"Akulah yang mencintaimu, tapi kau memilih berpaling dariku."

Aku masih ingat hari-hari yang kita lalui, apa yang aku lakukan untukmu, apa balasanku untukmu, dan bagaimana besarnya cintaku padamu.

Dan "hari itu" adalah hari yang paling membekas dalam ingatanku.

Hari ketika aku mengetahui segalanya …

Hari ketika kau memilih.

Kau membuatku kecewa, kau menyakitiku, kau memilih dia … kalian bersengkongkol.

Aku dijatuhkan sangat dalam.

Bahkan ketika aku mendengar kata-kata terakhir yang kau ucapkan, aku tidak percaya. Aku tidak percaya lagi.

Aku tidak percaya lagi dengan cinta.

Bahkan ketika aku punya kesempatan untuk membalasmu sekali lagi dan menemukan cinta baru …

aku tidak percaya lagi.

.

.

.


Repeat

Vocaloid © Yamaha, Crypton Family, etc

Remake cerita dari:

ACUTE and REACT by Kurousa-P

KAITO → MEIKO ← Kagamine Len

Saya tidak mengambil keuntungan apapun dari fanfiksi ini. Ini hanya diperuntukkan sebagai pelampiasan hobi semata

.

.

.


Chapter 1

failure


.

.

.

"Kamu bawa tongsis, 'kan? Kita foto bareng, yuk!"

"Ayo, mumpung di taman bermain."

"Eh, es krimmu hampir meleleh. Awas kena baju!"

"Ah!"

"HP-ku sudah kupasang di tongsis, nih. Kamu yang motret, ya. Kamu 'kan tinggi."

"Oke. Kamu di tengah, Kaito di sebelah."

"Sebentar, sebentar. Oke, siap."

"Oke … satu … dua … tiga!"

CKREK!

.

Klak.

Mata pemuda itu terbuka. Langit-langit yang disinari mentari dari jendela adalah yang pertama dilihatnya. Seseorang menghampiri dirinya sembari mendorong troli, berdiri di samping tempat tidurnya.

"Apa kabarmu hari ini?" tanya si perawat seraya meletakkan nampan berisi makanan ke nakas. Pemuda itu melirik, namun ia bergeming. "Saya akan memeriksa keadaanmu, setelah itu kamu boleh makan, ya."

Serangkaian pemeriksaan dilakukan, namun pemeriksaan yang paling mendapat perhatian adalah kondisi leher si pemuda. Selesai pemeriksaan, si perawat membantu si pemuda duduk, menaikkan meja lipat yang menempel di sisi ranjang, kemudian meletakkan nampan di hadapan si pemuda.

"Dimakan, ya," ucap si perawat dengan ramah. "Saya tinggal dulu."

Wajah pucat si pemuda tetap tak berekspresi ketika si perawat meninggalkannya. Suasana begitu tenang di kamar rumah sakit yang ditempatinya seorang diri. Ia menatap jendela dengan pandangan kosong, kemudian beralih ke sarapannya, memutuskan untuk makan.

Sendok pertama diambil, disuapkan perlahan ke mulutnya.

Hambar.

.

.

.

Mulai jam sepuluh pagi adalah jadwal bebas Shion Kaito. Sebelumnya ia merasa jadwal itu tidak berguna karena ia hanya tetap di kamar. Tidak ke taman, tidak ke kantin, tidak ke mana-mana. Namun pada akhirnya kebosanan datang melanda. Ia merasa harus keluar kamar, menemukan tempat bagus selain kamarnya untuk merenung.

Atap sepertinya adalah pilihan yang tepat.

Pelan ia keluar kamar, menyusuri lorong yang sepi. Sebelumnya ia telah mengganti piyamanya dengan kaos putih dan celana panjang hitam. Di sudut lantai enam ini ia meniti tangga menuju atap yang remang, kemudian membuka pintu perlahan.

Atap luas bermandikan cahaya matahari langsung menyambutnya. Tidak ada sesuatu yang spesial selain tangki air, dua bangku, dan jemuran kain-kain putih di salah satu sudut atap. Angin sepoi menerpa lembut. Kaito melangkah ke sisi kanan atap, memandang jauh ke cakrawala, lalu memandang ke bawah.

Di bawah sana ada keramaian manusia. Dokter yang datang tergesa-gesa, perawat yang mendorong kursi kakek tua menuju taman, pasien yang berjalan tertatih-tatih dengan kruknya, juga sekelompok orang sehat yang membawa buah tangan. Dengan sorot mata hampa Kaito memandangnya. Banyak kehidupan, ramai, penuh ekspresi.

Berbeda dengan dirinya yang kosong.

Ia menyentuh lehernya perlahan, leher yang dililit perban. Luka itu didapatnya dua minggu yang lalu. Ia tak tahu apakah luka itu akan meninggalkan bekas atau tidak, namun sekalipun tidak meninggalkan bekasnya, ia tetap akan terus merasakan sakitnya. Rasa sakit seiring dengan hatinya yang remuk.

Waktu itu, ia gagal melakukannya.

Barangkali semua orang berpikir saat itu ia sedang tidak waras, dan barangkali sekarang semua orang berpikir bahwa ia menyesalinya. Tidak, ia tidak menyesal. Jika mereka berkata bahwa ia menyesal telah berusaha membunuh dirinya sendiri, salah besar. Ia justru menyesal mengapa usaha bunuh dirinya tidak berhasil.

Sekarang adalah waktunya yang tepat.

Tidak perlu lagi melukai lehernya sendiri. Tidak perlu lagi merasakan sakit yang amat menyiksa akibat hujaman tusukan hinggan darah bermuncratan. Tidak perlu lagi kecewa karena kenyataan dirinya masih hidup. Jika ia melakukan dengan cara lain, dengan cara ini, ia yakin ia sudah pasti mati, tidak perlu merasakan sakit, dan tidak ada yang sempat mengembalikan nyawanya.

Ia mencengkeram pagar besi dengan kedua tangan, kemudian menaikkan dan menjejakkan kaki di belakang pagar.

Tak perlu melakukan satu langkah. Hanya dengan membiarkan tubuhnya pasrah maka ia akan jatuh bebas.

Selamat tinggal ia ucapkan sekali lagi, hanya dalam hati karena tak ada seorang pun yang mendengar. Tidak ada seorang pun di bawah yang menyadari aksinya. Sekalipun ada yang menyadari dan histeris hingga menarik massa, Kaito tak peduli. Ia sudah tidak peduli lagi dengan siapapun.

Inilah bukti betapa butanya cinta.

Inilah bukti mengapa aku begitu bodoh.

Ada sebuah sosok yang tidak dilihat Kaito. Ada suatu suara yang tidak didengar Kaito. Ada buncahan panik yang tidak dirasakan Kaito. Ketika ia siap mendorong tubuhnya sendiri, suara derap langkah itu semakin jelas, diikuti sebuah teriakan tertahan.

"Hentikan!"

Tangannya ditarik dari belakang. Kaito tersentak dan menoleh, namun naas, satu kakinya terpeleset hingga membuat dirinya oleng. Dalam detik-detik mengerikan itu, orang yang mengganggu aksi bunuh diri itu memeluk tubuh Kaito kuat-kuat dengan tangan lainnya yang bebas. Sikapnya yang sangat tidak diharapkan Kaito membuat pemuda itu marah.

"Apa yang kau lakukan?!" seru Kaito. Ia berusaha melepaskan tangan gadis itu dari tubuhnya, namun gadis itu tetap memegangnya erat-erat. Kaito memandang ke bawah lagi. Ada orang yang menyadari aksinya. Satu-dua orang di bawah sana menunjuk-nunjuk. Massa mulai berkerumun. "Lepaskan!"

Gadis itu tidak bisa memandang apa-apa karena wajahnya tenggelam dalam punggung Kaito yang lebar. Nyalinya sama sekali tidak ciut, sekalipun ada resiko ia ikut jatuh. Samar-samar, ia mendengar ingar-bingar di bawah. Entah orang di sana sudah menyediakan bantalan atau tidak, ia tidak mau melepaskan Kaito begitu saja. Rasanya orang-orang di sana hanya panik sendiri dan paling hanya memanggil satpam.

Ia memutuskan untuk bertindak sendiri.

Mengumpulkan tenaganya, ia memeluk Kaito yang terus mengeliat-geliat dengan kedua tangan, kemudian menariknya sekuat tenaga melewati pagar. Untunglah tinggi pagar itu hanya sedikit di atas perutnya, sehingga ia bisa menariknya dengan lebih mudah.

Bruk!

Mereka berdua jatuh dalam posisi terlentang dan Kaito terguling. Keduanya meringis menahan sakit. Kaito bangun lebih dahulu, kemudian memandang gadis di sebelahnya dengan tajam.

"Kau … Kau gila, ya?"

Gadis itu melenguh, membuka mata perlahan. Ia memandang Kaito dengan mata sayu. "Kau … Kau tidak sadar apa yang kau lakukan?"

Kaito tercenung sesaat, namun kemudian ia kembali bicara ketus. "Kau mengganggu. Kalau kau diam saja, aku sudah mati dengan tenang."

Gadis itu berekspresi sama sekali tidak diinginkan Kaito. "Hh." Ia tersenyum, senyum seakan mencelanya. "… Kau gila, ya?"

Amarah Kaito naik sampai ubun-ubun. Ia cepat bangkit berdiri, hendak meninggalkan gadis itu. Namun gadis itu segera menegakkan punggung dan menarik tangan Kaito.

"Tunggu," ucap gadis itu. Terselip kekhawatiran dalam kata-kata berikutnya. "Kau mau ke mana? Kau tidak akan mencoba bunuh diri lagi, 'kan?"

Kaito berdecak.

"Lepaskan." Ia menepis tangan gadis itu. Sekali lagi mata mereka bertemu. Mata biru kelam bersorot tajam dan mata cokelat yang mengguratkan rasa ingin tahu. Kaito membuang muka, meninggalkan gadis itu segera. Sosoknya lenyap di dalam kegelapan lorong keluar masuk atap.

Gadis itu bergeming dengan mata tak lepas dari sosok Kaito. Angin sepoi menerpa rambut pendek cokelatnya. Ada rasa cemas dan ingin tahu yang bercampur menjadi satu. Ia masih bergeming sampai ada dua orang perawat bersama seorang pemuda yang muncul dari pintu atap dan menghampirinya. Mereka berebut menanyakan kondisinya, namun gadis itu belum bisa mengalihkan pikirannya dari sosok pemuda dingin berambut biru itu.

Gadis itu ingin mencari tahu.

.

.

.

"Hei!"

Ctak! Sebuah jentikan jari membuyarkan lamunan Meiko. Dengan linglung, ia menoleh ke pemuda di sampingnya. "Eh, apa?"

"Sudah waktunya jam makan," kata pemuda berambut kuning itu. "Aku sudah menyiapkan kaarage kesukaanmu. Dari tadi kutanya kau mau minum apa?"

"Ah, oh iya." Meiko termenung sejenak. "Teh hijau masih ada, 'kan?"

"Habis," balas si pemuda. "Biar kubelikan."

"Nanti saja," cegah Meiko begitu pemuda itu berbalik hendak keluar kamar. "Aku minum air putih dulu."

Pemuda itu memandangnya sejenak sebelum kembali berbalik. "Baiklah."

Pemuda itu duduk di kursi yang ada di sisi kanan ranjang Meiko. Ia mengambil kotak bento yang dibawanya dari rumah. Isinya sederhana: nasi, potongan wortel, selada, dan karaage yang nyaris memenuhi kotak bento. Dengan sumpit, ia menyuapkan makanan ke mulut Meiko dengan telaten.

"Kau tadi ceroboh sekali." Pemuda itu menyinggung kejadian di atap tadi pagi. "Kau sadar nggak betapa bahayanya? Apalagi kau belum sembuh. Bagaimana kalau kau ikut jatuh?"

"Maaf …" ucap Meiko di sela kunyahan. Ia menelan makanannya sebelum kembali bicara. "Aku spontan. Ada orang mau bunuh diri di depan mataku. Mana mungkin aku membiarkannya."

"Apapun alasanmu, pokoknya kau ceroboh," cetus pemuda itu. "Lihat tanganmu."

Meiko menatap tangan kanannya yang dibebat perban rapat-rapat. Sakitnya memang kambuh saat ia menarik pemuda berambut biru itu, dan rasanya luar biasa. "Tenang saja." Meiko berusaha meyakinkan. "Nggak parah-parah amat. Bakal segera sembuh."

Pemuda berambut kuning itu menyerah. Percuma menasihati Meiko yang walau tutur bicaranya lembut tapi keras kepala. Suapan terakhir ia jejalkan ke mulut Meiko, kemudian ia berdiri dan menuangkan air putih ke gelas. Disodorkanya pada Meiko yang menerima dengan tangan kiri.

"Kau masih menitip teh hijau?" Meiko mengangguk seraya meneguk air. "Aku belikan dulu. Tunggu sebentar."

Pemuda itu keluar kamar. Meiko meletakkan gelas di nakas, kemudian merenung di tempat tidurnya. Jam di dinding sudah menunjukkan jam sembilan malam. Lebih dari sepuluh jam berlalu semenjak kejadian di atap itu. Meiko masih penasaran akan pemuda berambut biru itu. Ia tidak mendengar desas-desus apapun dari orang-orang di sekelilingnya. Siapa namanya? Apakah pemuda itu pasien di sini? Apa alasannya sampai ia ingin bunuh diri?

Meiko menghela napas. Ia turun dari ranjang, menggeser jendela untuk menikmati udara segar. Bulan purnama tidak terlihat jelas malam ini, tertutup awan mendung. Kamarnya yang berada di lantai lima, yang jendelanya menghadap gedung-gedung tinggi Kota Tokyo, hening sekali. Memang biasa, apalagi ini sudha merupakan jam malam.

Menatap langit, Meiko masih bertanya-tanya akan pemuda berambut biru itu. Ia berpikir untuk mencari tahu sendiri. Pertama-tama ia bisa menanyakan perawat yang datang setiap pagi. Mungkin ia harus mengaitkan dengan kejadian di atap itu sehingga perawat bisa mengerti siapa yang dimaksud. Sampai di situ saja. Meiko tidak berharap banyak bisa bertemu pemuda itu—

Sekelebat bayangan muncul dari atas, dekat, semakin mendekat ke arah Meiko. Sesuatu dari luar jendela, sebuah sosok yang jatuh bebas. Meiko terperanjat ketika sosok itu terjatuh di depan wajahnya, melewatinya dalam sekejap. Ia bisa mengetahui apa itu.

Seseorang, seseorang. Itu orang yang jatuh!

"AAAAAA!"

.

.

.

Koridor yang disusuri Len Kagamine remang-remang. Sepi sekali. Memang sudah jam malam sehingga perawat dan dokter berjaga di pos masing-masing. Len menghampiri vending machine yang berada di ujung koridor. Cukup jauh, karena kamar Meiko berjarak sepuluh kamar dari sana.

Len memasukkan koin dan memilih teh hijau serta jus jeruk. Jus jeruk langsung diseruputnya dengan sedotan. Berjalan santai, Len kembali ke kamar Meiko. Meski begitu, pikirannya melayang pada kejadian tadi pagi.

Len bahkan belum mencapai pintu utama rumah sakit saat beberapa orang histeris seraya mendongak ke atap. Len yang penasaran ikut mendongak. Betapa kagetnya saat ia menyadari sosok Meiko di sana. Bagi banyak orang mungkin menganggap aksi Meiko itu heroik, tapi Len tidak. Ia panik dan memanggil Meiko berkali-kali, meneriakkan "Bahaya!" dan "Hentikan!". Sadar itu membuang waktu, ia menyeruak kerumunan dan berlari masuk lewat pintu utama sampai menabrak dua perawat yang berjalan bersama. "Ada yang mau jatuh dari atap!" dan kedua perawat itu akhirnya mengekornya.

Ketika ia mencapai ambang pintu atap, semua sudah lewat. Pemuda yang ditolong Meiko tidak ada, atau mungkin Len sempat berpapasan namun tidak menyadarinya, dan Meiko selamat. Begitu paniknya, ia menyuruh perawat bergerak cepat dan hati-hati, menanyai kondisi Meiko berkali-kali. Meiko menjawab seadanya, jelas tidak membantu mengurangi kecemasan Len. Apalagi dengan vonis dari dokter bahwa kondisi Meiko makin memburuk akibat aksinya tadi. Akhirnya Len dengan tegas berkata bahwa ia akan menjaga Meiko seharian. Toh, Meiko sekarang tidak bisa menyuap makanannya sendiri.

Len sudah tiba di depan pintu kamar Meiko dan akan membukanya ketika ia mendengar suara jeritan. Len terperanjat. Itu suara Meiko!

"Meiko!"

Len menggebrak pintu keras-keras. Ia terkejut. Kedua minumannya jatuh begitu saja. Semua terjadi di luar dugaan, begitu cepat, hanya dalam waktu tiga menit sejak ia meninggalkan kamar.

Angin berhembus dari jendela yang terbuka, menerpa gorden di satu sisinya,

dan Meiko tergeletak di bawahnya.

.

.

.


Chapter 1 - End


Halo, aia masanina di sini. Langsung saja, ya. Fic ini adalah fic yang saya kerjakan sebagai suatu kemajuan di hari ulang tahun saya. Kenapa? Karena akhirnya saya menulis fic multichapter lagi. Dan kali ini saya akan membuat tiap chapter-nya hanya 1k sampai 2k, paling mentok 3k biar kalian tidak kepanjangan membacanya. Tapi tenang, cerita ini saya usahakan tidak ngalor-ngidul. Semoga saya bisa menyelesaikannya sampai ending.

Dan untuk semuanya yang mengucapkan selamat ulang tahun dan memberi kado, MAKASIH BANYAK GAES MUAH MUAH! Ternyata ultah saya diingat dan saya terharu hiks. Fic ini dipersembahkan ke kalian-kalian semua yang sudah mengikuti perkembangan tulisanku selama ini. Yeeeiiii makasih banyak.

Semoga kalian suka. Silakan tinggalkan review. Silakan follow dan favorite. Saya akan terus berkarya. Ciayo~ Sampai nanti.