Rasanya seperti sinar matahari menusuk kelopak mataku. Kurasakan temperatur perlahan naik karena matahari mulai menarik langit. Aroma roti bakar mendesak masuk dari luar pintu kamar. Sudah pagi rupanya.

Korden masih menutup sempurna, hanya oranye redup yang mencoba menembus helaian kainnya yang terlihat, tapi tetap saja terasa terang. Sunyi mengisi dinding, kamarku seperti gua mati. Tidak ada rasa, tidak ada hidup.

"Seokjin... cepat turun dan makan sarapanmu." Kudengar Ibu memanggilku, suaranya parau selaras dengan usianya yang telah menua.

Aku mencoba duduk, mengatur panasku, dan menatap lurus sembari mengeluarkan suara, "Aku segera datang."

Entah sudah berapa lama begini, suara Ibu terasa lebih lembut, semakin parau, dan semakin rapuh, bagaimana mungkin aku bisa meninggalkannya?

&&.

.


.

halcyon — (adj.) calm; peaceful; tranquil

A BANGTAN SONYEONDAN FIC. I OWN NOTHING EXCEPT THIS PLOT AND DONT GAIN ANY FINANCIAL PROFIT FROM THIS FIC.

WARNING
( major character death, suicide, and self-harm. this fic isn't meant to beautify depression and frustration. )

notes:
so i'm tbh not really into bangtan nowadays, but by listening to their comeback song just breaks me down into tears? like why idk and their mv is so amazingly pretty i cant even say anything, also i just read the theory on tumblr and that surprised me like what... so that theory is what this fic about, but ofc i give my own perception hehe:)

.


.

&&.

Mereka berkenalan lewat internet.

Username jyongcookie membawanya menjelajah dan mengenal seorang lelaki dengan usia yang tak begitu jauh dengannya, lelaki itu selalu membalas sangat cepat dan tak pernah mengakhiri percakapan, jika suatu chat berakhir, yang mengakhirinya pastilah Jeongguk.

Pria yang tak pernah mengakhiri chat itu memiliki username huimangboi.

Ketika mereka bertemu di toko buku tengah distrik, tebakan Jeongguk tepat sasaran, lelaki yang ia temui ini memiliki watak persis dengan username-nya. Bocah harapan. Lelaki itu ceria, senyum tak pernah kabur dari wajahnya, gigi-giginya putih berderet seolah siap untuk tampak tatkala lelaki itu tertawa, perawakannya kurus dan tinggi, membawanya lincah bergerak.

Dan satu hal yang terpatri jika mengingatnya, lelaki itu suka menari.

"Hoseok Hyung," Jeongguk menengadah, "tunjukkan aku beberapa gerakan."

Lelaki bernama Hoseok itu tersenyum, mengangguk santai dan menaruh speaker mungil di antara dirinya dan Jeongguk, lalu menari dengan gerakan cepat.

Jeongguk tak dapat menghitung sudah berapa kali ia bertemu Hoseok, dari semula hanya meet up dengan durasi waktu yang pendek menuju hang out mengitari seluruh sudut kota distrik yang kelabu bersama-sama.

Tentu saja, Jeongguk tahu menemui orang tak dikenal melalui internet adalah hal yang tidak baik, orangtuanya mengajarkan itu. Tapi, toh, orangtuanya sudah berhenti mengajarinya sejak usianya dua belas tahun, mereka takkan melarangnya.

Selain itu, semua yang Hoseok ucapkan, berikan, perlihatkan, dan lakukan, tampak begitu tulus, begitu jujur, selalu hitam-putih, tak pernah something in between, jika tak ia lakukan dengan sungguh-sungguh, ia tak akan melakukannya.

Jeongguk memilih untuk mempercayai Hoseok.

Lamunan Jeongguk redup selaras dengan beat musik yang berhenti.

&&.

Pombensin tak pernah terasa seperti rumah bagi Jeongguk, tapi kali ini ia melihat seorang pria dengan sepatu converse menuliskan sesuatu dengan mata terbakar oleh mimpi dan ambisi, dan saat itulah pula ia sadar seseorang yang tenggelam dalam inspirasi dapat tampak begitu indah dan tidak nyata.

"Kim Namjoon," Hoseok memperkenalkan lelaki itu pada Jeongguk, suaranya terdengar lebih tinggi dan tidak ada formal di antara nadanya, Jeongguk menyimpulkan bahwa Namjoon dan Hoseok berumuran sama.

"Namjoon is okay, but Rapmonster is better," Jeongguk terbelalak tatkala mengetahui lelaki yang tinggal di pombensin sepi dapat berbicara Inggris sefasih itu. Beruntunglah Jeongguk setidaknya mengetahui beberapa patah kata dalam Bahasa Inggris.

Dan mereka menghabiskan satu malam penuh menulis lirik lagu, bernyanyi, menari, dan rap. Jeongguk tidak pernah merasa begitu hidup sebelumnya.

&&.

Esok paginya adalah sebuah gedung yang pembangunannya tak pernah usai, Jeongguk menemukan beberapa sofa bekas yang lusuh terkapar di lantai semen, gedung itu tak beratap, tapi lantai-lantai di atas mereka dapat melindungi dari hujan dan panas, selain itu warna monokrom yang mengisi seluruh sudut gedung tampak indah jika ia lihat lamat-lamat.

Hoseok dan Namjoon menjatuhkan diri mereka di atas sofa, tertawa dan bercanda bersama, menyimpulkan mereka bertinggal di sini, membawa konklusi bahwa mereka adalah anak-anak dengan senyum jatuh dari surga, ketukan realita menghujam mereka tajam, sendiri berusaha di antara peliknya keluarga.

Jeongguk menemukan hidup mereka adalah sebuah bentuk seni.

"Bergabunglah Jeongguk!" Hoseok meringis di antara tindihan punggung Namjoon tepat di atas dadanya. Namjoon hanya terkekeh tanpa dosa.

"Jimin dan Taehyung akan datang nanti malam," Namjoon berkata sambil meraih majalah edisi tahun lalu yang sudah usang, "kau akan menyukai mereka, usia mereka tak jauh darimu."

Penuh tanda tanya, Jeongguk mengedipkan matanya.