"Bagimu surga terbayang seperti apa?"

.

.

.

Dalam hidupku, ada banyak orang yang sudah menanyakan pertanyaan itu. Ada yang datang padaku dan menanyakannya sekali, tapi ada juga yang berulang kali hingga tampak seperti si idiot masokis yang mencoba peruntungannya dalam hal yang sia-sia.

Tidak ada.

Itulah jawabanku.

Selalu.

Sungguh, ketika kata surga terngiang di telingaku, tidak ada apapun.

Setidaknya aku tahu apa itu surga. Surga adalah tempat istimewa. Tempat akhir bagi orang-orang baik yang menjalani kehidupan dengan memerjuangkan kebahagiaan bersama. Surga adalah tempat terakhir. Surga adalah akhir yang indah bukan?

Sayangnya, aku bukan orang yang istimewa. Dan dalam kepalaku, akhir bahagia hanyalah omong kosong belaka.

.

.

Dibesarkan dalam keluarga hancur memiliki keuntungan dalam beberapa sudut pandang, well, sudut pandangku paling tidak.

Tidak perlu memusingkan ocehan orang tuamu mengenai tugas sekolah yang harus dikumpul besok, mereka terlalu sibuk melempar pisau satu sama lain atau jika sedang tidak 'badai' hanya akan ada pecahan vas bunga murah yang merobek telapak kaki ketika berjalan keesokan paginya. Tidak ada ketukan mengganggu setiap malam untuk mengingatkan menutup jendela kamar, mereka lebih memilih membuat kegaduhan dengan berteriak dari luar kamar (tapi siapa peduli, selama pintu kamar masih tak tersentuh). Tidak ada yang peduli satu sama lain dan dengan begitu memberi ruang yang cukup untuk memikirkan semesta, atau harga pangan yang naik, atau cara membenarkan pintu yang rusak, atau bahkan argumen selanjutnya yang akan didebatkan besok pagi.

Keluargaku adalah keluarga yang gagal bahkan jauh sebelum Ibu menemukan pakaian dalam wanita di mobil Ayah. Hal itu tidak memperburuk keadaan sungguh, hanya mempertegasnya. Mempertegas bahwa mencumbu wanita murahan adalah hal yang lebih menarik bagi Ayah, dan bahwa Ibu sama sekali tidak peduli.

Pernikahan tidak melulu tentang cinta yang meletup-letup.

Tapi juga kepuasan birahi manusia.

Ibu pergi suatu hari, ketika usiaku tujuh belas (setidaknya bisa bertahan selama itu), dan aku tidak sepolos itu dengan tidak menyadari keadaan mereka berdua. Walau saat itu tidak sepenuhnya mengerti, tapi aku tahu alasan Ayah menangis tersedu adalah kepergian Ibu.

Baiklah, tambahkan sedikit cinta bodoh yang terlambat.

Dan juga penyesalan yang lebih dungu karena selalu terlambat.

Itulah sekiranya pengantar yang membawaku sampai bagian dimana Ayah menangis lagi, memelukku dengan sangat erat. Pelukan pertama dalam dua puluh enam tahun hidupku, dan aku sudah kelewat terlatih untuk tidak mengharapkan apapun dari kejadian ini. Karena kalimat yang terlontar selanjutnya dari bibir Ayahku adalah neraka.

"Kau akan menikah, Wu Luhan. Suka atau tidak, Ayah akan menikahkanmu dengan seseorang. Dan kau sungguh berhak bahagia bersamanya."

Mungkin memang surga tidak ada.

.

.

.

.

.

I literally have the worst trust issue.

Aku tidak memiliki saudara, tapi sampai usiaku menginjak sepuluh, ada seorang kerabat yang tinggal bersama (jika tidak mau dibilang menumpang) keluargaku. Seorang keponakan laki-laki dari Ibu yang usianya tujuh tahun lebih tua dariku. Namanya Kim Ilgook. Semuanya berjalan sempurna diawal, seolah aku menemukan seorang kakak laki-laki yang aku impikan. Hingga beberapa bulan berjalan, aku menyadari ada yang aneh dengannya.

Uang Ibu dan Ayah mulai menghilang entah kemana, dan fakta aku sebagai anak satu-satunya yang selalu dirumah memberi kesimpulan untuk mereka bahwa akulah pelakunya. Mereka memukulku dan mengatakan tidak bisa memercayaiku karena faktanya memang akulah yang selalu berada dirumah. Mereka melupakan fakta lain bahwa aku adalah anak mereka satu-satunya, mereka harusnya memercayaiku ketika aku bilang mungkin mereka hanya lupa meletakkan uang-uang itu.

Awalnya aku bisa terima.

Tapi hal ini berlangsung berbulan-bulan hingga aku muak, dan Ilgook kelepasan bertindak mencurigakan didepan mataku.

Malam itu, Ibu dan Ayah berada di ruang keluarga. Ibu mematut diri seolah belum tampak sempurna, dan Ayah sedang mengenakan jam tangan mahalnya, bersiap-siap untuk bersandiwara menjadi keluarga sempurna dan menghadiri acara ulang tahun kantor Ayah. Aku berjalan masuk ke kamar dan melupakan camilan untuk menemani mengerjakan tugas sekolah, dan ketika aku berbalik aku melihat Ilgook masuk ke kamar orang tuaku tanpa menyadari mataku yang menyumpah serapah padanya.

Keesokan harinya Ibu tentu baru menyadari kehilangannya. Kali ini dalam bentuk perhiasan mahal dari Italy yang aku tidak peduli apa namanya. Ibu tidak bertanya apapun namun langsung menamparku dan merusak baju seragam yang sudah kukenakan, memeriksa kamar namun nihil, karena memang bukan aku pelakunya. Ibu menamparku lagi, sedangkan Ayah hanya menjadi sapi di meja makan. Ilgook pun. Aku tidak membantah apapun dan bagi Ibu itu adalah pengakuan tidak langsung hingga dia mengurungku di kamar, padahal aku hanya malas memperpanjang masalah. Ibu melarangku ke sekolah (hanya ingin menyembunyikan luka tampar di pipiku dari orang lain, aku tahu) sampai beberapa hari, setidaknya aku tidak harus mengerjakan banyak tugas menyusahkan di minggu itu.

Ilgook pergi satu bulan kemudian setelah upacara kelulusannya. Teror kehilangan pun berhenti, dan sepertinya hanya aku yang tahu penyebabnya, hanya aku yang peduli.

Tapi dari tahun-tahun lampau hidupku, aku belajar untuk tidak bergantung memercayai siapapun. Kau mau bergantung apa dari seorang ibu yang tidak mau mendengar penjelasan? Tidak ada. Kau mau bergantung apa dari seorang ayah yang diam saja ketika anaknya dituduh dan ditampar didepan matanya sekalipun? Tidak ada. Apa kau bisa memercayai sosok kakak yang begitu sempurna tapi melimpahkan semua kesalahan padamu dan menjadi pengecut pada akhirnya? Tidak. Tentu tidak.

Dari masa-masa itulah aku terbentuk. Membuat kepercayaan dan akhir bahagia menjadi lelucon tolol bagiku.

Sama seperti sekarang. Ketika Ayah menyebutkan nama 'Oh Sehun' dan kata 'calon suami' dalam rima yang sama.

Mungkin semesta terlalu membenciku sehingga selalu membawa lelucon tolol lainnya.

.

.

.

.

"Sejujurnya, apa salahku?" Luhan mengeluarkan argumen pertamanya setelah keadaan mereda. Tidak ada lagi airmata di kedua mata Ayahnya paling tidak.

Wu Yifan mengerjitkan alis, jelas tidak menyetujui sikap keras anaknya, "Apa maksudmu?"

"Apakah Ayah sebegitu dendamnya padaku? Bukan aku yang memilih untuk dikandung di luar pernikahan kalian, hal itu sudah terjadi dua puluh enam tahun yang lalu. Masihkah Ayah merasa di susahkan olehku?"

"Jaga mulutmu. Kita sudah setuju untuk tidak membahas hal ini, Wu Luhan." Datar dan dingin, namun berbahaya.

"Aku tidak akan mau menerima perjodohan tolol ini. Aku wanita matang dan mapan, jika memang Ayah tidak ingin disusahkan lagi olehku, biarkan aku pergi dari rumah ini dan menjalani hidupku sendiri. Jadi lupakan rencana Ayah dengan pengusaha entah-yang-mana yang selalu Ayah sebut sahabat, lupakan rencana perjodohan dengan pria kaya idiot yang akan membuatku muak." Luhan pun terdengar paten.

"Tidakkah kau melihat disini aku sedang mengusahakan jaminan masa depanmu?!" Yifan menggebrak meja, tapi Luhan sudah terlalu biasa dengan suara seperti itu.

"Dan tidakkah Ayah melihat aku sedang mengusahakan jaminan masa depanku? Ayah hanya berpikir segalanya bisa mudah jika sudah melepaskanku pada seorang pria banyak warisan. Tapi tidak. Aku punya banyak contoh kegagalan, jika Ayah perlu bukti." Tanpa gentar, Luhan menatap mata Ayahnya. Beberap detik Yifan memberikan waktu bagi debar dadanya yang seketika melonjak, wajahnya memerah dengan urat di daerah pelipis tanda ia murka.

Yifan menarik nafas kemudian kembali duduk di kursi kepala, "Kau kenal Oh Sehun?"

"Tidak. Dan jawaban untuk pertanyaan selanjutnya, aku sama sekali tidak tertarik untuk mencari tahu."

"Oh Sehun datang pada Ayah satu minggu yang lalu."

"..."

"Dia datang sendirian, tanpa bantuan Appanya. Dia meminta izin untuk melamarmu sebagai istrinya. Dia mengenalmu, Luhan," Yifan menarik nafas lagi seolah kelelahan, "Oh Sehun mengenalmu sebagai cinta pertama SMA dan-"

"Oh, ayolah! Sebelum bertemu bahkan dia sudah penuh omong kosong!" Luhan berdiri dari bangkunya, membuat Yifan membelalakkan matanya.

"Kembali duduk, Wu Luhan."

"Pembicaraan kita tidak akan menemui kesepakatan apapun Ayah, jadi lebih baik tidak pernah menganggapnya ada. Dan tanpa mengurangi rasa hormatku sedikitpun, aku akan kembali ke kantor sekarang."

.

.

.

.

Ini semua kesalahannya sebagai kepala keluarga. Sejak awal Wu Yifan tidak bisa bertindak sebagaimana mestinya. Dia terlalu menghormati istrinya dan tidak bisa mendominasi sebagai kepala keluarga, terlalu tidak peka dengan keadaan putri semata wayangnya sehingga berpikir bahwa uang sudah cukup.

Luhan tumbuh sebagai pribadi yang sensitif, perasa namun tidak menunjukkannya pada orang lain. Luhan pintar dan dapat dengan mudah lulus kuliah dan berkarir menjadi kepala redaksi sebuah majalah internasional di Korea pada usia dua puluh dua. Yifan bangga namun menyayangkan itu dalam waktu bersamaan. Tidak ada yang akan melanjutkan perusahaannya jika begini.

Kemudian Oh Sehun datang disaat yang tepat.

Yifan tidak benar-benar mengenali sosok pria tinggi yang muncul untuk mempersunting putrinya itu. Sehun hanya tiba-tiba datang begitu saja. Yifan tentu tidak terlalu terkejut. Luhan cantik, dan di usia mudanya sudah memiliki karir gemilang. Ada banyak perempuan seperti itu di Korea, namun mana lagi yang merupakan pewaris Ephesians Company seperti Luhan? Setidaknya Yifan benar hanya memiliki satu anak.

"Saya ingin memperistri Wu Luhan."

Kata-kata itu terngiang di kepala Yifan terus menerus, seperti gema tanpa akhir. Membuatnya tersadar akan satu hal. Satu hal yang menjadi poin tambah Oh Sehun di mata Yifan.

"Andai saja aku dulu seberani itu, Zi..."

.

.

.

"Kau tidak tahu siapa itu Oh Sehun, Lu? Kau bercanda kan?" Seorang gadis bermata sipit menyeruput jus stroberi susu dengan bersemangat. Mata sipitnya melebar.

"Kau bodoh sekali, Lu." Sahut gadis lain sambil mengaduk sup krim ayamnya, mata bulatnya juga ikut tambah melebar.

"Tidak tahu dan tidak peduli."

"Kurasa kau hanya harus menambah pengetahuanmu mengenai pria. Aku bisa mengatur kencan buta untukmu."

"Aku tidak mau, Baek." Straight on point, khas seperti Luhan.

"Tapi omong-omong kenapa kau tiba-tiba menyebutkan nama Oh Sehun? Apakah dia akan menjadi salah satu line di edisi depan?" Do Kyungsoo mencoba mengembalikan topik, sekaligus menghilangkan rasa penasarannya.

"Tidak ada, aku hanya hampir saja dinikahi olehnya."

"WHAT?!"

"Haruskah kalian bereaksi tidak berguna seperti itu?"

"YOU ALMOST WHAT?!"

"Oh my God, pelankan suaramu Byun Baekhyun." Luhan menghela nafas, sedikit banyak merasa menyesal bercerita pada mereka di tempat umum seperti ini, "Aku hampir saja dinikahi olehnya, oke? End of story. Curtain closed."

"Like seriously, detailnya Wu Luhan. Kami butuh detailnya."

"Ayahku pagi ini mengatakan lelucon menggelikan, dan Oh Sehun ini berperan sebagai objeknya, badutnya. Ayahku hampir saja menjodohkanku dengannya. Aku tidak tahu apa orang yang dimaksud Ayah dengan orang yang kalian berdua maksud adalah orang yang sama atau bukan, tapi Ayah menyinggung sesuatu tentang pewaris Oh Enterprise. Jadi sama atau tidak?"

"Damn, kau dapat jackpot!"

"Do Kyungsoo, don't swearing."

"Sialan Lu, kau sungguh jalang beruntung!"

"Aku akan menjahit mulutmu, Byun Baekhyun."

"Tapi aku serius Lu, badut yang kita bicarakan adalah Oh Sehun! Ini sungguhan Oh Sehun yang itu yang sedang kita bicarakan!"

"Oh Sehun yang itu yang bagaimana lebih tepatnya?"

"Baiklah, aku akan mulai bercerita, mengingat kau butuh bantuan kami sekarang. Ayahmu mungkin tampak menyerah, tapi aku yakin delapan puluh persen kau akan tetap dinikahi Oh Sehun, dua puluh persen lagi poin untukmu karena kita berteman. Jadi secara teknis perjodohan ini akan tetap berlangsung sesuai titah Ayahmu," Baekhyun bergidik menyadari tatapan membunuh Luhan, "Baiklah, Oh Sehun adalah putra tunggal dalam keluarga Oh. Berusia dua puluh tujuh, lulusan dua gelar sekaligus setelah kuliah lima tahun di Brown. Sekarang menggantikan Ayahnya mengurus perusahaan sebagai direktur utama Oh Enterprise. Itu setidaknya yang bisa didapat dari internet." Oceh Baekhyun.

"Tapi ada beberapa hal yang tidak diketahui banyak orang. Oh Sehun adalah pria perfeksionis, walau dari luar terlihat ramah, namun sesungguhnya bisa membunuh dengan tatapan tajam. Tidak pernah menjalin hubungan dengan perempuan manapun karena kabarnya hatinya sudah dimiliki seseorang yang masih tidak diketahui eksistensinya. Jangan tanya kami dapat informasi dari mana, kita bekerja di media cetak. Mungkin hanya itu sih yang perlu kau ketahui, yang lainnya akan menyusul ketika kau sudah di lapangan."

"Baiklah, pertama, terima kasih karena kesediaan kalian berdua memberitahuku informasi mengenai Oh Sehun. Kedua, penggunaan katamu berlebihan daritadi Baek, pastikan kau tidak menggunakan kalimat seperti itu dalam artikelmu. Dan ketiga, aku sesungguhnya tidak membutuhkan informasi itu, oke? Tidak akan ada yang turun ke lapangan dan tidak akan ada pernikahan. Jadi kurasa itu sudah cukup menutup makan siang kita, dan kita harus kembali ke kantor sekarang juga. Bagaimana?"

.

.

.

Luhan merutuk pada dirinya sendiri. Pembicaraan saat makan siang itu menuntunnya terlambat sampai kantor sehabis makan siang dan membuat tamunya menunggu. Well, tamu penting, begitu kata Xiumin yang tampak tegang ketika menghampiri ruangannya. Luhan memang ingat memiliki janji dengan perwakilan dari Oh Enterprise (yang baru dia sadari adalah perusahaan seseorang) setelah makan siang, hanya pertemuan biasa sebenarnya (tidak berhubungan sama sekali dengan lelucon tolol yang menjadi topik hangat hari ini baginya), membahas iklan jangka panjang produk dan beberapa event perusahaan yang akan diliput saja sebenarnya. Semua sudah diurus bagian advertisement dan sekarang Luhan hanya perlu menandatangani.

"Dan kenapa kau tampak tegang Xiumin-ah? Kau sakit?" Luhan sedikit banyak merasa cemas melihat Xiumin memutar-mutar jarinya.

"Aku hanya gugup. Orang perwakilan perusahaan itu seram, terlalu mengintimidasi. Aku sebaiknya langsung memanggilnya, bagaimana?"

Luhan mengangguk, "Baiklah, persilahkan dia masuk. Trims, Xiumin-ah."

Gadis berpipi bulat itupun menghilang dibalik pintu dan beberapa saat kemudian pintu terbuka lagi setelah Xiumin melebarkan jalan, tampak dua orang berpakaian rapih melangkah yakin. Luhan sudah berdiri untuk menyambut dan tersenyum ramah (bagaimanapun profesionalitas yang terutama), kemudian menyalami dua pria muda itu dan mempersilahkan duduk. Mereka berdua menggunakan pakaian eksekutif yang nampak mahal. Satu memiliki senyum ramah dengan warna kulit yang sedikit gelap dibanding orang Korea pada umumnya, sementara yang satu pria pucat berekspresi datar memandang Luhan seolah menilai sesuatu, kemudian masih menatap Luhan setelahnya.

"Selamat siang, tuan-tuan. Maaf atas ketidaknyamanan yang saya perbuat sehingga anda harus menunggu, saya -"

"Wu Luhan."

Luhan mengerjap, pria dingin itu menyahuti namanya dan itu sudah cukup membingungkan.

"Kurasa kau harusnya tahu aku kesini bukan hanya ingin membahas iklan itu. Itu jelas bukan urusanku."

Luhan menaikkan alisnya, refleks sambil menerka. Oh, jangan bilang...

"Maaf?" Luhan memutuskan untuk bersikap aman saja ternyata.

"Daebak, dia benar-benar tidak menganggap serius ternyata." Oceh pria disebelahnya seolah mengetahui sesuatu.

Si pria pucat menghela nafas tidak sabar, "Aku Oh Sehun. Setidaknya kau bisa menerka apa tujuan utamaku menemuimu sekarang."

"Let's talk wedding plan."

WAIT, WHUUTT?!

.

.

.

"Bagiku surga adalah tempat aku bisa bersamamu."

.

.

.

.

A/N:
Bagiku surga adalah tempat aku bisa bersamamu? /kemudian muntah/

Ehmm hai, apa kabar?

I'm trully sorry ngga aktif nyaris sebulan. Ceritanya mo apdet Something Darker kemarin, tp my laptop berulah lagi, dan bodohnya gua ga salin file chap3 ke hape. Sampe skrg laptop gua masih gabisa nyala (TT,TT) dan daripada gua ga apdet apa2, mending apdet ini. (Rencananya mo apdet barengan HunhanEffects, Baekbeelu, lolipopsehun. Tapi apadayaku dan laptopku yang penuh dosa)

Btw ini published di wattpad yah, dan gatau mo kapan dilanjut, bcuz I do have a life outside ffn. Jangan ditungguin kwkwk

Something Darker bakal gua usahain apdet pas liburan.

C u soon.

Aku sayang kamu.