Entah sudah berapa lama Seungkwan menghabiskan masa hidupnya berada di bawah atap dari rumah bobrok dan reyod itu. Namanya Panti Asuhan Berlian, salah satu panti asuhan di Seoul yang sebenarnya kurang mendapat perawatan dari pemerintah, padahal bukan panti asuhan swasta juga. Jarang ada orang yang datang ke panti asuhan ini karena letaknya yang jauh dari kota, relatif berada di pinggiran, sehingga agak sulit untuk menarik perhatian orang untuk datang. Anak asuhnya pun tidak banyak, mungkin tidak lebih dari sepuluh anak dan beberapa dari mereka yang beruntung sudah pergi diadopsi oleh sepasang orang tua atau orang-orang yang mau merawat mereka, hanya tinggal beberapa kepala lagi. Menyedihkan jika mengetahui kenyataannya, tapi lebih baik daripada tidak punya rumah sama sekali.

Berapa lama? Sudah sangat lama. Mungkin sebelum Seungkwan memasuki SD, ia sudah mendapati dirinya berada di bawah panti asuhan kumuh itu. Beruntung sekali hidupnya karena tempat itu tidak membatasi dirinya untuk sekolah. Katakanlah sekolah pinggiran, di mana hanya orang-orang dengan keuangan dan intelektual terbatas yang menghadirinya, sangat tidak mungkin jika harus disandingkan dengan SMA di tengah kota.

Seungkwan, Boo Seungkwan, orang tua asuhnya pun mungkin sudah bosan melihatnya setiap hari berada di panti itu, mengerjakan pekerjaan rumah layaknya ibu rumah tangga. Mana ada waktu untuk mengawasi nilai Seungkwan di sekolah, mengurus beberapa kepala anak pun sudah cukup merepotkan. Berhubung Seungkwan adalah yang paling tua di antara anak-anak yang tersisa, ada segenap keinginan di benak para pengasuh agar ada sepasang orang tua yang mau mengadopsi Seungkwan secepatnya. Terlalu lama berada di dalam rumah usang itu juga membuat mereka khawatir bahwa Seungkwan bisa kehilangan masa depannya.

"Seungkwan." Panggil salah satu pengasuh ketika Seungkwan sedang menyibukkan diri bersama sapu ijuk di halaman panti yang dipenuhi oleh rumput liar dan daun layu. "Boleh ibu bicara sebentar?"

"Ne, aku segera ke sana." Seungkwan menaruh sapu ijuknya di pagar panti asuhan yang berkarat dan mencuci tangannya sebelum mendatangi pengasuh.

Mereka berdua duduk bersama di ruang makan, lebih tepatnya ruang serba guna yang mejanya cukup besar dan panjang sehingga mereka memutuskan untuk makan di ruang yang sama untuk menghemat biaya. Ruangan besar dengan atap yang tinggi, tapi jika melihat keatas, orang sudah pasti bisa melihat adanya sarang laba-laba tipis atau bercak berwarna kuning akibat kebocoran atap yang kerap kali terjadi.

"Umurmu sudah tujuh belas," si pengasuh meremas-remas tangannya sendiri, "apa kau tidak punya rencana untuk melanjutkan hidupmu di tempat yang lain?"

"Ibu kenapa bertanya seperti itu?"

"Ibu bukannya ingin mengusirmu atau lelah mengurusmu, bukan begitu," wajah si pengasuh terlihat jauh lebih kelabu dari sebelumnya, di kepalanya banyak sekali rangkaian kata-kata yang sama sulitnya dengan mengasuh anak untuk disampaikan, "satu hal, Seungkwan, ibu hanya ingin kau tahu bahwa panti asuhan ini tidak bisa menjamin kehidupanmu di masa yang akan datang. Cepat atau lambat kau harus keluar dari tempat tidak layak ini dan menajalani hidupmu sendiri dengan lebih baik."

Seungkwan manggaruk tengkuknya, dia terlihat kikuk. "Aku tidak pernah tahu bahwa tempat ini tidak layak."

"Seungkwan, kau harus mengerti." Napasnya menjadi tidak beraturan. Begini memang kalau berbicara dengan seseorang yang sudah 'dewasa', dalam kata lain mengerti banyak hal tentang kehidupan. Umurnya memang masih tujuh belas tahun, tapi hidup di bawah tangan panti asuhan membuat Seungkwan mengerti tentang sulitnya hidup para pengasuh atau anak-anak lainnya, ditambah lagi panti asuhan ini jauh lebih terbelakang dibandingkan panti asuhan lain yang berada di kota. "Kami tahu bahwa kau sangat menyayangi panti asuhan ini, begitu juga kami kepadamu, tapi tidak selamanya kau akan mengorbankan diri demi rasa sayangmu. Pergilah ke tempat lain yang lebih jauh, agar kau tahu bahwa dunia ini jauh lebih luas daripada sekedar panti asuhan kumuh."

"Sudah beberapa kali, aku juga sempat berpikir untuk pergi dari panti asuhan dan tinggal di kota." kata Seungkwan. "Tunggulah sampai ada orang tua yang mengadopsiku dari sini, baru aku akan benar-benar pergi."

Ya, tapi 'adopsi' itu hanya sekedar untung-untungan belaka. Jika memang ada orang tua berbaik hati yang mau mengadopsi Seungkwan, itu tandanya dia sangat beruntung dan siap untuk menjalani kehidupan yang baru. Mendapatkan orang tua yang serasi dengan anak panti asuhan juga adalah hal sulit, karena orang tua baru sekalipun belum tentu menjamin kebahagiaan anak yang mereka adopsi.

Secepat mungkin, Seungkwan harus pergi dari panti asuhan itu. Kesedihan sudah jelas akan mendatangi mereka, melepas anak yang sudah bertahun-tahun lamanya mereka besarkan dengan segenap hati dan kasih sayang, tiba-tiba harus pergi begitu saja. Siapapun yang datang ke panti asuhan itu, harapan para pengasuh tetaplah untuk Seungkwan. Pergi dari panti asuhan memang bukan jalan terbaik, tidak akan menjamin kehidupan indah bagi Seungkwan. Tetap saja, setidaknya Seungkwan tahu bahwa keluar dari panti asuhan akan membawanya kepada seribu jalan lain untuk bahagia.

x

x

x

x

x

x

x

x

x

x

Author: aurorarosena

Title: The Chwe

Pairing: Vernon - Seungkwan

Casts: Seventeen, etc.

Genre: yaoi, -

Disclaimer: storyline is mine!

Warning: Bahasa, typo(s), boyxboy, etc. Don't like the pairing/author/story? Please kindly leave this story immediately :)

x

x

x

x

x

x

x

x

x

x

Hari yang ditunggu-tunggu telah tiba. Seungkwan, ia sulit untuk memfokuskan dirinya sendiri kepada barang-barang pribadinya, gelisah, panik, gugup, semuanya bercampur aduk menjadi satu.

Ternyata akan jatuh secepat ini. Sepasang suami-istri datang sejak tiga jam yang lalu dan menghabiskan waktu bersama Seungkwan. Mereka berbicara, tentang hal-hal yang sederhana akan kehidupan dan juga harapan. Meski hanya duduk di meja makan yang besar dan berjalan-jalan kecil di sekitar panti asuhan, percakapan mereka tetap membuahkan hasil yang cukup meyakinkan, semuanya terkupas secara detail.

Seungkwan adalah anak yang relatif periang dan supel, walaupun agak ceroboh, mungkin juga penakut dan mudah gelisah, tapi sebenarnya dia adalah anak yang mempunyai tujuan dan mau bekerja keras untuk menggapainya. Berbaik hati adalah pelajaran yang Seungkwan pelajari sejak ia kecil di panti asuhan dan tetap terjaga hingga kini ia remaja, pada akhirnya semua orang menyukai Seungkwan dengan sikapnya yang ramah itu.

Keluarga Chwe. Mereka datang untuk menjemput anak angkat yang sesuai dengan keinginan mereka. Dari sejak awal kedatangan keluarga Chwe, para pengasuh sudah menyarankan mereka untuk membawa Seungkwan, intinya adalah membujuk dan memberi mereka doktrin agar mereka menaruh hati kepada Seungkwan. Tidak sia-sia, keluarga Chwe memang memilih Seungkwan sebagai anak yang akan mereka adopsi.

"Seungkwan-ah! Kau sudah selesai? Mereka sudah menunggu."

"N-ne... sudah selesai."

Seungkwan menggendong tas ransel di bahunya dan segera keluar dari kamar-kamar yang sudah selama lebih dari dua belas tahun ia tempati, sebagai ruang tidur dan belajarnya, ketika ia bersedih juga senang, semua memori tersimpan dengan sangat baik di kamar usang itu, usang namun Seungkwan menyayanginya. Dan sebentar lagi, Seungkwan akan meninggalkan rumah yang sudah melindunginya selama ia hidup.

"Baiklah, kau sudah siap, Seungkwan?" tanya sang ibu pengasuh.

"Ne, aku siap."

Entah ada apa, tapi rasanya kata-kata yang baru saja keluar dari bibir Seungkwan terdengar kadaluarsa, terdengar kurang mantap di telinga. Kedua mata Seungkwan dan ibu pengasuh bertemu, seakan ada kalimat yang tidak terucapkan oleh kata-kata. Bagaikan ada angin yang mendorong jiwanya, Seungkwan tidak kuasa untuk beranjak dan memeluk sang ibu pengasuh, seseorang yang sudah menjadi ibunya bagai darah daging sendiri, sahabatnya, tempat di mana Seungkwan berbagi senang atau sedih. Tanpa harus berbalas jasa, Seungkwan tahu ibu asuhnya mencintai Seungkwan dengan sepenuh hati.

Di dalam pelukan sang ibu, Seungkwan berusaha untuk tidak menangis. "Bu, aku pergi dulu."

"Jadilah anak yang baik dan tumbuh menjadi lelaki sejati."

"Aku akan kembali lagi ke sini dan membuat semuanya lebih baik."

"Kami mempercayaimu."

Seungkwan mengangguk, menyimpan kalimat pendek dan sederhana tapi mendalam itu baik-baik di kepalanya. "Oke, aku pergi."

Bersama dengan tas ransel, kenangan, juga dirinya sendiri, Seungkwan meninggalkan panti asuhan itu, segala yang ada di dalamnya. Begitu ia memasuki mobil keluarga Chwe, ia percaya bahwa ini adalah sebuah langkah awal di mana ia akan memulai sebuah kehidupan yang baru, yang ia yakinkan bahwa kebaikan akan menyambutnya.

Keluarga Chwe bukanlah keluarga biasa, dalam arti ada lebih dari satu ras di dalamnya. Tuan Chwe adalah orang asli dari Korea, sementara Nyonya Chwe adalah orang yang berasal dan seratus persen dari Amerika, terlihat jelas dari parasnya.. Hal semacam itu sudah banyak terjadi di Korea, perkawinan campuran, jadi Seungkwan tidak perlu mengkhawatirkan banyak hal tentang ras atau tradisi. Namun, satu hal yang Seungkwan pertanyakan adalah anak mereka.

Apakah anak kandung mereka akan sanggup untuk menerima anggota baru di dalam keluarganya?

Rumah keluarga Chwe tidak terletak di kota, melainkan di daerah pegunungan. Begitu mereka sampai, Seungkwan berpikir rumah mereka yang besar itu adalah sebuah villa yang dapat ditinggali oleh banyak orang, tapi nyatanya mereka hanya berempat di dalam rumah itu. Agak terlihat tua karena modelnya yang seperti rumah Eropa pada jaman dahulu kala; atap yang runcing dan tinggi ke atas, jendela dengan dua pintu yang terbuat dari kayu, lentera pada dinding luar rumah, pagar super tinggi dari besi, halaman dan taman yang luasnya melebihi rumah itu sendiri. Semuanya terlihat sangat asing di mata Seungkwan.

Banyak pertanyaan yang timbul di kepala Seungkwan, tapi rasanya masih terlalu dini untuk menyampaikannya.

"Seungkwan, selamat datang di rumah kami."

Rumah mereka. Seungkwan tidak sabar untuk melihat segala sesuatu yang ada di dalamnya, baik rumah itu sendiri atau halamannya yang nyaris seperti lapangan sepak bola.

Sambil mengucap sepatah, dua patah doa, mereka bertiga memasuki rumah keluarga Chwe, rumah Seungkwan yang baru.

Andwe, mata Seungkwan sempat sulit untuk mempercayai apa yang ia lihat. Rumahnya benar-benar antik, bermodel lama seperti tempat tinggal keluarga bangsawan di masa kolonial. Kayu-kayu tua, lilin, barang antik dan juga kaligrafi yang menghiasi hampir seluruh dinding dari ruangan dan juga mebel di dalamnya. Seungkwan serasa memasuki dunia baru yang ajaib. Intinya rumah ini cukup aneh untuk berada di Korea.

"Kami harap kau betah berada di sini." kata Tuan Chwe. "Pada awalnya sudah pasti sulit bagimu untuk beradaptasi, tapi jangan khawatir, kami akan membantumu jika kau mengalami kesulitan."

"Kamsahamnida, aku sangat menghargai itu." jawab Seungkwan dengan senyuman lega di bibirnya.

"Sofia!" seru Nyonya Chwe ke arah yang lain. Seungkwan mendengar ada ketukan sepatu dari lantai dua. Ternyata seorang gadis kecil yang berlari terburu-buru menghampiri mereka. Bersama dengan wajahnya yang berseri-seri, Seungkwan mulai menyadari bahwa Sofia adalah anak bungsu keluarga Chwe. "Sofia, mana kakakmu?"

"Oppa berada di kamarnya, dia sedang mengerjakan sesuatu." kata Sofia. Dia menoleh ke arah Seungkwan dan tersenyum malu-malu, tapi tidak dapat menyembunyikan bahwa dia dengan senang hati akan menyambut Seungkwan. "Annyeong haseyo, Namaku Sofia Chwe. Kau bisa memanggilku Hangyeol jika itu lebih nyaman untukmu."

"Annyeong haseyo, namaku Boo Seungkwan." Seungkwan menyapa kembali Sofia dengan ramah. "Gwenchana, aku menyukai namamu, Sofia."

Sofia menyembunyikan tangannya di balik punggung, menggoyang-goyangkan tubuhnya tanpa henti karena merasa gugup sekaligus bahagia melihat kedatangan Seungkwan. "Jadi, apakah mulai sekarang kau akan tinggal di sini?"

"Ne, aku akan tinggal di sini bersama kalian. Terima kasih karena sudah mau menerimaku menjadi anggota keluarga yang baru."

Sofia tersenyum lebar dan melihat ke arah kedua orang tuanya. Mereka mengerti, Sofia adalah anak yang memiliki perilaku yang nyaris sama seperti Seungkwan; periang dan rendah hati. Kedatangan Seungkwan merupakan anugerah bagi Sofia, ya... karena Sofia memiliki alasan tertentu. Umurnya masih sebelas tahun, tapi mungkin Sofia akan menjadi orang pertama yang memiliki kedekatan seperti keluarga kandung dengan Seungkwan di dalam rumah Chwe.

"Panggil dia Oppa." kata Tuan Chwe.

"Ne, oppa." Sofia menjawab malu-malu.

"Baiklah," Tuan Chwe menyela percakapan kikuk mereka, "Sofia, kau mau mengantar Seungkwan oppa ke kamarnya? Setelah itu kau boleh membantu eomma mempersiapkan makan malam."

"Tentu saja!" Tanpa diragukan lagi, Sofia sudah pasti bersedia untuk memperkenalkan Seungkwan kepada seisi rumah itu, mungkin juga ia sudah tidak sabar untuk belajar dan bermain bersama dengan Seungkwan, juga untuk menjadi lebih dekat dengan Seungkwan.

"Tuan, Nyonya Chwe, saya-"

"Appa dan eomma." sela Tuan Chwe. "Kau sekarang sudah menjadi anak kami, bagian dari keluarga kami. Seisi rumah ini adalah milikmu juga, begitu pula dengan posisi kita semua di rumah ini. Jadi tolong, anggaplah kami sebagai orang tuamu sendiri."

Tersentuh, sampai Seungkwan tidak dapat mendefinisikan perasaannya dengan kata-kata. Tidak pernah Seungkwan sangka bahwa Tuan dan Nyonya Chwe akan menerimanya dengan setulus hati, seperti darah daging mereka sendiri. Ia teringat akan ibu pengasuhnya di panti asuhan yang mana memperlakukan Seungkwan dengan sama.

"Ne, appa, eomma, aku pergi dulu ke kamar."

Diam-diam Sofia memperhatikan mereka dan tersenyum bak malaikat kecil. Gadis itu memang sudah lama menginginkan sosok yang hangat seperti Seungkwan di dalam lingkup keluarga mereka, makanya kedatangan Seungkwan telah menjadi momen paling spesial di hidupnya.

"Selamat datang di kamarmu, Seungkwan oppa." kata Sofia seraya membukakan pintu kamar untuk Seungkwan.

"Woah..."

Seungkwan tidak sanggup untuk menahan rahangnya agar menetap, ia terlalu takjub dengan suasana kamarnya yang baru. Ternyata tidak hanya di bagian ruang tamu saja, tapi kamarnya pun memiliki nuansa unik seperti di film-film yang sering ia lihat; misterius tapi elegan, kaligrafi yang menciptakan bentuk mozaik dan bunga di setiap mebel kayu jati tua, lampu gantung mewah terbuat dari kristal, tempat tidur yang empuk dan nyaman, karpet asli Maroko, semuanya membuat Seungkwan kehilangan komentar.

Luar biasa. Itu tanggapan Seungkwan. Dia akan tidur di kamar layaknya negeri ajaib ini. Namun, tidak hanya furnitur yang terkesan tua, Seungkwan juga dimanjakan oleh teknologi modern di dalam kamarnya seperti televisi dan permainan console.

"Oppa, kau menyukai kamarmu? Aku yang membereskannya sendiri." kata Sofia.

"Woah, jinjja? Sofia, kau baik sekali. Gomawo." Seungkwan tersentuh.

"Sekarang kamar ini milikmu, kau bebas menggunakannya sesuka hati. Kamar mandinya ada di sana," Sofia menunjuk pintu kamar mandi yang terbuka. Walau hanya sekilas saja, Seungkwan sudah bisa menebak bahwa kamar mandi itu pasti memiliki ciri khas tersendiri yang dapat membawanya ke dunia lain, "oppa boleh mandi terlebih dahulu, setelah itu kita bertemu di bawah untuk makan malam."

"Ne, gomawo Sofia."

Tidak bisa menahan sabarnya, Seungkwan mandi secepat mungkin untuk bertemu anggota keluarga barunya di ruang makan, ia penasaran, hidangan apa yang ibunya masak untuk malam ini, sudah pasti enak. Banyak sekali yang ingin Seungkwan ketahui tentang keluarga ini berhubung kini ia sudah menjadi salah satu anggotanya, tapi pelan-pelan, dan Seungkwan tidak sabar.

Seungkwan yang terlalu cepat atau mungkin rumah ini saja yang terlalu besar? Tidak yakin, bisa saja Seungkwan terburu-buru karena terlalu bersemangat, tapi rumah ini juga memiliki banyak ruangan, sementara anggota keluarganya hanya ada lima, ya sulit. Ia menunggu keluarganya yang lain di ruang tamu, menurutnya di situlah tempat terbaik untuk bertemu secara sopan.

"Hei." suara seseorang menggemparkan jantung Seungkwan. Nyaris saja berteriak.

Ada namja tengah berdiri di lantai dua, tepat di ujung tangga. Tidak tahu kenapa namja itu berdiri di situ dan bukannya turun menghampiri Seungkwan. Parasnya jauh lebih 'bule' ketimbang Sofia, dari jauh pun Seungkwan sudah bisa melihat matanya berwarna hazel seperti emas yang berkilau. Postur tubuhnya bisa dibilang tinggi untuk seorang namja yang memiliki darah Korea, kulitnya seputih susu dan rambutnya berwarna cokelat terang. Butuh waktu agak lama bagi Seungkwan untuk menyadari siapa dia.

"A-annyeong haseyo." Seungkwan buru-buru menyapanya.

Apakah dia Vernon?

"Boo Seungkwan?"

"Ne, namaku Boo Seungkwan."

Kikuk, Seungkwan tidak mengerti kenapa rasanya berbeda sekali dari yang lainnya. Apa mungkin karena Vernon adalah namja dan seumuran dengannya?

Setelah orang tuanya menceritakan tentang anak mereka yang bernama Vernon, Seungkwan khawatir bahwa ia tidak dapat mengimbangi Vernon dengan baik, ia takut persaingan akan terjadi dan membawa perkelahian di antara mereka. Vernon memang terlihat kalem dan dingin pada paras luarnya, tapi namja seperti itu biasanya punya sifat yang tidak bisa ditebak oleh orang lain... mengejutkan.

"Vernon." kata Vernon singkat dari lantai dua, itu mungkin cara berkenalannya. Dia tersenyum, tapi itu membuat Seungkwan takut. "Apa yang kau lakukan di bawah sana sendirian?"

"Uuhh... kupikir ini sudah waktunya makan malam."

"Kau terlalu cepat, kami tidak makan malam jam segini."

Di kepalanya, Seungkwan berpikir kenapa Vernon tidak turun menghampirinya, sekedar melakukan jabat tangan atau setidaknya agar lebih enak dipandang.

"Selamat datang di keluargaku."

"Kamsa hamnida."

Sweater abu-abu dan celana jeans robek-robek, setelan itu tampak cocok dikenakan Vernon. Lagipula, Vernon memiliki penampilan luar yang sempurna, tubuhnya, wajahnya, mengenakan pakaian apapun sudah pasti terlihat keren padanya. Hanya saja berbeda jauh auranya dari Sofia, gadis itu tampak jauh lebih hangat di mata Seungkwan. Jika Sofia mengenakan baju berwarna hitam atau merah marun, sudah pasti ia akan tetap menjadi anak yang periang.

"Dengar," Vernon bilang, "kau mungkin tidak tahu bahwa menerima anggota keluarga baru tidak pernah menjadi hal mudah untukku, tapi jangan khawatir, aku akan berusaha membantu agar kau merasa lebih nyaman."

Oh, itu di luar dugaan.

"Oh iya, kudengar..." Vernon mulai berpidah tumpuan dan berjalan menuruni tangga dengan kedua tangan yang dimasukkan ke dalam saku celana, "kau seumuran denganku?"

"Ne, kita memang seumuran."

Napas Seungkwan berhenti selama sekian detik ketika ia merasa bahwa Vernon malah menjadi terlalu dekat dengannya-jarak di antara mereka.

"Mmm," Vernon mengangguk, "setidaknya kita bisa menjadi lebih dekat dengan umur kita yang sama."

"Kuharap begitu."

"Kau sudah melihat kamarmu?"

"Sudah. Kamarku sangat bagus, Sofia bilang dia yang merapikannya untukku."

"Sofia, dia memang anak yang manis."

Benar, itu juga yang ada di benak Seungkwan ketika ia bertemu dengan Sofia. Si cantik itu, beruntung sekali Seungkwan memiliki adik yang baik hati.

"Jadi..." lanjut Seungkwan, tepatnya agar situasi di antara mereka tidak tenggelam dan menjadi canggung, "kita akan berangkat sekolah bersama-sama setiap hari?"

"Tidak." jawab Vernon cepat. "Kita tidak akan berangkat sekolah bersama."

"Wae?"

"Aku dan Sofia menjalankan home-schooling, jadi hanya kau yang akan berangkat ke sekolah setiap hari."

Mengecewakan. Kenapa orang tuanya tidak menceritakan itu terlebih dahulu kepada Seungkwan? Padahal mimpi Seungkwan adalah berangkat dan pulang sekolah bersama dengan saudaranya, melihat Sofia memakai seragam sekolah, Seungkwan tahu pasti dia akan terlihat cantik sekali dengan seragam sekolah. Begitu juga Vernon, tadinya Seungkwan kira Vernon adalah primadona sekolah, di mana ia diteriaki banyak siswi setiap kali melewati bangsal, badboy juga pantas menjadi imejnya.

"Padahal akan lebih menyenangkan jika kita pergi ke sekolah bersama."

"Aku tahu. Sayangnya tidak." balas Vernon. "Kita bisa melakukan banyak hal menyenangkan bersama di rumah, bukan begitu?"

"Mmm." Seungkwan menangguk setuju.

Kali ini bola mata Vernon tidak diam di satu titik seperti sebelumnya, malah rasanya seperti bola mata Vernon tengah menjamah wajah Seungkwan, terus bergerak dan tidak melewati satupun detail dari wajahnya. Ini justru membuat Seungkwan merasa lebih ketakutan untuk menatap wajah Vernon, di tambah lagi ada seringaian asing di bibirnya, yang membuat Vernon semakin tampan tapi justru menakutkan.

"Kau terlihat lelah."

"Mu-mungkin... karena aku baru sampai."

"Begitu?" Vernon maju satu langkah dan mendekatkan bibirnya ke pipi Seungkwan. "Makanlah dengan baik dan istirahat yang cukup."

Ugh... yang tadi itu apa? Kenapa Vernon harus berbicara menggunakan suara yang sangat dalam dan bisikan? Rasanya juga tidak perlu ia berbicara sedekat itu di samping wajah Seungkwan. Sungguh, kali ini Seungkwan merasa bahwa Vernon tidak sepenuhnya namja sempurna seperti yang ia pikirkan sebelumnya. Mudah-mudahan saja yang tadi itu hanya sekedar kebiasaan yang belum Seungkwan pahami.

x

x

x

x

x

Senin, itu artinya sekolah. Sebenarnya bukan karena hari Senin, siapapun bisa meliburkan diri di hari Senin dari kegiatan mereka, tapi hari ini bukanlah hari Senin biasa, melainkan hari pertama Seungkwan masuk ke sekolah yang baru.

Selamat tinggal sekolah jelek, sekarang Seungkwan bisa belajar dengan baik di sekolah baru yang elit dan berklaster tinggi. Dengan harapan, segala fasilitas yang tersedia di sekolah barunya akan menjadikan Seungkwan siswa yang berkualitas dan juga lebih baik. Namun, Seungkwan masih menyayangkan keadaan bahwa kedua saudaranya tidak menghadiri sekolah umum, padahal belajar di sekolah itu asyik sekali, bertemu teman-teman, belajar bersama, sosialisasi.

Ya... mungkin tidak semua orang bisa hidup di habitat yang sama.

"Aduh, masih lama." kata Seungkwan. Ia menengok ke arah jam dinding besar yang bertengger di tembok bagian luar gedung sekolahnya, kurang lebih masih harus menunggu lima belas menit sampai bis yang selanjutnya datang. Padahal ia sudah tidak sabar untuk menceritakan segala macam hal yang terjadi di hari pertama sekolah kepada orang tuanya, mungkin juga Sofia, Vernon kelihatannya tidak akan tertarik dengan cerita 'sekolah'.

"Permisi," Seungkwan menyela sedikit orang yang tengah berdiri di sampingnya, "apa kau tahu bus terdekat selanjutnya datang pukul berapa?"

Orang itu melihat jam tangannya. "Masih lima belas menit lagi."

Argh, tidak ada harapan.

"Kamsa hamnida."

"Uh, kau murid baru itu bukan? Yang datang dari panti asuhan?"

"N-ne..." jawab Seungkwan ragu-ragu. Orang ini... namja ini... kenapa dia tahu kalau Seungkwan datang dari panti asuhan? Bahkan saat Seungkwan sudah diadopsi oleh sebuah keluarga pun ia masih menyebutnya sebagai anak panti asuhan.

"Wow, kau cukup pintar juga ya untuk masuk ke sekolah ini." antara memuji atau menyinggung, Seungkwan tidak dapat membedakannya. "Lee Seokmin." namja itu mengulurkan tangannya.

"Boo Seungkwan." Seungkwan menjabat tangan namja itu.

"Kau boleh memanggilku Dokyeom." katanya. "Kau tinggal di mana?"

"Di atas sana... aduh apa ya namanya..."

Dokyeom mengangkat alis sebelah kanannya. "Kau ini bagaimana? Rumah sendiri masa tidak tahu."

"Aku baru pindahan, makanya tidak tahu."

"Oh." Dokyeom mulai mengerti. "Sudah tidak di panti asuhan lagi?"

"Benar. Sudah ada keluarga yang mengadopsiku minggu lalu."

Oops! Sebaiknya Seungkwan menahan lidahnya untuk tetap berbicara. Walaupun satu sekolah, bukan berarti bisa dipercaya, mereka bahkan belum lima menit saling mengenal. Yang Seungkwan tahu, bersekolah di sekolah yang elit di Korea tidaklah mudah; rumor cepat menyebar ke seluruh penjuru sekolah, atau kemungkinan buruk yang lainnya, jadi sebaiknya Seungkwan diam.

Banyak hal yang ingin Dokyeom ketahui dari Seungkwan, tapi sebisa mungkin Seungkwan tetap sadar dan tidak kelepasan mengatakan sesuatu yang tidak seharusnya keluar dari mulutnya. Sampai akhirnya bus datang, Seungkwan mulai merasa lega karena tidak perlu mendengar pertanyaan tak berjawab.

"Oh, busnya sudah datang."

"Mmm, hati-hati ya."

"Sampai besok, Dokyeom."

Huft... akhirnya. Satu kalimat saja bisa menghancurkan reputasi Seungkwan di sekolah akibat anak iseng yang menyebarkan rumor.

Tidak ada halte bus di depan rumah Seungkwan, paling dekat mungkin satu kilometer dari rumahnya. Jadi Seungkwan terpaksa harus berjalan sepanjang satu kilometer jauhnya untuk mencapai rumah. Melelahkan, tapi Seungkwan senang karena dengan begitu akan lebih mudah baginya untuk menghafalkan jalan.

Begitu Seungkwan sampai di depan rumah, ia masuk melewati pagar tinggi dan besar itu. Herannya, Seungkwan merasa seperti ada seseorang yang sedang memperhatikannya, entah darimana. Ia melihat ke seberang jalan dan menemukan seorang namja di balik jendela dari rumah seberang tengah memperhatikannya dari balik tirai. Tidak begitu jelas, Seungkwan juga tidak yakin apakah namja itu benar-benar melihat ke arahnya atau hanya pikiran Seungkwan saja.

Tetap saja itu membuat Seungkwan tidak tenang, maka dari itu Seungkwan cepat-cepat masuk ke kamar.

"Aku pulang."

Tidak ada jawaban. Apa mereka semua sedang pergi?

"Baiklah, kalau begitu sampai bertemu lusa! Pastikan kau mengerjakan PRmu."

"Ne, sonsaengnim."

Ada Vernon dan seorang pemuda di sampingnya, mereka terlihat sedang bercakap-cakap tentang pekerjaan rumah dan juga pelajaran sekolah. Ketika pemuda itu menuruni tangga, ia tersenyum kepada Seungkwan secara sekilas, Vernon membuntuti di belakangnya.

"Hati-hati di jalan, sonsaengnim." Vernon menutup pintu rumahnya. Ia berbalik dan menghampiri Seungkwan. "Kau sudah pulang."

"Eo. Apa tadi itu gurumu?"

Vernon bergumam dan mengiyakan. "Bagaimana hari pertama sekolah?"

"Menyenangkan." intonasi Seungkwan seketika meninggi. "Aku bertemu banyak sekali teman yang baik, tapi ada beberapa juga yang agak meng'asing'kanku karena aku datang dari panti asuhan."

"Salah satu keuntungan home-schooling," kata Vernon, "kau tidak akan bertemu dengan orang-orang menyebalkan seperti mereka."

"Benar juga sih, tapi secara keseluruhan mereka baik, kok. Aku menyukainya."

Tidak banyak reaksi yang diberikan oleh Vernon, hanya senyuman dan juga anggukan seakan ia mengerti dengan semua yang Seungkwan bicarakan.

"Oh iya, kemana eomma, appa dan Sofia?"

"Appa bekerja, eomma sedang belanja, Sofia sedang tidur. Nanti sore gurunya akan datang." jawab Vernon. "Kau ada PR? Mau main PS bersama di kamarku?"

Sepertinya menarik, kebetulan juga ini masih hari pertama sekolah Seungkwan, belum ada PR apapun yang masuk ke buku tugasnya. Sedikit mendekatkan diri dengan Vernon dengan cara ini mungkin tidak apa-apa.

"Boleh juga. Kalau begitu aku ganti baju dulu."

"Aku tunggu di kamarku."

x

x

- SKIP -

x

x

Tok! Tok!

"Masuk!"

Begitu Seungkwan membuka pintu kamar Vernon, yang ia lihat adalah sebuah kamar yang sangat rapi, bernuansa lebih kebiruan dan cerah dari kamarnya sendiri. Secara keseluruhan, konsepnya masih sama, "khas rumah Chwe", tapi sentuhan warnanya saja agak sedikit berbeda dan membuat kamar Vernon menjadi lebih segar.

"Wow... kamarmu rapi sekali."

"Memangnya kamarmu tidak?"

"Kau jauh lebih rapi."

Mereka berdua duduk di atas tempat tidur Vernon dan memegang console masing-masing.

"Mau main apa?" tanya Vernon.

"Terserah. Aku belum pernah memainkan hal semacam ini sebelumnya."

"Hfft, aku cari game-nya dulu." Vernon berdiri lagi dan menghampiri meja di bawah televisinya yang berisikan tumpukkan game.

Sementara itu, Seungkwan terdiam di atas tempat tidur dan diam-diam memperhatikan seisi kamar Vernon. Banyak sekali barang yang terlalu aneh untuk dipajang di dalam kamar, misalnya skeleton yang berdiri di samping televisinya, bagian anatomi manusia, tumpukan-tumpukan kain di rak buku, ada juga telescope di dekat jendalanya. Ini malah terlihat seperti laboratorium dan bukannya kamar.

"Kamarmu keren juga ya." Seungkwan berkomentar.

"Menurutmu begitu?"

"Iya. Kau punya peralatan yang lengkap, dari biologi sampai astronomi."

"Aku membutuhkannya untuk belajar, di rumahku tidak ada lab seperti di sekolah, makanya semua kusimpan di kamarku."

"Apa di kamar Sofia juga ada macam-macam barang seperti ini?"

"Ada. Rumah Barbie juga termasuk, kau mungkin tertarik."

"Eeh, kau ini." mereka berdua tertawa bersamaan. "Itu toples-toples apa?"

"Oh itu..." Vernon melirik sedetik ke arah rak yang Seungkwan tunjuk di sisi lain kamarnya. "Guruku sering membawakan banyak hal untuk dijadikan percobaan. Aku menyimpan semuanya di sana, menandakan bahwa percobaanku berhasil."

"Menarik. Kau pasti pintar dalam bidang biologi." Seungkwan semakin penasaran hingga ia menghampiri rak yang dipenuhi dengan toples berjajar itu. Ia perhatikan satu persatu, tapi mungkin ilmu yang dimiliki Seungkwan belum cukup untuk mengerti semua yang terpampang di sana.

"Kau suka game ini?" tanya Vernon.

"Tidak tahu, tapi di situ tertera sembilan belas tahun ke atas."

"Siapa peduli? Ayo main."

Setelah keduanya setuju, mereka mulai bermain bersama.

Permainan ini kerap kali membuat Seungkwan menutup matanya atau nyaris menjerit. Konten yang termasuk dalam permainan ini bukanlah hal yang wajar untuk dilihat oleh remaja seumurannya, ya... belum. Pembunuhan, pornografi, kekerasan, darah, mungkin Seungkwan dan Vernon sudah pernah melihatnya di suatu tempat yang lain, tapi kali ini benar-bena intense tanpa sensor.

"Ugh..." Seungkwan menutup matanya ketika adegan yang tidak diinginkan muncul di layar. "Tidak bisakkah kita melewati adegan yang ini?"

"Wae? Ini normal."

"Ya, tapi aku belum cukup umur untuk melihatnya."

"Bukannya laki-laki paling suka adegan yang seperti ini?" goda Vernon. "Aku juga mau melakukan adegan seperti ini, mungkin menyenangkan."

"Aish, jangan bicara yang tidak masuk akal!"

Hanya di antara mereka, lelaki dan lelaki, Seungkwan dan Vernon, tapi tetap saja rasanya aneh ketika Vernon mengatakan hal semacam itu langsung kepadanya.

Lewat dari adegan yang Seungkwan benci, datang lagi adegan yang menurutnya mengganggu. Kali ini bukan sesuatu yang berbau dengan kesenangan pria, melainkan kekerasan yang menimbulkan darah dan eksplisit lainnya. Bagi Seungkwan, darah yang muncrat ke layar TV terlihat begitu nyata sampai dia ketakutan.

"Darahnya merah sekali. Siapapun animatornya dia pasti sangat pandai dalam berkhayal." kata Seungkwan.

"Segar ya warnanya." tutur Vernon. "Di kenyataannya jauh lebih keren."

"Kalau aku melihat adegan seperti ini di kenyataan, aku lebih baik mati bunuh diri saja."

"Yah... tidak asik."

x

x

x

x

x

x

x

x

x

x

- To be continued -