Tak ada sepatah katapun yang dapat kauucapkan ketika lidah hangatnya menyapu tubuhmu. Atas-bawah, kanan-kiri. Tidak ada yang berhasil luput dari pandangan pemuda berambut biru tua yang tengah menjamahmu. Ingin kaukeluarkan rintihan, namun apa daya. Kau tidak bisa.
Tsurugi Kyousuke. Namanya berdenging di telingamu lebih lama daripada yang seharusnya, meski ia tidak menyadarinya. Ia bahkan tak tahu kau mengetahui namanya.
Ia bahkan tidak mengetahui namamu.
Mata kuning tua yang sempat menatapmu tadi ketika ia merobek pakaianmu, kini terpejam. Terlihat jelas bahwa ia menikmati dirimu. Kulitmu yang halus dan agak cokelat, serta cairanmu yang manis dan meleleh jika lidahnya menyapumu, ia merasakan semuanya dengan senang hati. Panasnya cuaca hari itu membuatnya seakan tergila-gila padamu, padahal kau yakin ia tidak mencintaimu. Sama sekali tidak.
Dia menyukaimu—menyukai rasa tubuhmu di bibirnya, memang, namun ia tidak mencintaimu. Kenyataan pahit itu kauhadapi dengan berat hati. Lagi pula, siapakah engkau sampai ia bersedia mengingat namamu? Kau hanyalah sesuatu, makhluk yang tidak luar biasa; kau bahkan tidak bisa bicara. Kalaupun kau bisa, ia tidak dapat memahamimu. Kalian berbeda, kalian tidak ditakdirkan untuk terus bersama.
Cairanmu menetes di bajunya. Ia berhenti sejenak, melirik titik basah itu, kemudian memutuskan bahwa itu tidak penting. Toh ia bisa membereskannya nanti. Kemudian ia menatapmu lagi untuk sepersekian detik, dan dengan ekspresi yang sulit ditebak ia melanjutkan kegiatannya yang tadi.
Masih tidak ada yang bicara.
Kau hanya bisa merasakan kehangatan merasuki tubuhmu. Kau tahu, setelah ini kehangatan tersebut akan meninggalkan tubuhmu, dan kau tidak akan memiliki apa-apa lagi.
Kemudian, itulah yang terjadi.
Habislah kau.
"Kyousuke-kun, kau ke mana saja? Ayo! Waktunya latihan lagi!" Terdengar suara seorang pemuda memanggilnya. Ia berhenti, menatap sang asal suara, kemudian kembali menatapmu. Kau melihat sebersit ekspresi kepengin yang amat sangat di matanya. Kau tahu, dia sangat ingin benar-benar menjelajahimu sampai habis. Apa yang harus dilakukannya, mengabaikan latihan atau kembali menikmati waktunya bersamamu?
Kau menatapnya dengan penuh harapan kosong. Ia tidak memilihmu.
Ia memilih latihan. Keputusan yang terpaksa kauturuti dengan berat hati. Ia meninggalkanmu sendirian, di kursi sebuah taman, menyesali diri. Apa yang telah kauperbuat sehingga mendapat hukuman seperti ini? Kau sendirian sekarang.
Sendirian.
Sendirian!
Tak berapa lama setelah ia pergi, datanglah seorang pria tua ke arahmu. Oh, tidak. Ini mimpi buruk. Jangan, kau membatin, takut. Jangan biarkan dia—
Ia meraihmu. Kau menatapnya dengan ketakutan yang amat sangat, namun ia tidak balik menatapmu. Ia bahkan mengernyitkan dahi, jijik melihatmu basah kuyup—entah itu karena cairanmu atau bekas jilatannya tadi. Ia menggenggam kakimu, lalu tanpa berkata apa-apa ia melemparmu ke dalam tempat sampah Dan ia berlalu.
Ya, sampah. Itukah yang sekarang dilihat semua orang darimu?
Tsurugi telah memanfaatkanmu sampai tetesan terakhir, namun ia bahkan tidak menolongmu ketika kau sangat membutuhkannya. Dunia memang kejam.
Dan di sanalah kau selalu berakhir. Di tempat sampah. Meski kini kau tidak sendirian lagi, kembali ke pabrik itu dan dicetak, diberi pakaian, kemudian dijual kembali bukanlah hal yang ingin kaujalani seumur hidupmu. Terkadang kau hanya berharap seseorang akan mematahkanmu sampai berkeping-keping, kemudian menguburmu di tanah agar kau tidak kesakitan lagi.
Siapa bilang menjadi sebatang es krim itu mudah?
