Discaimer : Chara bukan milik saya. Only belongs to Masashi Kishimoto-sensei
Warning : Alurnya… gampaaang banget kebaca, OOC banget, TYPO, ceritanya KAYAKNYA pasaran -_-" tapi tetep cerita ini hanya milik saya ^^ typo harap dimaklum, etc.
Read and enjoy it ^^
Don't like? Don't read, please!
.
.
.
Hansel dan Gretel. Apakah kalian familiar dengan kedua nama itu? Kedua anak yang merupakan kakak beradik itu ditelantarkan oleh kedua orang tuanya di hutan yang sunyi dan gelap dengan modus kedua orang tuanya tersebut akan bekerja selagi mereka bermain di hutan. Alasan bodoh mereka menelantarkan kedua anak itu adalah karena ketidakmampuan mereka untuk membesarkan anak mereka lagi.
Kisah berlanjut ketika kedua kakak beradik itu menemukan sebuah rumah yang terbuat dari permen dan kue. Pemilik dari rumah itu adalah seorang penyihir buta yang gemar memakan daging anak kecil.
Gretel yang lebih cekatan dan rajin dijadikan seorang budak dirumah itu, sedangkan Hansel dibiarkan terkurung dan selalu diberi makanan agar dia menjadi 'gemuk' itu adalah sebuah istilah bagi si penyihir. Hansel akan dijadikan sebagai santapan pertama sang penyihir buta.
Pada 'hari makan besar' tiba, dengan rencana yang sudah disusun dengan matang oleh Hansel dan Gretel, akhirnya sang penyihir buta tidak bisa memakan makanan lezatnya sampai kapan pun.
Sang penyihir dipanggang hidup-hidup disebuah oven besar yang sebenarnya dikhususkan untuk Hansel sendiri. Berkat kecerdikan kedua kakak beradik itu akhirnya mereka bisa selamat dari maut dan bisa membunuh sang penyihir buta nan jahat dan hidup bahagia.
Cerita berakhir dengan sangat baik bukan? Entah kenapa cerita itu terus terbayang-bayang di otakku. Sejak kecil Anko-san sering menceritakannya kepada kami. Ya, kami. Aku dan nii-chan. Kami hanya tinggal berdua pada awalnya tapi dengan kemurahan hati Anko-san, kami bisa hidup dengan baik sampai sekarang. Bisa dibilang cerita Hansel dan Gretel tidak jauh berbeda dengan kisah kami berdua.
"Hey! Sudah menunggu lama?" Seseorang menepuk bahu kananku pelan dari belakang.
Dengan sekali gerakan memutar ke belakang aku bisa melihat seseorang tengah tersenyum lembut ke arahku. Senyuman yang mampu membuatku terdiam mematung dengan jarak sedekat ini dengannya. Sungguh aku tidak bisa memungkirinya. Tidak bisa memungkiri kalau sebenarnya aku menyukai senyuman lembut itu.
Senyuman itu berasal dari seorang pemuda jangkung berambut kuning keemasan. Memiliki wajah yang teduh yang mampu meneduhkan hati siapa saja yang melihatnya. Wajah yang kerap kali memamerkan tawa renyah yang bisa membuat orang lain ikut tertawa bersamanya. Sorot mata tajam nan hangat yang mampu membuat orang berdebar bertatapan dengannya. Seorang pemuda yang memiliki tingkat kecerdasan yang tinggi, populer di sekolah karena bakat akan olahraga yang dia miliki. Dia bisa melakukan apapun dengan baik. Tentu semua orang menyukainya dari segi fisik maupun yang lainnya karena dia memiliki semuanya. Sosok yang sempurna.
Sejauh ini aku mengenalnya dengan sangat baik. Dia memiliki kepribadian yang ceria. Setiap kali aku melihatnya bersama dengan teman-temannya dia akan memamerkan tawanya dengan tulus tanpa tersirat bahwa tawa itu adalah sebuah kebohongan belaka. Aku bisa membedakannya.
Setiap orang itu memiliki topeng. Orang akan mulai menggunakan topengnya dengan sebaik mungkin ketika orang itu berhadapan dengan orang lain. Tapi tidak dengan pemuda ini. Aku berani bertaruh dengan apapun.
Karena kepribadiannya ini aku menyukainya. Bukan hanya kepribadiannya saja. Senyumannya, parasnya, fisiknya, kecerdasannya, semua yang ada pada dirinya aku menyukainya. Tidak. Aku mencintainya, sungguh mencintainya.
"Kenapa? Apa… apa ada sesuatu diwajahku?" Kedua tangan besar pemuda itu meraba-raba permukaan wajahnya sendiri. "Ah sialan! Sepertinya anak-anak melakukan sesuatu pada wajah tampanku!"
Aku tertawa pelan mendengar perkataannya. 'Pemuda yang sangat percaya diri', diriku membatin.
Kedua tanganku terulur untuk menghentikan gerakan tangannya. Mengambil keduanya untuk berada disisi kanan dan kiri dari pemuda itu. Aku tersenyum. "Teman-temanmu tidak melakukan apapun pada asset berhargamu itu. Tenanglah." Aku kembali tersenyum.
"Lalu kenapa kau melihatku seperti itu? Apa ada yang sedang mengganggu pikiranmu?" Tanyanya cemas.
"Sepertinya tadi aku sedikit melamunkan sesuatu." Aku mulai berjalan keluar dari arah gerbang sekolah.
"Benarkah? Melamunkan apa? Apa ada yang terjadi di jam-jam terakhir dikelas?" Dia mulai berlari mengejarku dan menyamakan langkah kakinya denganku. "Oh, aku tau! Siapa lagi yang menyatakan cintanya padamu? Kiba? Shikamaru? Atau Sasuke? Ayolah~ ceritakan padaku! Ya? Ya?" Dia mulai kembali ke kebiasaannya dengan menanyakan rentetan pertanyaan padaku dengan tidak sabaran.
Aku menghentikan laju langkahku. "Aku harus menjawab pertanyaan yang mana dulu?" jawabku tak berminat.
"Ah kau marah? Baiklah, kau tak perlu menjawabnya." Dia kembali memamerkan senyuman lembutnya padaku.
Aku kembali melanjutkan langkah kakiku, menghiraukan perkataannya tadi. Hening untuk beberapa saat. "Apa kau sudah punya acara di malam natal nanti, Naruko-chan?"
Aku menghentikan langkahku. "Ah tidak! Tidak apa-apa." Dia langsung berkata itu selanjutnya saat setelah melihat sikapku yang hanya terdiam. "Sepertinya kau masih marah." Gerutunya pada dirinya sendiri.
Angin berhembus dengan perlahan mengiringi langkah kami dijalan yang lengang. Sebentar lagi sudah waktunya makan malam. Sepertinya aku tidak sempat membantu Anko-san menyiapkan makan malam lagi.
Tapi sebenarnya bukan itu yang aku pikirkan. Aku sedikit memikirkan pertanyaan terakhir yang dilontarkannya padaku tadi.
Bagaimana aku bisa sudah mempunyai acara di malam natal? Aku sendiri tidak merasa tertarik dengan adanya acara-acara di malam natal. Tadi saat pulang sekolah ada sebagian anak laki-laki di kelasku yang mengajak keluar di malam natal, tapi ku tolak dengan nada ketus. Sungguh aku tak tertarik sedikit pun.
"Bagaimana denganmu?" Aku bertanya padanya dengan nada datar.
Dia terlihat sangat bingung dengan pertanyaanku. "Denganku?"
"Malam natal?" aku bertanya sekenanya.
"Oh… teman-teman club hockey mengajakku makan-makan disebuah café." Ucapnya sambil tersenyum. "Tapi aku belum bilang setuju untuk ikut."
"Kenapa?"
"Aku rasa… aku ingin dirumah saja haha." Dia menjawab dengan kikuk.
"Apa kau merasa canggung dengan manager club, karena cintamu ditolak olehnya?"
"Bu-bukan!" kedua tangannya mengibas-ngibas udara. "Mana mungkin… seperti itu, Naruko-chan." Mimiknyaa berubah menjadi murung.
"Ada apa? Cerita padaku." Aku mulai menariknya mendekat.
"Tidak ada, sungguh!" Aku masih belum percaya dengan jawaban singkatnya. Aku masih melihat matanya dengan lekat menagih jawaban yang aku inginkan. "Hampir gelap, Naruko-chan" Dia menengadahkan kepalanya ke atas melihat langit yang mulai menggelap secara perlahan. "Anko-san pasti sudah menunggu kita. Sebaiknya kita cepat-cepat." Ucapnya sambil tersenyum kepadaku.
Ya, dia adalah kakakku. Kami adalah saudara kandung, kami… kembar. Uzumaki Naruto adalah kakakku, dan aku… Naruko. Namaku Uzumaki Naruko. Naruto-Naruko. Kadang aku merasa sakit mendengar nama itu.
.
.
.
Aku duduk di meja belajarku. Aku membolak-balikan buku pelajaran didepanku dengan tidak minat. Daripada membaca dan memahami isi buku, aku lebih tertarik mengambil keputusan mana yang tepat untuk sesuatu yang sedang kupikirkan.
Aku sudah memikirkan ini sejak lama. Aku menyadari perasaanku ini salah. Tidak mungkin seorang adik menyukai kakak kandungnya sendiri, bukan?
Ketika aku masih kecil mungkin aku belum memahami perasaan ini, tapi lambat laun aku mulai mengerti dan bisa membedakan perasaanku kepadanya hanya sekedar perasaan adik kepada kakak atau perasaan wanita kepada pria dalam artian yang sesungguhnya.
Mungkinkah ini sebuah obsesi yang berlebihan? Tidak. Aku meyakininya bahwa itu bukan sebuah obsesi pada seseorang. Lalu apa yang mesti aku lakukan? Haruskah aku mengabaikan perasaanku ini.
Benar. Itu adalah jawaban yang tepat untuk keputusan yang harus aku ambil. Mengubur perasaanku dalam-dalam dan jangan sampai mengambil kembali perasaan yang sudah kubuang itu.
Aku menutup bukuku pelan. Menghela nafas panjang dan menyenderkan punggungku ke punggung kursi.
"Apa yang sedang kau lakukan, Naruko-chan?"
"Hha? A-apa?" Seseorang dengan tiba-tiba berdiri disampingku sambil mengarahkan kepalanya ke buku yang kututup tadi. "Jangan mengagetkanku dengan keberadaanmu, Naruto!" Aku berujar sedikit marah.
"Benarkah aku mengagetkanmu? Gomen ne, sungguh aku tak bermaksud seperti itu." Ucapnya memelas. "Tapi tunggu! Tadi kau memanggilku siapa? Naruto? Aku kakakmu, hormatlah sedikit." Tangannya terulur mengacak-acak rambutku.
"Jangan merusak rambutku!" balasku ketus menanggapi perbuatannya.
"Oh, gomen." Dia spontan menganggat kedua tangannya ke udara. Sejenak dia terlihat berpikir. "Hey! Siapa yang seharusnya marah disini? Aku 'kan?"
"Ppffftt-" Aku menutup mulutku dengan tangan menahan tawa dengan sikap kekanakannya.
"Oohh~ kau mulai berani mengerjai kakakmu ya, Naruko-chan?"
"Siapa?" Aku bertanya tak peduli. "Aku mau pergi dulu keluar." Aku berkata setelahnya. Aku mulai berdiri dari kursi dan berjalan keluar kamar. Mengambil mantel tebalku dan sepatu boat kulit di rak di dekat pintu masuk.
"Kemana? Mau ku antar?" tawarnya.
"Perpustakaan. Tidak usah. Cuma sebentar." Membuka pintu dan mulai pergi.
.
.
.
"Naruko? Kau Uzumaki Naruko 'kan? Adiknya Naruto-kun?" Seseorang bertanya dengan penuh antusias kepadaku ketika aku sedang memilih buku untuk materi tugasku.
Ya, aku mengenal wajahnya. Dia adalah manager club hockey Naruto. Yang sering memberikan semangat kepada Naruto ketika pertandingan berlangsung. Aku sudah lama memperhatikannya. Aku tahu dia menyukai Naruto sebagai pria. Itu adalah salah satu alasanku untuk membuang perasaanku.
"Hm." Aku hanya menjawab seadanya.
"Kalian sangat terkenal sekali. Kalian seperti bentuk nyata dari kisah Hansel dan Gretel!" ucapnya semakin antusias. "Hidup itu memang sangat berat ya, Naruko-chan? Bolehkah aku memanggilmu seperti itu?"
Aku hanya terdiam tak menanggapi. Aku hanya memilih-milih buku di rak yang berada didepanku.
"Kau pasti tidak mengenalku. Aku Sakura, Haruno Sakura. Salam kenal." Dia memamerkan senyuman ramahnya kepadaku. Senyuman ramah yang ditujukan kepada adik Naruto. Kalian pasti mengerti maksudku.
"Naruko." Aku membalasnya sambil berlalu pergi karena buku yang kucari sudah kutemukan. Setelah mendaftarkan buku yang kupinjam kepada penjaga perpustakaan aku segera pulang kerumah.
.
.
.
"Ne.. ne.. Anko-san, kau juga harus tahu. Anak-anak club hockey sering mengeluh kepadaku." Wajah ceria itu memamerkan sikap merajuknya.
"Mengeluh tentang hal apa, Naruto?" orang yang dipanggil Anko oleh Naruto terlihat tertarik dengan hal yang diceritakan Naruto.
Ya benar. Naruto sekarang sedang menceritakan berbagai hal yang dialaminya selama seharian ini kepada Anko-san. Itu memang sudah menjadi bahan yang wajib dilakukan setelah acara makan malam usai bagi Naruto.
Duduk saling berhadapan di meja lesehan di ruang tengah keluarga. Menceritakan dengan antusias dengan menampakan berbagai air muka dan menggerak-gerakan tangannya untuk menambah menariknya cerita yang dia ucapkan. Dimulai dari mimik ceria, sedih, simpati, ke ceria lagi, lalu ke mimik merajuk seperti sekarang ini. Dia pencerita yang sangat baik menurutku. Aku hanya tersenyum melihatnya sambil menyesap coklat panas yang dibuatkan oleh Anko-san.
Wajah itu menampakkan tampang serius. "Manager kami!" ucapnya sambil menganggukkan kepalanya sekali.
Naruto yang melihat wajah Anko-san yang terlihat seperti bertanya, akhirnya membuka kembali suaranya. "Anak-anak mengeluh tentang seberapa cerewetnya manager kami. Kau pasti tahu Anko-san, mulut seorang perempuan itu seperti apa." Naruto melipat kedua tangannya didepan dada.
"Hum! Sepertinya aku tahu, Naruto." Ucap Anko-san sambil mengangguk menyetujui perkataan Naruto.
"Manager selalu berkata begini. Ehm! 'Shikamaru-kun, kalau kau sudah membuka pakaian hockeymu taruh dan rapihkan dilokermu sendiri!'" dimulai dari deheman pelan Naruto memulai kembali ceritanya sambil menunjuk-nunjuk entah kemana.
"'Kiba! Jangan menaruh sepatu dan tongkat hockey didepan pintu! Itu mengganggu orang yang keluar masuk ruangan ini!'" Naruto mengerutkan kedua alisnya terlihat kesal. Dia memeragakan kemarahan manager hockienya kembali.
"'Dan Chouji-kun… kalau makan keripik kentang diruangan ganti, jangan sampai remah-remah keripiknya jatuh ke lantai ya~! Nanti terinjak anak-anak yang lain, dan kau tahu? Nanti aku yang susah membersihkannyaaa!' Wajah Chouji tadi terlihat pucat setelah manager mengatakan itu padanya. Hahahaa~" Naruto kembali memamerkan wajah cerianya.
"Dan Anko-san, manager akhirnya melampiaskan kekesalannya padaku, Sasuke, Gaara dan Shino." Riu menghembuskan nafasnya. "Sebenarnya kami juga yang salah. Kami melempar handuk kecil kami ke sembarang tempat yang tak sengaja terinjak-injak dan menambah kotor handuknya, tentu saja manager sangat murka tadi."
"Ahahaa~ benarkah? Anak-anak nakal." Anko-san mengacak-ngacak rambut Naruto gemas. Naruto yang diperlakukan seperti itu hanya tertawa kesenangan. Aku yang melihatnya kembali tersenyum.
Inilah Naruto yang kukenal selama ini. Sungguh anak yang ceria. Berbeda denganku yang entah kenapa seperti kebalikan dari Naruto.
Naruto yang sangat menunjukan perasaannya. Baik itu ketika dia merasa senang kegirangan, kesal kepada orang, sedih, merasa malu, merasa bosan bahkan marah sekalipun, dia bisa meluapkan perasaannya itu tak peduli apapun. Berbicara seperti apa adanya. Berbicara apapun yang terlintas di otaknya. Sungguh sangat ekspresif. Dan aku?
Aku lebih cenderung pendiam, tak banyak bicara pada orang yang tak dekat denganku. Aku tidak bisa menunjukan perasaanku dengan baik, bahkan kepada Naruto maupun Anko-san sekalipun. Aku lebih memilih menyimpan perasaanku sendiri sekalipun itu terasa berat dan sakit. Seperti penyimpan perasaanku yang sebenarnya pada Naruto.
Perasaan ini akan membuat suasana semakin bertambah sulit. Naruto tidak boleh tahu akan hal ini. Dan aku sendirilah yang harus memendamnya dan jangan sampai terlihat. Ya! Jangan sampai terlihat oleh siapapun. Itulah kata-kata yang sering kuucapkan dalam hatiku.
.
.
.
"Kau belum tidur, Naruko -chan?" terlihat Naruto berdiri didekat pintu kamarku.
"Hm." Ucapku seadanya. Aku kembali memfokuskan pikiranku didepan buku yang tadi kupinjam dari perpustakaan.
Naruto membaringkan tubuhnya disampingku yang duduk didepan meja belajar kecilku. Meja kecil disebuah kamar yang sederhana. Kamar ini menurutku sangat nyaman.
Kamar berukuran tiga kali empat meter ini sudah bisa memuat lemari yang kugunakan untuk menyimpan pakaian dan futon yang terletak dipojok kiri kamar. Rak buku setinggi satu setengah meter dan meja belajar lesehan yang menghadap ke jendela.
Rumah ini memang terbilang masih kental dengan budaya jepang kuno. Terbukti dengan masih dipakainya meja-meja pendek, pintu dan jendela geser, lantai dan dinding kayu, sangat asri.
"Sepertinya pada malam natal nanti, aku akan dirumah bersamamu dan Anko-san." Aku memalingkan wajahku dari buku dihadapanku ke samping untuk melihat Naruto.
Naruto membaringkan tubuhnya dengan kedua tangan sebagai tumpuan kepalanya. Meluruskan kakinya dengan kaki kanan yang berada diatas kaki kirinya. Aku kembali melihat Naruto membuka mulutnya.
"Aku tidak ikut acara itu." Ucapnya dingin.
"Kenapa?" Aku mulai tertarik ingin tahu. "Apa karena managermu?"
"Berhentilah mengatakan 'Manager, manager… dan manager'!" wajahnya berpaling melihatku. "Aku hanya… aku hanya ingin bersama Anko-san dan bersamamu…" Naruto menatapku dengan serius.
'Deg!'
"Benarkah? Hanya itu, Naruto?" Aku menghadapkan wajahku kembali ke buku. "Bukankah tadi kau menceritakan managermu dengan penuh antusias didepan Anko-san?"
"Aku bersungguh-sungguh. Ini tidak ada hubungannya dengan dia." Ada jeda beberapa detik. "Hey! Aku sedang bicara padamu, lihat wajahku! Naruko-chan!"
Dengan sekali hentakan di kedua bahuku oleh kedua tangan Naruto, akhirnya aku duduk berhadapan dengannya.
'Deg!'
"Kau! Kau jangan membuat jadwal untuk pergi dengan orang lain di malam natal nanti, oke?"
"Apa urusanmu?" Aku mengangkat sebelah alisku. "Aku bahkan tidak pernah melarangmu untuk berbuat sesuatu. Kenapa kau melarangku sekarang?"
"Karena… karena aku kakakmu!" ucapnya salah tingkah. Aku hanya tersenyum miris.
"Benar juga. Kau adalah kakakku. Lebih tepatnya kakak kandungku." Pandanganku kebawah ketika aku mengatakan itu. Hening untuk beberapa saat. Naruto masih memegang kedua pundakku. Pegangannya entah kenapa terasa semakin erat mencengkram keduanya.
"Ka-karena itulah… aku bisa berlaku sesukaku kepadamu, hahaa~" tawanya. Aku tahu tawa itu hanya sebuah pemanis ucapannya saja. Aku tahu dia sedang merasa canggung bersamaku entah kenapa.
Kedua tangan Naruto turun, tidak memegang kedua bahuku lagi. "Aku akan tidur denganmu."
"A-apa?" aku terlonjak kaget dengan perkataannya.
"Tidur denganmu. Hanya tidur disampingmu. Itu saja." Naruto mulai berdiri dihadapanku. Beberapa detik kemudian dia tersenyum aneh. "Ahh… aku mengerti! Kau memikirkan hal yang berbau hentai, Naruko-chaaann~" Dia mengerling padaku.
"Dimimpimu, baka!" jawabku kesal. "Tidur dikamarmu."
"Aku tidak mau! Aku bisa melakukan apapun sesukaku, ingat? Aku. Kakak. Mu." Naruto menekan setiap kata dikalimat terakhirnya. "Aku mau menggambil futonku dulu."
Aku menghela nafasku. "Apa yang dia lakukan? Lalu… apa yang harus aku lakukan?" ucapku frustasi. Aku hanya mampu membenamkan wajahku dikedua tangan yang ditekuk diatas meja belajarku.
Bagaimana perasaan ini akan hilang, jika dianya sendiri selalu berbuat semaunya kepadaku seperti ini. Kau membuatku merasa kesulitan Naruto.
Dan… apa tadi? Aku… jantung yang berdebar ketika Naruto mengatakan hanya ingin bersamaku dimalam natal dan mengosongkan jadwalku dimalam itu? Konyol. Aku meghela nafasku lagi. Lupakanlah. Lupakan perasaanmu yang semakin menjadi ini, Naruko! Kau hanya akan menyakiti dirimu sendiri dan akan menambah keruh semuanya.
Tidak beberapa lama kemudian Naruto kembali dengan membawa futon miliknya dengan cengiran khasnya kepadaku. Malam itu aku tidur bersama Naruto dikamarku. Hanya tidur.
.
.
.
"Naruko-chan… apa malam ini sudah punya acara untuk pergi keluar?" Anko-san menyodorkan secangkir coklat panas didepanku.
Aku menerima cangkir itu sopan. "Tidak. Seperti biasa, Anko-san."
Malam ini adalah malam natal. Aku yang memang melalui malam natal disetiap tahunnya hanya berada di rumah, kembali mengulangnya lagi di tahun ini. Aku memang tidak memiliki ketertarikan dengan hal-hal yang menurutku ini adalah sesuatu yang biasa terjadi, tapi entah kenapa orang-orang menganggapnya seperti hal baru dan menarik.
'Hey! Ini cuma peringatan tahunan. Berlakulah sewajarnya, karena peringatan ini akan tetap ada di tahun-tahun berikutnya' ingin sekali aku berkata seperti itu.
"Hum… benar juga." Anko-san tersenyum lembut. "Tapi Naruko-chan, bermalam natal cuma berdiam diri di rumah itu sangat membosankan. Buatlah acara seperti Naruto. Sepertinya dari tadi dia sibuk mengirim pesan kepada teman-temannya." Dagu Anko-san terangkat mengarah pada Naruto yang sedang sibuk dengan ponselnya yang duduk disebelahku.
"Dia tidak ikut di acara itu. Iya kan, Naruto?" Aku sengaja menyenggol lengan kanan Naruto dengan siku kiriku pelan.
"Ah! Iya, Anko-san. Hehe." Naruto menjawab sekenanya. Dia sebenarnya masih berfokus pada layar ponselnya dengan menekan-nekan layar touchscreen ponsel itu pelan.
"Lalu… Kau pergi dengan siapa saja, Naruto?" tanya Anko-san lagi. Untuk beberapa detik tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut Naruto. Aku kembali menyenggol lengan kanannya.
Terlihat Naruto sedikit kaget. "Hum… Hehe~ begitulah, Anko-san."
"Ehh?" Anko-san terlihat bingung.
"Apanya yang 'begitulah', ha?" Aku mulai kesal sendiri. "Anko-san sedang bertanya padamu, Naruto!" aku membentak Naruto dan mengambil ponselnya tanpa aba-aba.
"Ahh gomen.. gomen, Anko-san. Aku tadi sedang membalas pesan anak-anak, mereka bertanya kenapa aku tidak ikut di acara itu. Begitu… sekali lagi, gomennasai" Naruto menampakkan wajah memelasnya.
"Dasar!" ucapku masih kesal.
"Haha… tidak apa-apa, Naruko-chan. Naruto kan memang suka seperti itu." Ujar Anko-san sambil tersenyum maklum. "Kenapa kau tidak ikut, Naruto?"
Terlihat Naruto sedikit berpikir. "Hum… sebenarnya aku tidak punya alasan. Aku hanya ingin di rumah bersama Anko-san dan Naruko-chan. Aku sudah menceritakan hal ini pada Naruko." Naruto menatapku untuk menyetujui apa yang dia katakan.
"Hm." Jawabku sekenanya.
"Bagaimana kalau kalian pergi keluar berdua?" Anko-san memandang wajah kami bergantian. "Naruto kan sering mengadakan acara-acara di malam natal. Ajaklah Naruko-chan sekali untuk keluar bersamamu. Kalian tidak perlu ke acara yang dibatalkan olehmu, Naruto. Kau tahu sendiri Naruko-chan itu seperti apa ketika dia berada di tempat yang banyak orang?"
Naruto menganggukan kepalanya setuju. "Naruko-chan akan pergi atau kembali pulang ke rumah."
"Benar. Bagaimana?" kali ini Anko-san menatapku meminta jawaban.
"…"
"Oh ayolah, Naruko~ sekali ini saja ya? Cuma denganku, oke?" Naruto kembali memamerkan wajah memelasnya.
"Hm." Aku hanya mengangguk sebagai ungkapan setuju.
"Yosh!" ucap mereka bersamaan. "Sudah sore. Aku akan menyiapkan makan malam. Setelah makan malam kalian bersiap-siaplah untuk keluar." Ucap Anko-san dan pergi ke arah dapur.
"Ha'i." balas Naruto senang.
Aku tidak menyangka untuk tahun ini aku bisa pergi keluar di malam natal. Dan aku juga tidak menyangka, orang yang akan pergi keluar di malam natal bersamaku adalah Naruto. Naruto yang selalu kucintai sebagai seorang pria.
Dalam bentuk nyata dia adalah kakak kandungku, tapi jauh di dalam hati, aku memandangnya berbeda tidak selayaknya saudara kandung. Tuhan pasti akan menghukumku dengan sangat berat. Tapi aku mengabaikan semua aturan yang Tuhan buat, dan tetap memandang Naruto dengan penuh pengharapan.
'Baka! Naruko no baka! Kau sudah terpengaruh oleh perasaan yang salah kau tempatkan di dalam hatimu!' Aku hanya kembali, kembali dan kembali menyadarkan diriku.
.
.
.
Kita bertemu di depan gerbang sekolah. Bertemu disana dan pergi ke pusat kota bersama-sama. Aku pergi sebentar, ada sedikit urusan dengan teman di sekolah. Tunggulah sebentar ^^
Naruto
Itulah catatan yang kuterima dari Naruto yang tertempel di pintu kamarku. Sepertinya dia memiliki urusan yang sangat penting. Aku hanya mengedikkan bahuku tak peduli.
Dengan memakai setelan musim dinginku, sepatu both kulit, penutup kepala dan menyelempangkan sebuah tas kecil di bahu, aku pun berpamitan kepada Anko-san dan pergi.
Jarak sekolah dengan rumah kami memang tidak terlalu jauh. Dengan berjalan sekitar lima menit, aku sudah berdiri di depan gerbang sekolah.
Uap hangat keluar dari hembusan nafasku. Hari ini memang salju belum turun tapi udara terasa sangat dingin dari malam-malam kemarin. 'Apakah salju pertama akan turun malam ini?' aku bertanya dalam hati.
'18.19 p.m'
Aku sudah menunggu Naruto sekitar sepuluh menit. Tapi sepertinya orang yang kutunggu belum keluar juga dari arah sekolah. 'Apa urusannya benar-benar penting?' aku kembali melihat ke arah sekolah, berharap orang yang kutunggu keluar dengan memamerkan senyuman lembutnya ke arahku dari arah lorong sekolah itu. Tapi tak ada seorang pun.
"Naruko-chan?" seseorang menyapaku yang masih mengarahkan pandanganku ke arah sekolah. Dengan sekali gerakan cepat, aku memalingkan wajahku ke arah orang itu.
"Benar. Ini Naruko-chan." Ucapnya senang.
"Apa kau melihat Naruto?" tanyaku langsung tanpa berpikir panjang.
"Naruto?" dia terlihat berpikir. "Oh! Tadi dia diseret manager pergi ke café, disana!" orang itu yang ku ketahui sebagai salah satu teman Naruto menunjuk sebuah café di dekat sekolah dengan tangan kirinya.
"Untung aku kesini ya? Naruko-chan jadi tidak menunggu Naruto yang sebenarnya tidak ada disini. Haha~ sebenarnya… aku ingin mengambil barangku yang ketinggalan waktu berkumpul tadi." Orang itu menggaruk tengkuknya. "Apa Naruko-chan mau ikut bergabung bersama kami?" tanyanya.
"Tidak. Arigatou." Aku sedikit membungkukkan tubuhku ke arahnya dan pergi. Aku tidak memperdulikan lagi orang yang kini tengah berdiri mematung kebingungan denganku tadi.
'Baka! Kenapa aku sebaka ini? Dengan bodohnya aku berdiri di depan gerbang sekolah seorang diri, menunggu seseorang yang tidak ada sosoknya di dalam sana. Baka!' Aku terus mengumpat, memaki diriku sendiri di sepanjang jalan yang sepi dan dingin.
Aku berjalan dengan sangat pelan dengan menundukkan kepalaku. 'Kau terlalu berharap, Naruko. Dengan sangat beruntungnya dirimu diajak ke pusat kota bersamanya di malam natal. Melalui malam natal dengan seseorang yang sudah lama menyentuh hatimu dan menghangatannya dengan senyuman lembut nan tulus darinya. Tapi itu hanya harapanmu… Dan dia? Dia tetaplah kakakmu dan tidak akan berubah sampai kapan pun!'
Aku seperti dicambuk oleh kata-kataku sendiri. Aku tersadar dan benar-benar terbangun dari mimpi-mimpi indahku selama ini. Perasaanku selama ini kepada Naruto tidak akan pernah tersampaikan dan tidak akan pernah berakhir bahagia.
Aku kembali teringat dengan kisah kedua kakak beradik, Hansel dan Gretel. Aku dan Naruto mungkin memiliki kesamaan dengan cerita Hansel dan Gretel yang orang-orang lihat memiliki akhir yang sama… berakhir bahagia. Orang-orang mungkin beranggapan seperti itu, tapi bagiku tidak.
Aku mengganggap cerita ini berakhir dengan tragis. Bukan berakhir tragis dengan aku dan Naruto yang mati di makan si penyihir buta nan jahat, tapi… dengan aku yang memiliki perasaan kepada saudaraku sendiri yang seharusnya aku tidak memiliki perasaan terlarang itu kepadanya.
.
.
END… or TO BE CONTINUE? :D
.
.
Hollaaaa~ haha~ Konnichiwa, minna! \(^0^)/
Saya kembali dengan threeshoot #maybe xD semoga kalian suka dengan shut-shut nya.. #ehh? Haha (ngetik : Shoot-shoot)
Untuk fic ini, saya memang terinspirasi dari kisah 'Hansel & Gretel' yang sebenarnya memiliki kisah yang sangat menyeramkan #pas searching di eyang buyut kemaren gitu -_-"
Sebenernya ini bukan asli cerita antara Naruto-Naruko, tapi cerita bikinan saya dengan character yang dibuat sendiri hehe. Jadi pas baca ulang cerita ini dengan char Naruto-Naruko kesannya maksain banget ya? Gomen '/\'
Kayaknya cukup deh cuap-cuap masalah fic nya, untuk membaca fic ini sampai ke cuap-cuap author yang gaje hehe.. hontou ni arigatou, minna
Gak bosen-bosen saya berkata, "Opini, saran dan kritik-kritik yang membanggun… saya tunggu ya~" (^0^)d
Sekali lagi, arigatou gozaimasu
See you again in the next shoots.. Jaa ne~ (^0^)/ #lambai-lambai
Publised on : Feb 28th 2015, 20:26 p.m
I hope.. you like it ^^
