Days of Summer
.
Disclaimer : Aoyama Gosho
.
Love is the best medicine, and there is more than enough to go around once you open your heart.
-Julie Marie
.
Silau matahari menyergap begitu Haibara Ai menjejakkan kakinya keluar dari pintu pesawat. Dia menghirup nafasnya dalam-dalam, mencoba membaui wangi musim panas Tokyo. Ah, betapa cepat waktu berlalu. Dia mencoba menghitung berapa lama waktu terentang ketika terakhir kalinya dia merasakan panasnya terik matahari Jepang. Tiga tahun? Lima tahun?
Tidak.
Hari ini tepat tujuh tahun sepuluh hari Ai meninggalkan Japan dan pergi ke New York bersama Profesor Agasa. Tujuh tahun bukan waktu yang pendek. Tokyo bahkan telah berubah begitu banyak, walau sengatan panasnya terasa sama. Setelah menghapus peluh keringat yang mulai bercucuran, Ai menuju konter untuk memesan taksi. Bahasa Jepangnya masih sangat fasih walau dia jarang menggunakannya di Amerika. Riuh ramainya bandara membuatnya kenangan mulai membanjirinya. Suara percakapan dalam bahasa Jepang, sosok orang-orang berlalu lalang—dia pernah merasakannya… ketika pertama kali dia tiba di Tokyo bertahun-tahun yang lalu, disaat dia baru lulus dari Harvard dan organisasi menawarkan posisi untuk meneruskan penelitian orang tuanya…
Ai menggelengkan kepalanya sebentar untuk mengusir kenangan itu dan dia memfokuskan pada taksi yang mendekat.
"Beika City, Block 21." Kata-katanya keluar begitu saja, sepertinya mantera walau dia tak pernah mengatakannya selama bertahun-tahun. Supir taksi itu mengangguk dan menekan pedal gas dalam-dalam. Suara mesin menderu membelah udara. Ai menyandarkan punggungnya ke jok sofa dan mengatur posisinya sehingga dia bisa duduk dengan nyaman. Dipandangnya keluar, menikmati pemandangan yang telah lama tak dia jumpai. Suasana kota berubah banyak, deretan bangunan menjulang tinggi, silau matahari menyilaukan dan memantulkan bayangan pada wajah Ai. Gadis itu telah berubah begitu banyak sepanjang sembilan tahun ini, ketika dia memutuskan untuk tidak menggunakan antidote APTX-4869.. Rambut pirang strawberrynya terpotong pendek, berayun begitu dia menggerakkan kepalanya. Wajahnya menyiratkan kematangan dan keanggunan yang tak pernah pudar walau dalam keadaan apapun.
"Anda terlihat asing, nona… Pertama kali datang ke Jepang?" suara pria datar mengagetkannya, Ai mengerjapkan matanya beberapa kali dan tersenyum sedikit, "Aku pernah tinggal disini selama beberapa tahun."
Pria taksi separuh baya itu tersenyum lalu mengerling dari balik kaca spionnya. "Jadi sekarang nona berencana untuk tinggal disini seterusnya?"
Pertanyaan itu membuat Ai tertegun. Tinggal disini untuk seterusnya? Dia menggelengkan kepalanya perlahan, "Tidak. Aku cuma seminggu saja disini."
Sepanjang perjalanan dihabiskan Ai dalam keheningan. Dia sama sekali tidak berencana untuk kembali ke Tokyo. Kota ini penuh dengan kenangan yang tak ingin dia ungkit lagi. Yang hendak dia kubur jauh-jauh.
Mobil akhirnya berhenti dan pak supir itu turun untuk mengambil koper dari bagasi. Setelah membayar ongkos dan mengucapkan terima kasih, Ai mengatupkan langkahnya dan berdiri di depan pintu Kudo Mansion yang megah. Koper kecilnya terasa berat di genggaman. Sambil menghela nafas beberapa kali, Ai menekan bel. Sekali. Dua kali.
Terdengar suara-suara dari dalam.
"Otou-san… apa Heiji oji-san ketinggalan sesuatu?" samar-samar suara anak kecil keluar dan menembus pintu. Lalu terdengar derap langkah kaki berlarian mendekat diikuti suara ceklek kunci diputar.
Pintu terbuka lebar. Seraut wajah anak laki-laki berusia kira-kira lima tahun menyambut tatapan Ai, kemiripannya dengan detektif tertentu yang dikenalnya begitu nyata. Seperti melihat Edogawa Conan sekali lagi. Ai mendengus pelan mengingat hal itu.
"Siapa itu? Bukankah sudah kukatakan padamu tidak boleh membuka pintu sembarangan, Toshiro?" suara pria yang amat dikenal Ai—mendekat.
Ai ingin mengatakan sesuatu—tapi suaranya tercekat. Dia hanya menatap Kudo Shinichi yang alih-alih menarik anaknya menjauh dari pintu, malah berdiri mematung. Tangannya yang mencengkeram bahu putranya, mengepal tanpa sadar.
"Haibara…" desisnya hampir tak terdengar. Toshiro yang memperhatikan bagaimana kedua orang itu saling memandang, mencoba merangkul kaki ayahnya untuk menarik perhatiannya. "Siapa dia, otou-san?" tanyanya heran.
Keheningan buyar, Shinichi gagap mengeluarkan suaranya, "D—dia teman lama otou-san. H—Haibara! Ayo masuklah…"
Ai tersenyum tipis dan melangkahkan kakinya memasuki ruang tamu Kudo Mansion yang luas. Seperti memori dan kenangan yang terkubur begitu lama tapi diam-diam menyelinap keluar. Shinichi akhirnya nyengir dan menarik koper dari tangan Ai. "Ada apa yang membawamu kembali, Haibara?" Dia segera menyilakan Ai untuk duduk di sofa kulit hitamnya yang empuk sementara Toshiro menghilang ke dalam, menggumamkan sesuatu tentang pr musim panas.
"Menurutmu, Kudo-kun?" tanya Ai balik. Shinichi mengamati wajah gadis itu, kerinduan menerpanya. Ucapan sarkastik Ai dan suaranya yang tenang merupakan salah satu hal-hal yang membuatnya merasa kehilangan.
Alih-alih menjawab, Shinichi hanya tersenyum. Tapi tak mampu menutupi kelopak matanya yang kuyu seperti tak tidur selama beberapa hari. Ai ingin mengatakan sesuatu tapi dia tak mampu mengumpulkan pikirannya yang berkecamuk selama melihat Shinichi. Segala kata-kata yang telah dipersiapkannya, seperti tersendat di tenggorokannya.
"Eh…" ujar Ai dan Shinichi hampir berbarengan.
"Kau duluan…" gumam Shinichi.
"A—aku datang untuk minta maaf mewakili Hakase… kami tidak bisa datang di saat pemakaman Ran-san..." Begitu Shinichi mendengar nama itu, dia menjengit. Ada ekspresi kesakitan tapi hanya sesaat. Raut wajahnya kembali normal walau masih tersisa pias pucat.
"Aku sudah tau tentang serangan jantung Hakase. Apa dia baik-baik saja sekarang?"
"Dia telah keluar dari rumah sakit. Fusae-san yang merawatnya…"
"…"
Shinichi tak berkata-kata lagi, mereka diam dalam keheningan yang menyiksa. Ai mengigit bibirnya pelan, waktu yang terentang begitu lama membuat mereka canggung. Masing-masing tak tau harus bersikap bagaimana pada satu sama lainnya.
"Haibara… Kau tinggal di Tokyo berapa lama?" Shinichi akhirnya membuka suara.
"Seminggu… aku tak bisa meninggalkan Hakase terlalu lama walau Fusae-san merawatnya. Lagipula aku harus ke London dua minggu lagi."
"London?" tanya Shinichi heran.
"Aku diterima di Oxford."
"Bukankah Ayumi-chan bilang kalau kau melanjutkan ke Harvard?"
"Aku diterima di dua universitas. Tapi aku memilih London."
Alis Shinichi berkerut. "Ada apa dengan London?"
"Mungkin… karena aku suka suasananya?" kata Ai dengan nada menantang. Shinichi tertawa pelan, lalu dia menggumam, "Kau tinggal di mana sekarang? Maksudku—di Tokyo."
"A-aku belum tau," sahut Ai datar.
Shinichi mengangkat wajahnya, mencermati Ai. "Tinggallah disini…" Dia menggaruk hidungnya walau tak gatal, "kami hanya berdua—aku dan Toshiro—jadi tak akan jadi masalah."
"Ah, merepotkanmu saja. Aku akan memesan hotel nanti."
"Jangan!" ujar Shinichi keras tanpa sadar. Ai mengangkat alisnya heran. Detektif itu merendahkan suaranya lagi, agak malu. "Umm… Kau bisa tinggal disini."
Pandangan mata mereka bertemu, Ai menemukan kesepian yang terpantul pada bola mata kebiruan Shinichi, dan pria itu merasakan ketenangan yang pernah dia dapatkan bertahun-tahun dulu sewaktu tubuhnya mengecil.
"Baiklah." Akhirnya Ai mengalah. Dia tersenyum kecil, "Aku tidak berminat untuk jadi pembantumu selama menginap disini, Kudo-kun." Matanya beralih pada tumpukan buku-buku, gunungan panci dan piring yang belum dicuci di dapur beserta bekas-bekas guntingan kertas yang sepertinya hasil pr musim panas Toshiro berserakan di atas meja.
Shinichi tertawa, Ai tak pernah berubah, walau waktu terentang memisahkan mereka…
"Welcome to Kudo Mansion," Shinichi berdiri dan merentangkan kedua tangannya. Mata birunya berkilauan.
.
.
.
tbc
A/N : ini fic yang bener-bener terinspirasi dari satu gambar Shinichi-Ai yang gw temui di PIXIV. Pic yang dijadikan wallpaper di hp gw, menghantui gw dengan menjejalkan berbagai macam plot bagaimana Shinichi dan Ai seharusnya bersatu. Jadi, daripada membiarkan banjiran mood menghilang, gw memilih untuk mengetiknya. dan... jadilah fic ini. Fic ini bakal panjang walau tiap chapternya hanya terdiri dari 1000an kata saja.
Fic ini tentang bagaimana kita memberikan kesempatan untuk cinta. Untuk jatuh cinta lagi. Untuk kehilangan. Untuk rasa sakit. Untuk percaya kalau cinta itu ada walau ujung2nya bakal ada penolakan, kepedihan ataupun kesedihan. untuk cinta yang hilang dan yang akan kembali.
Gw uda ketik sampai chapter 3, akan diupload secepatnya begitu ada waktu ;) fic ini hanya berisikan genre "slices of life". Ga ada pembunuhan yang bombastis atau drama yang mengharubiru seperti sinetron... hanya potongan hidup sehari-hari Shinichi dan Ai. Bagaimana cinta datang, memberi kesempatan, untuk menyembuhkan luka.
Judul diambil dari lagu Those Hazy Dazy Crazy Days of Summer oleh Nat King Cole. Pic yg gw blg itu ada di cover image fic ini. Credit to the owner.
