Nightmare
.
Naruto milik Masashi Kishimoto.
.
Real Story by K.R
.
Tachibana Ema
.
Warning AU, OOC, OC, Miss Typo DLL
.
.
Nemuro, Hokaido, Jepang. Januari, enam bulan sebelumnya.
Matsuri merasakan gejolak di perutnya. Hari ini akan menjadi hari istimewanya. Dia sudah menunggu selama belasan tahun yang panjang, tapi hari ini penantian itu akan segera berakhir. Hari ini dia akan menjadi seorang wanita. Memang sudah waktunya, bukan? Mengingat usianya sudah menginjak usia dewasa.
Matsuri menyilangkan ke dua tangannya dan berusaha keras untuk berhenti memikirkan hal itu. 'Tenang Matsuri. Tidak ada yang perlu dirisaukan. Ini sesuatu yang alami. Semua teman-temanmu sudah melakukanya, bahkan beberapa diantara mereka ada yang melakukannya lebih dari dua kali. Dan hari ini giliranmu untuk merasakannya.'
Saat itu Matsuri sedang duduk di atas tempat tidur hotel sambil membersihkan debu yang ada dikunci kamar hotel, karena sebelumnya kunci itu disembunyikan disuatu tempat yang cukup berdebu, Kunci itu disembunyikan Rai, pemuda yang akan segera ditemuinya. Setiap mengingat pemuda itu Matsuri merasa gemetar dan senyum tipis selalu terbentuk dibibirnya.
Perkenalan dirinya dengan Rai berawal dari sebuah aplikasi yang dinamakan chat room, dari sanalah Matsuri mengenal Rai, pemuda yang menurutnya sangat cocok dengan kepribadiannya. Rai seorang mahasiswa dari perguruan tinggi ternama di kotanya, maka dari itu Matsuri rela memberikan hal paling berharganya pada pemuda itu. Lagi pula Rai juga lebih pengalaman untuk mengajarinya dari pada laki-laki menjijikan yang mencoba menyentuh anak perempuan setiap kali koridor dipenuhi siswa karena jam istrihat.
Sudah seminggu ini Matsuri sangat menanti-nantikan hari ini. Karena hari ini dia akan diperlakukan seperti seorang wanita dewasa. Tidak seperti ibunya yang selalu memperlakukannya seperti anak kecil dan terus-menerus menceramahinya tentang berbagai hal tentang kedewasaan, setiap mengingat hal itu Matsuri selalu memutar matanya tak percaya. Kalau dia terus menuruti perintah ibunya, dia tidak akan pernah menjadi wanita dewasa, atau yang lebih parahnya dia akan jadi perawan tua.
'Untung aku lebih pintar dari ibu,' batinnya saat itu.
Matsuri menyeringai senang, setiap mengingat semua yang dilakukannya untuk menutupi jejaknya pagi ini. Tidak seorang teman pun tahu kalau dia ada di sini. Jadi teman-temannya tak akan bisa membual meskipun menginginkannya. Setelah semuanya selesai dia akan ada di rumah, baik-baik saja dan benar-benar telah becinta, sebelum ibunya pulang kerja.
Ketika ibunya pulang nanti, pasti ibunya akan bertanya. "Bagaimana harimu sayang?" dan dia akan menjawab. "Yah, seperti biasa." Dan segera setelah itu dia akan kembali. Karena demi Tuhan, usianya sudah tujuh belas tahun dan tak seharusnya dia diceramahi apa yang ingin dia lakukan.
Lalu ponselnya tiba-tiba saja bergetar dan Matsuri kelabakan mencari di dalam tasnya. Dia menarik napas lega, ketika melihat nama sang pengirim pesan. Ternyata itu pesan dari Rai.
'Kau disana?' baca Matsuri.
Segera ibu jarinya mengetikan pesan balasan untuk Rai. 'Ya aku di sini, aku sedang menunggumu. Kau di mana?'
Tak lama setelah itu Matsuri langsung mendapat pesan balasan lagi, 'Orang tuaku sedang mengawasiku, mungkin aku akan sedikit telat, tunggu aku. Aku mencintaimu.'
"Orang tua Rai sedang mengawasinya," gumam Matsuri sambil memutar kedua bola matanya. "Ternyata orang tua Rai sama mengesalkannya seperti orangtuaku. Tapi tenang, Rai pasti akan segera menemuiku, karena dia mencintaiku."
Matsuri langsung membalas pesan itu dengan mengatakan, 'Aku juga mencintaimu,' lalu dia segera menyimpan ponselnya yang jadul itu kedalam tas. Sebenarnya dia sangat membenci ponselnya, karena ponselnya suda ketinggalan jaman, sedangkan teman-temannya sudah memakai ponsel android yang ada berbagai fitur-fitur menariknya. Ibunya punya ponsel seperti itu. Tapi apakah Matsuri punya? Jawabanya tidak. Kenapa? Karena Ibunya sangat pelit, ibunya pernah berkata kalau ingin punya ponsel seperti itu dia harus memperbaiki semua nilai-nilai rapornya yang buruk.
Mengingat hal itu Matsuri tersenyum mencemoh. 'Kalau saja ibu tahu dimana aku sekarang. Mungkin ibu akan terdiam sambil mengangakan mulutnya,' pikirnya.
Lalu tiba-tiba saja Matsuri mulai merasa gelisah. "Andai Ibu tidak memperlakukanku seperti anak kecil, mungkin aku tak akan melakukan hal ini," gumamnya seraya membawa tasnya ke meja rias dan memandang dirinya ke cermin. Dia tampak rapi, rambutnya juga tidak berantakan. Dia bahkan terlihat cantik. Dia ingin tampil cantik untuk Rai. Tidak, lebih tepatnya dia ingin tampil sexy dihadapan Rai.
Kemudian Matsuri mencari-cari sesuatu di dalam tasnya, setelah menemukan barang yang dicarinya dia mengeluarkannya dan tersenyum senang mengetahui benda itu tidak tertinggal. Benda itu adalah kondom yang dia ambil dari persedian ibunya yang tidak pernah digunakan. Untung saja kondom-kondom itu belum kaldaluarsa, jadi masih bisa dia digunakan.
Ketika menyadari kalau sudah terlalu lama dia menunggu, Matsuri melihat jam tangannya. Dan mulai merasa cemas karena Rai tidak kunjung datang, 'Di mana Rai? Aku bisa terlambat sampai rumah kalau Rai tidak datang sekarang.'
Lalu tiba-tiba saja pintu berderit terbuka dan Matsuri segera membalikkan badannya, dan senyum menggoda langsung menghiasi wajahnya, sebelumnya dia sudah berlatih untuk itu. Tapi ketika menyadari kalau itu bukan Rai, senyum di wajahnya langsung sirnah.
"Kau bukan Rai," kata Matsuri terpaku.
Pria itu seorang polisi dan dia menggelengkan kepalanya. "Bukan. Apakah kau Matsuri?"
Matsuri menaikkan dagunya seolah menantang polisi itu, padahal di dalamnya dia sangat ketakutan. "Apa pedulimu?"
"Kau tak tahu betapa beruntungnya dirimu. Namaku Pain. Kami sudah melacak pacarmu Rai selama berminggu-minggu. Pacarmu sebenarnya seorang bajingan bejat berumur enam puluh tahun."
Hinata menggeleng-gelengkan kepalanya tidak percaya pada apa yang diucapkan polisi itu. "Tidak mungkin. Aku tidak percaya," Matsuri segera berlari ke arah pintu. Dan berteriak. "Rai! Lari, ini jebakan! Mereka polisi."
Pain langsung memegang pundak Matsuri menahannya untuk lari, "Kami sudah menangkapnya."
Matsuri menggeleng-gelengkan kepalanya lagi, kali ini lebih lambat. "Tapi dia baru saja mengirimiku pesan."
"Aku yang mengirim pesan itu menggunakan ponselnya. Aku ingin memastikan kalau kau ada di sini dan tidak terluka," wajah Pain terlihat tulus ingin menolongnya. "Matsuri kau sangat beruntung. Sangat banyak predator di luar sana mencari gadis-gadis sepertimu, berpura-pura menjadi remaja seusiamu."
"Tapi dia bilang kalau usianya dua puluh tahun. Dia seorang mahasiswa."
"Dia bohong padamu," kata Pain sambil mengangkat bahunya. "Ayo kemasi barang-barangmu. Aku akan mengantarmu pulang."
Matsuri memejamkan matanya. Dia sering menyaksikan kejadian seperti ini di televise dan ibunya selalu menasihatinya. 'Kau lihat? Bajingan bejat ada di mana-mana,' begitu kata ibunya ketika menasehatinya.
"Ini tidak mungkin terjadi padaku," kata Matsuri sambil menghela napas. "Ibuku akan membunuhku."
"Lebih baik ibumu, dari pada bajingan itu," kata Pain datar. "Dia sudah pernah membunuh sebelumnya."
Seketika wajah Matsuri pucat pasi mendengar penuturan Pain. "Benarkah?"
"Setidaknya dua kali. Ayo, para ibu tidak pernah benar-benar membunuhmu."
"Ya, kau memang tahu segalanya," gumam Matsuri sambil meraih tasnya dengan marah. "Matilah aku, ibu akan mengurungku dan membuang kuncinya. Oh Tuhan," erangnya. "Aku tidak percaya ini terjadi padaku."
.
.
Matsuri mengikuti Pain menuju mobil tanpa lambang polisi itu. Dia bisa melihat lampu sirine yang bisa dilepas ada di jok belakang ketika dia membuka pintu mobil. "Masuk dan kenakan sabuk pengamanmu," perintah Pain.
Dengan cemberut Matsuri mematuhinya. "Kau bisa mengantarku ke stasiun saja," kata Matsuri. "Kau tidak harus memberitahu ibuku."
Pain memandang Matsuri dengan wajah geli sebelum menutup pintu. Pria itu duduk di belakang kemudi dan mengulurkan tangan ke belakang kursi, mengambil sebuah botol berisi air, "Ini. Tenanglah. Hal terburuk apa yang bisa dilakukan ibumu?"
"Membunuhku," gumam Matsuri, seraya membuka penutup botol, lalu meminum isinya sampai sepertiga botol tersebut dalam sekali teguk. Tanpa disadarinya dia sangat kehausan. Lalu perutnya berbunyi, ternyata dia juga kelaparan, karena pagi tadi dia tidak sempat sarapan karena terlalu tegang memikirkan pertemuannya dengan Rai si sialan itu. "Bisakah kau behenti di restoran cepat saji di depan pintu keluar tol? Aku belum makan hari ini. Aku bawa uang sendiri."
"Tentu," Pain menyalakan mesin mobil dan memundurkan mobil ke jalan raya yang menuju ke jalan tol. Dalam beberapa menit Pain sudah menempuh jarak yang dicapai Matsuri dalam satu jam degan berjalan kaki tadi pagi, setelah Matsuri turun dari mobil tumpangan terakhirnya di SPBU di pintu keluar tol.
Matsuri mengerutkan dahi ketika dunia terasa berputar. "Sepertinya aku sangat kelaparan. Ada sebuah…" dia melihat lambang restoran cepat saji yang ingin ditujunya menghilang di belakang mereka saat Pain mengemudikan mobilnya masuk jalan tol. "Hei, aku harus makan."
"Kau bisa makan nanti," kata Pain dingin. "Untuk sekarang, tutup mulutmu."
Matsuri menatap pria itu curiga, "Berhenti, biarkan aku keluar."
Tiba-tiba saja polisi itu tertawa-tawa. "Aku akan berhenti kalau sudah tiba di tujuan kita."
Matsuri mencoba meraih pegangan pintu, tapi tiba-tiba saja tangannya tidak bisa digerakkan. Tubuhnya juga terasa kaku dan berat. 'Ada apa ini,' batin Matsuri mulai ketakutan. 'Kenapa tubuhku tidak bisa digerakkan?'
"Tidak bisa bergerak ya?" tanya Pain sambil menyeringai. "Jangan khawatir. Pengaruh obatnya hanya sementara."
Lalu tiba-tiba saja Matsuri tidak bisa melihat petugas Pain lagi. Karena matanya sulit sekali untuk dibuka. 'Oh Tuhan. Oh Tuhan. Apa yang sedang terjadi?' Matsuri mencoba untuk menjerit, tapi tidak bisa seolah tubuhnya merasa lumpuh. 'Ibu tolong aku!'
"Hai ini aku," kata Pain tiba-tiba, sepertinya dia sedang menghubungi seseorang. "Aku mendapatkanya," lanjutnya sambil tertawa-tawa. "Oh, dia sangat muda. Dan mungkin masih perawan seperti yang diakuinya selama ini. Aku akan mengantarnya. Siapkan saja uangku. Ya, tentu saja tunai, seperti biasa."
Matsuri mendengar sebuah suara rintihan, rintihan yang sangat mengerikan, dan dia tahu asal suara itu dari tenggorakannya sendiri.
"Seharusnya kau mendengarkan ibumu," ejek Pain saat mendengar rintihan Matsuri. "Sekarang kau menjadi milikku."
.
.
Wakkanai, Hokaido, Jepang. 20 Juni 2016, 11:30.
Dering ponsel Hanabi tiba-tiba saja menghentikan permainan catur mereka. Danzo yang tadinya hendak memindahkan bidak ratunya, menghentikan gerakannya dan membiarkan jari telunjuk bergelantung sambil menatap Hanabi, "Apa kau perlu menjawab itu?"
Hanabi langsung melihat siapa yang menelepon dan mengerutkan dahinya. "Sepertinya ya. Maafkan aku."
"Baiklah. Silahkan," kata Danzo mempersilahkan Hanabi menjawab teleponnya. "Apa aku harus pergi dari sini?"
"Jangan konyol, itu tak perlu," kata Hanabi, lalu segera mengangkat panggilan itu. "Kenapa kau menelepon?"
"Kakuzu menghubungiku," jawab seseorang dari seberang sambungan telepon tersebut. "Pain sedang bersamanya di markas. Pain menerima pesan dari Kakuzu yang mangatakan kalau Hyuuga Neji tahu tentang barang kita, dan pria itu akan datang dengan polisi. Kakuzu bilang dia tidak mengirim pesan itu. Kalau aku pikir itu benar."
Hanabi terdiam untuk sesaat, lalu tersadar kalau keadaan akan jauh lebih buruk dari perkiraannya.
Setelah terdiam sejenak, seseorang yang menghubungi Hanabi menambahkan dengan ragu-ragu. "Hyuuga tak mungkin memberi mereka peringatan. Dia pasti akan datang dengan tim khusus. Aku… aku kira kita terlambat."
"Kita terlambat?" tanya Hanabi tajam dan suasana menjadi hening.
"Baiklah," kata seseorang tersebut ragu. "Aku tahu, aku terlambat. Tapi ini sudah terjadi. Kita harus menganggap markas sudah dikuasai."
"Berengsek," gumam Hanabi kesal, lalu meringis ketika Danzo mengerutkan dahinya. "Segera pergi lewat sungai, jangan lewat jalan raya. Kau tidak mau bertemu polisi saat melarikan diri, bukan? Segera hubungi Junnichi. Dia dulu pernah melakukan pengiriman untukku."
"Kakuzu sudah menghubunginya dan Junnichi sedang dalam perjalanan. Masalahnya, kapal Junnichi hanya cukup untuk enam orang."
"Ruang kargo kapal Junnichi cukup besar untuk mengangkut dua belas orang, dengan mudah," kata Hanabi sedikit membentak.
"Kapal itu sedang dipakai anaknya. Hanya kapal ini yang bisa dia sediakan."
'Sialan,' gumam Hanabi kesal. Lalu Hanabi langsung menyadari kalau Danzo sedang memperhatikan pembicaraanya di telepon. "Singkirkan yang tidak bisa kau bawa. Pastikan kau tidak meninggalkan jejak. Mengerti? Tidak boleh ada yang tertinggal. Manfaatkan sungai kalau kau tidak punya waktu untuk cara lain. Ada beberapa karung pasir di belakang generator. Bawalah. Aku akan menemuimu di dermaga."
"Baiklah. Aku akan ke sana untuk memastikan kalau kedua orang itu tidak membuat kesalahan."
"Bagus. Dan selalu awasi Kakuzu. Dia…" untuk sesaat Hanabi memandang Danzo lagi, dan mendapati kalau pria itu sedang kebingungan. "Dia tidak stabil."
"Aku tahu. Satu hal lagi. Kudengar Hyuuga pergi ke bank pagi ini."
"Dan?" ini baru berita bagus. "Apa kau tahu dia keluar membawa apa?"
"Tidak ada apa-apa. Kotak safe deposite sudah kosong."
'Tentu saja. Karena sudah aku kosongkan beberapa tahun yang lalu,' batin Hanabi sambil menyeringai.
"Menarik. Kita akan bahas hal itu nanti. Sekarang pergilah. Hubungi aku kalau semua sudah selesai," tanpa menunggu jawaban dari lawan bicaranya Hanabi langsung menutup telepon dan membalas tatapan ingin tahu Danzo. "Kau tahu, seharusnya kau memberitahuku kalau Kakuzu sedang punya masalah sebelum aku memintanya menjadi rekanan bisnis. Dasar keparat kau."
Senyum puas diri menghiasi bibir Danzo. "Dan kehilangan semua kesenangan? Kukira tidak. Bgaimana kerja asisten barumu?"
"Cerdas. Masih terlihat tidak berpengalaman ketika melaksanakan perintah, tapi tidak pernah menunjukkannya pada para pria. Dan itu tidak pernah menghentikannya dari menyelesaikan tugas."
"Kalau begitu bagus. Senang mendengarnya," kata Danzo sambil memiringkan kepalanya. "Jadi hal-hal lain berjalan dengan baik?"
"Bisnismu berjalan lancar. Yang lain bukan urusanmu," jawab Hanabi sambil menyadarkan tubuhnya ke sandaran kursi yang didudukinya.
"Bagus. Selama investasiku terus menghasilkan keuntungan, kau bisa menyimpan rahasiamu."
"Oh, tenang saja. Kau akan segera mendapatkan keuntunganmu. Tahun ini sangat bagus. Keuntungan kotor perusahaan mencapai lima puluh persen dan produk baru kualitas premium segera keluar."
"Jadi apa kau akan membuang barang-barang lama?"
"Tentu saja. Lagi pula barang-barang itu sudah mendekati akhir masa produktifnya," kata Hanabi mulai mengalihkan perhatiannya ke permainan caturnya kembali. "Sekarang, sampai di mana permainan kita?"
"Skakmat, kurasa," kata Danzo sambil memindahkan bidak ratunya.
"Begitu ya?" kata Hanabi sambil mengumpat pelan, lalu menghela napas kesal. "Seharusnya aku bisa menduganya, tapi aku tak pernah tahu. Kau memang master permainan catur."
"Aku memang selalu menjadi master," ralat Danzo, dan Hanabi agak menegakkan duduknya. Melihat hal itu Danzo mengangguk, dan Hanabi hanya bisa menahan rasa jengkelnya kalau Danzo sudah menunjukkan kekuasannya. "Tentu saja, aku tidak datang hanya untuk mengalahkanmu," lanjut Danzo. "Aku punya beberapa berita untukmu."
"Berita apa itu? Berita buruk atau baik?" tanya Hanabi merasa tak nyaman dengan berita yang akan disampaikan Danzo.
"Ada sebuah pesawat mendarat di Kushiro tadi pagi."
Perasaan gelisah langsung menghampiri Hanabi. "Lalu? Ada ratusan pesawat mendarat di sana setiap harinya. Ribuan bahkan."
"Ya, benar," kata Danzo sambil menaruh bidak-bidak caturnya ke dalam kotak gading yang selalu dibawanya. "Tapi pesawat ini membawa seorang penumpang yang menyangkut kepentinganmu."
"Siapa?"
Sebelum menjawab Danzo memandang tatapan menyipit Hanabi dengan senyum puas di bibirnya. "Hyuuga Hinata kembali ke kota," katanya seraya mengangkat bidak ratu putih gadingnya. "Lagi."
Hanabi mengambil bidak ratu di tangan Danzo dengan kasar, karena saat ini dia mencoba untuk terlihat tidak peduli, meskipun hatinya tarasa panas. "Wah, wah."
"Begitulah. Sebelumnya kau terlalu ceroboh."
"Waktu itu aku hanya tidak mencobanya," sergah Hanabi membela diri. "Dia hanya satu hari ada di sini, itu juga karena menghadiri pemakaman orangtuanya minggu lalu."
Saat itu Hinata berdiri di sebelah kakak laki-lakinya di kuburan orang tua mereka, wajahnya tanpa ekspresi meskipun kemarahan bergelora di mata kelabunya. Melihatnya lagi setelah sekian lama… Kemarahan Hinata tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan kemarahannya yang harus ditahan Hanabi.
"Jangan kau patahkan kepala ratuku, Hanabi," gerutu Danzo. "Itu dibuat oleh seorang pengrajin terbaik yang tak mungkin bisa kudapatkan lagi. Nilainya lebih tinggi dari pada dirimu."
Hanabi segera meletakkan ratu itu di telapak tangan Danzo, mengabaikan penghinaan Danzo. 'Tenang. Kau membuat kesalahan kalau kau marah,' pikir Hanabi.
"Sayang saja dia kembali ke London terlalu cepat minggu lalu. Aku tidak sempat membuat persiapan yang memadai," kata Hanabi berusaha membela dirinya.
"Pesawat terbang dua arah, Hanabi. Kau tidak harus menunggunya kembali," kata Danzo sambil memasukkan ratu ketempatnya yang dilapisi beludru di dalam kotak gading. "Tapi, sepertinya sekarang kau mendaatkan kesempatan kedua. Kuharap kau membuat rencana yang lebih efektif kali ini."
"Kau bisa mengandalkanku."
Danzo langsung tersenyum licik. "Berjanjilah kau akan memberiku tempat duduk terbaik ketika kembang api dimulai. Aku suka kembang api warna merah."
"Akan kupastikan akan ada banyak kembang api merah. Sekarang kalau kau tidak keberatan, ada urusan mendesak yang harus kuselesaikan."
"Aku juga harus pergi," kata Danzo sambil berdiri dari duduknya. "Ada pemakaman yang harus kuhadiri."
"Siapa yang harus dimakamkan hari ini?"
"Nakamura Momo."
"Yah, Yuiji dan Nami Nakamura sebaiknya menikmatinya. Setidaknya mereka tidak perlu berebutan dengan wartawan-wartawan lain. Mereka akan mendapatkan tempat duduk paling depan, di bangku keluarga."
"Hanabi," Danzo menggeleng pura-pura marah. "Kau tidak boleh seperti itu."
"Sudahlah. Kau juga tahu bukan, kalau Yuiji Nakamura rela menjual adik perempuannya agar namanya muncul dalam berita."
Danzo mengambil tongkatnya dan kotak caturnya yang dia jepit di bawah lengannya. "Dan mungkin suatu hari kau akan melakukan hal yang sama seperti keluarga itu."
'Tidak!' batin Hanabi menyangkal ucapan Danzo. 'Aku tidak akan seperti itu, hanya untuk sebuah nama di pemberitaan nasional. Lain hal kalau itu untuk sebuah hak lahir… itu pasti akan kulakukan. Tapi masih banyak waktu untuk melakukan hal itu. Sekarang ada pekerjaan yang harus segera kuselesaikan.'
"Kisame! Cepat kemari. Aku membutuhkanmu."
Lalu tiba-tiba saja muncul seorang pria berwajahkan mirip seperti seekor ikan datang menghampiri Hanabi, "Ya?"
"Seorang tamu tak terduga sedang menuju kemari. Tolong siapkan kamar untuk enam orang."
"Tentu," kata Kisame sambil mengaggukan kepalanya paham. "Saat kau bersama Tuan Danzo, Tuan Kanzaki menelepon. Dia akan datang malam ini mencari teman kencan akhir pekan."
"Bagus," kata Hanabi sambil tersenyum senang. Kanzaki adalah salah satu klien kelas premium, dia seorang pria kaya dengan selera bejat. Hanabi menyukai pria itu karena dia selalu membayar tunai setiap berkunjung. "Kalau begitu semua sudah siap, kerja bagus Kisame."
.
.
T B C
Cerita baru… menurut kalian bagaimana?
Silahkan tinggalkan pesan, kesan, kritik, saran dll nya di kotak review ya..
Dan terima kasih juga yang sudah menyempatkan mampir di fic ini
