Tittle : Saigomade (Until The End)
Author : Vanilla Sky
Jeon Jung Kook; Kim Tae Hyung (Jeon Tae Hyung)
Hurt/comfort; shou-ai; bromance; romance
VKOOK punya saya! Cerita punya saya! Jika terdapat kesamaan judul, plot dan sebagainya itu tidak disengaja.
Saigomade (Until The End) © 2015
Vanilla Sky present
Chapter 1
Tae Hyung kecil terus mendekap tubuh seorang bocah berusia tiga tahun. Sesekali isakan itu lolos dari bibir Tae Hyung kecil. Dengan telapak tangan menutup sepasang telinga Jung Kook, Tae Hyung sesekali menatap wajah polos adik kecilnya itu.
"Tidak apa-apa, semua akan baik-baik saja, Kook-ie."
Untuk ukuran bocah berusia lima tahun, Tae Hyung memang belum mengerti apa yang tengah terjadi pada kedua orang tuanya saat ini. Hanya saja ia tahu jika umpatan yang keluar dari bibir sang Papa adalah hal yang sangat kasar. Tae Hyung samar-samar dapat mendengar jika sang Mama berteriak kemudian terisak hebat di dalam kamar. Dentuman pintu menandakan jika Papa mereka pergi seperti biasa.
"Ayo, Kook-ie."
Tae Hyung kemudian mengulurkan tangannya dan disambut dengan lingkaran jemari mungil Jung Kook menggenggam telunjuknya erat. Dengan langkah lambat, kedua bocah belia itu berjalan menuju kamar sang Mama. Satu hal yang mereka tangkap adalah... pecahan bingkai foto yang berserakan di lantai. Isi bantal bulu angsa yang berhamburan, serta tubuh ringkih sang Mama yang meringkuk di sisi bawah tempat tidur.
"M-mama..." suara Tae Hyung bergetar, bocah itu pun terisak lirih saat mendapati wajah wanita kesayangannya itu penuh lebam.
"S-sayang Mama..."
Tae Hyung segera menghambur memeluk tubuh sang Mama, begitu pun dengan Jung Kook yang entah mengapa kini ikut menangis kencang.
"Kenapa kalian menangis, eum?"
Dibelainya penuh sayang dua wajah malaikatnya─Tae Hyung dan Jung Kook. Kemudian, ia mencium sepasang pipi gembil milik kedua putra kesayangannya.
"Mama bermain perang-perangan lagi dengan Papa, ya?" itu Jung Kook yang bertanya, dan sang Mama hanya tersenyum getir serta mengangguk lemah.
"Apakah itu sakit, Mama?" Tae Hyung mengusap lebam di sudut pelipis Mamanya.
"Tidak, Tae Hyung-ie. Mama 'kan sangat kuat."
Tae Hyung yang masih belum mengerti hanya diam dan mengangguk. "Tae berjanji, jika sudah besar nanti Tae akan selalu melindungi Mama dan Kook-ie."
"Kook-ie juga akan melindungi Mama dan Hyung," ucap Jung Kook polos.
"Terima kasih kesayangan, Mama."
14 years ago...
Jeon Jung Kook, si brandal sekolah yang selalu melanggar peraturan. Membolos dan hanya akan duduk manis di dalam kelas pada waktu-waktu tertentu. Rambut hitamnya kini berwarna magenta dan bukan pihak guru tidak menegurnya kali ini, hanya saja mereka lelah berhadapan dengan Jung Kook. Percuma menceramahi Jung Kook dan membuang tenaga mereka jika Jung Kook sendiri pasti akan melakukan hal yang sama di hari berikutnya.
Beruntunglah Jung Kook, meskipun si brandal ini adalah makhluk paling memuakkan bagi seluruh warga sekolah, akan tetapi, pemuda dengan bentuk bibir unik ini adalah salah satu siswa yang memiliki otak jenius. Hanya, Jung Kook saja yang terlalu malas menggunakan otaknya, ia lebih senang memakai otak jeniusnya untuk memikirkan bagaimana dirinya membalas dendam pada kakak kelasnya yang sialan karena telah membuatnya babak belur kemarin sore.
"Lebam ini, apa kau berkelahi lagi, Kook?"
Tae Hyung, satu-satunya yang sampai saat ini setia menemani Jung Kook. Lain Jung Kook, lain pula Tae Hyung. Usia Tae Hyung memang dua tahun berada di atas Jung Kook. Tapi kelakuan Tae Hyung berbanding terbalik dengan Jung Kook─sang adik.
Tae Hyung adalah salah satu siswa kebanggaan dan beberapa kali mendapatkan penghargaan di berbagai olimpiade. Bukankah seharusnya siswa teladan seperti Tae Hyung tidak berada sedekat ini dengan Jung Kook si brandal? Sayangnya, mereka memang di takdirkan untuk menjadi saudara sedarah.
"Biar kuobati. Ayo ke ruang kesehatan," ajak Tae Hyung yang kini menarik lengan Jung Kook.
"Hyung, aku bisa berjalan sendiri. Lepaskan tanganmu," rengek Jung Kook membuat Tae Hyung membalikkan tubuhnya dan memberi isyarat agar Jung Kook diam dan hanya mengikutinya.
Pintu ruang kesehatan terbuka, Tae Hyung membawa Jung Kook pada salah satu ranjang dan menyuruh pemuda itu duduk; sementara dirinya meminta kotak P3K pada suster Ahn yang hari ini bertugas.
"Jung Kook berkelahi lagi, Tae?"
Tae Hyung hanya terkekeh. "Begitulah, suster Ahn. Anda seperti tidak tahu Jung Kook saja."
"Dan kau yang harus merawat luka-lukanya lagi?"
"Itu memang sudah tugas saya."
Suster Ahn hanya menggeleng heran. Wanita itu dan bahkan seluruh penghuni sekolah memang selalu bertanya-tanya, mengapa Tae Hyung dengan Jung Kook seperti langit dan bumi? Jika dilihat dari perbedaan karakter mereka yang sangat mencolok, pasti keduanya tidaklah cocok menjadi sepasang kakak beradik. Hanya saja, dari kacamata mereka yang melihat kedekatan Tae Hyung dan Jung Kook, bisa disimpulkan bahwa Tae Hyung memang pelengkap manis hidup Jung Kook─di mana Jung Kook sendiri akan sangat patuh dan hanya mendengarkan apa saja yang dikatakan Tae Hyung. Ajaib bukan?
"Ini saya pinjam dulu, suster Ahn."
"Setelah selesai menggunakannya, kau bisa letakkan itu di atas mejaku saja, Tae. Hari ini aku harus pulang cepat. Tak apa 'kan jika kalian kutinggal?"
Tae Hyung mengangguk. "Tidak apa, suster. Terima kasih banyak."
Setelahnya, Tae Hyung berjalan menuju tempat di mana Jung Kook menunggunya. Si tampan yang mempunyai senyuman sesejuk angin musim semi itu hanya menghela napas manakala ia mendapati Jung Kook tertidur dengan sangat lelap.
"Dasar anak nakal. Tapi, jika kau seperti ini, kau jauh lebih manis, bodoh, " dengan hati-hati, Tae Hyung membersihkan luka bengkak di pipi Jung Kook. "Berhentilah menghukum dirimu seperti ini, Kook-ie..."
"Tae Hyung, Jung Kook berkelahi lagi dengan Sung Jae di belakang sekolah!" teriak Il Hoon yang berlari dengan susah payah.
"Aish! Bocah itu, sebenarnya apa mau Jung Kook!" Tae Hyung menggeram kesal. habis sudah kesabarannya sekarang.
Tanpa menghiraukan Il Hoon yang masih mengatur napasnya, Tae Hyung segera berlari menuju tempat di mana Jung Kook berada. Tae Hyung samar-samar dapat mendengar umpatan kasar Jung Kook yang kini tengah memukul wajah Sung Jae tanpa ampun.
"Hentikan, Jeon Jung Kook!" teriak Tae Hyung membuat kepalan tangan Jung Kook tertahan di udara.
Jung Kook menoleh pada Tae Hyung yang menatapnya dengan pandangan yang sulit diartikan. Ini memang bukan pertama kali Tae Hyung mendapati dirinya tengah berkelahi. Dan tiba-tiba...
"Awas Kook!"
Bugh. Tubuh Jung Kook terhempas di tanah saat Sung Jae berhasil memukul kepalanya dengan sebuah batu berukuran cukup besar. Tentu saja semua siswa yang melihat itu memekik ngeri saat tubuh Jung Kook benar-benar tak bergerak dengan darah yang mengalir dari lukanya.
"Apa yang aku lakukan..." Sung Jae menatap tangannya yang berlumuran darah. Ia memang kesal pada Jung Kook, tapi ini benar-benar diluar kendalinya. Ia tak bisa mengendalikan dirinya hingga akhirnya ia memukul kepala Jung Kook. "Tae... aku..."
Tae Hyung menatap Sung Jae, namun ia tak memberikan reaksi apapun pada pemuda yang bergetar dihadapannya itu.
"Kook-ie..." tangan Tae Hyung bergetar hebat, kejadian mengerikan di masa lalu membuatnya tak bisa merasakan kakinya menapak di tanah. Ia bersimpuh, meraih tubuh Jung Kook yang tak bergerak sama sekali. "Bangunlah..."
.
.
.
Di sinilah Tae Hyung berada, menatap tangannya yang berlumuran darah Jung Kook yang telah mengering. Tae Hyung tak bergerak sedikit pun dari tempatnya. Menatap pintu kaca ruang gawat darurat dihadapannya.
"Tidak apa-apa, Tae. Ini bukan salahmu, Nak."
Wanita paruh baya itu mengusap lembut kepala Tae Hyung, membuat si tampan menoleh dengan wajah yang begitu menyedihkan. Tae Hyung memang banyak menangis hari ini, kelopak matanya terlihat bengkak dan memerah.
"Ini yang aku takutkan, Ma..." Tae Hyung kembali terisak.
Kembali, wanita itu memeluk tubuh Tae Hyung yang bergetar hebat. "Tidak akan terjadi apa-apa pada adikmu, sayang. Jung Kook adalah anak yang kuat. Percaya pada Mama, eum."
Akhirnya, saat pintu terbuka, sebuah ranjang rawat di dorong oleh beberapa perawat pria. Tae Hyung segera berlari begitu tahu itu adalah Jung Kook.
"Bagaimana keadaan Jung Kook, dokter?" tanya Tae Hyung saat dokter yang menangani Jung Kook keluar dari ruang gawat darurat.
"Tidak apa-apa, Nak. Jung Kook baik-baik saja. Untunglah pukulan itu tidak mengenai tempurung belakang kepalanya hingga retak. Kami hanya memberikan beberapa jahitan pada luka sobeknya saja. Tidak perlu khawatir, dia akan baik-baik saja."
Tae Hyung menghela napas lega, tatapannya terpaku pada sosok yang kini terbaring lemah di atas ranjang rawat. Tae Hyung mengikuti para suster yang membawa Jung Kook menuju ruang rawat.
Jung Kook masih tertidur karena pengaruh obat bius. Di tangannya menancap jarum infus, dan wajah Jung Kook banyak terdapat noda memar di sana-sini. Dan kepalanya, lilitan perban menghiasi di sana. Jung Kook bernapas dengan teratur, dan sesekali Tae Hyung hanya menghela napas lega saat Jung Kook baik-baik saja.
"Brandal kecil menyebalkan. Tak bisakah sehari saja tak membuat Hyung khawatir, Kook..."
Ada yang berbeda dengan Tae Hyung sejak Jung Kook pulang dari rumah sakit. Jung Kook akan menemukan kakaknya itu tersenyum aneh seorang diri. Bahkan, Jung Kook pun kerap kali menemukan Tae Hyung yang terus menatap layar ponselnya dan kemudian terkekeh seperti orang gila. Jung Kook sebenarnya penasaran, hanya saja ia enggan bertanya apapun jika bukan Tae Hyung yang memulai pembicaraan. Jeon Jung Kook memang seperti itu, dingin dan sangat menyebalkan.
Malam ini Tae Hyung meminta Jung Kook untuk tidur bersamanya. Dan sekarang keduanya tengah duduk menyandar pada pembatas balkon kamar Jung Kook.
"Kook-ie, apa kau pernah suka dengan seseorang?"
Jung Kook menoleh pada Tae Hyung yang tengah menatapnya dengan mata berbinar. "Maksudmu pada seorang gadis?"
Tae Hyung mengangguk. "Ya, pada seorang gadis. Apa kau pernah jatuh cinta?"
Jung Kook menatap Tae Hyung penuh selidik, memandangi saudara kandungnya itu dengan tatapan heran. Benarkah ini Tae Hyung kakaknya?
"Kau tidak sedang mengigau 'kan Hyung? Atau Hak Yeon Hyung tak sengaja memukulmu dengan tongkat baseball saat kalian bermain tadi?"
"Ey, aku masih waras dan sehat, Jeon Jung Kook!"
Jung Kook kemudian terkekeh dan menarik bibir Tae Hyung gemas. "Hentikan rajukanmu itu, Tae-Tae Hyung! Menjijikan!"
"Ya! Dasar adik kurang ajar!" dengan brutal Tae Hyung menggelitik pinggang Jung Kook, membuat pemuda berbibir unik itu berteriak heboh.
"Ampun, Hyung! Ampun... haha... haha. Baiklah, cepat katakan siapa yang berhasil merebut hati Hyung kesayanganku ini?" Tae Hyung segera menghentikan aksinya menggelitik pinggang Jung Kook dan kembali pada posisi semula; duduk menyandar dengan arah pandang tetap tertuju pada sang adik.
"Teman sekelasmu."
Jung Kook mengernyit. "Teman sekelasku? Siapa? Ji Yeon? Hyun Ah? Seung Yoon atau..."
"Hyun Yeon."
Jung Kook membatu di tempatnya. Tatapannya masih tetap memandang wajah Tae Hyung yang kini merona. Shin Hyun Yeon, gadis populer di kelasnya. Siswi pintar dengan segudang prestasi─sama dengan Tae Hyung. Bukankah keduanya akan terlihat cocok satu sama lain jika di lihat dari sisi manapun? Jung Kook tersadar dari lamunannya dan tersenyum samar.
"Kau menyukai, Hyun Yeon?"
Tae Hyung hanya mengulum senyum. "Ya, Kook. Bagaimana menurutmu?"
"Cocok. Apa kau perlu bantuanku, Hyung?"
Tae Hyung kini menggeleng lembut dan mengusap perlahan surai magenta milik Jung Kook yang tertiup angin. "Tidak perlu. Besok aku akan mengajaknya berkencan, dan saat itu juga akan aku utarakan perasaanku pada, Hyun Yeon."
"Semoga berhasil, Hyung."
Jung Kook bergerak gelisah, pasalnya Tae Hyung belum pulang sejak kakaknya itu berpamitan akan mengajak Hyun Yeon─gadis yang merupakan teman sekelasnya─ke taman kota. Bahkan kini Jung Kook semakin khawatir saat jam analog di dinding menunjukkan pukul sepuluh malam. Biasanya Tae Hyung sudah terlelap di waktu-waktu seperti ini. Kemana sebenarnya Tae Hyung? Apakah kakaknya itu tersesat? Atau...
"Mama, aku pergi mencari Tae Hyung sebentar!" Jung Kook kemudian menyambar kunci motornya, dan meraih mantel kulit yang tersampir di atas sofa.
Dengan kecepatan penuh, Jung Kook terus melajukan motornya dan sesekali melirik ke sisi trotoar atau pun kedai di pinggir jalan yang biasa ia kunjungi bersama Tae Hyung. Jung Kook segera menepikan motornya saat menemukan siluet tubuh mirip Tae Hyung yang tengah duduk dengan wajah menunduk.
"Hyung!"
Tae Hyung kemudian menengadahkan wajahnya, menatap Jung Kook yang hanya memandangnya dingin. Ia tahu jika saat ini Jung Kook pasti marah padanya. Tae Hyung yakin jika sebentar lagi Jung Kook pasti akan menjadi seperti Mama yang cerewet ketika mencemaskannya.
Namun, satu hal yang Tae Hyung sadari berbeda dari Jung Kook malam ini. Adiknya itu justru hanya duduk disampingnya, tanpa mengeluarkan sepatah kata pun setelah memanggilnya tadi.
"Kook..." Tae Hyung memberanikan diri menoleh dan menatap Jung Kook yang diam tak bergeming.
"Kau ini bodoh atau apa? Mengapa berkencan hingga larut seperti ini? Apa kau tahu jika aku sangat mencemaskanmu, Hyung?" ucapan Jung Kook masih tanpa ekspresi. Jung Kook pun kali ini lebih memilih berbicara namun tak menatap Tae Hyung barang sedikit pun.
"Maafkan aku," hening, hanya itu yang di ucapkan Tae Hyung. Sementara Jung Kook sendiri terus menghela napasnya dalam. Tae Hyung dapat melihat jika sejak tadi adik kesayangannya itu berusaha meredam emosinya. Buktinya tangan Jung Kook terus mengepal dan gemetar.
Tae Hyung menggenggam tangan Jung Kook erat. "Saat kau kecil, jika kau sedang merajuk dan marah padaku, biasanya aku akan menggenggam tanganmu seperti ini."
Jung Kook lalu menatap Tae Hyung. "Dan kemudian setelahnya aku akan menangis dan memukulmu."
Tae Hyung terkekeh dan membalas tatapan Jung Kook yang kini berubah lembut. "Lalu aku akan menarik bibirmu hingga kau berhenti menangis."
Jung Kook kemudian ikut terkekeh, dan membalas genggaman tangan Tae Hyung. "Kemudian Mama akan memeluk kita, dan meminta kita untuk berbaikan."
Tae Hyung mengangguk. "Tapi sayangnya aku yang selalu meminta maaf padamu lebih dulu, walaupun kau yang sebenarnya salah."
Kembali hening, keduanya kembali larut dalam lamunan masing-masing. Tae Hyung menyandarkan kepalanya di bahu Jung Kook, kemudian kelopak matanya perlahan tertutup saat angin musim dingin menerpa permukaan kulit wajahnya.
"Maaf sudah membuatmu cemas." Jung Kook masih diam. "Maafkan Hyung, Kook."
Kini, genggaman tangan Jung Kook semakin erat; menandakan bahwa kecemasannya belum hilang sepenuhnya. "Aku hanya takut kau hilang seperti dulu."
Tae Hyung tahu apa yang Jung Kook rasakan saat ini. Dipisahkan, di mana Tae Hyung bersama sang Mama pergi meninggalkan Jung Kook bersama sang Papa. Pasca perceraian kedua orang tua mereka, Jung Kook tinggal bersama sang Papa di Busan. Sementara Tae Hyung di asuh oleh sang Mama dan pindah ke Seoul.
Sejak kepergian sang Mama, Jung Kook kecil kerap kali jadi bahan pelampiasan Papanya ketika pria tua itu mabuk. Jung Kook kecil kala itu sering mendapat pukulan jika sang Papa kalah berjudi. Terbukti, saat Papanya meninggal dunia dan hak asuh atas Jung Kook kembali ke tangan sang Mama, Jung Kook kerap kali bertindak sesuka hati. Berkelahi, mencuri, dan bahkan sempat masuk panti rehabilitasi karena ketergantungan terhadap obat-obatan terlarang.
Tae Hyung perlahan mengusap lembut bahu Jung Kook dengan tangan kanannya. Mencoba menyampaikan kalimat yang tak bisa ia ucapkan jika Jung Kook berada dalam kondisi cemas seperti ini.
"Aku berjanji tidak akan membuatmu cemas lagi."
Jung Kook kini menatap Tae Hyung dengan iris matanya yang terlihat sendu. Tidak ada yang tahu mengapa ekspresi Jung Kook sangat sulit ditebak. Bahkan Tae Hyung sendiri kerap kali tak bisa membaca apa yang tengah Jung Kook pikirkan.
"Ayo pulang, Hyung. Mama pasti sangat cemas jika kedua putra tampannya belum pulang sampai saat ini."
Seperti de javu, Tae Hyung mengaitkan jemarinya pada telunjuk Jung Kook. Jika dulu mungkin Tae Hyung kecil yang selalu berusaha melindunginya. Kini giliran Jung Kook yang menepati janjinya untuk melindungi Tae Hyung.
"Sampai rumah nanti, kau berhutang penjelasan padaku, Jeon Tae Hyung."
Tae Hyung dan Jung Kook masih berada pada posisi yang sama sejak keduanya memutuskan untuk tidur di kamar Jung Kook seperti malam kemarin. Keduanya tidur menyamping, dengan Jung Kook yang terus menjadi pendengar setia Tae Hyung yang tengah berbicara.
"Jadi kau patah hati, Tuan Jeon Tae? Bagaimana bisa Hyun Yeon menolak seorang idola sekolah?"
Tae Hyung mengulurkan tangannya, kemudian memukul kening Jung Kook. "Menjadi idola bukan jaminan semua orang menyukaimu, Tuan Jeon Jung!" sementara itu Jung Kook hanya terkekeh. "Hyun Yeon bilang jika ia menyukai orang lain. Mau bagaimana lagi, aku bukan tipikal lelaki yang ingin menghalalkan segala cara untuk membuatnya menjadi milikku."
"Lalu, setelah Hyun Yeon mengatakan itu, kemudian ia meninggalkanmu?"
Tae Hyung menggeleng. "Tidak."
"Tidak? Lalu apa yang kalian lakukan? Jangan katakan kau meminta hal yang macam-macam padanya, hingga akhirnya ia menamparmu dan meninggal─aww! Mengapa kau mencubitku, Hyung?!"
"Otakmu itu selain kau gunakan untuk menyusun strategi perang dengan Sung Jae, kini kau gunakan untuk berpikir hal-hal mesum seperti itu, eoh! Ish! Aku tidak sepertimu, Jeon Jung!" Tae Hyung memutar matanya malas.
"Maka dari itu jelaskan lebih detail padaku, Tuan Jeon Tae stupid Hyung!"
"Baiklah, akan aku lanjutkan ceritanya. Setelah menolakku, Hyun Yeon kemudian berkata tentang orang yang ia sukai itu. Sebagai lelaki sejati aku hanya berusaha menjadi pendengar yang baik saat itu, hingga..." Tae Hyung menggantungkan kalimatnya, membuat Jung Kook semakin penasaran. "Satu nama berhasil membuatku menjadi seperti pecundang, Kook."
"Memangnya nama siapa yang Hyun Yeon ucapkan?"
"Jeon Jung Kook."
Perlu beberapa detik untuk Jung Kook mencerna ucapan yang dilontarkan Tae Hyung. Kelopak mata bulat Jung Kook mengerjap berulang kali, hingga ia sadar bahwa seseorang itu adalah dirinya.
"Hyung, aku..."
Tae Hyung hanya memberikan respon senyuman manis untuk Jung Kook, kemudian si tampan itu pun menggeleng dan membelai surai Jung Kook. "Seharusnya kau senang, bodoh."
Jung Kook menggeleng lembut. "Tapi kau..."
"Tidak apa-apa. Selama itu menyangkut tentangmu, sungguh... aku tidak apa-apa, Kook."
Apakah benar Tae Hyung baik-baik saja? Mengapa Jung Kook tak merasa demikian? Jung Kook terus menatap Tae Hyung lekat, tak mengalihkan satu kedipan pun dari wajah sang kakak. Saat ini, ekspresi seperti apa yang harus Jung Kook tunjukkan di depan Tae Hyung?
Cinta? Jung Kook pernah merasakan itu. Perasaan, di mana jantungnya berdetak dua kali lipat dari biasanya, di mana wajahnya akan bersemu merah, dan darahnya berdesir hebat. Perasaan di mana ia seperti orang bodoh yang hanya memerhatikan setiap gerak gerik seseorang tersebut saja sudah membuatnya gugup dan salah tingkah.
Jung Kook tentu saja senang bukan main. Ini adalah gadis populer di sekolah yang menyukai dirinya. Tapi, bukan Hyun Yeon yang Jung Kook inginkan. Ada seseorang yang telah menempati ruang di dalam hatinya. Ada seseorang yang...
"Kook?"
Jung Kook terkesiap, seketika ia menoleh dan menatap Tae Hyung dengan tatapan lucu. "Ya, Hyung?"
"Sudah malam, ayo tidur."
"Jung Kook!"
Senyuman di bibir Tae Hyung seketika memudar saat Hyun Yeon berjalan ke arahnya dan Jung Kook. Gadis itu bahkan tak menoleh sedikit pun padanya, dan hanya memerhatikan Jung Kook dengan wajah merona.
"Bisakah aku meminta waktumu sebentar, Kook?"
Jung Kook kemudian menoleh pada Tae Hyung, membuat pemuda yang lebih tua mengangguk lembut. "Pergilah."
"Kupinjam Jung Kook sebentar, Tae Oppa," ucap Hyun Yeon sembari tersenyum.
"Benar tidak apa-apa, Hyung?" lagi, Tae Hyung hanya mengangguk.
"Pergilah."
Bohong jika Tae Hyung tidak apa-apa. Bohong jika Tae Hyung tidak terluka. Tatapannya kini berubah sendu, memandang kepergian Jung Kook dan Hyun Yeon yang perlahan menghilang. Helaan napasnya terdengar berat, Tae Hyung menyandarkan tubuhnya, mencoba meredakan gemuruh dalam dadanya. Ia memang terluka, tapi Tae Hyung bukanlah orang yang egois, mementingkan perasaannya untuk mendapatkan apa yang ia mau. Ia jelas sudah ditolak. Hyun Yeon sendiri yang mengatakan bahwa gadis itu lebih menyukai Jung Kook dibanding dirinya. Menjadi idola memang bukan jaminan dirinya akan mendapatkan apa yang inginkan dengan mudah. Ia kalah, dan Tae Hyung memang harus mengakui itu semua.
"Aku kalah," gumamnya. Kelopak matanya perlahan tertutup, membiarkan keheningan mengobati luka hatinya. Dan...
Seseorang menempelkan sesuatu yang dingin di pipi kanannya, membuat Tae Hyung terhenyak dan hampir saja terjungkal.
"Kook?"
Jung Kook menatap Tae Hyung sendu, tatapan polos yang di rindukan Tae Hyung. "Jeon Tae bodoh!" tangan Jung Kook kini mengepal dan memukul pelan perut Tae Hyung. "Jangan sok kuat jika kau memang tak bisa melakukan itu, Hyung!"
Tae Hyung menggeleng lemah. "Aku..."
"Aku membencimu!"
Ini pertama kalinya Tae Hyung bisa melihat tatapan berbeda yang diberikan Jung Kook padanya. Ini pertama kalinya Jung Kook menatapnya dengan tatapan lebih terluka daripada dirinya. Ada apa? Perkara apa yang membuat adik kesayangan Tae Hyung seperti sekarang ini? Jika itu menyangkut perasaannya, sungguh... Tae Hyung lebih rela melihat Jung Kook bahagia dibandingkan dirinya sendiri.
Jung Kook menundukkan wajahnya, lelaki sejati tidak seharusnya meneteskan airmata. Dan bodohnya kini ia mulai menangis, terisak seperti anak kecil yang merengek pada sang ayah untuk dibelikan mainan baru. Perlahan, Tae Hyung mengusap lembut surai hitam Jung Kook. Tetap seperti itu, Tae Hyung sendiri tidak ingin menambah masalah, mempertanyakan mengapa Jung Kook menangis seperti gadis perempuan?
Beberapa menit setelahnya, isakan itu tak lagi terdengar, Jung Kook pun menengadahkan wajahnya dengan jejak airmata yang perlahan mengering. Tae Hyung masih menunggu adik kecilnya itu mengeluarkan suaranya. Tapi, Jung Kook sendiri sepertinya enggan untuk mengatakan apapun; sebenarnya Jung Kook hanya bingung.
"Apa yang kalian bicarakan hingga kau menangis seperti ini, eum?"
Jung Kook masih tak bergeming. Kemana berandal kecil menyebalkan yang kadang membuat Tae Hyung jengah? Kini, Tae Hyung hanya melihat sisi sesungguhnya seorang Jeon Jung Kook adalah bocah polos menggemaskan yang gemar merajuk.
"Aku menolaknya," hanya itu yang Jung Kook ucapkan.
"Mengapa kau menolaknya? Bukankah kau menyuka─"
Jung Kook menatap nyalang Tae Hyung, tangannya menepis tangan Tae Hyung yang sejak tadi mengelus surainya. "Berhenti menjadi bodoh, Jeon Tae! Aku tahu kau terluka! Berhenti menjodohkanku dengan Hyun Yeon; seolah kau tidak merasa sakit sedikit pun!"
Tae Hyung membisu, ucapan Jung Kook benar-benar tepat sasaran. Oh, apakah Tae Hyung melupakan sesuatu, jika mereka telah mengenal satu sama lain sejak Jung Kook di lahirkan dan menjadi adiknya?
"Jangan tersenyum jika kau memang merasa tidak mau melakukannya. Jangan memaksakan diri seolah kau rela jika Hyun Yeon denganku, dan pada kenyataannya kau memang terluka, bodoh!" satu kalimat yang membuat Tae Hyung tak sadar berapa banyak hal yang Jung Kook ketahui tentangnya dan bahkan ia sendiri tak mengetahuinya. "Jangan coba-coba lagi berusaha menyatukan aku dengan Hyun Yeon, karena aku sudah memiliki orang yang kusukai!"
Setelahnya Jung Kook beranjak pergi, membiarkan Tae Hyung yang hanya merutuki perbuatan bodohnya. Tae Hyung tahu jika Jung Kook peduli padanya, Tae Hyung tahu jika Jung Kook mana tega melukai perasaannya. Namun, satu hal yang Tae Hyung tidak tahu bahwa...
-TBC-
Hallo, bertemu lagi dengan saya, noona manis kesayangan Jeon Jung Kook #ditebasparang. Wah, terima kasih banyak kemarin buat yang sudah Review FF saya loh ^^
Spesial terima kasih buat nayaason, DeerDia, juga Guest #JungJiMi saeng yang sudah meluangkan waktunya #ciumsatusatu
Ditunggu reviewnya, kritik dan saran sangat saya nantikan :*
