Disclaimer: Assassination Classroom milik Yuusei Matsui, saya tidak mengambil keuntungan materil dari penulisan fanfiksi ini.


.

[ Kolase ]

bagian 01 | kami terlahir kembar [Asano]

.


AKU Asano Gakushuu.

Aku seorang anak tunggal di keluarga Asano.

Begitulah keyakinanku dalam empat belas tahun hidup. Sejak perceraian kedua orangtuaku, aku menjadi anak tunggal di Asano. Ayahku, Asano Gakuhou, tidak tertarik untuk memikat seorang wanita dan menambah keturunan. Pria tua itu terlalu terlarut pada kehidupan pendidikan yang kuat demi kelangsungan negara Jepang. Dia bahkan melupakan kalau dirinya telah mempunyai seorang anak.

Hidupku selama empatbelas tahun terasa monoton. Datang ke sekolah untuk mendapatkan prestasi terbaik. Menjalani relasi untuk mengendalikan permainan bisnis. Tampil menjadi seorang sempurna tanpa cacat sedikit pun. Memang, aku mendapatkan suatu kekuasaan di tempatku. Namun, lamban laun, kehidupan ini semakin monoton.

Terasa ada yang kurang.

Tetapi, semakin aku mencoba mencari kekuarangan itu, yang kutemukan hanya lubang hitam yang tak berdasar. Sesautu yang besar dan seharusnya terisi sejak dulu. Hal yang tidak pernah kudapatkan walau aku telah melakukan apa yang kuinginkan.

Aku tidak tahu apa itu.

Bahkan berkali-kali aku mengalahkan semua orang, menjalani hawa nafsu kehidupanku, aku tidak pernah menemukannya. Berpacaran dengan seorang gadis tidak membuahkan hasil. Menipiskan dompet tidak membuatku puas. Rasa kekurangan ini benar-benar memuakan. Aku benci memiliki kekurangan.

Sayangnya, meski aku mencoba konsultasi pada ayahku sendiri, Direktur tua itu tidak tertarik menjawab. Malah, ia meminta agar aku fokus pada kemenangan.

Sungguh, aku benar-benar membenci pria tua itu. Rasanya aku ingin menghancurkannya sampai ia tidak bisa berdiri lagi.

Apa gunanya seorang ayah tunggal jika pernah memperhatikan putranya sebagai seorang anak. Hanya menganggap sebagai alat pemuas dan pencapai tujuannya.

Well, ini bukan aneh lagi. Semua di Kunugigaoka sudah tahu; hubunganku dengan Direktur tidak pernah lebih dari atasan dan bawahan. Tidak ada kata ayah-anak dalam kehidupan kami. Dia yang kuat akan berkuasa; berlaku juga pada keluargaku. Meski aku memiliki kekuatan dan kekuasaan, aku masih belum bisa mengalahkan ayahku sendiri.

Direktur yang berkuasa. Aku hanya bidak.

Tidak ada lagi tentang cinta keluarga atau apa pun yang menggelikan seperti itu.

Lalu, ketika musim panas kelas duaku, kehidupan monoton ini berubah dalam sekejap.

.

"Aku ingin menjemput adik kembarmu di Hokkaido."

Sepiring kudapan sup miso dan yakiniku ditambah nasi merah untuk makan malam seketika itu terasa hambar. Aku membeku seketika. Nyaris kedua sumpitku terjatuh dan mengotori taplak putih meja makan. Wajahku terangkat, memandang langsung pria tua itu. Bukan masalah rasanya yang tidak enak atau ada kontaminasi kerikil di nasi merah. Lebih tepatnya, kehadiran pria tua itu dan satu kalimat yang memecahkan kesunyian di antara kami berdua.

Kembar—aku memiliki seorang adik kembar?

Lelucon macam apa ini.

"Jika kau menganggap aku bercanda, tidak, aku benar-benar serius." Direktur itu menatap lurus padaku, tanpa peduli rasa syokku. "Seminggu ke depan, kau akan berada di Hokkaido dan habiskan waktumu bersama adik kembarmu. Aku sudah siapkan tiket pesawat besok siang."

Aku berjengit, tidak peduli tiket pesawat diletakan di meja makan. "Apa maksudmu kalau aku kembar?" Emosi ini berusaha kutahan. "Jangan bercanda. Kau sendiri yang mengatakan aku anak tunggal dan aku tidak memiliki satu pun saudara!"

Nafas ditarik panjang. Direktur tahu, pasti aku akan mengatakan hal seperti ini. Ia terlihat sangat tenang meski aku benar-benar gusar. Lagi-lagi seperti ini. Selalu saja Direktur menyembunyikan sesuatu yang tidak aku baca. Setelah itu, langsung mengatakannya tanpa memikirkan perasaanku. Seperti sebuah senjata rahasia yang membuatku tersadar; aku hanya seorang bidak baginya.

Lalu sekarang, Asano Gakushuu terlahir kembar.

"Namanya Akabane Karma." Sikap tenang masih dipertahankan, meski aku memancarkan aura membunuh. "Saat ini adikmu tinggal sendirian di Hokkaido. Aku ingin menjemputnya, sekaligus... mungkin kau menemui makam ibumu."

Aku terdiam. Mulutku tidak bisa berkata-kata lagi.

Makam. Ibuku, wanita yang tidak pernah kutemui sepanjang hidupku, telah meninggal. Aku bahkan belum sempat merasakan kasih sayang Beliau atau tidak pelukan hangatnya. Padahal, setelah aku bisa pergi sendiri ke seluruh penjuru Jepang, aku ingin menemui ibu kandungku. Meski hanya itu sekali dalam seumur hidupku, atau mungkin akan menguras semua tabunganku untuk mencari Beliau.

Tapi sekarang harapan sudah pupus. Ibuku sudah meninggal. Dan aku yakin, dia pasti tidak tahu kalau putranya telah tumbuh dewasa dengan segudang prestasi yang membannggakan.

Kepalaku menunduk semakin dalam. Semua ini karena pria brengsek di hadapanku.

Aku tidak bisa memaafkan ayahku sendiri lagi.

"Adikmu bukan tipe yang mudah didekati, dan juga jangan membuatnya merasa tidak nyaman dengan kehadiranmu."

Sekarang, dia jauh lebih memikirkan perasaan seorang anak yang tidak pernah tinggal bersama dengannya daripada aku?

Lebih mencintai adikku dan hanya menganggap aku sebuah alat.

Apa gunanya aku di sini.

Mataku mendelik tajam ke Direktur. "Oh, apa kau jauh lebih mencintai adik kembarku daripada aku yang sudah empat belas tahun di sini dan berusaha melayani keegoisanmu?" Aku benar-benar ingin berteriak. "Setelah tidak puas dengan mainan lamamu, lalu kau membuangnya dan mencari mainan baru begitu."

"Asano-kun, jaga mulutmu!"

"Kau bahkan tidak pernah memanggil namaku!" Sekarang, aku tidak tahan ini semua. "Kalau kau tidak menyukaiku kenapa kau memilihku daripada adikku!"

Meja makan ini digebrak. Tanpa sadar, tubuhku berdiri dan membiarkan sumpitku tergeletak begitu saja. Emosiku benar-benar meluap. Tidak peduli lagi tata krama atau lipan-lipan imajiner ayahku yang mulai mencekam suasana. Rasa sakit ini jauh lebih besar daripada rasa takutku pada pria tua itu.

Direktur tidak mengatakan sepatah kata pun. Hanya memandangku penuh amarah. Mungkin jika aku kembali membentaknya, ia akan mengusirku dari rumah ini dan mengundang adikku masuk ke dalam kehidupan mengerikannya.

Aku akan bebas dan adikku akan tumbalnya...

Namun, hasilnya tidak sesuai dugaanku. Justru Direktur malah menghembuskan nafas untuk menenangkan dirinya sendiri. Dia sudah tahu aku akan bereaksi seperti ini. Alih-alih menamparku seperti ketika aku gagal mendapatkan mendali emas, justru dia malah kembali makan seolah ucapanku hanya aspirasi biasa.

"Jika kau selesai makan, kemasi barangmu. Aku akan mengantarmu ke bandara besok siang."

Hanya itu yang dikatakan. Tanpa ada tamparan ataupun lipan-lipan imajiner yang mencekamku. Seolah bertindak seorang ayah yang terbiasa menghadapi seorang anak emosional.

Tanpa sepatah kata lagi atau rasa hormat, aku meninggalkan pria itu sendirian. Bertindak seorang ayah, yang benar saja! Hanya karena seorang adik dia mulai mengubah sifat diktaktornya menjadi seorang ayah normal. Jelas, itu semua bukan untukku. Tapi seorang adik brengsek yang telah mengambil semua kasih sayangku.

Aku benar-benar membenci adikku. Tidak hanya rasa peduli ayahku, ia bahkan merasakan pelukan kasih sayang ibuku. Aku yang berjuang mati-matian untuk diakui, tidak pernah mendapatkan itu semua. Sedangkan dia, aku yakin kalau dia bukan anak sehebatku. Hanya anak biasa yang bahkan aku tidak pernah mendengar nama Akabane Karma dari sekolah terkenal) yang mungkin dengan kemampuan biasa.

Tapi, kenapa dia yang mendapatkan kasih sayang itu?

Bukannya aku.

Mulutku terasa kelu untuk berteriak. Aku langsung menutup pintu kamarku dan menguncinya. Pikiranku sekarang kacau. Seorang Asano Gakushuu kalah hanya karena seorang adik yang tidak pernah diketahuinya, menggelikan sekali, bukan. Kebencian ini semakin lama semakin terasa besar.

Tanpa sadar, malam ini kuhabiskan tanpa mengejar tugas atau laporan. Hanya terdiam sendirian di kamar.

.

Keesokannya, tanpa peduli perasaanku, Direktur mengantarku ke bandara dengan satu koper yang telah berisi baju dan perlengkapanku.

Aku tidak banyak berbicara dan hanya menuruti saja. Lagipula, aku tidak memiliki kekuatan untuk melawan Direktur jika sudah menyangkut. Sebelum aku berusia delapan belas tahun, semua kendaliku berada di tangan Direktur. Jika aku berani keluar, bisa-bisa Direktur menggunakan kekuasaan hukum untuk memenjarakanku di sangkarnya. Yang terburuk, bisa-bisa nama Asano ini akan terhapus dari jati diriku.

Pikiranku masih kacau. Sepanjang perjalanan pesawat ini tidak membuatku tenang. Meski aku menuruti perintah pria tua itu, aku tidak memiliki gambaran siapa adikku. Aku juga tidak mempunyai foto atau gambaran kehidupannya. Yang diberikan Direktur sebatas nama Akabane Karma dan alamat rumah.

Untuk menuju rumah Akabane Karma, dari bandara Sapporo, aku harus menggunakan bis untuk ke daerah Iwamizawa-shi, tempat adikku tinggal. Sepanjang perjalanan ini, aku hanya habiskan waktu untuk mendengarkan musik dan memakan bento. Selebihnya tidur. Terus terang, ini pertama kalinya aku pergi jauh sendirian—dan sangat membosankan.

Tidak ada teman yang bisa kuajak bicara. Bis menuju Iwamizawa-shi hanya ada sepuluh penumpang. Dan, aku tak terbiasa mengajak orang lain berbicara. Mataku melirik pandangan jalanan Hokkaido. Benar-benar berbeda. Walau Sapporo kota besar di Hokkaido, keindahan alam Hokkaido masih terjaga.

Terutama Iwamizawa-shi. Daearah ini sangat tenang. Tidak seperti Tokyo yang tak pernah istirahat, ketika aku sampai jam delapan malam, Iwamizawa-shi tidak seramai distrik Kunugi. Mungkin, jam sepuluh malam nanti, tempat ini benar-benar sepi.

Rumah Akabane berada di apartemen daerah perumahan pinggir Iwamizawa-shi. Butuh berjalan selama lima belas menit untuk mencapainya dari halte bis. Aku menggeret koperku sembari memperhatikan GPS ponselku. Kakiku terus berjalan dan sesekali istirahat sejenak. Lalu, kembali berjalan menuju tujuan.

Tetapi sepanjang perjalanan, aku terus bertanya-tanya. Aku harus bereaksi seperti apa jika bertemu dengan Akabane Karma.

Terus terang, aku sangat benci dengannya. Namun, aku tidak bisa seenaknya melampiaskan kebencianku pada anak itu. Salah-salah, justru aku yang terkena imbasnya. Aku juga tidak tahu apakah dia seorang anak manja atau seorang monster yang jauh lebih mengerikan daripada Direktur.

Itu berarti, aku harus berhati-hati.

Dan juga, secepat mungkin, aku harus menyiapkan strategi untuk menghancurkan anak sialan itu. Terserah semua orang akan mengganggapku tidak manusiawi. Ini semua salahnya, kalau saja dia tidak ada; mungkin aku yang merasakan kasih sayang ibuku atau paling tidak Direktur peduli padaku.

Melihat Direktur begitu peduli dengan Akabane Karma saja sudah membuatku muak.

Ya, aku akan membuatnya menderita...

"Well, tak kusangka aku akan memiliki tamu malam ini."

Tubuhku tersentak. Asal suara itu membuatku berpaling ke arahnya. Seorang pemuda, rambut merah menyala, mata merkuri yang begitu tajam, baju gakuran yang tidak dikancingi, wajah yang meremehkan, dan satu plastik belanja yang ditenteng. Pemuda itu berdiri. Sesekali menguap. Tapi, tidak ada tanda hormat ketika melihatku.

Matanya kembali memandangku. "Aku tidak pernah melihatmu." Ia mengamati sekujur tubuhku serta koper yang kubawa ini. "Kau mau pindah ke sini? Tapi maaf, itu apartemenku."

"Kau Akabane Karma?"

Sebelah alis terangkat. Ia memajukan langkahnya. "Ya, dan kau siapa?"

"Aku Asano Gakushuu." Menarik nafas panjang dan membusungkan dada. "Aku kakak kembarmu."

Saat itu juga, dalam hati, aku akan bersumpah.

Pada hari itu, pertemuan pertama kami; aku akan menghancurkan kehidupan adik kembarku sendiri.


.

—bagian 01 – selesai—

.