadis cantik yang merupakan kekasihku selama sebulan ini, ibuku tiada henti memandangku dengan tatapan heran.
"Ibu, aku ingin mengenalkan seseorang padamu," ucapku dengan senyum—tampan. Tanganku menggenggam mesra tangan gadis disebelahku.
Kekasihku mengulas senyum manis—senyum yang membuatku terpesona. Ia menunduk sopan, "Saya Kim Minkyung, teman Mingyu—"
"Kekasih. Dia kekasihku, eomma," potongku cepat. Aku bisa melihat Minkyung melotot kearahku, tapi aku hanya tersenyum. Untuk apa Minkyung mengatakan kalau ia temanku? Aku 'kan mengajaknya kerumah untuk mengenalkannya pada ibuku sebagai kekasihku.
Agar ibuku tau, aku sudah memiliki seorang kekasih yang cantik.
Cantik dan memiliki gunung kembar didadanya.
Cantik dan seorang perempuan tulen.
Kulihat ibuku memicingkan matanya, menatap Minkyung dengan pandangan menilai, membuat gadisku agak tak nyaman. Apalagi ketika ibu menatap tajam tanganku yang masih setia mengenggam tangan halus gadisku.
"Kau Kim Minkyung," ibuku menunjuk Minkyung, lalu tangannya menunjuk Mingyu, dahinya berkerut dalam, "Dan kau, Kim Mingyu. Kalian?"
Aku memutar kedua bola mataku malas, sudah hapal dengan pola pikir ibuku yang memang sedikit—sangat unik, "Marganya memang Kim. Ibu pikir keluarga Kim hanya kita? Lagipula aku tidak sebodoh itu untuk membawa anak gadis orang kawin lari."
Aku meringis, mataku menatap tajam Minkyung yang baru saja mencubit pinggangku.
Ibuku mendengus, ia menatap sekilas kearah Minkyung.
"Mingyu, sudah waktunya makan malam, ibu harus memasak," ucap ibuku seraya berdiri meninggalkan kami.
Kali ini giliran aku yang mendengus, beliau bahkan tidak menanggapi Minkyung.
"Ibumu tidak suka padaku ya?" bisik Minkyung yang hanya mampu kujawab dengan gelengan pertanda tidak tahu.
Aku memutuskan untuk mengobrol sebentar dengan Minkyung, entah itu seputar masalah ujian yang semakin dekat—aku masih kelas tiga SMA ngomong-ngomong—sampai aku curhat mengenai masalah pribadiku yang masih terlalu muda untuk dijodohkan.
Iya, aku dijodohkan.
Mungkin lebih tepatnya, ibuku yang mendesakku untuk bersama dengan orang pilihan beliau.
Minkyung tertawa menanggapi curhatanku. Ia menepuk bahuku pelan pertanda bela sungkawa. Inilah yang kusukai dari Minkyung—selain visualnya yang benar-benar cantik—sifatnya benar-benar menyenangkan—maksudku, ia enak diajak mengobrol dan berbagi keluh kesah, dan ia adalah satu-satunya gadis yang pernah menolakku sebelum akhirnya jatuh dalam pelukanku setelah dua bulan lamanya aku mengejarnya.
"Mingyu, ini sudah malam, apa Minkyung tidak ingin pulang?"
Aku menghela napas panjang, ibuku secara tidak langsung mengusir Minkyung, "Biar Minkyung makan malam disini dulu."
Bisa kulihat ibuku memicingkan mata tidak suka, "Tidak baik seorang gadis pulang terlambat. Apa orang tua Minkyung tidak mencarinya?"
Minkyung tertawa ringan, "Bibi benar, aku harus segera pulang. Ayah dan ibuku pasti mencariku. Kalau begitu saya pulang dulu, bi. Maaf sudah merepotkan."
Aku tersenyum—menyeringai, kekasihku ini selain cantik juga sangat sopan. Benar-benar wanita idaman, seharusnya itu bisa melunakkan hati ibuku, walau hanya sedikit.
Tapi kenyataannya ibuku masih memasang raut yang sama—raut tidak tertarik.
"Aku akan mengantar Minkyung pulang," ucapku sembari meraih kembali kunci motorku.
"Sebentar lagi makan malam. Sampai kau telat, makananmu akan ibu berikan pada Mopo," ancam ibuku sebelum menghilang dibalik tembok—kembali ke dapur.
"Mopo?"
"Anjingku. Maaf aku tidak bisa mengantarmu pulang. Kau tau, aku tidak bisa menentang ibuku. Beliau bisa mengamuk jika aku membantah," ucapku dengan nada bersalah.
Minkyung tertawa, ia mengibaskan tangannya, "Tak masalah. Antar saja aku sampai pagar depan dan aku anggap kau sudah mengantarkanku."
Aku tertawa, kuacak surai panjangnya gemas. Duh, Minkyung itu memang benar-benar pengertian dan berbeda dengan gadis-gadis yang sebelumnya kukencani. Aku jadi semakin menyukainya.
Akhirnya aku mengantarkannya hingga pagar depan—sungguh, tindakanku ini benar-benar mencoreng sifat lelaki sejatiku. Tapi mau bagaimana lagi? Kuasa ibuku jauh lebih besar. Aku mengobrol sebentar dengan Minkyung—yang isinya hanyalah perkataan semacam, 'Kau tidak apa pulang sendiri?', 'Yakin tidak ingin diantar?'.
"Mingyu, apa bibi di—oh ada temanmu, maaf aku menganggu."
Aku menoleh—begitu juga dengan Minkyung. Aku tersenyum ketika mendapati seseorang yang setahun lebih tua dariku yang merupakan sahabatku sejak kecil sekaligus tetangga kesayangan ibuku, Jeon Wonwoo.
"Ada didalam. Masuk saja, tumben kemari," aku mencoba berbasa-basi.
Ia tersenyum canggung, tangannya mengangkat kotak makanan transparan yang sudah kosong, "Mengembalikan ini. Kutitipkan padamu atau?"
"Masuk saja, ibu pasti senang kalau kau berkunjung. Lagipula sebentar lagi kami akan makan malam. Makan malam disini saja sekalian, orangtuamu belum pulang dari Changwon 'kan?" ucapku yang dijawab dengan helaan napas darinya—yang berarti 'baiklah'.
Aku menatap punggung Wonwoo yang terbalut sweater berwarna peach hingga punggung itu menghilang dibalik pintu rumah. Aku beralih ke kekasih cantikku yang juga tengah menatap kearah yang sama.
"Berkedip. Matamu sampai mau keluar karena menatapnya," sinisku.
Minkyung menatapku serius, "Mingyu, kau dijodohkan ibumu 'kan? Dengan siapa?"
Aku mengernyit, "Untuk apa kau tau?"
"Sudah jawab saja."
Aku menghela napas, "Dengan orang yang kau lihat tadi, Jeon Wonwoo."
Minkyung menganggukkan kepalanya mengerti, ia terdiam sebentar. Diam yang membuatku merasa merinding dan curiga.
Beberapa menit kemudian Minkyung menatapku serius, ia menggenggam tanganku lembut. Aku sampai terlena.
"Mingyu, ayo kita putus."
Ha?
"A-apa?"
Minkyung mengulas senyum manis—senyum yang semakin menghancurkan hatiku, "Iya. Ayo kita putus."
"Tapi?"
Aku tidak mengerti, kenapa Minkyung tiba-tiba meminta putus? Karena perilaku ibuku? Atau karena Minkyung sudah tau jika aku?
Tidak! Minkyung sudah memaklumi perilaku ibuku dan juga ia sudah mengetahui mengenai perjodohanku. Lalu kenapa?
"Kau terlihat cocok dengannya! Sangat cocok! Kau tidak usah khawatir, aku mendukung kalian! Kalau kau membutuhkan bantuan untuk mendekatinya jangan sungkan untuk meminta bantuanku!" ucapnya bersemangat.
"Nah, aku pulang dulu. Kau cepat masuk sana, calon istrimu sudah menunggu!"
Aku hanya bisa melongo melihat sosok Minkyung yang sudah balik badan dan meninggalkanku dalam lembah ketidak pahaman yang tak berujung.
Apa-apaan ini?
Belum sampai sepuluh langkah Minkyung menjauh, gadis itu berlari kearahku. Ia menarik lenganku, aku berharap Minkyung ingin mengatakan bahwa apa yang tadi hanyalah lelucon garingnya.
Ya pasti Minkyung sedang mengerjaiku—seperti biasanya.
Minkyung sedikit berjinjit ketika ia berbisik ditelingaku, "Ngomong-ngomong Jeon Wonwoo itu cantik dan manis sekali walaupun wajahnya emo begitu. Kau harus cepat-cepat menikahinya sebelum dia direbut orang lain."
Oh Tuhan.
.-.-.
Disinilah aku sekarang, berdua dengan ibuku di ruang keluarga dengan ibuku yang tengah menonton drama romantis. Aku hanya menatap tanpa minat, moodku hancur berantakan.
Kenapa? Apalagi jika bukan karena ucapan Minkyung tadi?
Astaga, kenapa bisa-bisanya gadisnya itu memutuskannya dan lebih merestuinya untuk menjadi belok dengan Jeon Wonwoo?!
"Ibu tidak suka gadis tadi," ibuku buka suara.
Aku menghela napas, "Aku baru putus dengannya—karena Jeon Wonwoo."
Aku sengaja menekan nama Jeon Wonwoo—yang sudah pulang beberapa menit yang lalu—yang membuat ibuku menatapku dengan tatapan membunuh.
"Sebenarnya anakmu itu aku atau Wonwoo sih?" sungutku tak terima.
"Kau anakku, Wonie itu menantu kesayanganku."
UHUK!
"Ibu~" rengekku tanpa sadar.
Tatapan ibuku mulai melembut, ia memegang kedua tanganku. Aku memutar kedua bola mataku malas. Mulai lagi.
"Mingyu-ya, apa kurangnya Wonwoo sih? Dia langsing, tinggi, kulitnya juga cantik sekali meskipun agak pucat. Wajahnya? Ya ampun, wajah Wonwoo itu manis sekali, coba perhatikan kalau dia tersenyum. Hidungnya Mingyu-ya! Hidungnya! Hidungnya akan mengerut lucu. Kau bahkan sudah mengenal sifatnya. Kau sudah mengenalnya luar dalam, kau tidak akan menyesal jika menikah dengannya!" ucap ibuku dengan menggebu-gebu.
Apa yang dikatakan ibuku memang benar. Jeon Wonwoo itu tubuhnya tinggi dan langsing—apalagi pinggangnya yang begitu menggoda. Kulitnya putih pucat dan sangat halus jika disentuh. Suaranya dalam—tapi akan berubah sangat menggemaskan ketika ia beraegyo. Meskipun wajahnya sering menampilkan ekspresi emo, sekali ia tersenyum, madu saja kalah manisnya.
Jeon Wonwoo itu memang mempesona, bisa membuat siapa saja mabuk kepayang.
Mungkin aku juga.
Tapi seperti apa yang dikatakan ibuku, aku sudah mengenal luar dan dalam seorang Jeon Wonwoo. Apalagi dalamnya, aku sangat mengenalnya. Maka dari itu menolak.
"Ibu, Wonwoo hyung itu punya juga punya pedang sepertiku. Kenapa ibu menyuruhku menikahinya? Ibu tidak kasihan jika aku nantinya malah pedang-pedangan dengannya?"
Seandainya Wonwoo itu tidak memiliki sesuatu yang menggantung diantara pahanya, aku rela memacari—bahkan menikahinya saat ini juga.
Sayangnya aku bukanlah pecinta pedang. Aku masih sangat lurus. Dan aku begitu membanggakan kelurusanku.
Tapi sepertinya orang-orang disekitarku tidak mendukungnya. Buktinya, ibu dan kekasih—maksudku mantan—menyuruhku untuk belok.
Oh Tuhan.
"Apa salahnya? Bukannya pedang-pedangan lebih menantang? Memacu adrenalin 'kan? Rawr."
Aku merinding. Segera saja aku berlari menuju kamarku yang terletak di lantai dua, mengabaikan ayahku yang baru pulang dan keheranan melihatku berlari kesetanan ke kamar.
.-.-.
Aku memilih untuk duduk dipagar balkon dengan sekaleng soda ditanganku. Mataku menatap lurus kearah depan.
Kearah sebuah kamar berpintu kaca yang tidak tertutup tirai dan menampilkan sosok pemuda yang hanya mengenakan kaos longgar berwarna hitam dan celana basket merah yang sedang duduk di meja belajarnya dan sibuk sendiri dengan kegiatannya. Tangan rampingnya sesekali membenarkan letak kacamata bulat kesayangannya yang melorot.
Menggemaskan.
Aku tersentak.
Aku menggeleng horror. Tanganku menampar pipiku cukup keras.
Sadar Kim Mingyu! Kau ini idola sekolah! Pangeran sekolah yang digilai oleh banyak siswi. Jangan sampai kau belok karena terpesona oleh makhluk bernama Jeon Wonwoo!
Tidak! Dan jangan sampai!
"Kau butuh bantuan?"
"Hah?"
Aku melongo, menatap bodoh kearah Wonwoo hyung yang kini berdiri di balkon kamarnya dengan posisi bersandar pada pagar pembatas.
Jari rampingnya menunjuk kearah pipiku, "Aku bisa memukulnya dengan kuat kalau kau mau."
Aku bergidik ngeri, reflek aku memegang pipiku dan melangkah menjauhinya. Balkon kamar kami berjarak tidak terlalu jauh, jika salah satu dari kami memiliki bakat lompat jauh, mungkin mudah saja untuk singgah ke balkon satu sama lain.
Aku melongo menatap Wonwoo hyung yang sedang tertawa. Punggung tangannya menutup mulutnya dan hidungnya mengerut lucu.
Manis sekali ya Tuhan.
Astaga!
Tidak! Kim Mingyu kau tidak boleh terpesona oleh Jeon Wonwoo! Tidak! Tidak boleh!
Tapi—tawa itu! manis sekali astaga.
Argh!
Ini semua karena ibu!
"Aku belum mau main pedang-pedangan!" teriakku tanpa kusadari.
Aku terkejut, reflek aku menepuk pelan mulutku. Mataku menatap Wonwoo hyung yang sudah berhenti tertawa dan menatapku dengan sepasang mata sipit yang menatap polos dari balik kacamata bulatnya.
Menggemaskan.
"ARGH!"
Teriakanku kembali terdengar, tanpa pamit, aku langsung masuk kedalam kamar, membanting pintuku dengan tidak berperi kepintuan dan menutup seluruh tirai jendela, menjauhkanku dari manusia bernama Jeon Wonwoo.
"KIM MINGYU JANGAN MEMBANTING PINTU! AWAS JIKA ENGSELNYA RUSAK, IBU AKAN PATAHKAN SENDIMU UNTUK MENGGANTINYA!"
Aku kembali berteriak, bukan karena ancaman ibuku. Tapi dari ancaman pesona Jeon Wonwoo yang perlahan mulai meracuniku.
"KAU LURUS KIM MINGYU! LURUS! SELURUS TIANG LISTRIK! YA! KAU MASIH LURUS!"
"BERISIK KIM MINGYU! IBU TIDAK BISA MENDENGAR DIALOG DRAMANYA!"
.
.
To Be Continued.
.
(hehe, bawa karya baru hehe. Ini buat ganti ff Servant yang harus terbengkalai karena aku kehilangan pijakan untuk melanjutkan chapter tiga karena yah—Servant jalan ceritanya nanti akan sedikit berat. Jadi aku putuskan untuk menggantungnya sementara waktu sampai aku dapat hidayah)
(Baru kali ini bikin ff pake sudut pandang orang pertama, agak kaku gmn gitu. Soalnya keseringan pake sudut pandang orang kedua—dan ketiga, aku suka banget pake sudut pandang orang ketiga, apalagi kalau genrenya angst, beuh. Kadang aku suka meler sendiri pas ngetik /gakwoy)
(Dan ini perdana aku ngambil genre romance comedy? Gasadar diri emang, padahal aku ini orgnya humornya begitu memprihatinkan, apalagi masalah romance. Duh gusti, jangan tanya, nol banget, sampai tak kunjung dilamar /woy)
(yasudah, semoga ini romance comedynya tersampaikan hehe. Apasih, baru juga chapter satu. Intinya semoga kalian terhibur dan menyukainya!)
(jangan lupa review ya, review kalian sangat berarti bagiku~ ppyeong~)
.
(ps: aku buat ff ini juga dalam rangka menguatkan pondasi meaniku yang sudah diterpa angin bottom!wonwoo. ugh, wonu manis gitu sih, jadi pengen bagi-bagi kan)
