Dalam kehidupan ini, ada kalanya kau begitu tidak menduga sesuatu sedang disodorkan ke depan hidungmu. Sesuatu ini terjadi diluar kemauanmu. Kau tak pernah memikirkannya barang sedikitpun. Tapi sesuatu terjadi. Itu mengubah hidupmu. Kau bahkan tidak pernah tahu sampai suatu hari kau menengok ke belakang dan berpikir betapa semua yang terjadi dimulai semenjak saat itu.

Terjadinya sesuatu yang diluar kemauanku ini dimulai sejak hari itu. Sebuah hari yang takkan pernah kulupakan di awal musim semi. Awalnya kakakku Jack masuk ke kamarku dengan mimik yang mengindikasikan dia membawa kabar penting. Terlepas dari apakah kira-kira itu kabar menyenangkan atau sebaliknya, dia menyembunyikannya dengan cukup baik.

Kemudian dia mulai mengajak bicara.

"Apa?!" seruku, melonjak berdiri. "Menggantikanmu bekerja di perkebunan itu?!"

Jack mengiyakan. "Yeah," katanya sambil memandangku harap-harap cemas. "Hanya setahun kok. Apa boleh buat, Mum memaksa aku dan Katie tinggal disini. Dia bersikeras perlu mengenal Katie lebih dekat. Perkebunan itu tak mungkin ditinggalkan. Kami baru saja mulai. Masak kau tega sih menghancurkan hasil kerja kerasku selama dua tahun ini…?"

Darah naik ke kepalaku. "Itu salahmu sendiri!" raungku sebal. Bisa-bisanya ini terjadi padaku?

Dan itu memang salahnya. Jack, kakakku, dua tahun lalu pergi ke desa Kakek yang sudah meninggal lima tahun silam. Desa terpencil. Namanya Harvest Village. Semula desa itu akan dihancurkan oleh pengelola taman bermain setempat untuk dijadikan lahan tambahan. Dad, yang dulunya tinggal disitu, menghiba-hiba Jack agar dia mau pergi ke desa itu dan menyelamatkan perkebunan Kakek yang sudah tak terpelihara, juga seluruh penduduk desa yang notabene teman-temannya agar tidak kehilangan tempat tinggal. Awalnya Jack tak mengerti sebenarnya apa yang diminta Dad agar dilakukannya. Jack memang hanya pemuda polos, jujur, tak berpengalaman, dan tak berdedikasi apapun saat itu. Namun akhirnya atas nama cinta, rasa hormat terhadap orangtua, serta penghargaan terhadap kasih sayang Kakek yang telah tiada, Jack berangkat ke desa itu untuk kembali menggarap perkebunan Kakek. Tak yakin apa yang akan dia lakukan untuk mencegah penggusuran.

Itu baru awalnya. Rupanya Jack berbaur dengan baik di antara penduduk setempat. Mulai dari sini segalanya mulai membingungkan bagiku. Entah dia tergerak atau apa oleh loyalitas penduduk, yang pasti selanjutnya Jack merasa paham tugasnya. Dia melakukan beragam upaya untuk mengharumkan nama desa. Ambil bagian dalam pelestarian satwa langka di desa itu, ikut lomba memancing, berkuda, memasak, dan sebagainya hingga akhirnya Harvest Village tak jadi digusur. Berikut ini daftar hasil plus akibat segala pencapaiannya di desa itu:

1) Desa mereka jadi lumayan terkenal.
2) Penduduk desa menganggap kakakku semacam pahlawan.
3) Sekarang dia melanjutkan perkebunan Kakek.
4) Dia menikah dengan salah satu kembang desa yang bernama Katie.

Apa yang terjadi selanjutnya benar-benar contoh dari kegilaan dunia. Bulan lalu kakakku itu pulang dengan membawa isterinya. Tujuannya untuk mengenalkannya pada kami. Sungguh aku tidak heran Mum dan Dad kelabakan ingin mengenal Katie lebih jauh. Soalnya, mereka menikah hanya mengabari lewat surat. Selembar surat basa-basi mengenai daftar rencananya terhadap perkebunan, laporan kabarnya, kabar penduduk desa, dan lain-lainnya lagi. Yang membuat surat itu meledak seperti bom adalah catatan kaki di bawahnya, "Dan omong-omong, aku sudah menikah dengan seorang gadis yang namanya Katie. Kalian pasti penasaran kan? Setelah musim dingin berakhir, kami akan segera pulang."

Kau bisa bayangkan betapa sintingnya semua itu. Mum dan Dad bukan hanya penasaran. Mereka kalap. Untung Dad tidak sampai membentur-benturkan kepalanya ke dinding. Jack memang kadang-kadang kelewat polos, tapi kali ini sudah keterlaluan. Menikah. Ya ampun. Bukan hanya caranya mengabari yang via catatan kaki, pernikahannya juga sudah dilangsungkan!

Jadi sekarang Mum bersikeras agar Jack dan Katie mau tinggal di sini, Flowerbud City, bersama kami. Yang jadi masalah adalah perkebunan warisan Kakek yang sudah dua tahun ini dikelola Jack. Perkebunan itu sedang mencapai tahap genting dalam perkembangannya. Selama sebulan Jack disini, dia meminta tolong pada salah satu tetangganya untuk menggantikannya bekerja. Tapi jelas orang itu tidak bisa dimintai tolong selama setahun, kan? Disinilah Jack mulai melibatkanku dalam kehidupannya yang gila.

Maka dari itu, mengulang plot yang sama seperti Jack—atas nama cinta, rasa hormat terhadap orang tua, serta penghargaan terhadap Kakek yang telah tiada—dan ditambah rasa kasihan terhadap kakak semata wayangku, aku terpaksa menyanggupi.

Sebetulnya, kalau dibolehkan berkata jujur, Mum tidak perlu lebih dekat lagi dengan Katie. Mereka sudah seperti ibu dan anak sungguhan sekarang, setelah dua minggu berlalu. Mereka sama-sama suka berlama-lama di dapur. Mum sering bereksperimen dengan masakannya. Katie, yang dulunya cucu pemilik bar desa, sudah pasti punya kualifikasi untuk menjadi saingannya. Semenjak kedatangannya, dapur menjadi semakin menyerupai bekas TKP pemboman teroris. Aku punya firasat bahwa sebenarnya Mum hanya kepingin menyingkirkanku. Benar deh.

Yah, apapun itu. Nasi sudah menjadi arang. Kayu sudah menjadi bubur. Domba sudah menjadi serigala. Makan malam tiba satu hari sebelum hari keberangkatanku.

"claires" Mum mememulai percakapan. Itu namaku. Nama panggilan, sebetulnya. Namaku yang sebenarnya Claire. Aku tahu namaku aneh, tapi tolong jangan coba-coba komentar. "Apa kau sudah bersiap-siap untuk besok?"

"Kemana?" tanyaku iseng-iseng.

"Perkebunan, Sayang," jawab Mum dengan ketenangan yang luar biasa. Seolah-olah anak gadisnya yang baru tujuh belas tahun hanya akan pergi menginap seminggu di Rumah Bibi. Bukannya pergi ke desa di negeri antah-berantah untuk disuruh menggarap perkebunan selama setahun. Astaga. Aku bahkan belum pernah menggarap apa-apa selain ide untuk novel-tidak-larisku. Dan seumur-umur yang sukses kutanam hanyalah dua butir biji jeruk di halaman belakang rumah. Jadi bagaimana bisa nasib memperlakukanku seperti ini? Bagaimana bisa, hah?

"Kau pasti bisa," kata Dad, tersenyum memberi semangat dari seberang. "Keluarga kita punya darah berkebun. Kakekmu… Aku… Jack… Kau juga pasti bisa."

Oh Tuhan, aku sudah gak tahu lagi harus bicara apa. Di kepalaku kata-kata seperti "bencana," "tiran," "seenaknya saja," "pemaksaan," "tolong aku," "kenapa aku," "ini semua gara-gara Jack," dan "bagaimana mungkin," berkelebatan seperti dua bilah pedang samurai yang sedang bertarung antara hidup dan mati. Bahkan kol yang sedang kukunyah terasa seperti serbet.

"Maaf loh," bisik Katie di sebelahku, entah-bagaimana sepertinya bisa mendengar semua kata-kata itu. Tampak merasa bersalah.

Melihatnya, aku jadi merasa tidak enak. "Jangan minta maaf," sahutku. "Itu bukan salahmu." Benar. Bukan salah Katie yang baik. Salah suaminya. Salah Jack. Semua salah Jack. Aku menusuk kol keduaku dengan garpu sambil melempar pandang membara kepadanya. Dia menunduk mencermati kolnya sendiri. Tak berani menatapku.

"Sebenarnya, Dad," kataku setelah menelan serbet—kol, maksudku, yang ketiga. "Apa yang harus kulakukan dengan semua ini? Ketika menyuruhku mengambil alih tugas ini, kau kan pasti tahu aku tidak punya pengalaman apa-apa dengan tanah atau perkebunan atau ternak manapun. Mungkin saja aku punya darah berkebun seperti katamu, tapi tolong perhatikan juga kalau aku ini cewek. Tanganku bukan untuk memegang cangkul atau untuk memupuk dengan kotoran sapi."

Mum menjadi satu-satunya yang memprotes penggunaan istilah terakhir itu pada saat makan malam. Tapi siapa peduli. Malam ini akulah korbannya.

"Oh kau tidak mencangkul," kata Jack sebelum Dad menjawab. Hebat sekali dia masih berani bicara padaku. "Aku hanya memintamu menjadi pengawas. Yah, mungkin membantu juga sedikit-sedikit," dia merendahkan suaranya dibawah tatapanku, "tapi tenang saja. Aku sudah menyewa—katakanlah tiga orang—yang akan mengerjakan hal itu. Kau tidak akan terlibat dengan kotoran atau cangkul manapun. Aku janji."

Aku mengangkat alis. Rupanya dia memang sudah mempersiapkan segalanya untuk ini. Yah, setidaknya si pembawa masalah ini punya sedikit rasa tanggung jawab terhadap segala masalah yang ditimbulkannya padaku.

"Ayolah Corly, kau hanya tinggal bersantai-santai di balik layar," kata Dad akhirnya. "Semuanya sudah dipersiapkan untukmu. Tunjukkan sedikit kepedulian, kepemimpinan, dan kebijaksanaan selama setahun, dan semuanya akan berjalan dengan lancar."

"Dan kau tidak perlu mencemaskan para penduduk," tukas Katie menambahkan. "Mereka semua sangat baik. Punya Jack yang sudah dianggap pahlawan sebagai kakakmu tidak akan mengecewakan." Jack benar-benar menggigit serbet mendengar penuturan isterinya, tidak mau memandangku lagi.

Oh yeah. Semuanya bakal berjalan lancar. Aku punya tiga orang yang akan membantuku. Kakakku pahlawan. Aku cuma tinggal bersantai. Segalanya akan baik-baik saja, kecuali aku akan menghabiskan waktu setahun di desa terpencil di sebuah negeri antah-berantah. Kenapa ini harus terjadi padaku…? Kenapa…?