Disclaimer : Kecuali Rose Lily Potter, semuanya milik mbak Jo..

Summary : Ketika Sang Penyelamat Dunia Sihir tak lagi sendirian..

A/N : Banya spoiler DH.


Rose mendongak dari buku yang dibacanya dan menatap ke arah Harry, yang sedang memegangi tangannya yang berdarah dan memaki pelan. Rose mengangkat alisnya tanpa suara, ketika kakaknya itu menggeser pintu kamar mereka dan menginjak cangkir berisi teh dingin. Kali ini ia menggeleng pelan.

"Payah.." keluh Harry.

"Jebakan Dudley mungkin?" tebak Rose pelan. Harry mengangkat bahu, lalu berlalu menuju ke kamar mandi sementara Rose meraup pecahan cangkir itu dan melemparkannya ke tempat sampah, sebelum kembali ke aktivitasnya semula. Beberapa detik kemudian, Harry kembali dengan tangan terlilit tisu toilet, dan membanting pintu kamarnya. Rose menatapnya lagi dengan heran.

"Luka kecil begitu saja mengomel..." gumam Rose. Harry menatap tajam adik kembarnya dengan jengkel, dan kembali menatap kopernya yang setengah dikosongkan. Harry biasanya hanya membongkar tiga perempat kopernya tiap tahun, menyebabkan bagian dasar kopernya penuh sisa barang. Ketika ia sekarang mencoba mengosongkannya, jarinya teriris pecahan kaca lima senti di dasar kopernya yang rupanya merupakan pecahan cermin sihir dua arah yang dulu diberikan almarhum walinya, Sirius. Rose menatap kakaknya dengan prihatin, sebelum ikut merunduk juga, membantu mengosongkan koper. Harry mengangkat alisnya, lalu melirik ke sudut kamar, penuh tumpukan buku-buku dan jubah bekas adiknya yang lebih duluan di atur, beberapa berwarna hijau-perak.

"Kadang-kadang aku lupa kau Slytherin, Rose.. Dari luar kau jauh lebih mirip Hufflepuff.." gumam Harry pelan, menoleh memandang mata biru adiknya. Walaupun kembar, mereka sama sekali tidak mirip. Harry memiliki mata berwarna hijau dihalang kacamata bulat tebal, dengan rambut hitam yang berantakan, dan luka sambaran kilat di dahinya. Sementara Rose, walaupun juga berantakan, rambutnya berwarna merah sepinggang yang tidak pernah bisa dipotong, dengan mata biru abu-abu yang ia dapat dari neneknya. Rose mendelik Harry. "Penting?" tanyanya sinis. Harry nyengir, terbiasa dengan kesinisan saudara kembarnya, kembali menghadap kopernya.

Beberapa menit berlalu dalam diam, hanya dipecahkan dengan suara gesekan dan barang-barang ditumpuk dan dibuang. Pakaian-pakaian Muggle Harry, Jubah Gaib, peralatan pembuat-ramuan, buku-buku tertentu, album foto yang dahulu dihadiahkan Hagrid kepadanya, setumpuk surat, dan tongkat sihirnya telah dikemas ulang di dalam ransel tua. Di salah satu saku depannya tersimpan Peta Perampok dan liontin dengan surat bertanda tangan "R.A .B" Rose meletakkan ransel itu di samping ransel merah-hijau rajut bergambar karikatur Voldemort gosong miliknya. (Harry tidak pernah peduli ini aneh, Rose memang sudah aneh dari sananya)

Sekarang tinggal setumpuk tinggi koran di atas meja di samping burung hantu Harry yang seputih salju: jumlahnya sama dengan jumlah hari yang telah dilewatkan mereka di Privet Drive musim panas ini.

Rose memandang aneh Harry yang sedang terbaring di lantai kelelahan, kemudian mendekati meja. Hedwig bergeming ketika ia mulai mengambili koran itu, melemparkannya ke tumpukan sampah satu persatu. Burung hantu itu tidur, atau pura-pura tidur; dia sedang marah pada Harry soal keterbatasan waktu dia diperbolehkan keluar dari sangkar saat ini, dan jelas dia juga menyalahkan Rose untuk itu.

Ketika sudah mendekati dasar tumpukan koran, Rose memperlambat kerjanya, mencari satu edisi khusus yang dia tahu tiba tak lama setelah mereka kembali ke Privet Drive untuk liburan musim panas. Dia ingat ada artikel kecil di halaman depan tentang pengunduran diri Charity Burbage, guru Telaah Muggle di Hogwarts. Akhirnya, dia menemukannya. Membuka halaman sepuluh, dia mengenyakkan diri ke kursinya dan membaca ulang artikel yang dicarinya.

Tiba-tiba, terdengar gesekan di lantai di bawahnya. Harry telah bangun, menggeliat, dan menatap mengantuk Rose yang sedang terpaku memegang koran. Harry mengangkat alis. "Artikel apa itu, Rose?" Rose mengangkat bahunya dan mulai membaca keras-keras korannya.

ALBUS DUMBLEDORE DALAM KENANGAN

(maaf, artikelnya di skip)

Rose selesai membaca, namun bersama Harry yang ikut dibelakangnya ia tetap menatap foto yang menemani obituari itu. Dumbledore tetap ramah seperti biasanya, tetapi ketika dia memandang lewat atas kacamata bulan-separonya, dia memberi kesan, bahkan di atas kertas koran, sedang meng-X-ray mereka, yang kesedihannya bercampur dengan rasa malu hati.

Harry yang memecah keheningan. "Membaca Dumbledore disini... membuatku tak ingat pernah mengenalnya.." Dalam hati, Rose membenarkan. Dia sama sekali tidak pernah membayangkan masa kecil ataupun masa remaja Dumbledore; seakan-akan Dumbledore sudah ada begitu saja seperti yang sudah dikenal mereka, patut dimuliakan dan berambut keperakan, dan tua. Membayangkan Dumbledore remaja sungguh aneh, seperti mencoba membayangkan Hermione yang bodoh atau Skrewt Ujung-Meletup yang ramah.

Sementara itu, Harry memikirkan hal lain. Tak pernah terpikir olehnya untuk menanyai Dumbledore tentang masa lalunya. Tak diragukan lagi pastilah itu akan terasa aneh, bahkan kurang sopan, namun bagaimanapun juga, sudah rahasia umum bahwa Dumbledore ambil bagian dalam duel legendaris dengan Grindelwald, dan tak pernah terpikir oleh Harry untuk menanyai Dumbledore seperti apa duel itu, ataupun tentang prestasi-prestasi terkenal Dumbledore yang lain. Tidak, mereka selalu membicarakan Harry, masa lalu Harry dan Rose, masa depan Harry, rencana Harry... dan sekarang Harry merasa, kendatipun masa depannya sangat berbahaya dan tak menentu, dia telah kehilangan kesempatan tak terulang karena dia menanyai Dumbledorelebih banyak tentang dirinya, meskipun satu-satunya pertanyaan pribadi yang pernah diajukannya kepada kepala sekolahnya adalah juga satu-satunya dia curiga tidak dijawab dengan jujur oleh Dumbledore.

"Apa yang Anda lihat kalau Anda memandang cermin itu?"

"Aku? Aku melihat diriku memegang sepasang kaus kaki wol tebal."

"Harry? HARRY!" teriak Rose tepat ditelinganya. Harry tersentak dan memandang Rose marah. Rose mendengus.

"Apa sih yang kau pikirkan? Aku menghabiskan semenit waktuku yang berharga hanya untuk meneriakimu keras-keras.."

"Ahh.. Maaf.." kata Harry meringis. Dimarahi adik kembarmu tidak pernah menyenangkan. Rose hanya menatap Harry mencemooh sebelum merobek obituari itu dari Prophet, melipatnya hati-hati, dan menyelipkannya ke dalam volume pertama Pertahanan Sihir Praktis dan Kegunaannya terhadap Ilmu Hitam. Harry memandang kamar mereka yang sudah jauh lebih rapi, terima kasih pada Rose. Barang tersisa yang tidak ada pada tempatnya tinggal Daily Prophet hari ini, yang masih tergeletak di atas tempat tidur, dan di atasnya terdapat pecahan cermin yang tadi mengirisnya.

Harry bergerak ke seberang ruangan, menyingkirkan pecahan cermin dari Prophet, dan membuka koran itu. Dia hanya mengerling sekilas judul berita utamanya ketika dia mengambil gulungan koran itu dari burung hantu pengantar tadi pagi dan langsung melemparnya begitu saja, setelah melihat tak ada berita tentang Voldemort. Harry yakin Kementrian mengandalkan Prophet untuk meredam berita tentang Voldemort. Karena itu baru sekaranglah dia melihat apa yang tadi tak dibacanya.

Sepanjang paro-bawah halaman depan koran, ada judul utama yang lebih kecil di atas foto Dumbledore yang berjalan cepat, tampak terganggu:

DUMBLEDORE—KEBENARAN AKHIRNYA?

Terbit minggu depan, kisah mengejutkan genius bercacat yang oleh banyak orang dianggap penyihir terbesar dalam generasinya. Melucuti kesan populer tokoh bijaksana yang tenang, berjenggot perak, Rita Skeeter membeberkan masa kanak-kanak yang terganggu, remaja yang melanggar hukum, perseteruan seumur hidup, dan rahasia perasaan bersalah yang dibawa Dumbledore ke kuburnya. KENAPA orang yang dikabarkan terpilih menjadi Menteri Sihir puas hanya tetap menjadi kepala sekolah saja? APA tujuan utama organisasi rahasia yang dikenal sebagai Orde Phoenix? BAGAIMANA sebenarnya Dumbledore menemui ajalnya?

Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu dan banyak pertanyaan lainnya dieksplorasi dalam biografi baru eksplosif, Kehidupan dan Kebohongan AlbusDumbledore, oleh Rita Skeeter, yang diwawancarai eksklusif oleh Betty Braithwate, halaman 13

Harry membuka korannya dan menemukan halaman tiga belas. Di atas artikel ini ada foto wanita lain yang dikenalnya: seorang wanita memakai kacamata berhias permata dengan rambut pirang keriting, nyengir lebar memamerkan gigi-giginya, pastilah dia memandang itu senyum kemenangan, menggoyang-goyangkan jarinya kepada Harry. Dibelakangnya, Rose memandang dengan sangat tak suka foto itu, dan menggumamkan sesuatu yang kedengarannya mirip sekali dengan kata 'Menjijikkan'. Harry agak meringis, walaupun cukup setuju dengan ejekan Rose. Harry berusaha keras mengabaikan foto memuakkan itu, dan terus membaca.

(Maaf, artikelnya di skip lagi)

Harry sudah tiba di akhir artikel, tetapi tetap menatap kosong halaman itu. Rasa jijik dan marah menggelegak di dalam tubuhnya seperti muntah; dia meremas koran itu menjadi bola dan melemparkannya, sekuat tenaga, ke dinding. Koran itu bergabung dengan sampah lain yang teronggok di sekitar tempah sampahnya yang sudah meluap.

"Wow, itu sedikit kelewatan." Kata Rose ceria, memandang wajah Harry yang merah padam karena marah. Kemudian, ia membenamkan kepalanya di balik bantal di atas ranjang.

Harry berjalan tak menentu keliling kamarnya, menarik laci kosong dan memungut buku, hanya untuk menaruhnya kembali ke tumpukan yang sama, nyaris tak sadar apa yang dilakukannya, sementara petikan-petikan frasa dari artikel Rita secara acak bergaung dalam benaknya: Satu bab penuh untuk keseluruhan Potters-Dumbledore... Hubungan itu disebut-sebut tidak sehat, bahkan menyeramkan... Dia sendiri mencoba-coba Ilmu Hitam pada masa mudanya... Aku telah berhasil mendapatkan akses ke sumber yang sebagian besar wartawan akan rela menukarnya dengan tongkat sihir mereka...

"Bohong!" Harry meraung, dan dari jendela dilihatnya tetangganya, yang sedang berusaha menyalakan ulang mesin pemotong rumputnya, mendongak gugup. Didengarnya Rose mendengus menahan tawa di balik bantal.

Harry mengenyakkan diri di tempat tidur. Pecahan cermin melejit menjauh darinya. Dipungutnya pecahan cermin itu dan diputar-putarnya dengan jari-jarinya, sementara dia berpikir, berpikir tentang Dumbledore dan kebohongan-kebohongan yang dilakukan Rita Skeeter untuk memburukkan namanya...

Ada kilatan cahaya biru sangat cemerlang. Harry membeku, jarinya yang teriris tergelincir ke tepi bergerigi cermin lagi. Dia membayangkannya, pasti dia membayangkannya. Dia menoleh, tetapi dinding di belakangnya berwarna salem pucat pilihan Bibi Petunia. Tak ada apa pun yang biru disana yang bisa dipantulkan cermin. Dia menatap pecahan cerminnya lagi, dan tak melihat apapun kecuali matanya sendiri yang hijau cemerlang, balas menatapnya.

Dia membayangkannya, tak ada penjelasan lain; membayangkannya karena dia tadi sedang memikirkan almarhun kepala sekolahnya. Jika ada satu hal yang pasti, itu adalah mata biru cemerlang Albus Dumbledore tak akan pernah memandangnya dengan tajam menusuk lagi.


A/N : Saya tahu ini jelek.. Masih terlalu jelek, malah.. hiks.. hiks...

Jika ada yang mau bertanya, Review saja, ya.. Kritik dalam bentuk apapun saya terima...

Saya nda bakalan lanjut klo nda ad review.. Buat apa d lanjutin klo nda ad yg suka, ia kan? :)

En.. Ada yang mau usul pair untuk Rose?