Takdir Benang Merah

Disclaimer : Naruto by Masashi Kishimoto

Genre : Romance, Fantasy

Rate : T

Warning: Alur laju, typo atau miss typo, OOC.

.

.

"Dahulu, orang-orang mulai meyakini bahwa masing-masing manusia telah di ikatkan dengan pasangan hidup mereka oleh benang merah yang tak kasat mata. Benang merah tersebutlah yang akan menuntun dan membimbing dua insan yang telah di takdirkan untuk hidup bersama. Walaupun tipis dan kusut, benang merah tersebut tidak akan pernah put—"

"Hanabi!"

Hanabi menaikkan sebelah alisnya, wajahnya tampak agak sedikit kesal. "Nee-san, berhentilah meneriakiku seperti itu." ketusnya. Hinata –kakaknya- yang tengah duduk tak jauh darinya menatapinya dengan tajam.

"Kalau begitu, berhenti juga membaca dongeng basi itu dihadapan Nee-san dengan suara keras!" gerutu Hinata. Suaranya sedikit menggema di ruangan tengah keluarga yang memang terbilang luas.

"Baiklah!" Hanabi menutup bukunya dengan kasar. Dia tahu gelagat orang yang beda lima tahun darinya itu. Bukan hanya kali itu saja. Kapanpun dan dimanapun dirinya mencoba membaca buku cerita dengan tenang, kakaknya itu selalu saja menceloteh padanya, dan itu membuatnya kesal. Ah, tentu saja itu saat mereka di rumah.

Hanabi memaparkan buku barunya tepat didepan wajah kakaknya.

"Apa?"

"Lihat buku ini baik-baik"

"Tidak ada yang istimewa dari buku itu"

"Nee-san tidak akan tahu kalau tidak membacanya, lagipula cerita ini kan sudah sangat populer di dunia"

"Kalau begitu, berarti aku orang pertama yang tidak menyukainya"

Hanabi memanyunkan bibirnya. Kakaknya itu benar-benar keras kepala. Apa salahnya mempercayai cerita yang sudah melegenda itu.

"Terlebih, itu hanya mitos." sela Hinata.

Tunggu dulu. A-apa? Mitos? Oke, kali ini kakaknya mulai berulah lagi. Bukannya ingin memperpanjang masalah, tapi Hanabi ingin sesekali kakaknya itu tidak mengolok-olok hal-hal yang ia sukai.

"Hinata nee-san berhentilah berkata seperti itu! Nee-san harus tahu kalau cerita ini benar-benar nyata!"

"Coba buktikan," tantang Hinata.

Hanabi terdiam. Walaupun ia sangat meyakini tentang benang merah itu, tapi untuk membuktikannya…ah sudahlah, memikirkannya saja sudah membuat sakit kepalanya kambuh.

Hinata bangkit dari duduknya. "Kenapa diam?"

Dilihatnya sekilas adiknya. "Ya sudah, lagipula nee-san juga tidak mau tahu." Hinata pun angkat kaki meninggalkan adiknya sendiri di sana.

"Dasar nee-san." Geram Hanabi dengan melipat kedua tangannya.

.

.

Hinata merebahkan tubuhnya di atas tempat tidurnya. Pikirannya melayang, mengingat-ingat kelakuaannya terhadap adiknya tadi. Baiklah, ia akui kalau ia terlalu berlebihan. Tapi segala jenis cerita cinta yang disukai adiknya yang notabene 'akhirnya mereka berdua hidup bahagia selamanya' itu benar-benar membuatnya muak. Dan oh beruntung hari itu ayah mereka, Hiashi Hyuuga tengah dalam tugas ke luar kota.

"Kurasa aku harus minta maaf padanya."

.

.

"Ada apa nee-san ke sini?"

Hinata menggaruk pelan pipinya. "Begini, maaf tadi Nee-san bersikap kasar padamu…"

Hanabi melipat kedua tangannya. "Nee-san tahu kan, di keluarga kita kata maaf saja tidak cukup." Tuturnya. Kakinya bermain-main mengelilingi sang kakak. "…Jadi?.."

'Mulai lagi nih bocah' pikir Hinata.

"Jadi, sebagai gantinya?" lanjut Hanabi.

Hinata menghela napas, pasrah. "Baiklah, sebagai gantinya nee-san akan bersedia mendengarkan cerita konyol yang kamu baca tadi."

Hanabi tersenyum lebar. "Bagus!" katanya sambil mengajukan kedua jempolnya.

Hinata hanya memutar bola matanya.

"Dahulu, orang-orang mulai meyakini bahwa masing-masing manusia telah di ikatkan dengan pasangan hidup mereka oleh benang merah yang tak kasat mata. Benang merah tersebutlah yang akan menuntun dan membimbing dua insan yang telah di takdirkan untuk hidup bersama. Walaupun tipis dan kusut, benang merah tersebut tidak akan pernah putus.

Benang merah tersebut bukanlah sihir, bukan pula sulap. Melainkan Dewalah yang telah merencanakan semuanya dan memilih kedua insan agar dapat bersatu… "

DUARR!

Tiba-tiba terdengar suara petir.

"Kyaaaa!" pekik keduanya.

Sontak Hinata menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya, tak lama ia pun mengintip adiknya. Hanabi tampak berlindung di bawah meja, menutupi kepalanya dengan buku tebalnya. Hinata mengusap dadanya, lega. Setidaknya adiknya itu lebih penakut ketimbang dirinya.

Kalau dipikir-pikir aneh juga. Tidak ada angin, tidak ada hujan, awan pun tak pula mendung. Lihat, langit saja masih cerah. Bagaimana bisa tiba-tiba ada petir? Tanya Hinata. Hatinya sedikit was was. Ah jangan-jangan dirinya terkena kutukan Sang Dewa karena berani menghina buku cerita milik adiknya. Tidak, tidak mungkin. Hinata menggeleng kuat. Tapi, bisa saja kan? Hinata menggigit ujung jarinya, ketakutan.

Diperiksanya seluruh bagian tubuhnya. Oke, masih aman.

Hinata menoleh ke arah Hanabi. Adiknya itu masih saja merangkup tak berdaya. Hinata berdecih kesal. 'Yah, apa boleh buat.'

"Oi Hanabi, keluarlah." Perintah Hinata.

Hanabi tersentak mendengar panggilan kakaknya, tubuhnya sedikit menggigil. "T-tapi petir tadi benar-benar mengerikan. B-baru kali ini aku mendengar petir sebesar itu.."

'Benar juga sih, bisa dibilang petir paling besar yang pernah kudengar di seumur hidupku ini' Hinata hanya manggut-manggut. Tapi, kalau sampai adiknya trauma karena petir barusan, itu keterlaluan.

"Sudahlah, jangan jadi pengecut" Hinata mengulurkan tangannya, berharap Hanabi meraihnya. Namun nihil. Adiknya itu bahkan tak berkutik sama sekali. Hinata berdecak kesal. "Ah baiklah! Nee-san akan meninggalkanmu sendiri disini!"

Kedua mata Hanabi membulat. "T-tidaak! Aku ikut!" buru-buru Hanabi mengejar kakaknya.

.

.

Terdengar kicauan merdu burung-burung mungil yang mewarnai sejuknya pagi hari di kediaman Hyuuga saat itu. Matahari yang sedari tadi telah berada di ufuk timur berusaha mengganggu nyenyaknya tidur sang putri sulung Hyuuga.

Tubuh ramping berbalut selimut tebal itu akhirnya mulai menggeliat, tanda ia akan bangun. Perlahan kelopak matanya terbuka. Menampakkan bola amethyst yang menawan. Bibrnya yang merah ranum bergerak terbuka. "Huaaamh…" erangnya sembari meregangkan tubuh.

Hinata melirik jam weker yang ia taruh di samping bantalnya. 'Kenapa alarm jamnya tidak bunyi ya?' tanyanya. Hinata bangkit dari tidurnya, merapikan kamar, dan bergegas ke kamar mandi. Saat ia akan mengambil handuk, matanya sontak tertuju pada tangan kanannya. Lebih tepatnya jari kelingking tangan kanannya.

"T-tunggu dulu, aku tidak salah lihat kan?" Tanyanya. Oh tuhan, ia baru saja melihat benang merah terikat di jari kelingkingnya dengan pola pita. Ah! Hinata langsung terpikir akan Hanabi. Wajahnya mulai merah menahan amarah. "Gaah! Hanabi!" pekiknya. Ia tahu pastilah itu kelakuan adiknya, Hanabi. Sudah cukup ia mendengar mentah-mentah cerita basi yang bahkan tak ingin didengarnya, tapi Hanabi malah melakukan ini terhadapnya?

Tanpa pikir panjang, Hinata langsung menghampiri adiknya dan menghardiknya dengan kasar. "Hanabi! Apa-apaan yang kamu lakukan ini, hah?" kata Hinata dengan menunjukkan jari kelingkingnya. Hanabi yang tiba-tiba dituduh tak jelas itu hanya memasang tampang heran, ia bahkan tidak mengerti apa yang dibicarakan sang kakak.

"Emh nee-san, maksudmu apa?"

Muncul urat di kening Hinata, dirinya sudah naik pitam. "Jangan pura-pura! Kamu kan yang mengikat benang ini di jari nee-san? Kan sudah nee-san bilang kalau nee-san benci cerita itu, tapi kenapa kamu lakukan ini?" umpat Hinata.

Hanabi yang pada saat itu akan bergegas berangkat sekolah, memiringkan kepalanya tidak paham. "Nee-san ini bicara apa? Tidak ada benang kok di jari nee-san, kalau memang ada, tidak mungkin aku yang melakukannya, nee-san kan selalu mengunci kamar saat tidur." timpal Hanabi. Ya ampun, apa kakaknya itu baru saja bermimpi buruk semalam?

Hinata memutar pikirannya. Ya juga ya, pikirnya. Tapi setelah diperhatikannya pada jari kelingking Hanabi juga terdapat benang merah. Dan itu menimbulkan tanda tanya di kepalanya. "Tapi Hanabi, tanganmu juga…" Hinata kaget bukan main, saat Hanabi memasang sarung tangan, benang merah tersebut tembus dan muncul keluar. A-Apa? Bagaimana bisa?

Bingung. Hinata tidak mengerti kenapa, disentuhnya benang merah yang terikat di jarinya. Demi apapun, benar, memang benar-benar tembus tak tersentuh!

Hinata serasa kehilangan jiwa hidupnya, wajahnya memucat dengan dirinya yang terus-terusan bergumam. "Kenapa…kenapa…apa ini...tuhan…ini hanya halusinasi kan?"

Hanabi memandang bingung kakaknya. Cemas? Tidak. Hanya saja tidak biasanya sang kakak bersikap seperti itu. Hanabi mengangkat bahunya, dia tidak mau ambil pusing. "Ah sudahlah nee-san, aku mau berangkat sekolah dulu. Nee-san bergegaslah, nanti terlambat." Kata Hanabi sambil meliliti syal ke lehernya dan berlari kecil keluar.

"Ah jangan lupa pakai syal! Udaranya benar-benar menusuk tulang!" teriak Hanabi dari kejauhan.

Sedangkan Hinata, mengangguk berkali-kali seolah mengerti, dan berjalan ke kamar seperti zombie. Sudah jadi kebiasaannya yang over thinking seperti ini.

.

.

"GAWAAAT!" Hinata meraih tas nya dan berlari sekuat tenaga. "Aku terlalu depresi sampai tidak melihat waktu! Aah terlambat di semester baru itu memalukan!"

Melihat waktu saat itu, sudah jelas ia ketinggalan bus. Tidak ada pilihan lain selain lari dengan kecepatan penuh.

Dengan langkah kaki yang –dipaksa- besar, dan peluh yang membanjiri wajahnya, Hinata harus tetap bertahan dengan situasinya. Berbagai macam hukuman terus saja berngiang-ngiang di kepalanya.

Tempat dimana Hinata sekolah termasuk yang paling elit. Semua siswa dibimbing dengan disiplin yang ketat. Perbuatan yang melanggar aturan sekolah, tentu akan dikenai hukuman yang setimpal. Dan lagi, yang paling ia takutkan adalah Guru Kesiswaan disana. Jiraiya-sensei.

Membayangkannya saja sudah membuat Hinata ingin muntah. Kalau saja ia sampai harus berhadapan dengan guru yang disebut-sebut sebagai guru mesum itu, hilang sudah martabatnya.

Bukan hanya statusnya yang sebagai sisiwi terpandang akan merosot turun, tapi nilai-nilainya juga akan terancam. Gilanya, untuk dapat membujuk Jiraiya-sensei, ia harus menggoda gurunya itu dengan rayuan ekstra plus-plus. Demi jagad raya, dia tidak mau melakukan itu!

'Tamatlah riwayatku.' Batin Hinata menangis.

.

.

Baru saja Hinata tiba di gerbang depan sekolah, ia sengaja mengendap-ngendap agar tidak ada yang melihatnya. Oke, aman. 'Tapi, bagaimana caraku agar bisa masuk?' Tanya Hinata. Salah sedikit saja, akibatnya sangat fatal. Terlalu banyak kamera pengintai disana.

"Hei kau!"

Hinata kaget karena tiba-tiba ada yang memanggil dirinya. 'Oh Tuhan, apakah aku ketahuan?' Keringat dingin menetes tiada henti, jantungnya berdetak tak terkendali, dengan takut-takut Hinata menoleh ke asal suara.

"Kau juga terlambat, kan?"

"Heh?"

Dihadapannya saat ini berdiri seorang pemuda dengan rambut pirang berantakan yang juga mengenakan seragam dari sekolah yang sama dengan dirinya. Penampilannya sedikit ugal-ugalan, tapi caranya menatap Hinata sangat bersahabat.

Karena yang ditanya tidak merespon apapun, pemuda tersebut kembali membuka mulutnya. "Hei, jangan bengong gitu. Ayo ikutlah dengan kami, kami tahu jalan rahasia yang paling aman." Serunya ceria.

Hinata masih saja diam seribu bahasa. Pemuda yang telah mengagetkannya itu baru saja mengajaknya menyelinap masuk ke sekolah? Yang benar saja, mereka bahkan tidak saling kenal. Tapi, tunggu dulu..

"…kami?" Tanya Hinata. Ia tidak mengerti, pemuda itu sendirian dan menyebut dirinya kami?

"Iya, kami. Aku dan teman-temanku. Ayolah, waktu kita tidak banyak." Katanya seraya menarik lengan Hinata pergi. Hinata tidak bisa berbuat apa-apa selain mengikuti pemuda tersebut. Tiba-tiba ia teringat sesuatu.

"Hei, siapa namamu?" Tanya Hinata. Ia merasa tidak enak memanggil orang tanpa menyebut nama mereka.

Yang ditanya pun menoleh, tampak serentetan gigi yang menghiasi senyumnya. "Aku Naruto, Uzumaki Naruto." Jawabnya. Hinata ber-oh ria, menatap sekilas pemuda bermata samudera itu. "Panggil aku Hinata." Ucap Hinata dengan senyum simpul.

.

.

"Nah itu mereka" seru Naruto. Tampak disana berdiri dua orang lainnya. Yang satu pemuda dengan kuciran rambut seperti nanas, dan yang satu lagi pemuda dengan coretan merah di kedua pipinya. Penampilan mereka tidak jauh beda dari Naruto, hanya sedikit lebih rapi.

'Jadi ini yang dimaksud dengan 'kami' pikir Hinata.

Hinata memperhatikan sekitarnya. Ia baru sadar kalau mereka tengah berada di belakang gedung olahraga yang tidak terpakai. Sama sekali tidak ada kamera pengintai. 'Pantas dia bilang ini jalan yang aman' Hinata mengangguk paham.

Hinata lalu angkat bicara. "Jadi, bagaimana caranya kita masuk?" Tanya Hinata.

"Mudah saja." Jawab Naruto enteng. Tangannya memberi instruksi kepada kedua temannya untuk membantunya mendorong sebuah batu besar yang ternyata menutupi sebuah lubang yang dibatasi oleh pagar besi di belakang gedung. 'Hebat.' Mata Hinata berbinar-binar kagum.

"Ayo cepat masuk, sebelum upacara pembukaannya selesai!"

"Baiklah"

Setelah berhasil melewati lubang tersebut, Hinata dan yang lainnya terpaksa mencari jalan yang lain karena tidak bisa melewati lapangan utama dimana banyak penjagaan di sana.

Masalahnya, dijalan yang lain tersebut, mereka harus memanjat tembok setinggi satu setengah meter. Bukan masalah bagi Naruto dan kedua temannya, tapi masalah besar baginya. Ia tidak bisa memanjat!

"Cepatlah Hinata"

"Tapi aku tidak bisa memanjat, aku takut." Hinata memainkan jari-jarinya. Nada suaranya sudah seperti orang yang putus asa.

Lagi-lagi Naruto memamerkan senyum khasnya. "Tidak apa-apa. Pegang tanganku, dan aku akan menarikmu." Perkataan Naruto membuat raut wajah Hinata cerah. Naruto mengulur tangannya, Hinata segera meraih tangan tersebut dan menggenggamnya dengan erat.

HOP!

Mereka berhasil, tinggal satu langkah lagi mereka akan segera sampai di gedung upacara dan masuk diam-diam.

Tapi, Naruto justru diam ditempatnya. Mata shappire nya membulat tidak percaya.

"K-kau…tidak mungkin." Sontak Naruto segera melepaskan genggaman tangannya dari tangan Hinata. Jantungnya tiba-tiba berpacu dengan cepat. Apa yang barusan dilihatnya benar-benar tidak bisa dipercaya, itu semua diluar dugaannya. Matanya kemudian tertuju pada tangannya, lalu melihat tangan Hinata secara bergantian terus-menerus.

"N-Naruto, kamu kenapa?" Tanya Hinata heran. Naruto tidak mengindahkan panggilan Hinata. Ia sibuk dengan pikirannya sendiri. Naruto mengambil sedikit langkah kebelakang, seperti ia menjauhi Hinata.

"I-ini…tidak bohong kan?"

.

.

.

Bersambung

.

.

Yuhuu~ Kita ketemu lagi~

Kali ini saya kembali dengan membawa cerita baru. Gaje memang. Ditambah Hinatanya emosian amat yak disini.

Ide ini asalnya dari seri Naruto juga kok. Minato-Kushina dengan rambut merahnya, Naruto-Hinata dengan syal merahnya. Yah saya jadinya mikir, 'kenapa ga benang merahnya aja langsung?'

Ya ya gitu deh. Silahkan atuh review nya, saya sangat membutuhkan saran dan kritik dari para reader sekalian.