I. Prolog: "Goodbye"
Aku pernah mendengar, bahwa ketika kamu memperoleh sesuatu maka di saat yang sama kamu akan kehilangan sesuatu. Aku tidak begitu paham akan maksud kata-kata itu sehingga aku tidak terlalu memikirkannya. Sampai kemudian aku pun paham. Saat kita mendapatkan sesuatu, maka kita harus merelakan sesuatu, ya, aku memahaminya dengan cara yang menyakitkan.
Aku masih ingat dengan jelas seolah semua masih baru terjadi kemarin. Hari itu, hujan turun tanpa diduga di musim panas. Aku dan dirinya duduk berdampingan di salah satu bangku kayu panjang bercat putih usang di salah satu peron di stasiun kereta. Kami masih belum mengatakan apapun, hanya menatap ke arah rel kereta api dengan tangan saling menggenggam. Aku menggigit bibir bawahku, menolak untuk mengatakan apapun yang akan menggoyahkan hatinya. Yang akan menggoyahkan hatiku. Kami berdua sudah memutuskan bahwa ini adalah yang terbaik.
Entah sudah berapa menit, atau jam, berlalu sejak kami duduk di bangku itu. Kereta datang dan pergi silih berganti, beberapa saat lagi keretanya pun akan segera tiba. Aku pun harus melepaskan tangannya. Sebentar lagi, aku akan kehilangan orang yang paling berharga untukku.
Sesuatu, entah apa, seperti mendesakku untuk mengatakan apapun yang dapat menahannya agar tidak pergi. Aku ingin ia tetap di sini. Aku tidak ingin ia meninggalkanku dan pergi ke tempat yang tidak terjangkau untukku. Aku tidak ingin berpisah dengannya...
Karena manusia dapat berubah.
Karena hati manusia dapat berubah.
Aku ketakutan.
Seperti dapat merasakan ketakutanku, ia meremas tanganku perlahan. Aku mengangkat wajahku yang sejak tadi tertunduk dan menatapnya. Ia tersenyum ke arahku.
"Aku akan kirim surat."
Aku menahan diri agar tidak terseyum, atau menangis.
"Bodoh. Sekarang kan ada email."
Dia tertawa, tawanya yang lepas seperti biasanya, "Ah kamu benar juga, tapi bukannya surat lebih berkesan?"
Aku menggigit bibir bawahku, menolak untuk berkomentar. Aku kembali menunduk, wajahku memerah.
"Aku juga akan menelpon," katanya setengah berbisik.
Aku tidak sanggup untuk menatapnya saat itu. Aku hanya bisa mengangguk dan kembali tertunduk.
Kami kembali terdiam. Tangan kami tetap saling bertaut. Aku ingin menikmati saat-saat seperti ini sebelum sebentar lagi, ia akan pergi meninggalkan.
Tokyo...
Aku tahu, tidak ada banyak hal yang bisa ia lakukan di kota kecil seperti di sini, tapi ini adalah kota kelahiran kami. Di kota inilah kami tumbuh bersama dan menghabiskan waktu berdua. Kupikir tadinya kami akan tumbuh dewasa bersama di kota ini. Menikah, berkeluarga dan hidup selamanya di kota ini. Sepertinya aku memang terlalu naif.
Ia telah memutuskan bahwa ia akan pergi ke Tokyo. Ia memiliki mimpi yang hanya bisa ia wujudkan dengan cara pergi ke Tokyo meninggalkan kota ini. Meninggalkanku...
Aku tidak ingin menangis.
Aku tidak boleh menangis.
Aku tidak bisa menangis.
Kalau saja aku meneteskan air mata saat ini, mungkinkah ia mengurungkan niatnya?
Aku menampar wajahku dalam hati karena telah memikirkan hal sejahat itu. Aku tidak boleh bersikap egois.
Lagipula, ia akan kembali bukan?
Ia akan kembali untuk menjemputku kan?
Lagi-lagi aku membuang pikiranku jauh-jauh. Sebelum ini kami telah memutuskan untuk mengakhiri semuanya.
Teman.
Kali ini kami hanyalah teman. Karena akan terlalu menyakitkan untuk menjalin hubungan dengan jarak yang terbentang sejauh ini.
Lagipula ia harus berkonsentrasi dengan tujuannya. Aku tidak ingin menjadi penghalang.
Lamunanku buyar ketika bunyi peluit tanda kereta memasuki stasiun ditiupkan. Dadaku berdegup kencang saat pengumuman melalui pengeras suara memberitahukan bahwa kereta yang akan membawanya pergi dari kota ini telah tiba.
"Sakura..."
Aku mengerti.
Aku mengangguk dan berdiri bersamanya. Tangan kami masih saling terkait. Aku enggan untuk melepaskannya.
"Sakura," panggilnya, "tatap aku."
Aku menatapnya dan sepasang mata biru yang berkilauan menatap langsung ke dalam mataku.
"Aku akan kembali."
Aku mengangguk.
"Aku akan menjemputmu."
Aku kembali mengangguk.
"Tunggu aku."
Aku tidak dapat mengendalikan diriku lagi. Aku melepaskan tanganku dari genggamannya dan melingkarkan kedua lenganku di lehernya, dan memeluknya.
"Aku akan menunggumu..."
Meskipun ia tidak pernah kembali...
.
.
.
Author's note:
Hai, yup, ini saya lagi... Padahal masih banyak utang tapi udah nulis fic baru lagi? Well ada beberapa alasan, pertama laptopku rusak dan back up data ada di laptop temenku. Jadi belum bisa update. Belum lagi belakangan ini amat sangat sibuk... Jadi... Ok, enough with the reason.
Sebelum ada yang protes, saya SENGAJA tidak mencantumkan disclaimer karena toh semua orang tahu Naruto itu bukan punya saya dan fiksi ini saya tulis tanpa tujuan meraih keuntungan apa pun.
Fanfic kali ini genrenya angst ya... Tapi kalau kalian baca fanfic saya yang lain, bisa saya yakinkan, semuanya happy ending (dengan cara saya sendiri).
