Minna-san~~ genki desuka? Ketemu lagi sama Ritsu di ffn baru ini. Ini yang kedua Ritsu bikin ffn. Tapi kali ini pair nya jadi NaruHina. Supaya gak bosen jadi bikin pair yg beda x3. Oke tanpa lama-lama, silahkan dinikmati~~~
Naruto adalah milik Masashi Kishimoto-sensei
Not Beauty and The Beast
"Hei, lihat itu! Si Beast!"
"Dia bersama si Beauty lagi. Seperti cerita dongeng saja, hahahah."
Tawa itu terus menggema, bagaikan suara lagu usang yang mulai rusak. Membuat kuping terasa terbakar dan pengang.
Aku sedikit melirik pada gadis di sampingku, dia masih diam menunduk. Lalu tanpa sengaja mata kami bertemu. Gadis itu juga melirik ke arahku lalu tersenyum.
Aku segera mengabaikannya, senyuman sebaik apa pun, pada akhirnya akan menjadi seringaian dan ejekan.
Aku Uzumaki Naruto semenjak dulu sangat tahu topeng seperti apa yang digunakan orang lain supaya bisa dekat denganku. Mereka bukanlah teman, bukan juga rekan bahkan saudara. Mereka hanyalah kumpulan parasit yang menyedot uangku seperti lintah menjijikkan.
Pasti gadis itu juga sama.
Wajah yang terus tertunduk, lirikan mata yang pemalu, rona merah di pipi juga senyuman hangat itu tergambar lagi di otak Naruto.
Wajah ayu yang menenangkan, bolehkah aku sedikit berharap?
Naruto menggelengkan kepala cepat. TIDAK! Dia juga sama. Lalu sebuah ide tercetus di otak brilian Naruto.
Not Beauty and The Beast
Naruto bukanlah anak yang bisa dikatakan sebagai 'si Beast'. Naruto cukup tampan sebenarnya, juga kaya raya. Hanya ada goresan-goresan di kedua pipinya yang membuat ia terlihat seperti 'Beast' terutama bila Naruto mengamuk. Anak itu akan melemparkan dan menghajar siapa pun yang ditemuinya. Mata birunya akan berubah merah. Terlalu mengerikan ciri khas Uzumaki itu.
Dengan segala gaya hidup hebas yang dianut Naruto, ia terjerumus. Anak itu menjadi sangat jahat dan menakutkan. Menjadikan nama Uzumaki nya sebagai senjata dan tameng. Orang berdarah biru memang berbeda. Seolah kuasa ada di tangannya. Bahwa uang bisa membeli apa pun.
"Hinata."
Gadis itu menoleh dan memberikan senyuman. "Ya, ada apa Naruto-kun?"
Naruto membalas senyuman Hinata lalu sedikit bergumam. "Hari ini bisakah kau bantu aku?"
"Bantu apa?"
"Pergi menemui teman-temanku, aku sudah janji akan mengenalkanmu pad mereka."
Hinata mengangguk. "Boleh saja, lagi pula akan menyenangkan kalau punya teman baru."
Naruto sedikit menaikkan bibirnya, merasa jijik pada sikap baik dan kekehan lembut Hinata. Mungkin dirinya baru mengenal Hinata satu tahun ini. Tapi sikap baik hati gadis itu membuat Naruto muak. Bagi Naruto semua sikap baik Hinata palsu. Dan orang menjijikkan seperti itu memang harus disingkirkan.
Not Beauty and The Beast
Hinata berjalan bersisian dengan Naruto. Mereka sudah berjalan cukup jauh, bahkan hingga memasuki kawasan yang asing untuk Hinata. Dirinya beberapa kali menengok sekitarnya dengan perasaan gelisah.
"Naruto-kun... Kita sebenarnya akan pergi ke mana?"
Naruto terkekeh mendengar suara Hinata yang mulai ketakutan. "Tenang saja, kita sudah sampai."
Hinata menghentikan langkahnya, ia merasakan ketidaknyamanan yang nyata. Mereka berhenti di sebuah gang sempit yang dihapit dua bangunan tinggi dan sepi. Ada banyak tumpukan sampah dan barang bekas di sisi bangunan. Lalu sebuah sekat pembatas seperti gerbang yang terbuat dari besi yang menjulang memblok akses gang sempit itu.
"Naruto-kun..." Hinata semakin takut, dirinya menarik tangan Naruto dan mulai begelayut takut. Tubuhnya mulai menggigil. "Ayo kita pulang..."
"Oi, Naruto!"
Seruan itu membuat Hinata dn Naruto memalingkan wajah. Empat orang yang terlihat seperti preman menghampiri mereka berdua.
"Cantik sekali, dia yang kau ceritakan?"
Hinata semakin takut, pegangannya semakin erat pada Naruto.
"Yap." Naruto tersenyum. Lalu dengan perlahan melepaskan pegangan Hinata. Dan dengan tiba-tiba mendorong dan menjatuhkan Hinata ke tanah.
Gadis itu memekik, pandangannya mulai berkabut. Ia memandang Naruto penuh tanya. "Ada apa ini, Naruto-kun?"
Sebelum Naruto menjawab, empat pria itu lebih dulu menarik tangan Hinata. Mempertemukan wajah sangar salah satu dari mereka pada Hinata yang membeku.
"Tuan muda kami, memberikanmu sebagai hadiah untuk bersenang-senang."
"Apa?" iris putih Hinata melebar.
"Kau gadis menjijikkan Hyuuga. Berlagak begitu polos dan cantik. Padahal kau berteman denganku hanya karena kau miskin bukan?"
Perkataan Naruto membuat Hinata membuka dan menutup mulutnya tanpa suara. Terlalu bingung dan marah akan perkataan Naruto padanya.
"Bahkan hingga kau disebut sebagai si Beauty dan aku si Beast? Lucu sekali. Padahal kita hanya teman satu bangku. Kau juga masuk sekolah karena beasiswa." Naruto berjalan perlahan mendekati Hinata. "Aku tahu, setelah kita berteman dekat kau akan menghisap uangku seperti lintah yang menjijikkan. Menjadikanku ladang uangmu."
Senyuman Naruto begitu menakutkan untuk Hinata. Dirinya begitu terkejut dengan perubahan sikap pria blonde itu. Padahal Hinata benar-benar ingin menjadi teman Naruto. Karena Naruto selalu tersenyum padanya, karena Naruto mau menerimanya menjadi teman, meski Hinata adalah anak dari keluarga petani dari desa. Padahal Hinata benar-benar menyukai pria blonde itu meski banyak kabar tidak sedap yang didengarnya. Hinata percaya pada Naruto.
Tapi melihat keadaannya kali ini, Hinata benar-benar syok dan ketakutan.
"Ta-tapi... Aku benar-benar tulus padamu Naruto-kun!" Hinata berseru meski takut. Menyadarkan Naruto bahwa dirinya tidak seperti apa yang dipirkan Naruto. Bahkan air matanya mulai menganak sungai.
''Plakk'
Tamparan menyakitkan itu begitu terasa hingga membuat telinga Hinata berdengung nyeri.
"JANGAN MEMBELA DIRI HYUUGA! KAU BENAR-BENAR MENJIJIKKAN!"
Hinata tidak dapat berbicara lagi, ia terlalu lelah dan sakit. Percuma, Hinata tidak bisa meyakinkan Naruto. Pria itu berjalan menjauh. Derap kakinya perlahan menghilang.
Lalu kejadian berikutnya membuat batin Hinata lebih sakit lagi. Para preman itu mulai menggerayangi tubuh Hinata sambil tertawa. Tawa yang sangat menakutkan. Hinata berteriak meminta tolong, tapi suaranya seolah tidak terdengar.
"Tenang manis, kau akan baik-baik saja selama mau bermain dengan kami."
Hinata menggelengkan kepala sekuat tenaga. Meski dirinya baru menginjak kelas satu SMP, dia tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.
Hinata panik dan ketakutan. "Naruto-kun! Tolong aku! Narutooooo!"
"Ck, gadis bodoh. Dia yang memberikanmu pada kami."
Perkataan salah satu preman itu menyentak Hinata. Dengan marah Hinata menggigit bagian bawah bibirnya, menahan kekecewaan.
"Nah, sekarang ayo kita main."
Tangan besar itu terjulur, mengelus pipi gembil Hinata yang basah oleh air mata. Sedangkan tangan dan tubuhnya dipegangi preman yang lain.
Merasa terancam, Hinata segera menggerakkan kepalanya menghindar dan langsung menggigit tangan preman yang mengelus pipinya.
"GYAAAA!" Ketika preman itu berteriak dengan segera Hinata menendang selangkangan preman itu hingga jatuh terjelembab meringkuk di tanah merintih kesakitan. Lalu ketika pegangan preman lain mengendur, Hinata menyikut tubuh preman yang memegangi tangannya, juga pria dibelakangnya. Ia lari tanpa mau berbalik kebelakang. Terus mengkayuh kakinya meski teriakan para preman itu masih terdengar.
Hinata keluar dari gang, berlari menjauh. Namun saat itu tanpa sadar ia melewati Naruto yang masih berjalan santai.
"Hinata?" tanpa pikir panjang, Naruto mengejar Hinata. "Hei, jalang!"
Hinata menolehkan wajahnya ke belakang tanpa menghentikan larinya. Ia melihat wajah seram Naruto yang mengejarnya penuh murka.
Hinata segera memalingkan wajahnya, mengkayuh kakinya semakin cepat. Tidak peduli kalau ia menabrak pejalan kaki lain. Dirinya lalu berbelok di persimpangan.
'TEEEETTTTT'
'BRUGH!'
Tidak mengerti. Yang dirasakan Hinata hanya rasa sakit di sekujur tubuhnya, pandangan yang mengabur, dan suara berisik yang perlahan hening.
Not Beauty and The Beast
Naruto terdiam, ia hanya duduk di ruang tunggu rumah sakit. Pikirannya kacau. Ia melihat lampu ruang operasi yang masih menyala dengan tatapan ketakutan.
Tubuh anak muda itu bergetar takut. Di dalam sana ada Hinata yang tengah ditangani dokter ahli.
"Hinata..."
Naruto masih mengingat jelas bagaimana terkejutnya iamelihat Hinata berlari ke jalan raya ketika lampu pejalan kaki masih mati. Lalu sebuah truk menabarak tubuh mungil itu hingga terpental dan jatuh ke tanah. Begitu banyak darah, tatapan Hinata menatap lemah pada Naruto yang mendekat. Lalu bola mata sewarna batu bulan itu menutup perlahan. Naruto panik dan langsung menelepon ambulance.
Maka di sinilah ia sekarang, masih bingung dan takut. Pikirannya kacau balau.
Bagaimana bila Hinata meninggal?
Naruto menarik-narik rambut jabrignya. Merutuki kebodohannya. Ini bukanlah mau Naruto, tadinya ia hanya ingin menakut-nakuti Hinata dan membuat gadis itu menjauh darinya. Bukan menyelakai gadis itu hingga seperti ini. Mungkin ia memang brengsek, tapi Naruto tidak setega itu pada wanita.
Seharusnya begitu, tapi ia mengingat lagi bagaimana dengan keras Naruto menampar pipi kiri Hinata dengan tangannya.
Naruto menggeleng, lalu dengan kasar kedua tangannya mengusap wajah khawatirnya.
Bagaimana ini?
"Naru-chan?!"
Naruto memalingkan wajahnya ke arah suara. Melihat ibunya berjalan ke arahnya tergesa.
"Ibu... Bagaimana ibu? Dia... Karena aku... Dia.. Aku... Aku tidak bermaksud... Maksudku... Aku..." Naruto gelagapan, iris matanya memandang ke segala arah dengan panik.
"Tenanglah Naru-chan!" sang ibu mengguncang bahu Naruto. Membuat Naruto terdiam melihat wajah sang ibu yang diliputi kekalutan.
"Kita akan bertanggung jawab." tegas sang Ibu, yang hanya dibalas anggukan lemah Naruto.
Not Beauty and The Beast
Naruto melihat Hinata yang masih dirawat intensif. Gadis itu sudah melewati masa kritis meski belum sadar dari koma. Pandangan mata Naruto meredup ketika banyak alat bantu hidup yang digunakan pada Hinata.
Di samping ranjang Hinata ada pria tua yang selama beberapa hari ini terus menunggui Hinata. Wajah lelah dan sedih tergurat di wajahnya yang semakin tua. Dan lekaki dewasa itu selalu menangis sambil menggumamkan doa untuk kesadaran dan kesembuhan Hinata.
"Hinata!"
Pria itu berteriak, membuat Naruto yang sejak tadi mengintip dari celah pintu penasaran. Lalu tak lama dokter masuk ke ruangan itu dengan tergesa. Menenangkan ayah Hinata dan meminta pria itu menunggu di luar.
Naruto masih diam ketika ayah Hinata keluar. Berdiri di samping kursi tunggu yang kosong.
"Hinata sudah sadar..." pria itu duduk di kursi yang tepat berada di samping Naruto.
Mendengar kabar itu Naruto menhembuskan nafas, ia bersyukur.
"Putriku bukanlah gadis yang jahat Tuan muda."
Naruto kembali diam, ia mengerti ke mana arah pembicaraan ini.
"Aku membesarkannya dengan penuh kasih sayang seorang diri. Aku tahu bagaimana gadis kecilku itu. Aku yakin dia bukanlah gadis yang akan gila dan silau akan dirimu."
Kata-kata ayah Hinata menghujam dalam ke ulu hati Naruto. Tapi dirinya tetap diam mendengarkan.
"Sebegitu bencikah kau pada putriku?"
Pria itu tersenyum lemah. "Hinata suka tinggal di sini, meski ia juga mengeluh karena jauh dariku dan mengkhawatirkan soalku."
"Hinata selalu menelepon kepadaku, menceritakan kesehariannya di sekolah dengan tawa lembut yang selalu mengingatkanku akan sosok ibundanya. Dia menceritakan mengenaimu. Anak orang kaya dan luhur tapi begitu baik mau berteman dengannya."
Naruto tersentak, wajahnya berubah pilu.
"Kau teman yang baik, dia selalu mengatakan itu. Tapi apa yang kau lakukan?"
Hiashi mengeram marah. "Kaulah yang selalu menipunya! Bukan putriku yang menipumu! Tapi kau!"
"Tenang saja Tuan. Baik aku atau pun Hinata akan pergi seperti maumu. Sebenarnya aku sangat ingin mematahkan seluruh tulangmu dan membiarkanmu mati perlahan. Tapi aku tidak bisa, aku hanya petani biasa. Nyawaku dan putriku akan terancam. Benar, kami memang lemah dengan marga besarmu itu."
"Tapi ingatlah Tuan, dosamu ini tidak akan pernah hilang."
Hiashi pergi, meninggalkan Naruto yang masih terpaku.
Not Beauty and The Beast
Sudah hampir satu minggu Naruto tidak datang ke rumah sakit. Ia mendapat kabar bahwa Hinata mulai pulih dan membaik.
Naruto meneguhkan hatinya, ia akan meminta maaf pada Hinata. Tak apa bila gadis itu tidak akan memaafkannya atau memukulinya. Itu lebih baik dari pada ia dirundung rasa bersalah.
Iris shappire Naruto memandang papan nama depan pintu yang bertuliskan nama Hyuuga Hinata.
Naruto menhela nafas dan langsung membuka pintu.
"Ayah!"
Naruto melihat Hinata tersenyum meneriakkan kata ayah. Namun ketika Hinata menyadari Naruto yang datang, wajah gadis itu berubah dingin dan suram.
"A-aku... A-ku... Ingin minta maaf..."
Hinata masih diam, gadis itu masih menunduk dengan poni yang menutupi sebagian wajahnya.
Naruto gugup, gadis itu sama sekali tidak meresponnya. Naruto menyapu seisi ruangan rawat Hinata dan melihat gadis itu masih diperban dan memakai gips. Tapi ia bersyukur karena alat-alat sudah dilepas dari tubuh Hinata. Sekali lagi Naruto menarik nafas dan menghembuskannya pelan, sekali lagi mengumpulkan keberanian.
"Hina-"
"ENYAH..."
Naruto mendengar desisan Hinata, tapi dibaikannya.
"Enyahlah Uzumaki Naruto!" Hinata menegakkan wajahnya. Iris batu bulan Hinata menatap nyalang Naruto. "Jangan pernah kembali..."
Naruto masih terpana. Gadis yang biasanya akan menatapnya lembut dengan pandangan mata teduh dan rona di pipi itu berubah. Keramahan gadis itu berubah menjadi amarah dan dendam yang sangat.
Tapi Naruto mengerti, pasti Hinata akan sangat membencinya. Entah mengapa ini menyakitkan.
"Hinata..." Naruto memanggil.
"Hinata..." tapi ranjang Hinata bergeser menjauh.
"Hi-na-ta..." semakin jauh.
"Hinata..." mulai hilang dari pandangan.
"Hina-"
"ENYAHLAH NARUTO!"
"HINATA!"
Naruto membuka matanya, seluruh tubuhnya basah oleh keringat. Naruto menggeser tubuhnya, mendudukkan tubuh tegapnya di sisi tempat tidur. Mengambil segelas air yang sudah tersedia di atas nakas dan meminumnya hanya dalam beberapa teguk.
"Hinata..."
Lagi-lagi mimpi buruk itu menghantui Naruto. Sudah lebih dari sepuluh tahun hal itu berlalu. Kini Naruto sudah menjadi pria dewasa yang matang, mapan dan berkharisma. Ia sudah bukan lagi Naruto labil dan sesat.
Tapi meski hampir semuanya berubah, hanya ada satu yang tidak. Rasa bersalahnya pada Hinata Hyuuga. Beberapa kali pria dewasa itu mengambil tes dan bimbingan akan masalahnya pada dokter. Tapi itu tidak membuahkan hasil. Dan sekarang mimpi itu semakin sering berputar. Wajah terluka dan teriakan Hinata seolah meneror hidupnya.
'Bisakah kita sekali saja bertemu dan membicaran ini?'
Naruto ingin sekali melakukan hal itu, mungkin setidaknya ia bisa lepas dari rasa bersalahnya. Tapi tahun-tahun berlalu dan ia sama sekali tidak sekali pun melihat atau pun mendengar kabar Hinata. Bahkan gadis itu tak pernah datang ke acara reuni sekali pun.
"Sampai kapan kau akan terus menghantuiku, Hinata?"
Tbc
Mind to RnR?
Yeaaahhhh sankyuu udah baca ffn ini ya hehe. Ini dibuat sembari mencari ide untuk Hurt. Harusnya dapet ide buat Hurt malah bikin ffn baru. Hehe... Sengaja langsung Ritsu tuang karena ada ide segar. Semoga semua pembaca suka ya karya Ritsu kali ini. Awalnya memang akan dibikin kayak cerita klasik Beauty and The Beast. Tapi kurang sreg dan jadinya mudah ditebak. Akhirnya malah berkembang jadi seperti ini. Ini ffn dengan chapter paling panjang yang Ritsu buat.
Oya apa rate T benar untuk cerita ini? Ritsu takut kurang pas rate-nya. :)
Sekali lagi terima kasih dan semoga suka pair kali ini. Seeu in next chap. Salam peluk buat semua xD
Menerima saran dan kritik seperti biasa ya hihi :3
