You will come back when they call you

No need to say goodbye

-The Call, Regina Spector-

.

.

.

Minghao puas sekali setelah berhasil menendang tulang kering Mingyu. Apalagi melihat bagaimana laki-laki itu berusaha mengurangi rasa sakit dengan mengusap-usap bagian yang tadi ditendang Minghao. Sepertinya hari ini dunia sedang berpihak padanya. Salah sendiri, Mingyu dan mulut sialannya, membuat darah si Cina mendidih sampai ubun-ubun. Tapi jangan salah, kapok sama sekali bukan motto hidup Kim Mingyu.

"Lihat sampai biru begini. Dasar anarkis!"

Minghao malah tertawa puas, puas sekali hingga perutnya mulai terasa sakit sekarang.

"Kalau anarkis begini mana mau Jun hyung denganmu, bocah! Pantes digantung terus"

Minghao melotot. "Bicara apa kau, pria sial?!"

Mingyu mendengus dendam, masih mengusap tulang kering yang sakitnya mulai mereda. Sementara Minghao berjalan menjauh, kembali duduk di meja kerjanya.

"Bicara lagi tentang Jun gege, kugigit telingamu sampai putus!" teriaknya dari kejauhan. Mingyu sedikit mengkerut walau masih menggerutu pelan.

Wen Junhui, teman akrab semasa kuliah yang dengan teganya meninggalkan Mingyu membusuk di kampus untuk lulus duluan. Terkutuklah semua channel ayahnya yang membuat si keparat itu hanya membutuhkan waktu 3,5 tahun untuk lulus. Eh tapi kalau bukan berkat kesaktian yang dikutuk Mingyu barusan, mana mungkin Mingyu menikmati indahnya digaji setiap bulan seperti sekarang. Wajar kalau ibunya bahkan meminta Mingyu untuk mengabdikan hidupnya pada Wen Junhui, sebab Mingyu tidak mempunyai apapun yang berharga untuk membalas jasa Junhui pada hidup bermasa depan yang ia miliki sekarang.

Akhir tahun itu, Mingyu mengucapkan dua selamat tinggal. Pertama, selamat tinggal gelar mahasiswa abadi. Kedua, selamat tinggal Mingyu, dengan setelan jaket dan celana training yang warnanya norak, yang luntang lantung di jalanan.

Terimakasih yang tak terhingga untuk Junhui yang berhasil menghanguskan ancaman ibunya yang akan membuangnya ke jalan jika Mingyu tidak juga lulus di tahun keenamnya bahkan turut memberinya jalan mata pencaharian langsung setelah si tolol itu akhirnya lulus. Meskipun kadang-kadang dalam angan-angan konyolnya ia berharap kejatuhan bintang dari langit dan menjadi konglomerat seperti pewaris Hyundai Corp. tiba-tiba.

Sayangnya pemuda cina yang membuat hidupnya terasa beruntung itu dikutuk memiliki nasib cinta tersial di muka bumi. Si bodoh itu terlanjur memberikan seluruh hatinya pada seorang bajingan kecil rekan kerjanya, Xu Minghao. Entah mereka berdua bertemu dimana, tahu-tahu Mingyu nyaris terjungkal dari kursi ketika Junhui mengenalkan partner 'some relationship'nya, karena orang yang muncul adalah orang yang sama dengan orang yang meja kerjanya satu ruangan dengan miliknya. Sialan Wen Junhui yang menarik manusia tanpa dosa seperti Mingyu dalam kisah romeo-juliet memuakkan versi Cina.

"Pacar barumu?"

"Jun ge punya banyak riwayat pacaran?!" Minghao menyela pembicaraan diantara dua kawan lama.

"Ah, jadi benar pacarmu"

"Bukan" jawab Minghao dan Jun bersamaan.

Kening mingyu mengkerut bingung. "Sau… dara?" tanyanya tak yakin.

"Teman. Hanya teman" jawab Jun.

Minghao langsung pergi dengan kaki menghentak kesal. Sementara Junhui menyeringai puas. Menyisakan Mingyu yang masih bingung.

Wen Junhui memang kurangajar. Lelaki itu mengikat Minghao, menyimpannya untuk dirinya sendiri tetapi sama sekali tidak memberikan status yang jelas dan kokoh untuk mereka berdua. Benar-benar sialan Wen dengan segala kharisma dan harta yang dimilikinya.

.

.

.

"Kau tau aku tidak cerdik berbohong, Wen!"

"Easy man, semua– "

"Kau memintaku memblokir semua akses berita pertunanganmu dari Minghao sementara kau tau sendiri siapa yang terkenal di sini! Lebih baik kau bunuh aku sekarang!" bentak Mingyu. Sahabatnya yang satu ini benar-benar tahu bagaimana membuatnya naik pitam dalam waktu setengah detik.

"Media aku yang urus. Kau hanya perlu menjaga telinga si polos situ dari segala rumor tentangku"

"Polos pantatmu! Jangan sebut dia polos, memangnya apalagi yang kalian lakukan dengan menyewa pantai privat selama satu minggu, Hah?! Keparat!"

Di seberang sana, Junhui tertawa renyah. "Okay, kali ini kau benar. Aku benar-benar membutuhkan bantuanmu sekarang. Kau tidak ingin aku mati di tangan rekan kerjamu itu kan? Aku tahu kau sangat menyayangiku, Kim."

Mingyu mendengus jijik walaupun ia setengah mengiyakan ucapan terakhir temannya barusan.

"Kau tidak harus melakukan ini, kau tahu. Kalau dia cukup berani mencintaimu, ia pasti mengerti"

Kali ini gantian Junhui yang mendengus tidak setuju. "Kau tau sendiri Minghao itu sama bodohnya denganmu. Dia bukan tipe yang akan mengambil sikap tenang ketika mendengar berita pertunanganku."

"Sial. Kau malah mengejekku" Mingyu menggenggam erat ponselnya melihat sosok kecil kurus mendekat ke arahnya dari kejauhan. "Ada Minghao disini. Ia terlihat belum mendengar atau tahu kabar tentangmu."

"Syukurlah. Aku benar-benar mengharapkanmu, bung. Langsung kututup ya"

Sambungan diputus dan disaat yang bersamaan Minghao akhirnya tepat berdiri di hadapannya dengan mata menyipit seperti menyelidiki sesuatu. Mingyu jadi gugup, keringat dingin mengucur di balik punggungnya.

"Kau terlihat seperti melakukan dosa yang tak termaafkan"

Duh, wajahnya makin pucat pasi. "Ha? T-tidak kok. Terlihat seperti itu ah aha" tawa mingyu saat berbohong sungguh hambar sekali.

"Tch!"

Ia baru bisa bernapas lega setelah akhirnya Minghao berlalu dari hadapannya dan duduk manis di meja kerja miliknya yang penuh dengan tempelan catatan kecil berwarna merah muda. Ia benar-benar mengutuk si kejam Wen Junhui yang menariknya ke pusaran kisah romeo-juliet yang membuat perutnya serasa diaduk-aduk.

.

.

.

Pairing Juned – Mamat kok dikit banget ya? Bikin sedih aja.

Ini harusnya diapain lagi? Ada yang punya ide? buntu nih :")