DISCLAIMER: I, Spica Dee, don't own Vocaloid or all the characters involved. Nor the song DEPARTURES. It's all belong to Crypton Media and Komuro Tetsuya, the songwriter (before this, I thought it was made by Hitoshizuku-P, special thanks for Kisaragi Momo anyway ~). But I own my imagination on the story still, coz DEPARTURES song itself doesn't have a real story like my previous creation, Karakuri Burst. Well, this is somehow more challenging for meh~ :3
Author's Note: I LOVE Departures song. Listening to the song is recommended, however, because it would make more sense but if you don't, I think that's not a big prob... X9
Pairings: If I have pairing story, I would make it in my other account that I would never mention here *evil laugh*
BETAd by: Myself XD (I'm such a forever alone, huh?)
*Len*
"―da, waktunya bangun," sapa seseorang, membangunkanku dari tidurku yang pulas.
Aku menggeliat dan mengucek mata. Orang yang menyapaku barusan meninggalkan sebuah tea tray di samping tempat tidurku lalu membuka tirai jendela kamarku. Sinar mentari musim panas menerobos masuk. Aku menyipitkan mata, menyesuaikan diri dengan cahaya yang datang tiba-tiba. Pemuda yang menyapaku tadi tersenyum.
"Ng, pagi Ted," sapaku balik pada pemuda berambut pink itu.
Aku memalingkan wajah dan berjalan menuju jendela besar yang berada di sisi kananku. Jendela bergaya gothic dan lebar itu sengaja dipesan khusus beberapa tahun yang lalu olehku. Aku memang menginginkan jendela lebar di kamarku, supaya aku dapat menatap dunia di luar mansion ini yang, bisa dibilang, asing bagiku. Sesuai keinginanku, jendela itu terbuat dari kaca (anti peluru, kalau kau mau tahu. Ya, mamaku memang paranoid) bening dan dibingkai oleh kayu kehitaman, dengan ukiran-ukiran di sisinya. Jendela mewah itu dihiasi tirai bewarna beige dari sutra yang dipesan khusus dari Cina dan di ujung-ujungnya, kita bisa melihat titik-titik berkilauan yang sebenarnya berlian Swarovski. Aku tahu, ini memang benar-benar mahal. Aku selalu khawatir suatu saat aku terbangun dan mendapati seorang maling sedang duduk di bawah jendela itu, sedang berusaha mencabuti berlian itu dari tirai itu. Dan untunglah, hal itu tidak terjadi sejauh ini.
"Hari pertama musim panas, ya?" tanyaku basa-basi.
Ted, pelayan pribadiku seraya mengangguk.
"Menu morning tea hari ini Earl Grey dan scone bebas gula. Setelah ini Tuan Muda diharapkan membersihkan diri dan bergabung bersama Tuan dan Nyonya Besar beserta adik Tuan Muda di meja makan. Jadwal hari ini adalah―"
"Ampun deh. Jangan terlalu formal padaku, kita kan seumuran," sergahku sambil mengambil secangkir teh yang baru saja dituangkan Ted sambil berbicara.
"Ummm... Oke Tu―maksudku Leanden."
"Len saja, Teddy Bear," tukasku.
"Oke Len Saja."
Aku memutar bola mata. "Ha-ha."
Ted berdeham. "Pokoknya, akan kubacakan jadwalmu hari ini. Setelah sarapan, Ms. Rhoden sudah menunggu untuk pelajaran privatmu di perpustakaan. Setelah itu, guru musikmu Mr. Grest akan memberimu sesi pelajaran biola jam..."
Aku menguap, terus menatap jendela sambil mengunyah scone tanpa suara selama Ted berceloteh panjang lebar soal jadwal. Oh, aku belum memperkenalkan diri, ya? Namaku Leanden Alexion Everrelock. Kalau kau tinggal di London atau di dekatnya, kau pasti tahu Everrelock adalah nama keluarga bangsawan yang menjadi pendiri perusahaan pembuat senjata api yang dikenal kancah dunia, reLOCK Company. Ayahku adalah pendiri perusahaan sekaligus pemimpinnya. Kalau kau bertanya, 'Kenapa dia membuat perusahaan yang memproduksi senjata?' jawaban yang tepat selain karena mood-nya buruk saat itu adalah karena kakek buyut buyutku (atau mungkin buyut buyut buyu─oh sudahlah) adalah ketua OHMSS (On Her Majesty Secret Service) pada zaman Victoria. Sampai sekarang, keluargaku terpandang bahkan di kalangan bangsawan. Yah, gelar ayahku 'Marquess', sih. Belum lagi kami termasuk bangsawan terkaya di Inggris.
Kembali soal aku. Tidak banyak kalangan yang tahu soal keberadaanku, bukannya karena aku anak haram atau apa. Aku mengidap penyakit hemofilia yang kuderita sejak kecil. Kondisi itu membuatku rentan sakit dan kenyataan bahwa aku sudah 17 tahun saja sudah keajaiban. Well, mengingat dokter bodoh yang memvonisku itu berkata bahwa umurku tak lebih dari 15 tahun. Pokoknya aku masih hidup sampai sekarang, titik. Sebenarnya itu karena penjagaan ketat mama dan papaku. Aku tidak boleh keluar dari mansion ini satu langkahpun, itu bisa membahayakan nyawaku (sumber: mamaku) atau membuatku rentan terluka (sumber:dokter bodoh) jadi apa boleh buat, aku terikat di mansion ini seumur hidupku. Bahkan di mansion ini, aku tidak boleh pergi ke beberapa tempat tanpa pengawasan dari pelayan. Misalnya dapur dan gudang. Kenapa? 'Disana ada banyak benda tajam berbahaya, Leanden.' 'Kau bisa tertular PES kalau menyentuh air seni tikus.' Dan jawabanku hanya, 'Oh yeah. Benar. Terima kasih untuk mengingatkanku hal itu.'
Karena alasan itu juga, aku homeschooling dengan guru privat. Kurasa aku termasuk murid cerdas karena banyak guru mengundurkan diri karena tidak ada lagi yang bisa diajarkannya padaku. Apa boleh buat, deh. Aku tidak punya kerjaan lain selain membaca atau belajar. Temanku selain buku hanya Ted, pelayan pribadiku. Dia lebih tua beberapa tahun dariku, tapi setidaknya dia mengerti kondisiku. Terkadang aku meminta Ted menceritakan seperti apa dunia di luar sana karena selain fakta bahwa mansion ini terletak di pinggiran kota London (aku tahu, London itu ibukota Inggris. Aku anak cerdasnya disini, hello?). Dia tidak keberatan menceritakannya untukku. Malah kadang-kadang dia membawa album foto untukku. Dari sana, aku bisa melihat seperti apa dunia luar. Foto-foto itu terlihat mengagumkan, dengan pemandangan dan sebagainya. Aku selalu ingin pergi berkeliling dunia dan memotret tempat-tempat menakjubkan itu.
Memang, bisa dilihat oleh mata saja. Tapi kamera itu berbeda. Seperti melihat dunia dengan mata ketiga. Jadi suatu saat aku bisa melihat foto-foto itu sambil menertawakan masa lalu.
Tentu saja, aku tahu betapa mustahilnya itu.
Seiring aku bertumbuh, aku mengerti bahwa mimpi itu tidak selalu dapat diraih, seberapa inginnya aku. Ada mimpi yang dibuat hanya untuk diimpikan, bukan untuk diwujudkan. Supaya membuat hidup yang hitam putih ini lebih berarti.
"Len?"
Lamunanku terbuyar.
"Hah?"
Ted menatapku dengan tatapan ya-ampun-aku-harus-mengulang-ini-berapa-kali-lagi-sih sambil berkata, "Sudah jelas, kan? Mandi sana! Keluargamu tercinta sudah menunggumu di ruang makan."
"Sejak kapan kau berhak memerintahku?"
Ted tersenyum dan membungkuk berlebihan.
"Maafkan kelancangan saya, Tuan Muda Leanden," ujarnya sok mendesah penuh penyesalan.
Aku melempar bantal bulu angsaku ke kepalanya.
"Pergi sana, hush hush!" usirku bercanda.
Ted nyengir lebar dan berbalik sambil membawa tea tray. Aku meraih handuk yang terlipat rapi di atas bedside table saat mendengar pintu tertutup perlahan. Aku menghela napas panjang.
"Maka salah satu hari membosankan dimulai lagi," gumamku beranjak menuju kamar mandi pribadiku.
*Rin*
Kalau seseorang bilang hidupku luar biasa, kuakui itu benar.
Dan sekaligus salah.
Benar: Aku remaja cewek umur 16 tahun dan tinggal sendirian di apartemen kecil. Tanpa pengawasan orang dewasa atau aturan. Aku memiliki harta warisan yang tidak seberapa dari orangtuaku yang sudah meninggal sehingga aku bisa bertahan hidup. Menyenangkan? Tidak terlalu.
Salah: Selain semua yang disebutkan di atas, aku cewek biasa yang payah dengan kemampuan akademik pas-pasan (tidak kalau itu termasuk sastra dan olahraga. Aku jago dalam hal itu dan bakal membantai semua orang yang mengahalangiku. Well, tidak secara harafiah). Mukaku biasa saja dan meskipun aku bukan cewek pintar, murid-murid populer memanggilku dengan sebutan RinNerd. Mungkin karena aku memakai kacamata dan bukannya contact lens apalah itu. Dengan kata lain, aku (bukan) anak terpopuler di kelas. Terutama soal tampang.
Hm, kalau dibandingkan seperti itu, kurasa hidupku tidak terlalu luar biasa. Aku cuma cewek biasa seperti yang lainnya. Kalau di komik atau novel keren, cewek seperti aku bakal menjadi superhero atau manusia-setengah-penyihir (meskipun aku cukup yakin penyihir juga manusia, tapi sudahlah) dan bakal melindungi dunia dari serangan alien jahat yang ingin menginvasi bumi atau iblis-iblis yang akan memusnahkan seluruh umat manusia. Nyatanya, itu tidak akan terjadi. Aku cuma cewek biasa. Pakai titik.
Aku mengucek mataku mengantuk dan meraih hp-ku, mematikan alarm yang terus berbunyi nyaring. Aku mengintip jam. Baru jam 7 pagi, namun kuputuskan untuk memaksa diriku sendiri bangun dan mandi.
"Ayo semangat, Rin! Ini hari pertama musim panas! Semangat! Sebentar lagi summer holiday!" seruku memyemangati diriku sendiri.
Seperti biasa, kenyataan bahwa aku masih tetap lesu tidak terelakkan. Apa boleh buat deh. Selesai mandi, aku menyisir rambut pirangku yang hanya mencapai bahu sambil menatap cermin. Seorang gadis berambut pirang yang bermata biru terang balas memandangku. Aku pun mengikatkan pita di rambutku dan memakai kacamataku, seperti biasa. Seperti biasanya―lagi, aku meraih tasku dan mengunci apartemenku. Di bawah, ibu-ibu super (tidak) beken sedang bergosip-gosip ria soal rambut palsu suami pemilik apartemen atau tetangga sebelah punya kucing beranak manusia (please, deh. Memangnya hal seperti itu bisa terjadi?) atau artis cowok terkenal yang sering muncul di TV baru-baru ini 2 helai rambutnya rontok atau hal-hal lain yang sama tidak pentingnya. Tetap saja, aku menyapa mereka. Demi sopan santun saja, bukannya aku suka menyapa kawanan penggosip gila itu.
Aku mengambil sepedaku yang selalu kuparkir di garasi apartemen dan mulai mengayuh menuju sekolah. Cuma supaya kau tahu saja, aku bersekolah di salah satu sekolah elit di London ini, namanya Crypton West School, yang terdiri dari SD, SMP, dan SMA. Ngomong-ngomong, sekarang ini umurku 16 tahun lebih lima bulan bulan ini. Jadi, yup, aku masih kelas 2 SMA. Dan single.
Yang terakhir itu cuma kalau kau mau tahu, kok.
Tidak sampai setengah jam kemudian, aku tiba di depan sekolahku, Crypton High. Karena nama yang aneh itu, sekolah-sekolah lain memanggil kami Creepy Girls. Sesuatu yang jelas bukan merupakan kebanggan sekolah ini. Satu-satunya alasan mengapa aku masih bersekolah disini meskipun kedua orangtuaku sudah meninggal dan hidupku pas-pasan adalah karena kepala sekolah Crypton High adalah saudara jaaaaaaaaaaaaaaauuuuuuuuuuuu uuuuuuuuuuuuuuuuuuuhhhhhhhhh hhhhhhhhhhhhhh ayahku. Kedengarannnya seakan aku bersekolah karena belas kasihan orang lain, ya? Kuakui itu lumayan benar, meskipun fakta itu benar-benar melukai harga diriku sebagai Sanders.
Dan kau berpikir; "Sanders? Nama kolonel yang menciptakan restoran makanan cepat saji itu?"
Tidak.
Aku dan pria tua berjanggut yang mirip Sinterklas itu adalah orang yang berbeda.
Kenapa sih, setiap orang yang mendengar nama keluargaku beranggapan begitu? Membuatku kesal saja. Oh, aku belum memperkenalkan diriku, ya? Aku Rinatta Sanders. Panggil aku Rin saja. Menurutku Rinatta terlalu formal. Apalagi Ms. Sanders. Dan kalau kau memanggilku dengan nama tengahku, Elizabeth? Aku hanya merespon dengan ekspresi yang tak lain dan tak bukan menunjukkan satu kata. 'Bleah'.
Aku sedang memarkir sepedaku ketika seorang cewek dengan rambut pink twirly menghampiriku dari belakang.
"Rin!"
Aku spontan berbalik.
"Morning, Teto," sapaku pada gadis itu.
Dia tersenyum lebar dan mengerjap-ngerjapkan bulu matanya yang berwarna dark cherry, matanya yang berwarna serupa bercahaya. Teto itu termasuk cewek yang manis. Sayangnya, dia memilih untuk berteman denganku, yang seorang pecundang besar di kelas. Di dunia ini, ada aturan mayoritas yang digerakkan oleh tangan monster yang tak terlihat. Kaum minoritas, seperti aku dan Teto, bakalan 'terusir.'
"Kau sudah siap untuk ulangan Geografi nanti?" tanyanya.
Yeah, dan hari membosankan pun dimulai.
...
"Tunggu, hari ini ada ulangan Geografi?" tanyaku dengan nyaris histeris.
Teto menatapku dengan tatapan 'Tuh, kan'.
"Kusaranan untuk belajar sebelum─" suaranya terputus oleh suara bel sekolah yang berdentang, "─bel berbunyi," ujar Teto menyudahi, pasrah.
Oh. Sial.
AAN: So there is one way. To say. Three words. To the reader~
READ AND REVIEW! ~ XDDD
