How to Get Good Dreams
A Koisuru Boukun fan fiction written by ah-ee-you
Dedicated to Rin Kurin for her birthday
I own nothing and gain no profit from this story
.
.
.
Chapter One
Moving On (Running Towards Endless Road)
.
.
.
Bunyi asap yang keluar dari knalpot truk menjadi suara asing yang beradu dengan suara alam khas pinggiran. Matahari mengintip di balik awan yang tak mampu menyembunyikan sinarnya, penasaran pada aktivitas insan yang dinaunginya. Souichi turun dari truk yang ditumpanginya, meregangkan tubuhnya yang terasa kaku karena duduk selama empat jam. Sementara supir sekaligus karyawan jasa pemindahan rumah mengangkut barang-barangnya dari bagasi truk. Khusus kardus yang berisi hal rapuh seperti alat eksperimen, buku sains agrikultural yang tak lagi muda, dan sebagainya hanya Souichi yang boleh membawanya.
Bau basah dari embun yang meluncur di daun dan mencumbu tanah memasuki relung paru-paru, memenuhi dahaganya akan oksigen. Udara desa sungguh berbeda dari Tokyo yang sesak oleh polusi. Orang yang berlalu lalang seakan dikejar hantu. Bangunan yang silih berganti dengan pesat. Lampu yang menebar pesona tanpa kenal malu. Waktu telah bergulir menjauhi alfa dan hendak menyentuh omega, namun tak ada yang sempat menikmatinya.
Souichi seperti disuntikkan sebuah energi baru; tak familiar namun penuh sensasi menyenangkan. Senyumnya terus terkembang, menghiasi wajah tirusnya. Karena refleks ia rapatkan jaketnya tatkala angin musim semi membelai rambut pirangnya, namun kebekuan tak menyurutkan semangatnya yang meluap.
Berada di dekat alam membuatnya merasa satu dengan alam.
"Ada yang bisa saya bantu lagi, pak?" Terdengar suara bariton keluar dari mulut pria paruh baya yang membantu kepindahan Souichi.
Souichi tersentak dari lamunannya, kemudian menoleh dan memberi ojigi—sebuah tradisi Jepang untuk membungkuk sebagai tanda hormat. "Tidak ada. Terima kasih untuk bantuannya."
Pria tersebut tersenyum simpul dan membalas dengan ojigi pula. Tak butuh waktu lama baginya sebelum menyalakan truk dan membawanya menjauh dari Souichi. Souichi membawa koper dan kardusnya menapaki tangga yang berderit saat mencium sol sepatunya. Bunga bluebell menunduk di pot di teras, seolah memberi hormat kepada majikan barunya. Bau khas rumah baru mulai menyerbu hidungnya. Souichi mengernyit; bukan karena keberatan, namun karena bau tersebut mengingatkannya akan masa kecilnya.
Souichi pasrah saat seribu memori berlomba untuk mengharubirukan sanubarinya.
Pemilik rumah Souichi dulunya adalah seorang kakek yang pindah ke Hokkaido. Istrinya yang meninggal karena sakit menuntutnya untuk tinggal bersama anaknya, walau ia enggan berpisah dengan sumber kenangan. Selama setahun banyak orang yang berebut ingin memiliki rumah kecil dengan interior sederhana khas Jepang tersebut. Semuanya ditolak lantaran pemiliknya yang berwatak keras tak sudi rumah yang telah dihuninya sejak baru menikah jatuh ke tangan orang yang salah.
Memang sudah rahasia umum bahwa lahan dimana rumah Souichi berdiri diincar para pengusaha yang rindu membangun kompleks perumahan. Karena itu saat Souichi bertemu dengan sang kakek untuk membeli rumahnya, ia dipukul dengan sandal dan diusir. Souichi dianggap sebagai utusan perusahaan yang ingin membujuk sang kakek. Padahal Souichi hanyalah sarjana lulusan S3 Universitas Tokyo yang ingin melarikan diri dari kepenatan kota. Beruntung Souichi langsung mengomentari bunga Chrysanthemum yang merekah di halaman sang kakek. Souichi menebak cara perawatan bunga tersebut dengan tepat, yang membuat Chrysanthemum tersebut berbeda dari bunga Chrysanthemum pada umumnya.
Sang kakek terdiam dengan wajah yang sedikit melunak. Sebelah sandalnya tergantung di tangan kanannya tanpa ada indikasi akan dilempar dalam waktu dekat. Souichi tanpa sadar telah menyentuh titik lemahnya.
Chrysanthemum adalah bunga kesayangan mendiang istri sang kakek.
Dan jadilah mereka menyesap teh di teras samping rumah, menghadap pegunungan yang menantang langit. Sang kakek menceritakan semua tentang istrinya. Ia kerap kali lupa alamat rumahnya, ia bahkan terbata-bata untuk memanggil anaknya, namun ia tidak pernah melupakan istrinya. Setiap pagi sebelum bekerja di kebunnya, ia akan meraih jurnalnya dan menghafal kebiasaan istrinya. Mulai dari yang tidak penting sampai yang paling tidak penting. Ia tak sudi cinta yang mereka tanam selama lima puluh tahun kalah dari usia, demensia, Alzheimer, atau apapun itu.
Dalam diam Souichi bertanya-tanya akankah dia bertemu orang yang mencintainya sedalam itu.
Singkat cerita, Souichi berhasil membeli rumah tersebut. Sang kakek bahkan mewariskan semua furniturnya. Persetan dengan para pebisnis tamak yang menjanjikan uang dengan sembilan digit untuk mengambil alih rumahnya. Atau para kurator yang mendamba barang-barang antik di rumahnya. Souichi punya alasan pribadi yang akan ia pegang teguh sampai akhir. Ia juga telah berjanji kepada sang kakek untuk menjaga rumah beserta segala isinya dengan sepenuh hati.
Jari panjang Souichi mulai mencari saklar. Saat lampu telah dinyalakan, ia puas melihat bagaimana telaten pemilik sebelumnya merawat rumah tersebut. Souichi menyeringai setiap kali ia mengingat betapa panas wajahnya saat mencumbu sandal. Atau saat ia dimaki dan diancam akan dilempari batu agar cepat pergi. Atau saat air berlinang dan meluncur di wajah sang kakek saat bernostalgia tentang istrinya.
Souichi meletakkan koper dan kardusnya di tengah kardus-kardus lain yang tadi telah disusun oleh karyawan jasa pemindahan. Menghirup bau dan berharap wanginya tak lekas pudar eksistensinya. Menghiraukan barang yang meminta untuk dilepas dari kungkungan kardus. Atau masa lalu yang siap menyergap kakinya dan menyeretnya ke dalam kegelapan yang familiar.
Hari baru. Rumah baru. Kehidupan baru.
Souichi tak sadar bahwa ia hanya sedang berlari, tanpa tahu kapan akan berhenti.
.
.
.
tobecontinued.
Reviews are appreciated.
