Ini bukan tentang bagaimana Hoseok lupa caranya menghormati lelaki tua yang memandangnya penuh kebencian. Hoseok lupa. Seketika Hoseok menghapus seluruh kalimat pepatah dan nasihat kuno mendiang orang tuanya tentang menghargai serta menghormati atau apalah itu Hoseok tak peduli. Jika saja lelaki tua itu tidak berkata sesuatu yang membuat amarah Hoseok benar-benar tak tertampung lagi.

"Tanpa mengurangi rasa hormatku. Kau resmi kupecat dari perusahaan ini" ujar lelaki tua itu, "silahkan angkat kaki dari sini"

Hoseok masih saja menatap lelaki tua sekiranya seumuran setengah abad itu dengan tatapan penuh kebencian. Hoseok sedikit membenarkan posisi duduknya, kemudian melonggarkan dasi yang sedikit mencekiknya itu.

"Tuan besar Park" Hoseok kembali membuka mulutnya. Nadanya begitu santai namun menusuk. Hoseok berusaha tenang kali ini.
"Kukira anda adalah pemimpin yang professional dalam pekerjaan. Kukira anda adalah pria yang bijaksana dalam memutuskan sesuatu. Tapi izinkan aku untuk mengkonfirmasi. Sekali lagi. Jika anda tidak keberatan untuk menjelaskan kembali kepadaku, apa alasan anda memecatku?"

"Jangan berpura-pura bodoh atau kau memang bodoh dan tak bisa berpikir untuk mencerna kalimatku tadi. Apa karena kau manusia kekurangan kau jadi tak bisa berpikir rasional?" timpal pria itu.

Kasar sekali pria tua ini. Sungguh Hoseok ingin sekali meludahi wajah tuanya sekarang juga. Namun Hoseok terlalu lelah. Hoseok sudah tak bisa berpikir jernih dengan kejadian yang sungguh diluar nalar ini. Hari ini. Cukup hari ini.

Hoseok mendecih sesaat lalu berdiri dan berlalu tanpa sudi sekedar untuk membungkuk sopan untuk terakhir kalinya pada lelaki tua penyandang gelar bos besar itu.


Stupidness

Jung Hoseok X Kim Taehyung

Warning!

Its Boy X Boy

Rating: (still) T


Hoseok mengunyah permen karetnya enteng sambil menyesapi sirup leci kaleng murahan yang baru saja ia beli.

"Kukira hyung bekerja. Kenapa masih pakai baju kumal itu?" canda Jimin yang memang sengaja garing.

Hoseok bergumam sebagai jawaban. Hell. Jimin bukanlah bocah ingusan yang akan mengangguk saat kau jawab dengan gumaman itu. Jimin bahkan tahu kalau gumaman Hoseok itu bukanlah sebuah jawaban. Jimin mendecih kemudian menyelendangkan tasnya di bahu kanannya sambil berlalu.

"Aku pergi"

Setelahnya, suara berisik pintu yang ditutup kasar oleh Jimin mengiritasi pendengaran Hoseok. Hoseok menghela nafasnya panjang kemudian.

"Sial. Sekarang aku benar-benar pengangguran" ujarnya. Diusapnya kasar wajah lelah itu mencerminkan perasaannya yang terlampau frustasi.

Tentu saja frustasi. Lelaki mana yang tak frustasi sebagai seorang pengangguran yang masih meninggalkan segudang hutang dibonusi kehidupan seorang adik tiri yang harus menjadi tanggungannya.

Hoseok bingung sekarang.

Serius.

Masih bergerumul dengan pikiran-pikiran sialan itu, ponselnya tiba-tiba berdering. Hoseok menoleh sebentar sekedar memeriksa layar ponselnya. Ternyata ada yang meneleponnya.

"Kau membolos? Seorang Jung Hoseok. Si karyawan teladan kantor membolos? Mimpi apa aku semalam?" seseorang disebrang sana tertawa ringan atas candaan klasiknya tepat setelah Hoseok menerima panggilan itu.

Hoseok mendengus.

"Aku sudah tak bekerja disana lagi, Seokjin"

"Tunggu. Apa?" Seokjin mulai keheranan.

Yang ditanya mendengus sekali lagi dan dengan tak tulusnya mengulang kembali kalimat yang baru saja ia ucapkan.

"Kenapa? Kau melakukan kesalahan?" Tanya Seokjin lagi.

"Mereka menuduhku dengan hal yang sangat konyol hingga aku mual untuk mengingat alasannya" timpal Hoseok.

"Hey. Ayolah ceritakan padaku. Bagaimana jika kita bertemu saat jam makan siang? Aku akan menemuimu di kedai seperti biasa"

"Baiklah" singkat Hoseok kemudian menutup sambungan teleponnya.


"Kau terlambat lagi" sekedar untuk mengecek arloji yang melingkar dipergelangan tangannya kemudian menatap muridnya yang bernafas terengah-engah diambang pintu kelas. Menunggu untuk dipersilahkan masuk.

"Jung Jimin, untuk kali ini, aku tidak bisa mengizinkanmu mengikuti pelajaranku. Silahkan keluar. Dan datang ke ruanganku setelah jam pelajaran selesai" ujar sang guru muda.

Oke. Jimin melakukan kesalahan lagi.

Ia menghela nafas jengah kemudian mendengar tuturan guru mudanya yang dengan tegas memintanya untuk tidak mengikuti semua ini pada mini bus terakhir yang sialnya mogok itu, terpaksa menurunkan seluruh penumpang dari dalamnya. Dan membuat Jimin tentu saja berlari seperti orang kesetanan menuju ke sekolahnya. Adalah yang tidak membuahkan hasil positif atas perjuangan lari-larinya itu.

Akhirnya Jimin mendudukkan diri di bangku kayu yang cukup tua itu sambil mengeluarkan ponsel murah miliknya. Ia mulai menari-narikan ibu jarinya membuat gerakan mengetiknya dengan lihai.

To: Jungkook

Ayo membolos pelajaran!

Belum satu menit setelah pesan itu terkirim Jimin menerima balasan dari sebrang sana.

From: Jungkook

Bodoh. Aku tidak mau. Aku sedang ingin teladan hari ini.

Jimin mendecih kemudian tertawa ringan membaca pesan jawaban dari sahabatnya.

To: Jungkook

Kau pasti salah makan ya? Jungkook bodoh sahabatku jadi sok pintar begini.

Pesan ini tanpa disadari membuat Jungkook tersenyum simpul saat membacanya. Namun tak membuatnya membalas pesan bejat dari Jimin itu karena mengajaknya membolos. Enak saja. Jungkook sedang ingin belajar hari ini. Entah mengapa. Mungkin ini karena efek benturan bola basket temannya saat latihan kemarin? Entah juga. Sekarang biarlah Jimin meratapi kebosanannya duduk didepan ruang kelasnya menunggu hingga akhir jam pelajaran.

Namun masih ada yang hal yang mengganjal yang membuat Jimin heran. Ia sempat melupakan hal itu karena momen kesiangannya yang sial itu. Ia mulai memikirkan kembali kejadian tadi pagi yang dimana Hoseok masih santai dengan pakaian kumal tidurnya sambil menonton tv dengan posisi yang santai. Wow. Tunggu. Itu bukan Hoseok sang kakak teladannya yang seperti biasa. Hoseok tidak pernah meninggalkan pekerjaannya untuk urusan sekecil apapun. Tapi hari ini, Hoseok malah tidak berangkat bekerja yang membuat Jimin keheranan akibatnya.

Apa terjadi sesuatu dengan pekerjaannya? pikir Jimin

Jimin mengerutkan keningnya seraya menerka-nerka apa yang terjadi dengan kakak tirinya itu. Akhirnya untuk membunuh rasa penasarannya Jimin mengirimkan sebuah pesan untuk Hoseok, yang Jimin tahu Hoseok pasti akan mengomelinya dengan nasihat membosankan karena Jimin mengirimi pesan di jam pelajarannya. Tapi, masa bodoh dengan itu. Jimin tak peduli dengan tetap mengirimkan pesan itu.

To: Hoseok hyung

Hyung. Kenapa tak bekerja?

Untuk pesan kali ini Jimin harus menunggu cukup lama. Dan bukan menjawab pertanyaan Jimin, seperti boomerang, Hoseok malah membalikkan sebuah pertanyaan padanya.

From: Hoseok hyung

Kenapa kau bisa mengirimku pesan? Kau bolos?

Hebat. Jimin memang membolos di jam pelajaran pertama. Karena terpaksa.

To: Hoseok hyung

Siapa yang bolos? Enak saja. Guruku yang bolos. Jadi kalau hyung mau marah, marahi saja guruku sana.

Jimin meringis setelah mengirimkan pesan terakhirnya karena ia berbohong. Apa yang membuatnya tega untuk membohongi kakak tiri yang super menyebalkan namun baik itu. Jimin mengusak surainya kasar, tanda ia menyesal telah membohongi Hoseok. Dan Hoseok tak kunjung membalas pesannya kali ini. Membuat Jimin berpikir, mungkin Hoseok bukan membolos. Mungkin, menunda pekerjaan?

Entahlah.


Hoseok terduduk bosan di sebuah kursi berbahan kayu itu. Ia memainkan ponsel jeleknya sambil mendengarkan lagu kuno kesukaannya, mengerikan. Hoseok memang bukan tipikal penyabar dalam hal menunggu. Menengkelkan, menurutnya. Tapi apalah, jika seseorang yang ia tunggu itu adalah Seokjin. Sahabatnya bodoh dan berisik itu.

"Hey sahabat dunguku" interupsi seseorang yang terdengar sedikit tak jelas oleh pendengaran Hoseok yang memang sedang mendengarkan musik dari sepasang earphonennya. Hoseok menoleh sesaat setelah mendengar samar suara sahabat bodohnya itu.

"Jangan mentang-mentang aku pengangguran sekarang kau jadi seenaknya memanggilku begitu sialan" ujar Hoseok. Seokjin tertawa mendengar protesan Hoseok yang terkesan sadis, baginya.

"Haha aku hanya bercanda, kawan" canda Seokjin sambil menepuk pundak Hoseok sebentar lalu berlalu hingga terduduk menghadap pada sahabatnya itu. "Jadi bagaimana ceritanya? Tapi tunggu- aku ingin memesan makan dulu. Kau tahu, aku ini tak bisa diajak kompromi jika belum makan"

Hoseok hanya mengangguk dan menatap Seokjin dengan tak selera. Sahabatnya itu memang terobsesi makanan. Hoseok bahkan menggapnya sinting jika soal makanan. Berbeda dengan Seokjin yang sedang sibuk memesan makan, Hoseok hanya memesan minum saja kali ini. Karena tragedi dipecat yang menyedihkan itu, membuat Hoseok mau tidak mau menghemat mulai dari sekarang

"Kau tak pesan makan?" Tanya Seokjin heran dengan Hoseok yang hanya memesan segelas kopi panas saja.

"Aku sudah memakan ramen tadi. Kau saja yang makan. Aku hanya minum"

Seokjin sedikit meringis. Oh. Tolong. Tuan Seokjin. Tolong jangan memasang wajah seperti itu dihadapan Hoseok. Hoseok bisa saja meninju wajah tampanmu saat ini juga. Jangan lupakan Hoseok sahabatmu yang mudah tersulut emosi itu. Kau harus berhati-hati.

.

"Apa?! Kau dituduh menghamili anak Presiden direktur?!" heboh Seokjin dengan tak tahu malunya suara berisik itu sampai membuat beberapa pengunjung lainnnya menoleh dan menatap rendah pada dua pemuda kampungan itu.

"Pelankan suaramu bodoh. Kau membuat mereka menatap horror padaku. Dasar brengsek" kesal Hoseok dengan sahabatnya. Membuat Seokjin menolehkan wajahnya menatap sekeliling yang membuat ia menampilkan senyum ringisnya lalu meraba tengkuknya sekilas.

"Maaf. Jadi. Apa? Kau yakin? Apa mereka punya bukti? Atau kau memang melakukannya, huh?" sedilik Seokjin curiga. Dan Hoseok memutar matanya jengah. Apa yang membuat sahabatnya itu berpikiran kalau Hoseok benar-benar menghamili anak yang Maha Agung direktur tua bangka itu.

"Enak saja" desis Hoseok kesal "Aku masih waras, bung"

Seokjin mengangguk memahami maksud kalimat lontaran Hoseok tadi. Selama 5 tahun lamanaya menjalin hubungan persahabatan konyol dengan Hoseok, Seokjin percaya Hoseok sahabat frontalnya bukan orang biadab yang seperti itu.

"Si tuan besar arogan itu dengan sombongnya mengatakan bahwa ia tak sudi memiliki menantu sepertiku. Hell. Siapa juga yang mau menikahi putrinya yang sok manis itu. Melihatnya saja aku mual"

Seokjin tertawa "Kau ini memang jung Hoseok sahabat tengil ku yang masih tetap saja tengil dan dungu. Oke kali ini biarkan aku tertawa mendengar alasan konyol itu. Nanti aku akan mencari tahu siapa yang menebar tuduhan kurang ajar itu." Seokjin meneguk minumnya enteng.

"Tidak perlu, aku tak minat. Aku juga tidak mau kembali ke perusahaan itu. Silahkan kau bersenang senang denga para manusia berengsek disana"

"Hey! Secara tak langsung berarti kau mengataiku brengsek juga"

"Kau memang brengsek Seokjin" Hoseok tertawa lepas. Seokjin mengulum senyumnya melihat Hoseok yang tertawa menertawai kalimat garingnya barusan.

"Kalau kau butuh bantuan. Jangan sungkan padaku. Maaf, aku belum bisa membantumu mencari pekerjaan baru untuk sekarang. Aku janji secepatnya"

Oh sungguh. Hoseok benci mengatakan kalau dirinya terharu akibat perkataan Seokjin barusan.

Sesering apa mereka saling melontarkan umpatan, ejekan, candaan sarkas. Tapi mereka tetaplah sahabat yang peduli satu sama akhirnya makan siang itu diakhiri dengan percakapan percakapan ringan ala jam istirahat karyawan kantoran.


."Hyung!" Jimin berlari terengah menghampiri Hoseok yang baru saja meninggalkan lift butut apartemen jeleknya. Hoseok keheranan, wajah Jimin terlihat panik.

"Mereka" Jimin menunjuk 3 pemuda yang baru saja keluar dari apartemennya seraya mengangkut barang-barang apartemennya. Oh apa lagi ini Ya Tuhan.

Hoseok mendesis kesal melihatnya, tanpa menanggapi Jimin ia segera berlari mendekat seakan penuh amarah mendekati 3 pemuda tersebut.

"Wow. Wow. Santai bung. Tak sopan sekali kalian membawa seenaknya perabotan rumah tanpa izin sang tuan rumah huh?" seru Hoseok dengan wajah sok arogannya.

Salah satu lelaki jangkung diantara mereka memberikan selembar kertas yang Hoseok bisa baca dengan jelas. Itu. Adalah. Surat yang Hoseok takuti.

Mari kita sebut itu surat penagih hutang.

Hoseok membacanya kemudian meremasnya tanpa takut. Ia menatap 3 lelaki itu dengan tatapan menantangnya, tanpa rasa takut. Dengan mental yang sudah siap untuk bertarung karena Hoseok tahu mereka akan mengeroyokinya seperti opera sabun, atau drama klasik yang sering ia tonton di televise tuanya itu.

"Semuanya sudah kami kemas. Dan kami anggap lunas, kau lelaki sok arogan. Kami sudah lelah menunggu sampai kapan kau mau melunasinya. Masih untung bukan nyawamu atau adikmu ini yang kami rampas. Semua perabotanmu ini bahkan sebenarnya masih tak cukup"

.

"Membosankan. Tanpa televisi, tidak ada kulkas, tidak ada radio tidak ad-" protes Jimin terputus.

"Untuk apa semua itu huh? Lagi pula kita masih bisa tetap hidup tanpa perabotan yang sudah hampir usang itu semua. Jangan mengeluh seperti itu"

Jimin menghela nafasnya lelah.

"Aku mau tidur. Bangunkan aku saat makan malam hyung"

Jimin kemudian berlalu menuju kamar sempitnya dan mulai merebahkan dirinya sekedar untuk mengistirahatkan tubuh lelahnya.


Hoseok mengusap wajahnya kasar. Lagi. Kemarin lusa ia baru saja dipecat dengan tidak elitnya. Dan tadi siang apartemennya seperti kerampokan. Melenyapkan habis semua perabotan rumahnya. Tuhan sedang mempermainkannya. Serius.

Lelah dengan semua yang dengan kurang ajarnya menimpa kehidupan mirisnya selama 2 hari ini. Hoseok merebahkan tubuhnya sesaat setelah sampai pada hamparan rumput hijau namun sedikit kusam tepi sungai Han yang lembayung. Hoseok mengistirahatkan punggungnya dan memejamkan matanya tanpa sadar seorang pemuda lain duduk disampingnya.

Hoseok mengkerut seketika mendengar sebuah suara isakan kecil dihadiahi dengan umpatan kasar dari seorang pemuda disebelahnya. Tapi Hoseok berusaha mengabaikannya.

"Kenapa menangis?" Hoseok akhirnya penasaran juga.

"Ibuku bilang sekali-kali tak apa" jawabnya enteng berusaha menghentikan isakan kecilnya.

Hoseok mendengus sekaligus tertawa renyah dibuatnya.

"kau benar. Aku juga pernah menangis" timpal Hoseok. Namun Hoseok tak mendengar jawaban dari lawan bicaranya.

Merasa bosan dengan acara berbaring tak jelasnya, Hoseok akhirnya mendudukkan dirinya kemudian membuka matanya. Ia menoleh ke samping. Masih penasaran dengan sosok pemuda cengeng disebelahnya itu.

Hoseok tertegun. Serius.

Wajahnya begitu sempurna. Batang hidung itu. Walaupun sedikit memerah akibat isakan cengengnya. Tapi tetap telihat sempurna. Daging tipis alias bibir yang sedikit basah, entah kenapa ini sedikit membuat Hoseok mengerakan jakunnya tegang. Dan mata yang basah itu juga, terlampau indah. Hoseok serius Bung!

"Biar kutebak kau pasti punya masalah, tuan?" Tanya Hoseok basi.

Lelaki lainnya hanya mengangguk.

"Aku juga baru mendapatkan masalah. Bertubi-tubi" Hoseok sekedar menginformasikan. Garing lagi. "Aku tak peduli. Dan aku permisi" dengan cepat lelaki itu beranjak. Namun ketika hendak berlalu, Hoseok menahannya dengan sebuah pertanyaaan.

"Siapa namamu?" seperti ditulikan lelaki yang sudah berdiri itu tak merespon pertanyaan Hoseok. Ia berlalu dari sana tanpa menjawab pertanyaan Hoseok barusan. Dan Hoseok hanya mengendikkan bahunya acuh.

"Aneh"

.

"Hyung!" kali ini bukan suara pemuda yang menangis itu lagi. Itu suara melengking Jimin yang sekarang tengah berlari menghampirinya ditepi sungai itu.

Hoseok menolehkan wajahnya sebentar

"Kenapa kau kesini?"

"Kenapa hyung disini?" Keduanya sedikit tertawa pelan menyadari bahwa mereka melontarkan pertanyaan secara bersamaan.

Jimin menghela nafasnya jengah lalu mendudukkan diri disamping Hoseok.

"Hyung, bolehkah aku bertanya sesuatu padamu? Kalau tidak mau jawab pun aku tak masalah" Jimin akhirnya membuka percakapan dengan sebuah pertanyaan.

"Apa?" Hoseok menoleh lagi.

"Kenapa hyung tidak bekerja akhir-akhir ini? Aku hanya heran. Kau berubah hyung" tanya Jimin.

Hoseok menghela nafas pelan agar tak terdengar begitu frustasi. "Ok. Kurasa aku memang harus mengatakan ini padamu. Aku, dipecat"

Jimin terkejut mendengarnya "dipecat? Apa aku tak salah dengar?"

"Sejak kapan kau punya masalah pendengaran?"

"Aku tak punya masalah pendengaran hyung" elak Jimin.

"Tapi kenapa?"lanjut Jimin yang masih penasaran.

"Aku. Entahlah. Mungkin perusahaan tua itu memang sudah akan bangkrut." Canda Hoseok

"Sudah jangan dipikirkan" Hoseok berusaha tersenyum.

"Aku sedang mencari pekerjaan baru, kau jangan khawatir, adikku. Tetapah bersekolah. Jangan pikirkan biaya. Biar aku saja yang memiikirkan semuanya"

Jimin menghela nafasnya pendek seakan mengutarakan respon kontranya kepada Hoseok. "Tapi, aku tahu mencari pekerjaan tidak semudah itu. Izinkan aku membantumu, hyung" sanggah Jimin.

"Jung Jimin. Kau tetap keras kepala ya" Hoseok mengusak lembut rambutnya membuat Jimin mendengus sebal. "Aku serius" desis Jimin.


Sekarang.

Setidaknya hari ini Hoseok tak terlalu terpuruk. Hoseok mendapatkan sebuah pekerjaan. Walaupun hanya sebatas pelayan restoran yang harus memakai kemeja sederhana –tapi tetap telihat tampan- di ujung jalan kecil disana. Restorannya memang tak elit namun restoran itu selalu ramai akan pelanggan. Karena restoran tersebut menyajikan nasi goreng bulgogi yang paling enak di pinggiran kota kecil seoul.

Seperti hari ini Hoseok yang akhirnya bisa mengajak adik kesayanganya itu berjalan-jalan santai. Sekedar meregangkan otot-otot lelahnya di akhir pekan. Kebetulan, hari ini restorannya sedang tutup untuk sementara karena pemiliknya sedang pulang kampung ke Busan.

Hoseok berjalan dengan Jimin sambil bercengkrama sesekali tertawa ringan karena lelucon garing Jimin. Berjalan di trotoar dengan masih bercengkrama. Hingga akhirnya Hoseok menghentikan pandanganya pada seseorang yang tengah duduk disana. Menanda tangani buku-buku yang disuguhkan oleh penggemarnya. Hoseok memperhatikan wajah itu, sepertinya tak asing. Ia pernah melihatnya, tapi dimana. Hoseok lupa. Hoseok akui ia memang pelupa.

Hoseok mengedarkan pandangannya terhadap lingkungan sekitar lelaki muda itu. Seperti acara jumpa penggemar. Ada beberapa spanduk bergambarkan foto lelaki itu dengan highlight judul komik ciptaannya.

Hoseok seketika membulatkanmatanya saat ingatannya datang mengerayangi pikirannya.

Lelaki itu.

Tepi sungai.

Terisak.

Ibuku bilang sekali-kali tak apa.

Hoseok mengingatnya.


TBC or END?

Keinginan yang besar memposting fiksi ini. Hah. Aku malu. Ini fiksi pertamaku. Aku tahu ini belum sempurna. Jauh dari kata sempurna.

Jadi, sebagai lakon author yang baru menginjak di kawasan ini aku ingin meminta saran dan komentar mengenai fiksi tak jelas ini.

Biarlah aku meracau, aku juga ingin keren seperti author yang kukagumi lainnya. Semoga tulisan tangan ku yang tak jelas ini bisa menghiburmu. Kk

Dan aku ingin memberikan himbauan, pada story ini sosok hoseok yang diceritakan adalah hoseok yang berpenampilan dulu, yang masih tampan dan berjidat. Aku sungguh merindukan sosok tampan itu apalagi ketika debut era.

Mind to review? Terima Kasih :)