Aku menyelipkan beberapa helai rambutku yang terjatuh tepat di telinga. Musik pop yang disiarkan di radio terdengar semakin jelas di pendengaranku. Nada-nada piano yang lembut berpadu dengan gesekan biola yang tidak terlalu sempurna, namun terdengar indah.
Entah sudah berapa kali aku mendesah sepanjang hari ini—merutuki hidup yang sedang kujalani, tanpa kuketahui kapan akhirnya. Musik pop yang disiarkan di radio itu nampaknya tidak dapat membuat emosiku mereda. Sambil menahan napas, aku mengulurkan tangan—mendekati radio merah yang berada di sana dan menekan tombol power untuk mematikan alat kecil yang terus berbunyi berisik itu.
Sungguh—lagu-lagu yang mengalun dengan lembut dan memiliki syair galau seringkali berkata kalau kita ini amat penting, amat istimewa—tak dapat digantikan.
Namun, mereka salah. Semua salah. Aku dapat mengatakan seperti ini karena aku tahu pasti dengan keadaan dunia yang sebenarnya. Hidup ini tidak seindah musik-musik itu, yang mengatakan bahwa kita ini tidak tergantikan—dan spesial.
Karena kalau pun aku lenyap di dunia ini, pastilah akan ada yang menggantikanku. Tak akan ada yang sadar dengan lenyapnya aku—bahkan selama ini tak ada yang menyadari kehadiranku berada di tengah-tengah mereka.
Interviewer
.
.
Disclaimer:
Vocaloid © Yamaha Crypton Corporation
Interviewer © Ayano Suzune
Inspired by Megurine Luka's song—Interviewer
Warning: Typos, misstypos, bad diction, unperfect fiction
Tangan-tanganku bergerak di atas kasir kecil yang berada di atas meja logam yang terlihat tua. Aku memerhatikan angka-angka yang tertera—dengan terdiam. Tak lama kemudian aku menyebutkan harga yang harus dibayar kepada pembeli yang tengah menunggu sejak tadi.
Kehidupanku begitu biasa. Dengan bekerja sebagai kasir di mini market ini, aku dapat memenuhi kebutuhanku sehari-hari. Aku tidak mengharapkan hidup mewah—aku lebih memilih hidup seperti ini, sederhana namun menyenangkan.
Sang pembeli memberikan sejumlah uang padaku yang langsung kumasukkan ke dalam tempat penyimpanan uang yang merupakan salah satu bagian dari alat kasir ini. Setelah memberikan struk pembelian dan uang kembali, aku hanya perlu menundukkan tubuh sedikit dan mengucapkan terima kasih—disertai sebuah senyuman palsu. Sang pembeli balas tersenyum dan mengucapkan selamat tinggal.
Satu orang lagi tertipu. Mereka tidak menyadari senyum palsuku yang tampak begitu 'hidup'.
Pembeli lain datang ke hadapanku dan memberikan belanjaannya padaku. Aku melakukan hal yang sama, setelah itu memberikan barang-barang tersebut pada asistenku. Gadis berambut biru tosca itu melakukan pekerjaannya dengan lincah—memasukkan barang demi barang ke dalam kantung belanjaan yang kemudian diberikannya pada sang pembeli.
Ia tersenyum.
Aku tidak tahu—apakah seorang Hatsune Miku sering memberikan senyum palsu pada pembeli lain sepertiku, atau tidak. Sudahlah, itu tidak penting. Aku harus tahu betapa populernya gadis yang berselisih dua tahun lebih muda dariku ini.
Kehidupanku memang biasa—tak ada yang menarik dan tak ada yang berubah. Hari demi hari kujalani dengan biasa, tak ada yang berubah.
Singkat kata, aku jenuh. Aku jenuh dengan kehidupan yang begitu biasa ini—walaupun awalnya aku begitu menikmati kehidupan yang tidak terlalu ekstrim seperti teman-temanku yang berprofesi sebagai model dan beberapa pekerjaan hebat lainnya.
Tak adakah yang dapat mengubah kehidupan biasa ini? Aku tak mengharapkan perubahan hebat—drastis. Aku hanya mengharapkan perubahan yang sedikit membuatku terbebas dari segala pikiran ini.
.
.
Waktuku selesai bekerja adalah pukul enam sore. Dan saat itu langit sudah mulai gelap—matahari sudah terbenam—awan-awan hitam mulai bergelung di langit—bulan mulai menampakkan dirinya.
Cahaya bulan yang terlihat lembut dan tak begitu terang mulai terlihat. Bintang mulai menampakkan dirinya dengan malu-malu. Aku menghela napas—lagi. Suasana malam ini pun tak dapat mencairkan hatiku, tak dapat membuatku merasa lebih baik.
Aah, lebih baik aku pulang sekarang. Hari mulai gelap dan aku dapat melihat rintik-rintik hujan mulai turun.
Sepertinya hujan tak mempersilahkan aku untuk sampai ke rumah dengan keadaan kering. Buktinya dalam hitungan menit, hujan yang bersahabat itu kini mengguyurku dengan deras.
Oke, bukan hujan yang bersahabat.
Sambil memeluk kedua lenganku yang basah dan dingin, aku berteduh di bawah pohon besar—berharap aku pohon itu dapat sedikit melindungiku dari hujan yang gila ini.
Aku berlutut sementara aku menahan suara menggigil yang sudah mendesak untuk keluar dari bibirku. Kedua telapak tanganku masih berusaha menghangatkan lenganku yang makin mendingin ini. Tubuhku lama kelamaan bergetar—menggigil kedinginan.
Wajahku basah, pakaianku basah, tubuhku basah, kakiku basah, tanganku basah. Bibirku membiru, rambutku berantakan, tangan dan kakiku menggigil, sementara itu tubuhku berusaha menahan beban ini.
Kurasakan perlahan perasaanku mulai menghilang. Aku tak lagi menggigil kedinginan—aku tak lagi mengeluh dalam hati—kedua tangan dan kakiku tak lagi bergetar.
Perlahan aku menatap ke arah tanah yang masih terguyur hujan—dengan tatapan datar dan tak berperasaan.
Hatiku mulai membeku—dingin. Saat ini juga, aku tak tahu apa yang kurasakan.
Ketika menyadari bahwa hujan tak henti-hentinya mengguyur bumi, aku memutuskan untuk tetap berjalan pulang—melawan hujan badai yang menghantam bumi terus menerus.
Tanpa memedulikan tatapan aneh orang-orang yang mengenakan jaket bulu tebal, berpayung, dan menggunakan jas hujan—aku terus melangkahkan kakiku yang makin melemas ini, masih berusaha berjalan pulang.
Tiba-tiba kakiku terdiam—berhenti melangkah. Sepasang mata biruku menangkap sebuah sosok yang diselimuti oleh kehangatan—seorang ibu berjaket tebal yang kini menggandeng anak perempuannya—di bawah sebuah payung lebar.
Mengeluh—anak perempuan itu terkena rintik hujan yang tak begitu deras karena payung yang tidak begitu lebar—kedinginan karena tetesan hujan yang begitu dingin.
Ibu itu melepaskan jaket bulu tebalnya dan memakaikan ke anaknya dengan penuh kasih sayang. Bagian bawah jaket itu nampak kotor karena terkena tanah basah—anak perempuan itu belum cukup tinggi dan jaket itu terlalu panjang untuknya.
Sambil mengucapkan terima kasih dan tersenyum pada ibunya, anak itu menggenggam erat tangan ibunya—berusaha membagi kehangatan di antara mereka berdua. Dan mereka kembali berjalan.
Likuid bening memenuhi mataku dan perlahan menetes—membasahi pipi, hidung, dan daguku. Pandanganku mengabur.
Jalanan mulai sepi. Orang-orang tentu lebih memilih untuk duduk bersantai ditemani segelas cokelat atau teh panas di rumah—dibandingkan berada di tengah jalan yang dingin ini.
Likuid bening yang dinamakan air mata itu semakin menetes menjadi-jadi. Aku tak dapat membedakannya dengan air hujan yang kini mengguyurku.
Terima kasih, hujan. Kau menyamarkan air mataku.
Aku terus berdiri di tengah jalan itu—terlihat kasat mata di mata para pejalan kaki dan pengendara kendaraan bermotor. Semakin sedikit kendaraan berlalu-lalang—tentu saja.
Saat aku membuka mata—aku dapat merasakan hujan berhenti turun di sekitarku—walau aku tetap dapat merasakan bunyi derasnya rintik hujan yang mengguyur bumi—dan aku masih dapat menangkap bau khas hujan yang bercampur dengan tanah.
"Hei, apa kau tak merasa dingin berada di sini?" Aku mengangkat kepalaku begitu mendengar suara bass yang berada di belakangku.
Dengan takut-takut aku menolehkan kepalaku ke belakang—melihat siapa yang mau repot-repot menyapa dan memayungiku.
"Siapa kau?" Pertanyaan bernada dingin itu keluar begitu saja dari mulutku begitu aku melihat pemuda berambut biru kini berada di hadapanku. Ia mengenakan baju berwarna putih, celana panjang biru, dan sebuah syal panjang melintasi lehernya. Tangan kanannya memegang payung yang kini melindungiku dari hujan, sementara itu tangan kirinya memegang payung yang digunakan untuk melindungi dirinya sendiri.
Kesunyian melanda kami karena ia tak menjawab. Tak sampai semenit kemudian, ia mengulas senyum di wajahnya—sukses membuatku terkejut saat melihatnya.
"Kenapa begitu dingin, Nona? Apakah hujan ini juga telah membekukan dirimu?" Pertanyaan bernada menggoda itu terlontar dari mulutnya—segera mendapat reaksi dingin dariku. Namun di saat yang sama, itu juga membuatku terdiam sejenak—mencerna ucapannya. Berpikir.
"Ada apa? Jangan terlalu dianggap serius. Aku hanya bertanya." Selanjutnya tawa lepas yang tenang keluar dari mulutnya. Aku mengerutkan kening saat melihatnya tertawa. Tertawa? Bagaimana bisa ia tertawa sebegitu lepasnya? Terlihat damai—seakan tak ada yang buruk dari dunia ini. Ia tampak tak memiliki masalah. Air mukanya tenang—sangat berbeda denganku.
"Tidak. Ucapanmu ada benarnya." Aku mengakui apa yang kupikirkan dengan suara pelan dan volume rendah—membuat tawa dan senyum di wajahnya agak sedikit memudar. Aah, aku agak menyesal mengatakan hal itu sehingga ia tak lagi tertawa lepas seperti tadi. Jujur saja—aku agak keberatan melihat senyumnya terlepas dari wajahnya yang lumayan—ehm—tampan.
"Aku akan mengantarmu pulang. Di mana rumahmu?" Ia bertanya beberapa lama kemudian—setelah tak dapat menemukan jawaban yang tepat untuk perkataanku sebelumnya.
Kedua mata biruku membesar. Ia akan mengantarkanku pulang? Bibirku sudah mulai membuka lagi—siap melontarkan ucapan-ucapan penolakan halus sampai yang agak sedikit keras.
"Jangan menolak." Ia tersenyum—bahkan sebelum aku dapat mengatakan bahwa aku tak ingin ia repot-repot mengantarkanku pulang. "Aku bukan tipe orang yang suka mengganggu wanita. Aku tulus ingin membantumu. Lagipula, kau bisa sakit bila kau terus kehujanan seperti tadi."
Suara jernih itu membuatku sedikit terlena. Aku merasakan kehangatan menyelimuti diriku—sedikit memberikan kekuatan pada tubuhku yang kian menggigil ini.
Aku menganggukkan kepalaku sedikit—tanda bahwa aku mengijinkannya mengantarkanku pulang. Setelah itu, aku terdiam. Kenapa aku mengangguk? Aku bahkan belum mengonfirmasikan bahwa aku benar-benar mengijinkannya untuk mengantarku pulang.
Hanya satu yang kupikirkan. Aku ingin lebih lama bersamanya.
.
.
"Silakan masuk. Kau bisa menunggu di rumahku sampai hujan agak sedikit reda." Aku terdiam lagi mendengar ucapanku sendiri. Sejak kapan aku mengijinkan orang asing masuk ke rumahku? Aku bahkan tidak tahu apa niat yang berada di dalam pikirannya. Aku tidak tahu bahwa ia termasuk ke dalam kategori orang yang baik atau tidak.
Ia hanya mengulas senyum di wajah sebagai jawaban. Dengan segera aku mengedipkan mataku dan menatapnya lurus-lurus. Jangan sampai aku terpikat lagi dengan senyuman kecil itu—jangan sampai.
"Bagaimana? Kau mau tidak? Jangan buat aku menunggu." Aku berkacak pinggang dan mendengus—walau hatiku tidak berkata demikian.
Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal dan tertawa garing—namun terdengar menyenangkan. Kemudian ia menjawab dengan suara jernihnya.
"Baiklah, jika kau memaksa."
"Memaksa? Aku tidak pernah memaksamu, ingat itu."
Aku melengos pergi dan meninggalkannya yang kini melepas sepasang sepatunya yang nyaris basah itu.
Sekarang ia meletakkan sepatu miliknya di rak sepatuku.
Ia mulai melangkah masuk ke dalam rumahku.
Ia mengikutiku berjalan.
"Duduk saja di ruang tamu." Aku memberikan perintah singkat itu sebelum melengos ke dapur—berpikir untuk membuat dua cangkir teh hangat untuk tamu baruku yang tak lain dari pemuda berambut biru itu.
"Silakan." Aku meletakkan cangkir keramik putih di hadapannya—sementara aku meletakkan yang satu lagi di hadapanku. Asap mengepul dari cairan cokelat bening itu—menghasilkan aroma yang menyenangkan.
"Terima kasih." Kalimat pendek itu terlontar dari mulutnya. Ia mengangkat cangkir keramik itu dan mulai menyesap teh yang tertampung di sana. Sementara aku tak mengerti mengapa mataku masih saja keras kepala untuk memerhatikannya yang kini sedang menikmati teh panas itu.
"Hm? Ada apa?" Ia tersadar bahwa aku memerhatikannya—dengan senyum itu ia bertanya.
Dengan cepat, aku membuang mukaku ke arah lain. Sementara tanganku bergetar mengambil cangkir keramik milikku.
"T-tidak apa-apa."
"Tidakkah seharusnya kau berganti pakaian terlebih dahulu?"
"Apa kau pikir itu sopan jika aku berganti pakaian sebentar—meninggalkan tamu yang masih belum kenal dengan seluk-beluk rumahku?"
"Hm. Aku tidak keberatan."
"Tidak apa. Aku tidak peduli."
"Kau bisa sakit."
'Orang ini keras kepala sekali,' aku menggerutu pelan dalam hati. Memutuskan untuk tidak berdebat lagi dengannya—aku berdiri dari sofa yang kududuki.
"Baiklah. Kau tunggu di sini, aku akan berganti pakaian sebentar." Ia kembali mengulas senyum di wajah sebelum aku meninggalkannya.
Sehelai dress sederhana melekat di tubuhku begitu kembali. Betul juga—aku merasa lebih nyaman menggunakan pakaian santai ini, dibanding dengan pakaianku yang basah tadi.
Ia tersenyum ketika melihat penampilanku dengan dress putih polos—sementara itu aku membiarkan rambut merah jambuku yang panjang terurai.
"Kau terlihat cocok dengan pakaian itu." Strike. Perkataanmu membuat wajahku memerah.
"U-um, film jenis apa yang kau suka?" Aku berusaha mengalihkan pembicaraan saat aku melihat setumpuk DVD dan DVD player yang tertampang rapi di bawah televisiku yang berada di ruang tamu.
"Eh?" Ia menatapku dengan pandangan bingung.
Aku membuang muka—sementara itu kakiku berjalan mendekati sofa yang tadi kududuki. Jariku menunjuk ke arah objek yang sempat kutangkap tadi—yang kugunakan untuk mengalihkan pembicaraan.
Tawa itu kembali terlontar dari bibirnya. Dengan agak takut-takut, aku menatapnya. Sungguh—ia masih tertawa seperti tadi.
"Tak usah repot-repot. Aku hanya ingin duduk di sini—mengenalmu lebih jauh sementara aku menunggu hujan mereda." Aku hanya menatapnya dengan tatapan kosong. Semuda itukah ia berbicara seperti itu? Aku sudah berusaha mengendalikan perasaanku sendiri agar rona merah tidak muncul di kedua pipiku, kawan.
"Kau pasti lapar, kan? Apa makanan yang kau suka? Barangkali dapat sedikit mengenyangkanmu." Aku ingin sekali menutup mulutku yang tampaknya sulit kukendalikan itu dengan selotip. Untuk apa aku melontarkan pertanyaan-pertanyaan tidak jelas itu padanya? Terus terang saja—tidak ada hubungan dengan topik pembicaraan kami. Yang ada, aku malah terlihat peduli dengannya. Walau sebenarnya aku hanya penasaran saja—sama sekali bukan peduli.
Ia tersenyum menatapku. Aku membalasnya dengan tatapan dingin nan datar.
"Tidak apa-apa," ia berkata lagi. "Aku suka es krim. Bagaimana denganmu?" Aku terdiam sebentar ketika ia melontarkan pertanyaan itu yang aku tahu ditujukan padaku. Haruskah aku menjawab pertanyaannya itu?
Rona-rona merah mulai muncul di kedua pipiku. Aku menunduk untuk menyamarkannya, sementara kedua tanganku meremas gaun putih yang kupakai.
"Ada apa?" Ia bertanya dengan nada antusias. Aku mengangkat mata dan menatap kedua iris biru miliknya dengan iris biru milikku. Sama-sama berwarna biru, namun berbeda.
"Kau janji tidak akan tertawa?" Aku membalasnya dengan nada ketus. Hei, aku tahu rona merah itu masih keras kepala berada di sana.
Ia memiringkan kepalanya—tampaknya tidak mengerti. "Kenapa harus tertawa?"
Aku mendesah keras-keras—tidak dapat menyembunyikan perasaan kesalku sekaligus malu.
"Tuna." Satu kata sederhana itu keluar dari bibirku.
"Tuna?" Ia bertanya dengan nada bingung.
"Makanan kesukaanku." Aku menatapnya dengan wajah cemberut. "Jangan tertawa."
Seperti tidak mendengar perkataanku, ia tertawa kecil sambil menyembunyikan wajahnya. Aku tahu kalau rona merah di pipiku semakin menampakkan dirinya—dan terus terang, aku tak suka dengan rona merah mengganggu itu.
"Sudah kubilang jangan tertawa!" Aku tak dapat menahan nada keras yang timbul dari emosi yang semakin kutahan itu. Sementara itu aku dapat merasakan telingaku ikut memanas.
Ia malah tertawa semakin keras—membuatku harus menekan emosiku lebih lagi. Beberapa detik kemudian tawanya yang lepas itu mereda—digantikan sebuah tatapan damai yang tertuju pada kedua iris biruku—membuatku terperanjat.
"Tidak apa-apa. Aku hanya tertawa karena kau lucu, bukan makanan kesukaanmu itu."
"Aku lucu? Omong kosong."
"Percayalah." Sekarang ia tersenyum. Aku hanya terdiam—tidak berusaha membalas karena aku tahu, takkan ada gunanya.
"Hujan sudah mereda." Aku menyesal mendengar tiga kata yang membentuk kalimat pendek itu. Ia meraih cangkir keramik miliknya dan menyesapnya lagi. Ia menghabiskannya dengan cepat dan meletakkan cangkir yang tak telah kosong itu di meja yang berada di hadapannya.
"Terima kasih." Senyum yang berbeda dari sebelumnya terukir di wajahnya. Ia bangkit dari tempat duduknya—membuatku melakukan hal yang sama.
"Ah, tak apa." Aku hanya menjawab. Tanpa sadar senyum terulas di bibirku. Aah, apa yang kulakukan?
"Lihat, kau lebih manis jika kau tersenyum."
"Jangan bilang aku manis. Omong kosong."
Ia tertawa kecil. "Tsundere."
Aku hanya menatapnya dengan tatapan merengut, sekaligus cemberut. Ia tertawa lagi dan melihat ke luar jendela—hujan benar-benar mereda.
"Aku pulang sekarang." Aku hanya mengangguk untuk menanggapi ucapannya itu. Ia berjalan mendekati pintu, begitu juga aku.
"Sebelum itu, namamu?" Akhirnya aku memberanikan diri mengajukan pertanyaan yang sedari tadi melekat di pikiranku.
Ia hanya tersenyum kecil. Sebelum akhirnya menjawab. "Shion Kaito." Kemudian, "dan kau?"
"Megurine Luka." Ia tersenyum lagi mendengar jawabanku.
"Semoga kita bisa bertemu lagi, Luka." Aku terdiam mendengarnya memanggil nama kecilku. Ia—ah, maksudku Kaito—melambaikan tangannya dan aku dapat merasakannya lenyap dari pandangan mataku. Tampaknya ia sudah menggunakan lift untuk turun dari apartemenku ini.
Shion Kaito. Apa kita dapat bertemu lagi?
.
.
To be continued
A/N
Hai hai, minna :3
Tadinya saya mau buat fic ini jadi one-shot, tapi rasanya kepanjangan. Dan kalau words-nya udah terlalu banyak, biasanya saya pengen cepat-cepat selesai dan akibatnya? Alur kecepatan.
Jadi saya putuskan untuk buat two-shots atau three-shots.
Ehm, bagaimana dengan pairing KaiLuka? Terus terang saya lebih nge-ship mereka, daripada KaiMiku atau KaiMei :D /gaadayangtanya
Kalau ada perbedaan alur cerita fic ini dan lagunya, maklumi saja, ya. Ini mungkin memang song-fic, tapi lebih ke 'inspired'. Dalam arti, saya mengembangkannya sendiri.
Last but not least, review? Thanks~
