"When the Half Demon Fox Fall in Love"
[Chapter one of Five]
Cerita cinta antara pria Setengah siluman yang bekerja sebagai guru dan seorang ibu muda yang baru masuk SMA di usia 17 tahun.
Dunia tidak mengenal kata adil.
Atau lebih tepatnya, adil adalah mimpi semua umat manusia. Suatu sifat imajiner yang tidak akan menjadi nyata. Walau semua orang mencarinya, bentuknya tidak akan bisa ditemukan dimanapun.
Tidak ada keadilan yang mutlak. Pasti ada yang perlu dikorbankan, pasti ada yang tersisihkan.
Begitulah sistem dunia bekerja. Menggilas, tak peduli apapun itu.
Naruto adalah seorang pria yang ceria. Dia pandai melupakan hal yang melukainya. Tiga pasang goresan di pipinya yang menyerupai kumis itu menjadi bukti konkrit kepahitan yang diembannya selama 37 tahun ia hidup. Namun, sepahit apapun itu, Naruto tidak pernah menunjukkan wajah sedihnya di depan semua orang. Dia selalu tersenyum, atau lebih tepatnya bersembunyi di balik senyumnya.
Kelahiran Naruto sendiri merupakan sebuah hal yang tidak diharapkan. Dia lahir dari persilangan antara manusia dan siluman rubah. Dia dibesarkan oleh sang ayah, dan ibu yang hanya ada di dekatnya pada siang hari. Pada malam hari, ibunya pergi entah kemana. Awalnya, dia mengira ibunya pergi untuk bekerja. Namun kejadian saat itu menjelaskan semuanya.
Malam yang dingin, di pinggir Kota Uzu. Saat itu, Naruto yang baru pulang dari study tour melihat dengan kedua matanya sendiri. Di pembuangan air di dekat rumahnya, Naruto menemukan mayat sang ayah yang sedang memeluk seekor rubah betina dengan bulu merah. Ayahnya meninggal dengan luka bacok, sementara rubah itu ditembak dan kemudian dibakar. Naruto bahkan tidak yakin itu adalah ibunya, namun instingnya membuatnya yakin bahwa rubah itu adalah sang ibu. Kalau saja ayahnya tidak menceburkan diri bersama ibunya ke pembuangan air itu, Naruto tidak bisa melihat sosok ibunya dengan sejelas itu.
Dia hanya menurut kepada alam bawah sadarnya dan mulai menangis, meraung. Malam itu menjadi malam yang kelam bagi Naruto. Berapa kalipun dia meneriakkan nama ayah dan ibunya, mereka tidak akan kembali. Mereka tidak akan ada lagi untuk membangunkan Naruto dengan senyum. Mereka tidak akan ada lagi untuk sekedar menggandeng tangannya ketika Naruto mulai berjalan tak tentu arah.
Saat itu, Naruto kecil kehilangan segalanya. Harapannya. Dan juga kasih sayang orangtua.
30 tahun berlalu, kini Naruto tumbuh menjadi pria yang penuh dengan prinsip dan semangat hidup. Semua berkat Paman Jiraiya yang merawatnya di panti asuhan. Jiraiya, seorang ilmuwan mesum yang bekerja demi negara, menemukan Naruto yang tidak sadarkan diri di taman. Meskipun Naruto sudah mencaritakan seluruh latar belakang keluarganya dan berapa belas kali mencoba bunuh diri, Jiraiya tetap merawat Naruto dengan penuh tanggung jawab. Naruto dididik keras dibawah asuhan Jiraya, menjadi sosok pria yang disiplin, cerdas dan tidak tinggi hati.
"Ya, paman?" Naruto mengapit handphonenya diantara telinga dan bahu bagian kirinya, kemudian kembali menulis disebuah notebook kecil, "Suratnya belum sampai, paman. Dan kenapa paman tidak mengingatkanku untuk membawanya kemarin?"
Naruto tidak berhenti berjalan. Dia menutup notebooknya dan kembali memegang handphone dengan tangan kanannya. "Apa? Sudah berapa kali paman ketahuan mengintip? Paman, belajarlah sedikit dari pengalaman paman dan jangan mengulanginya," ujar Naruto sambil menggelengkan kepalanya.
"Bukannya begitu, tapi aku hanya–," Naruto tiba-tiba terdiam. Matanya, perhatiannya, dan kerja otaknya berfokus pada satu titik. Naruto kemudian menoleh kebelakang, mengikuti sosok tadi yang berjalan melaluinya.
"Woi, bocah!" suara Paman Jiraiya terdengar sangat nyaring dari handphone Naruto, membuat pria itu mampu mengumpulkan kembali pikirannya.
"Ah, iya, maaf, paman. Tadi ada orang lewat dan sepertinya aku kenal," balas Naruto. Bohong. Ya, pria itu telah berbohong.
Sosok yang tadi lewat sama sekali bukan kenalannya. Sosok itu baru pertama kali dia lihat sejak 3 tahun dia bekerja di desa ini. Sosok perempuan dengan rambut indigo dan kulit putih. Sosok itu entah kenapa bisa mengacaukan semua pikirannya. Naruto memegang bagian dadanya dan merasakan suatu perasaan yang berbeda.
Naruto kembali berjalan, kini dengan beberapa kantong palstik yang dia bawa di tangan kirinya dan sebuah notebook di tangan kanannya.
"Ramen cup...sudah. Shonen Jump...sudah. Celana dalam...sudah. Gula...sudah. Em, sepertinya sudah semua," gumam Naruto. Pria itu memastikan bahwa tidak ada barang yang lupa dibeli kali ini. Naruto sengaja memilih rute yang berbeda dari biasanya.
Biasanya, dia akan berjalan dari toko serba ada ke rumahnya melalui jalan raya dan jembatan besar. Namun kali ini, Naruto memilih jalan memutar dan menyeberangi sungai. Sungai itu memang lebar, tetapi disatu titik, terdapat aliran yang dangkal dan tidak deras. Naruto berniat untuk lewat sana.
Langkah Naruto kemudian berhenti ketika dia melihat sosok tadi berdiri di tepi sungai, sosok yang beberapa puluh menit yang lalu mengacaukan pikirannya dan membuat dadanya sakit. Perempuan itu jongok memeluk lututnya sendiri dan menatap sungai dengan ekspresi sedih.
Naruto kemudian iba dan mendekati perempuan itu. Dia menepuk pundak perempuan itu pelan dan perempuan itu tersentak kaget. Dia menolehkan kepalanya dan menatap Naruto dengan mata berkaca-kaca. Belum sempat Naruto mengeluarkan sepatah kata, Perempuan itu langsung berdiri dan berlari meninggalkan Naruto.
Naruto hanya tersenyum miris. Apakah ini sebuah kutukan? Kutukan karena Naruto adalah hasil persilangan antara manusia dan siluman sehingga dia tidak bisa diterima oleh semua perempuan? Sampai kapan ini akan berlanjut? Sampai Naruto mati? Ayolah, itu tidak lucu.
Naruto menggelengkan kepalanya dan kembali tersenyum. Dia kemudian menyeberangi sungai itu, melompati satu per satu batu besar yang mencuat melebihi permukaan air.
Semua orang didesa ini percaya bahwa 3 pasang goresan di pipi Naruto adalah luka bekas cakaran. Ada beberapa orang yang mengaitkannya dengan kekerasan dalam rumah tangga yang dialami Naruto oleh mantan istrinya. Adapula yang mengatakan bahwa luka itu akibat cakaran dari mertuanya karena Naruto selingkuh. Tapi tidak ada satupun yang benar.
Nyatanya adalah Naruto belum menikah, pacar Naruto selingkuh dan menikah lebih dulu dengan temannya sendiri. Ketidak beruntungan Naruto dalam hal percintaan memang tidak usah dipertanyakan. Hal itu Naruto anggap sebagai ganti dari ijin untuk hidup. Maksudnya, makhluk seperti dia bisa terus hidup pun adalah keberuntungan yang luar biasa.
Setelah keluar dari panti asuhan, Naruto kemudian memutuskan untuk bersekolah di sekolah pendidikan guru. Setalah bertahun-tahun sekolah, kini Naruto menjadi sosok guru yang ideal. Sosok guru inspiratif dan motivatif, yang ceria dan penuh semangat. Dia adalah guru yang dekat dengan semua murid, apapun latar belakangnya.
Lebih rinci, Naruto mengajar di SMA Negeri Konoha. Satu-satunya sekolah menengah atas negeri di desa Konoha. Berbeda dari sekolah negeri lainnya, sekolah itu bahkan mau menerima murid dengan latar belakang bermasalah. Namun dibalik itu, semua muridnya lulus dengan kualitas yang patut diacungi jempol. Termaksud Naruto sendiri, dia merupakan alumni dari sekolah itu.
Naruto merapikan dasinya, agak gugup untuk acara penerimaan murid baru. Tadi pagi, kepala sekolah baru saja membagikan daftar kelas dan Naruto sekali lagi kedapatan menjadi wali kelas di kelas 10. Pria itu sekilas membaca riwayat dari calon muridnya dan menghela nafas. Lagi-lagi ada murid bermasalah. Murid itu masuk SMA diusia 17 tahun? Naruto bahkan terlalu pusing untuk bisa tertawa ketika memikirkan hal itu. 'Apalagi kali ini? mantan preman? Baru keluar dari rehabilitasi narkoba?' batin Naruto.
'Siapa namanya? Hyuuga?'
Naruto memandangi kelas yang satu tahun kedepan akan berada dibawah pengawasannya. Dia agak terkejut begitu menyadari bahwa ada perempuan yang kemarin menangis di pinggir sungai. Rupanya anak itu baru SMA dan bersekolah disini.
'Sejauh ini, semuanya aman. Tidak ada yang terlihat seperti preman,' batin Naruto.
Pria itu berdehem dan kemudian berkata, "Yak, selamat pagi. Saya adalah guru wali kalian, ingat baik-baik, Naruto Uzumaki, oke? Panggil pak Naruto. Bukan om, bukan kak. Selama satu tahun kedepan, jangan ragu untuk berkonsultasi dengan bapak. Bisa dimengerti?
Baiklah, tanpa basa basi, kita langsung mulai perkenalannya. Mulai dari kamu yang kucir kuda."
Naruto memperhatikan satu per satu muridnya sambil menggut-manggut. Dia terkadang menandai beberapa murid yang perlu perhatian khusus. Tahun ini, murid yang diterima jauh lebih sedikit dari tahun sebelumnya karena memang jumlah anak-anak yang semakin berkurang. Ada 20 anak dikelas ini yang akan jadi anak walinya di sekolah. Sebagian besar adalah laki-laki, namun tidak terlihat satupun yang berwajah menyeramkan dan mencurigakan. Selama 18 anak yang melakukan perkenalan, semuanya aman.
Tiba di anak yang ke 19, perempuan yang kemarin dia temui di pinggir sungai. Dia berdiri, menunduk. Tidak bicara apapun. Dan ketika mulai terdengar suara bisikan dari seluruh murid dikelas itu, anak tadi jadi gemetar. Naruto menghela nafas.
"Diam! Ayo, semuanya diam! Tolong dihargai teman yang akan memperkenalkan diri," ujarnya agak membentak. Semua anak langsung menghentikan obrolannya dan kini menatap anak tadi dengan tatapan sinis. Naruto kembali menghela nafas.
"Baiklah, Haruno-san –," ujar Naruto. Tapi perkataannya dipotong oleh anak yang duduk di samping anak tadi.
"Pak guru, saya yang namanya Haruno! Bukan si aneh itu!"
Naruto mengerutkan dahinya. Dia mengecek lagi daftar absennya. Dan ketika mengetahui nama anak tadi, Naruto menelan ludahnya.
"Ba, baiklah. Maafkan pak guru, ya, Haruno-san. Yak, emm," Naruto membaca lagi absennya, "Hyuuga-san, kamu boleh duduk. Nanti sepulang sekolah temui bapak sebentar di laboratorium bahasa, ya," ujar Naruto. Murid bermasalahnya jauh lebih bermasalah dari sekedar preman. Naruto saat itu belum sadar kalau anak itu menyimpan masa lalu yang sama pahitnya dengan masa lalunya. Dan dia juga belum sadar, anak itu akan menjadi sangat penting baginya di masa depan.
Sebagai orang dewasa, Naruto tidak percaya bahwa jantungnya dipermainkan oleh anak yang 20 tahun lebih muda darinya. Anak itu, Hinata Hyuuga, bagaikan sosok perempuan dewasa lemah lembut yang rapuh yang dibalut seragam SMA. Naruto bertaruh, kalau dia seumuran dengan anak itu, dia akan jadi orang pertama yang menembaknya. Sayang, nyatanya mereka tidak seumur. Naruto jauh lebih tua dan dia bekerja sebagai guru –sebuah dinding penghalang baginya untuk menjalin hubungan yang dalam dengan murid.
Hinata sepertinya punya sedikit masalah dalam bersosialisasi. Sudah lebih dari 15 menit Naruto menunggu gadis itu menjawab pertanyaannya di laboratorium bahasa –ruang kerjanya di sekolah itu. Padahal Naruto hanya menanyakan asal dari gadis itu, pertanyaan yang hanya memerlukan dua atau tiga kata untuk menjawabnya.
"Hm, baik kalau kau tidak mau menjawab, bapak tidak akan memaksa." Akhirnya Naruto menyerah. Dia kembali tersenyum dan berdiri. Di ruangannya di laboratorium bahasa ini sudah seperti perpustakaan kecil. Banyak buku sastra yang dibawanya dari rumah untuk bahan pembelajaran di sekolah. Salah satu buku itu diambilnya dan di tunjukkannya pada Hinata.
"Berjalan di benang takdir. Buku ini bapak rekomendasikan untukmu, Hyuuga-san," ujar Naruto, "Bapak tidak tahu kenapa kamu sekarang sulit untuk mengatakan sesuatu. Tapi dunia tidak akan melembek jika kau melemah. Dunia akan semakin ganas, dan akhirnya eksistensi mu yang menjadi mangsa."
Hinata hanya menunduk dan terdiam. Dia bahkan tidak menatap Naruto, dan pria itu juga tidak yakin apakah perempuan itu mendengarkannya atau tidak. Naruto kembali berpikir. Dia mengambil tasnya dan mengeluarkan sebuah Notebook dari sana.
"Buku kecil ini bapak pakai untuk mengungkapkan sesuatu yang ingin bapak lakukan. Hyuuga-san, jika sesuatu dibiarkan meradang di hatimu, itu akan berdampak pada pikiran dan tubuhmu. Ketika berbicara menjadi sulit, bukankah akan lebih mudah untuk menuangkannya dalam tulisan?" ujar Naruto. Dia kemudian membuka buku itu dan menuliskan sesuatu di lembar baru.
Kemarin saat dipinggir sungai, bapak melihat Hyuuga-san menangis. Bapak tahu, hal berat sedang atau telah menimpamu. Tidak perlu dipaksakan, bapak juga pernah merasakannya. Saat dimana rasanya sulit untuk hidup dan hidupku sendiri tida berharga. Tapi jika terus berpikir seperti itu, kau tidak akan tahu ada orang yang menemanimu, mendukungmu.
Naruto tersenyum dan menyerahkan notebook-nya kepada Hinata.
"Mulai hari ini, Hyuuga-san wajib menulis apa yang Hyuuga-san rasakan di Notebook ini dan taruh di meja bapak setiap pagi dan ambil ketika pulang sekolah. Lakukan itu, selama sebulan kedepan. Bisa dimengerti?"
Hinata mengerutkan dahinya. Tugas aneh macam apa kali ini? Hinata baru saja ingin protes, tapi dia kembali menutup mulutnya. Dia yang sekarang tidak akan bisa berpendapat, tidak selagi masa lalu masih menghantuinya.
Naruto tidak menghilangkan senyumnya ketika ia berdiri dan menepuk pundak Hinata. Namun, Hinata langsung terkejut. Dia berdiri dan mendorong Naruto, berlari kencang menuju kamar mandi. Dia memandang wajahnya dengan mata melotot di cermin. Sorot matanya lalu berpindah memandangi pundak yang tadi disentuh Naruto. Hinata kembali gemetar. Dia, dengan tangan yang gemetar, membuka keran air dan mencuci tangan. Keringat dingin mulai menetes dan nafasnya semakin cepat.
Wird Fortgesetzt/To be Continue/
Halo, apa kabar? Mizutto balek lagi. Kali ini dengan cerita yang agak serius. Cerita ini tentang Naruto yang menjalani hidupnya dengan penuh penderitaan selama 30 tahunan hidup dan Hinata yang ternyata sudah jadi Ibu muda.
Naruto yang awalnya mendekati Hinata karena tugasnya sebagai guru wali, akan mengalami kesulitan di peryengahan cerita. Duuh, kenapa ya?
Nah, selese bagi-bagi spoiler nya. Sekarang Mizutto mau bagi-bagi pertanyaan!
PERTANYAAN: Apa yang terjadi dengan Hinata di masa lalunya? sampai dia jadi diem terus dan ketika di sentuh Naruto jadi seperti itu?
CLUE: Sebuah tindakan asusila.
Apa yaaa? Penasaran ndak? Yuk, yuuuk, jangan lupa pantengin fanfic-nya, terus jangan lupa REVIEW, FOLLOW, atau FAVORITE-in ceritanya.
Dijawab, yaa, pertanyaannya. Review akan dibalas lewat PM, yaa... kalau ndak punya akun, akan dibalas di chapter berikutnya.
salam,
Christopher Mizutto
7/12/16
Semarang, Jateng
