A/N: author pingin coba menulis fanfic di tengah hiatus. Dan ini hasilnya -.-
ehn, entah cerita ini akan author bikin lanjutannya atau tidak, soalnya ini hanya sekedar wujud usaha author dalam menstimulasi gairah menulis. Kata orang bijak (author gak inget namanya) satu-satunya cara menjadi ahli dalam menulis, ya, menulis! Mudahan dengan begini semangat author balik lagi *sigh. Tapi jika review berkata lain, author akan pertimbangkan *sok bijak
Flame dan concrete? Ayo aja!

Pairing: SasukexTenten
Warning: AU, slight OOC-ness, semi-formal language, minor coarse curses and cliffhanger.
Disclaimer: Nanti kalo masashi kishimoto udah koit hak cipta naruto bakal pindah ke aye, tuh.


Riuh suara fan girls yang melengking di depan kelas II-2 KHS mengejutkan seisi kelas, membuat orang-orang bertanya apa yang sedang terjadi atau kerennya what's going on?

Sesosok laki-laki berambut raven hitam dan kulit putih muncul dari jubelan kerumunan yang didominasi oleh kaum hawa itu. Mata onyx miliknya menatap lurus, tidak tampak bahwa dia mengakui keberadaan para fans fanatik di sekelilingnya. Bahkan ia terkesan tidak peduli. Saat teriakan salah satu gadis naik satu oktaf tepat di sebelah telinganya sejurus death glare andalan ditumpaskan. Bukannya mundur mereka justru makin semangat ngomporin puja puji buat romeo nyasar mereka. Bagi mereka, setan berperawakan model majalah itu setara pangeran berkuda putih. Cewek-cewek bodoh itu masih belum sadar juga alias buta kalau cowok pujaan mereka itu brengsek, tak berbudi, dan pelopor sikap anti-sosial yang tidak tahu sopan santun.

Ia melirik sinis, sarkasme melumuri tiap kata terucap. "Berisik. Suaramu terlalu bagus aku lebih baik mati saja daripada mendengarnya."

Tuh, kan?

Haruno Sakura dari kelas II-1. Tersangka perusak mood Sasuke dengan suara sopran pesaing suara Yamanaka Ino yang dipelototin merona. Kenapa? Otak cewek pintar itu sudah rusak. Dijelek-jelekin kok malah senang. Berdebar-debar lagi. Eh, yang bagian berdebar-debar itu nggak tahu juga sih. Nebak aja.

"Arigato, Sasuke!" tuturnya senang.

Nah lho. Entah dia memang sudah tidak waras atau bagian 'lebih baik mati saja' tertelan bising jerit fan girls lain Sakura terlihat happy. Itu sarkasme, lho! Sarkasme! Hellooooo!

Uchiha Sasuke dari kelas II-2. Primadona seantero KHS. Ciptaan Tuhan yang paling sexy. Yang paling sexy, sexy sekali. Atau setidaknya menurut orang-orang. Pada kenyataannya dia makhluk paling buruk, bejat, bermoral rendah lebih rendah dari seekor tupai bodoh yang didefinisikan oleh professor spongebob squarepants terhadap sandy squirrel. Terlalu kejam? Tapi begitulah kenyataannya.

Muak, Sasuke menyeruak keluar dari barikade fan girls dengan hadiah di tangan masing-masing. Cakep-cakep tapi bodoh, ya? Hadiah menumpuk di depan mata diabaikan. Suara kecewa para fan girls terdengar. "Sudah kubilang aku nggak butuh." adalah pernyataan sadis aka ucapan selamat tinggal sang tarentino sebelum memasuki kelas dan menempati bangku paling depan dekat jendela.

Uzumaki Naruto, kelas II-2. Ia menghampiri teman sekaligus rivalnya, mempertanyakan apa maksud dari penolakan terhadap hadiah-hadiah para cewek. "Teme! Kau ini bodoh atau apa, hah? Kenapa kau menolak pemberian mereka?"

Mata onyx melirik. "Hn. Kau iri, dobe?" tanyanya nggak nyambung. Jangan khawatir, Naruto saja nggak ngerti jalan pikir Sasuke, kok.

Sebelum Naruto bisa menjawab, sebuah suara menyahut. Suaranya cempreng dan kekanakan.

"Dia nggak iri, bodoh. Naruto cuma heran kenapa sikapmu sama cewek makin hari makin brengsek."

Wow. Finally! Seseorang yang berpikiran jernih. Dan seorang Sasuke's hater. Dilihat aja ketahuan kalau pemilik suara ini benci banget sama Sasuke. Tentu saja.

"Tapi dari dulu kau memang seorang chauvinist. Otakmu itu kesumpel batu atau apa, sih? Semua orang juga tahu kalau sama cewek, seorang cowok harus respect."

Karena orang itu aku.

Kulihat punggung lebar si kepala pantat ayam di barisan depanku berputar. Wajah cakep penuh amarahnya menghadap wajah penuh kemenanganku. Agaknya dia sadar aku sengaja menaruh senyuman polos untuk membuatnya makin lepas kendali akan sikap. Sayangnya dia tahu benar kata-kata yang dapat menyalakan sumbu bom seorang weapon mistress.

Senyum tipis menyimpul di bibirnya. "Tenten, sebagai cewek jadi-jadian, bagaimana kalau kau obati krisis seksual dan identitasmu dengan operasi transgender dulu sebelum kau mencoba mendikte pengertian gentlemen padaku?"

Senyumku semerta-merta jatuh. Seharusnya aku tahu apa yang ada dibalik senyum nista itu.

"Atau…" mata onyx-nya melirik ke bagian dadaku. "…jangan-jangan kau sudah operasi? "

SETAN.

Brak!

Meja kupukul keras-keras. "Aku perempuan, Sasugay!"

"Oh?" ia menurunkan alisnya. "Maaf. Bagiku dadamu terlihat rata."

"Tarik kata-katamu, dickless!"

"Apa?"

"Dasar kepala pantat ayam! Otakmu itu isinya sama saja dengan apa yang ada didalam pantat ayam!"

Ia berdiri dari bangkunya, menghadap ke arahku. Kali ini, kebencian memantul jelas dari mata onyx. "Tarik kata-katamu, Tenten."

Aku sontak berdiri, mata coklatku tak kalah berapi. "Aku bilang, kau kepala pantat ayam! Tidak ada yang salah dari perkataanku!"

"Kau-mickey mouse!"

Dari sini, dapat dibayangkan ramainya penonton debat sia-sia kami. Aku tidak akan kalah. Akan kubuktikan kalau cewek punya harga diri, cewek mampu menandingi cowok, dan nggak semua cewek takluk sama dia. Kalau soal diksi, aku ini kamus berjalan. Adu mulut sama Sasuke? Oke! Adu otot? Aku jagonya!

"Mickey mouse? Nggak kreatif banget, tahu!"

"Kau juga. Olokanmu cuma copy paste julukan Naruto. Dasar plagiat."

"Eh, jangan salah, ya! Naruto sama aku berdua yang bikin julukan untukmu! So harusnya, kamu yang plagiat karena ikutan nyuruh tarik kata-kataku!"

Sasuke terdiam. Untuk beberapa saat supporter kami yang mengisi keheningan. Naruto di pihakku, dan fan girls di pihak Sasuke.

"Terus, Tenten! Jangan mau kalah!"

"Sasukeee! Berusahalah!"

Aku tersenyum penuh percaya diri melihat death glare Sasuke bertambah intens. Sudah kehabisan kata-kata, rupanya. Ia tampak ingin mengucapkan sesuatu, tapi urung.

"Huh. Menyerah, Sas?" godaku.

"Kau…" ia mengambil jeda sejenak. "…kenapa?"

Lagi, senyumku memudar. Ekspresi aneh Sasuke seolah menarik syaraf senyumku menjadi longgar. Tidak seperti biasanya, hari ini dia agak kalem. "Sasuke?"

"Kenapa kau tidak mau terima kenyataan kalau kau harusnya memiliki testikel?"

Grrr…

Sesaat, mungkin aku bersimpati padanya. Sesaat itu, mungkin aku mengira ia menyesal telah menyulut api peperangan antara kami yang sudah berjalan selama dua tahun. Sesaat, aku harusnya tahu kalau Uchiha Sasuke, musuh alamiku, tidak akan pernah bersikap bak pangeran seperti yang diimpikan para fan girls bodoh itu.

"BERENGSEK KAU, SASUKE!"

Sedetik pun tidak akan, aku lengah. Lagi.

.

.

.

.

.

"Aaah! Sebel!" teriakku kesal. Dengan ranggas aku mencabik-cabik bekal makan siangku dengan garpu. Di mataku yang ada di dalam kotak makanku adalah Sasuke.

"Sudahlah Tenten-chan. Sasuke memang begitu orangnya." sahut Naruto yang baru saja menghabiskan roti.

"Kau juga, Naruto! Berhenti membelanya!"

Naruto tampak terkejut melihat aku mengacungkan jari telunjukku ke mukanya. "Membela? Untuk apa aku membela Sasuke?"

"Kau pikir aku tidak tahu rumor kau ciuman dengannya waktu kalian berkelahi di belakang sekolah? Bisa saja kan, kau jatuh cinta padanya! Lalu kau tidak terima dia kujelek-jelekkan." tuduhku main hakim sendiri.

Naruto mengangkat dua tangannya. "Sumpah mati, aku normal, Tenten-chan!"

Aku menyipitkan mata curiga. "Are you?"

"Suer!" ia menunjukkan peace dengan jarinya. "Kejadian waktu itu cuma kecelakaan."

"Baguslah kalau begitu." aku langsung merangkulnya akrab. "Aku nggak mau kehilangan Onii-chan jadi Onee-chan."

Naruto balas merangkulku, tertawa. "Kau akan tetap jadi aniki-ku, kok."

"Hei?"

Naruto mengacuhkan protesku, melepaskan rangkulnya. "Tenten-chan, hari ini hari valentine, lho."

Plok! Aku memukul kepalanku diatas telapak tangan. "Oh, iya! Ini, buat Naruto-onii-chan!"

"Yey! Ten-chan memang top!" serunya semangat menerima bungkusan coklat dariku. "Pasti nggak enak."

Aku tertawa renyah. "Kalau enak, bakal kuhabisin sendiri."

"Hehe, arigato ne, Ten-chan."

Aku mengangguk. Kulihat ia meletakkan coklat berbentuk hati dibungkus kertas warna kuning cerah dariku di atas meja, tidak dimasukkan ke tas. Pasti mau pamer sama Sasuke, pikirku. "Oh ya, itu coklat honmei, lho."

Naruto merona kilat. "Ho-honmei?"

Tawaku meledak."Hahahahahaha! Mukamu aneh, Naru!"

Naruto merengut. "Kau mengagetkanku saja, Ten-chan."

"Hehehehe, jangan-jangan kau berharap betul, ya?" godaku lagi, menowel bahunya dengan garpu.

"Tidak, kok. Berhenti menggodaku."

Ting Tong Ting Tong

"Aduh, sudah bel!" keluhku, buru-buru menghabiskan makanan.

"Eh. Pelajaran berikutnya Kakashi-sensei, ya? Hari ini katanya kita akan menukar bangku."

Garpuku terhenti di dalam mulutku. "Apa?"

"Kan tiap tiga bulan sekali kita tukar bangku. Masa kau lupa?"

Aku menurunkan garpuku ke atas meja. "Tunggu dulu, menukar bangku itu maksudnya-"

"Halo anak-anak, seperti tiga bulan yang lalu hari ini kita akan mengundi posisi tempat duduk lagi. Bereskan bekal kalian, ini sudah waktunya jam pelajaran!"

Buset dah. Langsung nongol aja tuh guru. Aku bergegas memasukkan kotak bekal ke dalam laci, takut-takut kalau Kakashi-sensei lihat, didampratnya aku. Setelah meletakkan perangkat mengajarnya diatas meja guru ia menyodorkan kotak berisi potongan kertas kecil dalam jumlah banyak. "Hasil penarikan adalah sah dan tidak bisa diganggu gugat. Oke?"

"Kuharap kita satu deret lagi." bisikku ke Naruto begitu Kakashi-sensei tengah memberi Sasuke kesempatan mengambil.

"Amin!" timpal Naruto.

Yah, meski kemungkinannya kecil sekali, sih. Setidaknya kami masih berdekatan atau kalau perlu bersebelahan. Kami-sama, berikanlah yang terbaik untuk kami berdua!

5.

"Yak, sekarang berbereslah. Pindah ke bangku sesuai angka di kertas kalian."

Aku menoleh pada Naruto. Tanya nggak, ya? Tapi aku takut kami nggak berdekatan lagi. Gimana, dong?

Naruto menoleh padaku. "11." ujarnya was-was.

Tanpa berkata-kata aku langsung menunduk lemas. Itu jauh banget sama bangkuku. Tiap deret ada 10 bangku, masing-masing ada dua bersebelahan. "Kita pisah, Naruto." keluhku.

Naruto juga tampak tak bersemangat mendengarnya. "Aih. Sayang sekali."

Aku merengut sambil berpikir. Lima, ya…berarti sebelahku nomor 10. Kenapa sih, harus tukar bangku segala? Diam-diam aku melotot kearah sensei yang bermasker satu itu. Awas kau, sensei. Kalau orang di sebelahku super freak, kau tidak akan selamat di jalan pulang nanti.

"Anu…Tenten."

"Hm?" aku mengangkat kepalaku. "Ada apa, Shion?"

"Itu bangkuku." Katanya sambil menunjuk tempatku duduk.

"Hah? Oh, silakan! Maaf ya! Aku akan pindah kok."

Shion tersenyum padaku. "Nggak apa-apa, kok."

Senyumku saat membalas senyum Shion berubah menjadi senyum getir ketika aku menyusuri kelas menuju bangku nomor 5. Naruto dapat nomor 11. Bangkuku tadi nomor 12. Berarti Naruto akan duduk bersampingan dengan Shion selama 3 bulan ke depan. Oh, aku akan merindukan keributan Naruto.

Karena barangku banyak, aku terpaksa mengulum ujung kertas undian sementara tanganku sibuk membawa tumpukan buku dan kotak pensil. Entah mengapa setiap orang yang kulewati, setelah melihat angka di permukaan kertasku langsung berbisik-bisik. Beberapa bahkan kelihatan tidak terima. Aku yang melihat keanehan ini cuma bisa bertanya-tanya dalam hati ada apa gerangan.

Saat aku siap meletakkan barang-barang, seseorang sudah menempati kursiku. Sekilas aku berniat memintanya untuk menduduki kursinya yang sebenarnya, tapi perawakan familiar orang itu membuatku urung. Seolah merasakan kedatanganku ia menoleh, senyum sinis di wajahnya.

"Hai, Tenten. Mohon bantuannya, ya."

Bruk!

Semua mata tertuju padaku yang menganga dengan buku berantakan di lantai. Sekarang aku sadar kenapa mereka bersikap begitu aneh melihat nomor bangkuku. Melihat siapa pasanganku bagaimana tidak?

Sasuke mengerutkan alis, sengiran memuakkan miliknya bertahan disana. "Suka dengan apa yang kau lihat?"

"Sa-sasuke! Apa yang? ! Kau! Bangku-"

Dengan tenang ia menanggapi kepanikanku seolah Uchiha Sasuke dan Tenten duduk bersebelahan adalah hal yang lumrah. "Kita berdua duduk bersebelahan, Tenten."

Ekspresiku berubah menjadi total horror.

"Aneh ya, kita kan sama sekali tidak cocok." ucapnya sarkastik, sengiran berubah jadi senyuman. "Jangan-jangan kita jodoh."

Jodoh? Hoek! Please deh, Sasuke! Jangan membuatku jadi emosional!

"Jangan mimpi!" bentakku padanya. "Sensei! Aku mohon tukarkan bangkuku!"

Sensei berambut silver kesayangan-sarkasme kental, bo-kami menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia memang bilang hasil penarikan undian tidak bisa diganggu gugat, tapi anjing dan kucing KHS ditaruh di satu deret yang sama? Bencana!

"Sasuke, bagaimana kalau kau pindah tempat dengan Naruto?" tawar sensei, membuatku mengangguk-angguk semangat. Tawaran menggiurkan-bagiku.

Wajah Sasuke dipenuhi ekspresi tidak setuju. Aneh. Sebagai musuh sejak lahir harusnya dia juga menolak keras terjadinya kami berdua dipasangkan bersama. Atau jangan-jangan dia punya suatu rencana. Tak lama ekspresinya melembut, lalu ia kembali menanggapi. "Maaf sensei, tapi mataku minus. Aku disini saja."

LIAR! jeritku dalam hati.

"Baiklah kalau begitu."

"Tunggu, sensei! Kau dibohongin! Lihat, deh. Dia ini apanya yang minus? Moral sih iya! Banget!"

"Hei! Jangan mancing, ya!" sahut Sasuke tidak terima. "Aku sudah berusaha bersikap manis dan ini yang kudapat? Aku juga tidak mau dipasangkan dengan cewek nggak jadi kayak kamu ini."

Aku menunduk sambil melotot kearah Sasuke yang seenaknya duduk di tempatku. "Oh, bagus, dong! Jadi aku nggak bertepuk sebelah tangan!"

"Aku menyesal ngambil undian yang ujungnya dipasangin sama kamu." ujar Sasuke hampir berteriak.

"Sama! Kamu pikir aku nggak?"

"Sikapmu bener-bener nggak ada manisnya!"

"Memangnya aku sudi bersikap manis sama cowok yang kerjanya ngehina aku terus?"

"Kamu mancing aku untuk berbuat begitu!" sekarang Sasuke berdiri, balas nyolot ke aku. Sialan, mentang-mentang lebih tinggi, dikira aku takut?

"Kalau kamu lebih respect sama cewek, aku nggak akan mancing!"

"Aku respect sama cewek only, kamu, bukan cewek!"

Aku membuka mulut untuk membalas perkataannya, tapi berhenti saat dadaku terasa perih. Suaraku juga sudah hilang entah kemana. Aku meneguk ludah. Kenapa tiba-tiba dadaku berkecamuk begini?

Kakashi-sensei yang sedari tadi memijat dahinya menghela nafas. "Kalian sudah selesai?"

Tidak satupun dari kami berdua merespon. Kami terlalu sibuk melotot satu sama lain sampai tatapan teman-teman sekelas pun kami abaikan.

"Dari dulu aku pusing memikirkan bagaimana caranya supaya kalian bisa akur. Tapi setelah kejadian hari ini, aku ragu cara apapun akan bekerja."

Aku perlahan mencoba mencari suaraku, berhati-hati agar tidak terdengar seperti isakan. "Satu-satunya cara yaitu pisahkan kami, sensei. Tidak ada cara lain."

Untuk pertama kalinya Sasuke membuang muka, membiarkan aku memenangkan kontes death glare kali ini. Aku terheran melihatnya. Sasuke yang kukenal tidak pernah sekalipun sengaja memberikan kemenangan mudah padaku. Saat kukira dia akan bersuara dia malah mengalihkan pandangan.

Emo bastard.

"Akupun ingin begitu, Tenten. Tapi tidak bisa. Kalian satu kelas dan kekompakan harus kalian bina. Kalau begini terus, tidak ada pilihan lain." aku mendengar langkah berat sensei mendekat. Ia berhenti di antara kami, menatapku dan Sasuke bergantian. "Kalian akan terus kupasangkan berdua sampai lulus. Mungkin dengan begitu kalian akan akur."

Kami berdua menoleh serempak. "APA?"

"Kalian mendengarnya." ujarnya tanpa beban, matanya tertutup dalam senyum. "Selamat, Uchiha Sasuke dan Tenten mulai hari ini akan terus bersama, baik dalam suka maupun duka, sehat maupun sakit, lapang maupun sempit. Kalian sah menjadi partner hidup."

"Jangan main-main, sensei!"

"Aku nggak mau!"

JENG! Mata onyx sensei melotot. "Ayo, bersalaman."

Ukh. Karena takut, kami langsung bersalaman tanpa pikir panjang, berpikir ini hanya sementara. Kok aku sial banget sih hari ini?

Greb!

"?!"

Kakashi-sensei menahan kedua tangan kami, jadinya salaman yang kukira nggak lebih dari dua detik pun molor jadi menit. "Aku akan mengawasi kalian, lho. Siapa yang memulai pertengkaran duluan akan tahu akibatnya."

Guru rese!

Setelah nyengir-nyengir gaje sensei beranjak pergi, membuat kami buru-buru melepaskan tangan satu sama lain. "Nah, anak-anak. Hari ini kita akan belajar statistika. Sasuke, bantu Tenten mengangkat peralatan belajarnya, please?"

Muka Sasuke langsung nggak enak. "Aku nggak mau."

Aku juga ikutan sewot. "Nggak usah dibantu juga, aku bisa sendiri."

"Please."

Glek. Sasuke dan aku langsung mungutin buku-bukuku. Setelah semua beres, kami bergegas duduk di kursi masing-masing tanpa dikomando. Kakashi-sensei bisa jadi seram saat ia mau.

"Itu lebih baik." gumam Kakashi-sensei. "Sekarang buka halaman 15, kerjakan soal tentang pemusatan data."

Dengan ogah-ogahan aku membuka buku cetak matematika. Nggak mood banget deh, belajar di sebelah musuh berat. Berada di dekatnya aja aku ngerasa alergi, nih. "Aku tidak berniat berdamai denganmu."

Aku berkedip. Sekali, dua kali. Mata coklatku melirik cowok paling menyebalkan di muka bumi ini. "Apa kau bilang?"

Mata onyx-nya terang-terangan mengejekku. "Aku lebih baik duduk di sebelah Sakura atau Ino daripada duduk di sebelahmu."

Dasar setan. Sekali setan ya tetap setan. Aku yang sudah tak bisa menahan diri mengangkat kakiku diatas kakinya, lalu sepenuh hati kudorong kebawah.

Duk!

"Ahg!"

Kakashi-sensei menatap bangku kami. "Ada apa, Sasuke?"

Sasuke menatap penuh benci padaku yang berakting membaca buku seolah tidak tahu apa-apa. Wajahnya sekilas nampak cool, padahal lagi nahan sakit. "Ti…dak ada apa-apa, sensei."

"Untuk apa yang barusan itu?" bisik Sasuke kasar, suaranya terdengar jelas mencoba mengabaikan rasa sakit tak terkira.

"Untuk menjadi seorang chauvinist yang berengsek, tidak tahu diri, sok cool dan perebut Naruto-chan."

Alis Sasuke terangkat mendengar kata-kataku yang terakhir. "Perebut apa?"

"Anyway," sanggahku, mengganti topik. "Aku tidak pernah berpikir untuk mencoba, memikirkannya saja aku tak mau; berdamai denganmu." aku menatap matanya lekat-lekat. "Kita imbang."

"Bagaimana ya." Sasuke menghitung soal-soal di buku sambil menahan nafsu ingin membunuhku. "Kau pikir kenapa aku bersikeras untuk duduk di sebelahmu?"

Pulpenku terhenti. "Untuk membuatku kesal?"

Sasuke tersenyum tipis, tangannya tak pernah berhenti menulis maupun mengkalkulasi angka-angka dihadapannya. "Oh, lebih baik dari itu." Ia mengambil jeda sejenak dari kegiatan menulisnya. Aku mengintip buku tugasnya, tidak menyangka ia sudah selesai. Dasar jenius. Tapi yang membuat otakku membeku adalah saat ia mendekatiku, berbisik di telingaku dengan nada rendah malaikat berkedok setan yang entah kenapa membuat jantungku melewatkan satu detakan. Bisa kubayangkan sengiran sarkastik menghiasi wajah perfect-nya ketika kata-kata melarikan diri dari bibirnya.

"I'll make your life a living hell."


RnR pwease (ʃ⌣ƪ)