Standard disclaimer appeared

Warning : bahasa bebas


Mantanz.

Adalah kata terhoror yang pernah gue denger. Bukan bermaksud menghina, hanya saja menurut kamus Bahasa Inggris gue, bahasa lain dari mantan itu adalah ex. Dua huruf, men. Terlalu ngenes.

"Udah, Yeol. Makan cimol yuk. Gue traktir deh."

Barangkali Sehun empet ngeliat muka gue yang udah sebelas duabelas sama kain pel. Atau mungkin dia habis ditabrak capung sampai otaknya jadi lurus. Temen gue yang pelit duit ini mendadak taubat. Inilah horor kedua setelah mantan. Mungkin sebentar lagi akan ada alien menginvasi Bumi. Gue nggak tahu harus loncat-loncat girang atau nangis sesenggukan.

Gue beralih menatap Sehun dengan wajah merana, "Gue nggak laper, Hun…"

"Gue tahu," Sehun nyengir kambing, "makanya gue ngajakin lo makan. Biar cimol bagian lo bisa gue makanin."

Kamvret.

Ternyata benar. Sampai lebaran monyet pun otak udang nggak bakalan pindah ke kepala. Sampai kiamat pun Oh Sehun nggak bakalan nawarin sesuatu secara cuma-cuma. Gue ngangguk pasrah, mau noyor tapi males. Lagi bad mood. Kalau kata cewek-cewek, lagi masa PMS.

Tapi akhirnya gue sama Sehun berakhir juga di dagang cimol. Sehun makan dua porsi cimol sementara gue makan hati. Cimol gue beneran dimakanin, disisain bumbunya doang. Itu pun nggak gue jilat karena gue masih punya malu.

"Serius deh, Yeol." Sehun ngunyah cimol dengan penghayatan luar biasa. Gue yakin kalau ada iklan cimol, dia pasti kepilih jadi model. Yang di shoot cuma mulutnya yang lagi ngunyah pakai efek slow motion. "Lo lupain deh Dek Kyungsoo, gue najis liat muka sengsara lo empat hari terakhir tau nggak lo."

Gue memandang angkasa, teringat akan senyuman manis sang mantan terindah, "Gimana caranya, nying. Gue masih sayang sama dia…"

"Terserah elo dah mau ngapain. Benturin pala ke aspal, kek. Cuci otak, kek. Nyayat pergelangan tangan, kek."

"Kok lo sadis."

"Gue kesian sama lo, Canyul!"

Gawat. Kalau Sehun udah manggil gue Canyul berarti dia serius mau benturin pala gue ke aspal. Gue menelan ludah. "Ma-makanya lo kalau mau ngasih saran yang normal dong!"

Sehun mendelik, "Makanya lo cari coce baru dong!"

Gue mendengus. Gelik. Gimana bisa gue cari kecengan baru kalau setiap orang yang gue liat mukanya mendadak jadi mirip Dek Kyungsoo? "Nggak bisa, Hun. Hati gue cuma ada satu dan udah retak. Gue nggak punya stok hati lagi."

Tiba-tiba Sehun berdiri. Piring cimolnya jatuh dan pecah berkeping-keping. Abang-abang penjual cimol teriak-teriak minta ganti rugi tapi Sehun mendadak budek.

"KALO RETAK YA LEM AJA LAGI SUSAH AMAT." Buset, suaranya maksimal.

Gue nggak mau kalah dong. "PAKE LEM APAAN LEM GUE CUMA DEK KYUNGSOO DOANG KELES."

"MAKANYA NYARI DONG! LO NGGAK PERNAH MAU USAHA SIH."

"GUE UDAH USAHA HUN TAPI TETEP NGGAK BISA."

"EMANG USAHA LO APA."

"GUE UDAH BUAT INSTAGRAM TAPI POLOWERS GUE TETEP SEBELAS NGGAK NAMBAH-NAMBAH."

"ASDFGHJKKAJDAJHDKS AKU LELAH MAZ."

"YOWDAH TIDUR SANA KALO LELAH."

Sekarang muka merana gue nular ke Sehun. Plus dia mijit-mijit jidatnya sama ngelus-ngelus dadanya. Gue baru sadar mungkin selama ini muka gue sengenes itu. Pengen gue minta maap tapi gengsi masih jadi raja. Abang-abang penjual cimol udah berhenti teriak dari tadi dan lebih memilih mungutin sisa-sisa pecahan piring daripada ngeliat muka Sehun. Mungkin si Abang juga merasa simpatik sama dia. Padahal yang baru putus itu gue.

Abang cimol ngusap keringat pakai handuk kecil yang dia lingkarin di lehernya. Dia mandang Sehun lama banget kemudian berkata halus, "Adek lagi putus cinta?"

Sehun noleh dan nunjuk gue, "Bukan saya, Bang. Saya mah idola seluruh lapisan masyarakat. Dia tuh yang baru putus."

Cuih. Sempet-sempetnya nyombong.

Abang cimol ngangguk bersahaja lalu menatap gue, "Adek udah pacaran berapa lama?"

Bentar. Ini kok jadi tempat konsultasi asmara. "Tiga tahun, Bang."

"Wah lama juga ya. Pasti itu pacar pertama kamu."

"Cinta pertama juga tuh, Bang." Sehun nyela sambil nendangin kerikil.

Abang cimol kembali ngangguk ala bos mafia, "Wah kalau gitu susah, Dek."

TUH DENGERIN TUH HUN LO MAH MAIN NYALAHIN GUE AJA.

"Cinta pertama memang susah dilupain, Dek, tapi nggak mustahil. Mungkin dia bukan jodoh Adek."

Gue ngupil, "Terus jodoh saya dimana dong, Bang?"

"Di kebun binatang kali, sama kuda nil."

Kali ini Sehun bener-bener gue toyor pakai tenaga dalam.

Abang cimol ketawa. Entah ngetawain gue sama Sehun atau ngetawain nasibnya yang berubah absurd gara-gara punya langganan macam kecoa sekarat begini.

"Adek nggak usah mikir ribet, jalani aja dulu. Dalam waktu dekat Adek pasti ketemu sama jodoh Adek, orang yang bisa bikin Adek jatuh cinta dan ngelupain mantan Adek. Tapi kalau masih sayang, ya sudah biarin. Nggak usah pakai galau, laif mas gos on, Dek. Dunia masih terus jalan, Adek nggak boleh diam terperangkap masa lalu. Nanti Adek ditinggal sama dunia, loh."

Gue nganga, gue terpana. Di mata gue Abang cimol berubah jadi Master Shifu, bersinar terang menyilaukan layaknya lampu minimarket. Truk tronton yang menghimpit gue selama empat hari mulai terangkat, walau bagian pantat masih terasa nindih dada gue.

Gue pun mendekati si Abang dengan langkah ringan, berasa berjalan di karpet bulu angsa. Gue jabat tangan sang Master Shifu dengan penuh khidmad. "Makasih ya, Bang."

Si Abang tersenyum gula. "Sama-sama, Dek. Sekarang bayarnya dua kali lipat ya, sekalian ganti rugi piring saya yang pecah."

… gue harusnya sadar kalau sipitnya Sehun sama sipitnya si Abang itu beda tipis.

.

.

Berkat petuah seorang tukang cimol di hari Rabu yang suram, pagi ini gue berangkat sekolah sambil nyengir lebar. Katanya di balik orang humoris selalu ada hati yang miris. Kali aja ada yang tahu kengenesan gue dalam sekali lihat. Kali aja itu jodoh gue.

Tapi gue mah apa atuh, cuma seekor kutu air bila dibandingkan dengan seisi jagad raya. Tuhan mungkin memang humoris, dan dia lagi seneng-senengnya ngisengin gue. Padahal tadi pagi gue inget banget sarapan pakai telur mata sapi-nya Yura, yang punya ciri khas kuning telurnya di pojokan. Sebelum berangkat juga gue udah nimpuk dia pakai bakiak(—biasa, ritual pagi). Perasaan semalam juga gue nggak mimpi buruk. Perasaan tadi berangkat gue baik-baik aja.

Terus kenapa sekarang gue malah ketemu Kyungsoo?

The Gods must be crazy.

"Pagi kak Chanyeol."

NJIR

ITU PANGGILAN SAYANG NAPA MASIH DIPAKE NONA

Gue berubah jadi patung dedemit. Komat-kamit dalam hati kenapa bis-nya datangnya lama. Ini halte apa akhirat? Apa gue mesti mati dulu baru itu bis bakalan dateng?

"Kakak nunggu bis?"

"Nunggu kita balikan."

MPRET. MAMPOZ NIH MULUT

"Hah?"

Gue gelagapan, "Ya-yaiyalah nunggu bis masa nunggu dagang cimol!" jawab gue judes, ga mau liat tampang bayi-nya Kyungsoo.

Hening lama.

Gue udah keringet dingin, takut Kyungsoo nanya lagi. Yasalam, padahal kemarin gue sudah memantapkan hati buat move on, tapi kenapa dari sekian milyar bidadari di dunia, kenapa gue harus ketemu Kyungsooooo.

"Ih kakak sekarang judes."

GARA-GARA SIAPA COBA IH

"Biarin. Ntar kalau kakak baik dikiranya masih ngarep lagi."

Gue nggak ngeliat mukanya Kyungsoo, tapi tiga tahun ngecengin dia gue jadi tahu kalau sekarang Kyungsoo pasti lagi senyum madu. Jenis senyum yang bikin gue klepek-klepek kayak ikan berenang di penggorengan.

"Kakak masih marah ya saya putusin."

"SIAPA?! ENGGAK KOK." Secara reflek gue ngeliat Kyungsoo. Dan gue menyesal.

Duh, Gusti. Kyungsoo lagi senyum glukosa. Naik satu tingkat jadi sukrosa pasti gue bakal terbang sampai sorga. Apa dosa-dosa hamba selama ini, Gusti. Kenapa engkau berikan hamba cobaan seberat ini, Gusti. Duh mana pipinya tambah cabi lagi, mana bulu matanya tiba-tiba nambah lentik. Kok kulitnya keliatan tambah mulus ya. Kok rambutnya keliatan tambah halus ya.

"Maafin saya ya, kak Chanyeol."

ADUH SOO LO KOK TAMBAH IMUTZ SIH GUE KAN GEMEZ

"Saya tahu saya udah bikin kakak marah dan sedih. Habisnya saya putusin kakak pas kakak makan bakso, gara-gara saya kakak jadi keselek bakso jumbo. Setelah itu juga kakak nggak mau ketemu saya lagi, padahal saya pengen banget minta maaf."

Gue jadi pengen pundung di pojokan kalau inget kejadian nista itu. Sumvah, sakitnya tuh disini. "Kakak udah maafin kamu kok." Kata gue dusta kuadrat.

Kyungsoo sumringah, "Beneran, kak?"

Gue ngangguk nggak ikhlas, "Tapi kenapa mendadak gitu sih, Dek? Kakak masih syok loh sampai sekarang."

Kyungsoo meringis, kayaknya merasa bersalah sama gue. "Sekali lagi maafin Kyungsoo ya, Kak…"

Gue mendengus kesel, "Kamu malu ya pacaran sama cowok yang lebih tua tiga tahun dari kamu. Atau apa aku kurang perhatian sama kamu? Apa nggak cukup pulsa lima ribu yang aku kirim setiap Minggu? Kamu minta lebih ya, Dek? Kalau gitu doang mah kakak masih bisa berubah, Dek…" Gue nyeroscos kayak air terjun, ngeluarin unek-unek yang udah menghantui gue lima hari terakhir. Dari beribu alasan di dunia, cuma itu yang bisa gue dapet dari satu pertanyaan nyelekit: kenapa Dek Kyungsoo mutusin gue, sang pangeran berkuda putih yang ganteng maksimal ini?

"Nggak gitu, Kak!" Kyungsoo geleng-geleng kenceng, menghentikan gue yang mungkin bakal meledak sebentar lagi. "Saya nggak pernah malu sama Kakak, sekali pun nggak pernah! Malah Kakak terlalu baik buat saya—"

Besok gue ngerampok bank deh. Klise amat.

"—gara-gara itu juga saya nggak tega mutusin kakak…"

Kyungsoo nunduk, gue bengong. Maksudnya apa? Kalau nggak tega kenapa nekat diputusin?

"Soalnya saya sudah mencapai batas," kata Kyungsoo kayak dukun yang bisa baca pikiran. "Dua tahun lalu, pertama kali saya masuk SMP dan kakak lulus, saya ketemu seseorang…"

Nah, nah. Apa ini. Mendadak bumi bergoyang. Gue nggak tau mana kiri mana kanan. Gue jadi butiran debu. Gue tau kemana arah kata-kata pembuka Kyungsoo.

"Kakak masuk SMA, saya masuk SMP. Waktu itu kita sama-sama sibuk. Saya nggak bisa liat kakak karena kita udah nggak satu sekolah. Disitu kadang saya merasa lelah, Kak. Ada banyak banget tugas dan ekskul yang harus saya ikuti. Mungkin di waktu senggang kakak bisa nemenin saya, tapi disaat saya butuh seseorang buat menopang diri saya yang lelah, kakak nggak ada di situ. Tapi ada orang lain yang selalu stand by buat saya, Kak, meskipun dia bukan siapa-siapa saya."

Cukup, Soo. Hentikan…

"Awalnya saya pikir saya nyaman sama dia sebagai teman. Tapi setelah dua tahun ini, saya sadar kalau saya jatuh cinta sama dia, Kak."

Gue nggak denger apa-apa. Gue nggak denger apa-apa.

"Sebenarnya saya sudah pengen putus dari kakak sejak beberapa bulan lalu, tapi kakak orangnya baik banget. Saya nggak tega. Tapi saya sadar, hubungan satu arah akan melukai kita berdua pada akhirnya. Makanya saya ngambil langkah ekstrem…"

Jadi selama ini… rasa sayang gue buat kamu itu tersalur kemana, Dek?

"Maafin Kyungsoo, Kak… saya sudah nggak jujur sama Kakak. Itu kesalahan terbesar saya."

Dan kesalahan terbesar gue adalah gue nggak peka. Kenapa gue nggak pernah sadar? Padahal Kyungsoo udah ngirim sinyal-sinyal pengen putus ke gue. Tapi gue memaksa untuk buta, gue nganggep itu sinyal sama aja kayak sinyal hape. Terkadang sekarat, kadang full nggak kira-kira. Nggak usah capek, tinggal tunggu waktu aja. Begitulah pemikiran gue selama ini. Barangkali gue memang sudah buta, sampai-sampai hape pun gue samakan dengan cinta.

"… Nggak apa-apa, Soo. Aku juga salah—"

"KYUNGSOO!"

Tiba-tiba ada yang manggil Kyungsoo. Suara cowok, rada serak mirip gue. Bedanya kalau dia serak seksi, gue serak om-om. Tak lama sesosok anak muda yang pakai seragam persis kayak seragam Kyungsoo, bahkan strip di dasi birunya juga sama-sama tiga, datang lari-lari lalu berhenti di samping Kyungsoo sambil nyodorin onigiri.

"Nih, makanan favorit kamu."

Kyungsoo senyum. Indah banget. Bikin dunia serasa minder. Kali ini dia senyum sampai mata bulatnya tinggal dua lengkung kembar yang cantiknya ngalahin pelangi. Senyum yang ini tingkatannya jauh di atas senyum sukrosa. Gue sangsi apa gue masih di Bumi atau udah di kahyangan. Gue nggak tau Kyungsoo bisa senyum kayak gitu. Dan ketika gue tau, rasanya perut gue habis ditikam belati. Karena senyuman itu bukan untuk gue, senyuman itu bukan milik gue.

"Makasih ya, Jongin."

Ternyata selama ini gue udah kalah telak dari seorang bocah SMP. Sebenernya gue nggak mau mengakui itu, sampai si Jongin ini ngelus sayang kepala Kyungsoo dan reaksi yang Kyungsoo beri, adalah ketokan palu final yang menandakan gue udah nggak punya kesempatan lagi: Kyungsoo merona. Iya, merona. Sesuatu yang dia kasih ke gue cuma dua kali selama ini. Yang pertama pas gue ngajakin dia naik bianglala di malam Tahun Baru. Yang kedua pas gue bikinin dia kue tart buat kejutan Ulang Tahun.

Tapi si Jongol ini, cuma ngelus kepalanya Kyungsoo doang.

Gue lemes. Gue mati.

Entah berapa perbandingan skor kami selama ini. Mungkin dia 1536 dan gue cuma 2.

Miris.

.

Mungkin karena hari ini Jumat Kliwon, makanya gue sial.

Gue memutuskan untuk bolos, ini yang ketiga kalinya selama duabelas tahun gue mengenyam pendidikan. Seharian gue tidur kayak orang mati di atap sekolah. Ada bom juga bodo amat lah. Rasanya jiwa gue udah nggak bersemayam di tubuh gue lagi. Gue males ngapa-ngapain. Gue cuma mau sendirian.

Hape udah gue matiin agar selamat dari serangan rudal sms Oh Sehun. Gue milih tempat paling pojok, spot paling adem yang pernah ada. Kalau Yura tau adiknya ongkang-ongkang kaki kayak gini, gue pasti ditimpuk pakai macan.

Gue nggak tau berapa lama gue meditasi di sini, tapi kemudian gue denger ada suara dari pintu. Kayaknya ada orang yang datang. Kayaknya cuma satu, dari suara langkah kakinya. Kayaknya dia mendekat ke gue.

WAIT A MINIT

Gue memejamkan mata, pura-pura tidur. Biar lebih meyakinkan, mata gue ditutup pakai tangan kanan. Gue narik napas teratur, berusaha nggak membuat gerakan mencurigakan. Semoga aja itu murid segan ngeliat gue dan memilih pindah tempat.

Memanfaatkan kelebaran telinga gue yang melewati batas logika, gue mendengar langkah kaki itu berhenti. Lama. Jantung gue mulai bikin drum band. Dum, dum, dum. Sejenak kemudian langkahnya terdengar lagi, semakin mendekat dan mendekat, hingga akhirnya menyisakan suara krasak-krusuk yang mengganggu jiwa raga gue.

Si murid-kamvret-ini-entah-siapa duduk di samping gue. DI SAMPING GUE.

Gue pengen nonjok tapi sayang lagi menghayati peran.

Telinga gue menangkap lagi bebunyian berupa helaan napas. Kemudian ada sesuatu yang dibuka—kayak membuka penutup kotak—oh! Gue tau, ini anak pasti mau makan disini. Dia bawa bekel dan malu diliat orang banyak. Masa anak SMA masih bawa-bawa nasi dalam kotak bergambar Doraemon? Ha! Gue tau sekarang kenapa lo milih atap! Dasar amuba—

"Lo serem kalau senyum lebar kayak gitu."

OHOKK

APA KATANYA SODARA-SODARA

"Udah nggak usah pura-pura tidur lo."

Shiyal. Gara-gara gue geli gue jadi nggak sengaja senyum lebar. Gue nyesel kenapa mulut gue nggak gue tutupin aja tadi pakai genteng.

Gue diem. Stay cool. Masih pura-pura tidur walau udah ketahuan. Amuba di samping gue ini—laki-laki, dari suaranya. Dan mungkin dia tingkat satu atau dua, yang jelas gue kakak kelas karena suaranya masih cempreng kayak anak SD. Sekarang ada suara ngunyah. Dia makan dengan santainya, sodara-sodara! Oh, betapa kurang ajarnya hoobae gue ini.

"Pindah sono, ganggu aja lo." Akhirnya gue bersuara juga. Tapi mata tetep ditutup pakai lengan, dan tubuh masih berbaring. Gue mau bikin seolah-olah dia kecoa dalem rumah; pengganggu garis keras. Biar dia pergi segera. Gue masih perlu meditasi soalnya.

"Lah kenapa gue yang harus pindah? Lo aja sana."

Njir.

"Kan gue duluan yang nemu ini tempat, nying."

"Gue bukan nyingnying, nyet. Yang jelas tempat ini milik sekolah, gue juga punya hak nongkrong disini."

Kamvreto ini anak ngatain gue monyet. Sabar Chanyeol, sabar. Inget lo lagi butuh ketenangan, nggak usah marah-marah nggak jelas. Hidup lo udah ribet, jangan diribetin lagi.

Jadi gue memutuskan untuk diem. Ini jam istirahat, tinggal nunggu bel aja ini nyingnying bakal pergi dengan sendirinya. Tapi sepertinya Tuhan masih anteng aja ngerjain gue.

"Lagi putus cinta ya?"

Kok dia tau sih, "Kagak."

"Jan ngibul deh lo. Keliatan dari tampang."

Gue tersingggung, "Bukan urusan lo keles! Lanjut aja makannya anggep gue nggak ada!"

"Gimana bisa gue nganggep lo nggak ada selama gue masih punya mata?"

Ciiaaaalll, "Kalau gitu colok aja mata lo."

"Ogah, gue masih perlu ini mata. Mending elo deh yang nyolok mata biar nggak ngeliat mantan mesra-mesraan sama kecengan barunya."

JLEBB

"Lo kok brengsek ya."

Jeda.

Sengaja dijeda. Bukan, dia bukannya tersinggung gue katain. Entah kenapa gue tau, gue juga nggak tau kenapa. Yang jelas sekarang dia benar-benar diam, nggak ada bunyi sendok, nggak ada bunyi kraus.

"Nangis aja, gue nggak bakal ketawa."

Dan gue baru sadar, lengan gue basah, pipi gue basah. Ternyata ini yang bikin dia sengaja menjeda. Gue nangis. Hal yang sedari tadi gue pendam akhirnya keluar. Gue kesel, kenapa gue nangisnya baru sekarang. Gue sedih, ternyata hati gue nggak sekuat yang gue kira.

"Nangis itu manusiawi kok. Nangis itu bentuk pelepasan. Lepasin aja, sampai sesenggukan kalau perlu."

Dan gue bener-bener sesenggukan kayak bocah. Memalukan. Nggak ada seorang pun yang tau sisi lemah gue, dan sekarang seseorang yang nggak gue kenal melihatnya. Gue malu, tapi gue juga lega. Dalam hati kecil gue ada yang teriak kalau gue seneng ada orang yang mau nemenin gue melepas Kyungsoo buat Jongin. Walaupun setelah ini mungkin gue bakal cuci otak ini hoobae.

"Tuhan masih pengen lo ngelirik orang yang dia pilihkan buat lo."

"Gue tau," jawab gue, "gue memang merasa sedang dipermainkan. Gue diterbangin dulu, terus dijatuhin. Setelah gue terluka, gue diobatin. Gue jadi pengen nangis…"

"Lo lagi nangis sekarang."

Gue ketawa pendek sambil ngusap air mata pakai lengan, "Makasih udah nggak ngetawain gue. Lo siapa sih?"

"Gue Baekhyun." Gue masih belum liat gimana sosok si hoobae brengsek ini, tapi gue tau dia lagi senyum. "Dan kenapa juga gue harus ketawa?"

"Karena… kisah cinta gue yang mengenaskan?" Gue menjawab ragu-ragu.

"Maksud? Putus cinta itu wajar kan, kalau putus nyawa baru gawat."

"Mungkin kalau Kyungsoo mutusin gue berbulan-bulan yang lalu gue nggak bakal sesedih ini."

Dia diem, tanda bahwa dia siap mendengarkan retakan hati gue.

"Gue sedih karena ternyata selama ini dia pura-pura, nying."

"Lo nggak terima?" Baekhyun bertanya.

"Bukan gitu," gue ngelap ingus, "berpura-pura itu artinya membohongi diri sendiri. Membohongi diri sendiri artinya menyakiti diri sendiri. Gue kesel, seharusnya gue tau lebih awal. Dengan begitu Kyungsoo nggak perlu menyakiti dirinya sendiri…"

"Elo…" mungkin pendengaran gue bermasalah, karena gue mendengar suara Baekhyun rada gemetar, "lo nggak marah karena dia selingkuh?"

"Selingkuh?" gue ketawa, sekilas terbesit wajah teduh Kyungsoo setiap kali gue ajak dia ngeliat matahari terbenam. "Kyungsoo nggak pernah selingkuh. Mungkin sejak awal hati Kyungsoo memang bukan milik gue, gue aja yang terlalu ge-er. Gue sengaja buta, memaksa percaya bahwa hubungan kami baik-baik saja. Gue baru sadar, Kyungsoo nggak pernah manggil gue tanpa embel-embel 'Kakak'. Mungkin selama ini dia sayang gue sebagai kakak, bukan pacar."

Baekhyun ketawa, tawa yang di telinga gue terdengar dipaksakan. "Atau mungkin dia malu punya pacar bersuara om-om kayak lo."

"Bisa jadi." Mendadak gue merasa ada kilatan blitz yang baru saja menyambar gue. "Tadi pagi dia ngenalin pacar barunya. Seumuran sama dia." Dan semua informasi itu lewat begitu saja di kepala gue, membanjiri gue dengan jarum-jarum pentul tak kasat mata. "Dia pasti nggak nyaman punya pacar yang jauh lebih tua." Gue terkekeh. "Kok gue baru sadar kalau ternyata teori gue bener."

"Salah!" Baekhyun memotong, suara cemprengnya mengudara, beresonansi di telinga gue, mengirim impuls kejut sampai ke hati gue. Gue merasa akan diberi pencerahan kedua. Kali ini langsung dari Master Oogway.

"Usia bukan pembatas. Pemisah sesungguhnya dalam cinta adalah cinta itu sendiri. Gue percaya cinta layaknya energi; dia kekal. Dia tak bisa diciptakan dan dimusnahkan, namun dia bisa berubah bentuk. Kalau pada akhirnya Kyungsoo mencintai orang lain, berarti sedari awal perasaannya memang bukan cinta, seperti yang lo bilang."

Halus, halus banget. Gue nggak tau suara seseorang bisa sehalus ini, bisa segampang ini menelusup diantara retakan-retakan hati gue.

"Mungkin itu kasih sayang, mungkin juga itu cinta dalam bentuk lain. Yang jelas, bukan cinta yang lo cari. Jadi usia, rupa, harta dan apapun itu bukan masalah. Karena seperti yang pepatah kuno bilang; dalam perang dan cinta segala sesuatunya dibenarkan."

Gue terpesona. Akan tuturnya, akan nada suaranya. Gue serasa disiram gerimis dalam badai, dimana gue bisa berteriak sekencang-kencangnya; GUE CHANYEOL DAN GUE BEBAAAAASSS. Ada petir yang menyertai, menantang tapi tidak berbahaya. Setelahnya gue dilempar ke hamparan salju dan bunga sakura, indah di mata lembut di kulit. Petuah Master Oogway laksana air sungai yang mengalir tenang. Perlahan-lahan air sejuk itu merambat dari kepala, leher, badan, hingga seluruh badan gue terasa begitu sejuk.

Gue terseyum, lega luar biasa. "Thanks—"

Dan ketika gue membuka mata untuk memotret sosoknya, gue dihadapkan dengan deretan gigi-gigi mungil yang berbaris rapi, putih dan cantik seperti punyanya Jack Frost. Kemudian terik matahari yang entah mengapa berada tepat di belakang Baekhyun membuat gue silau, sehingga harus menyipit-nyipit demi menelusuri lekuk wajahnya. Gue mulai bisa memotret pipinya yang putih bersih, sedikit tembam dengan rona merah muda. Hidungnya kecil, rambutnya cokelat tua, beberapa membingkai telinga dan sebagian jatuh menutupi dahi. Dan matanya…

"Sama-sama."

Baekhyun tersenyum. Layaknya disetrum listrik gue kaku dalam sekejap. Matanya—tak seperti mata Kyungsoo yang bulat dan merefleksikan langit berbintang, milik Baekhyun sipit dan melengkung seperti bulan sabit ketika ia tersenyum. Mata itu laksana cermin yang memantulkan bayangan gue dengan begitu sempurnya, layaknya mata kanak-kanak, yang begitu jujur dan penuh tawa.

Manis.

Dan semua fantasi gue terpecah oleh suara bel nyaring memekakkan telinga. Gue mengumpat dan Baekhyun tertawa lebar. Dia berdiri dan gue sadar Baekhyun termasuk lelaki yang pendek. Ada kotak biru polos tanpa gambar di tangannya—tidak seperti bayangan gue dimana kotak itu seharusnya dihiasi gambar robot kucing nyentrik. Baekhyun nendang kaki gue.

"Ini jam terakhir loh. Lo masih mau bolos, Chanyeol?"

Gue ngangguk, "Iya, masih ngerasa males masuk kelas."

Baekhyun mengangkat bahu, kemudian berjalan menjauhi gue. Sepintas gue sempat membuat catatan mental untuk mencari dimana kelas Baekhyun dan mengajaknya ke atap lagi esok hari. Sebelum gue menyadari sesuatu yang krusial.

"Tunggu… Baek, Baekhyun!"

Baekhyun yang telah sampai di ujung jalan kembali berbalik, "Apa?"

"'Apa' lo bilang?! Darimana lo tau gue bolos padahal kita nggak sekelas, hah? TERUS DARIMANA LO TAU NAMA GUE."

Baekhyun tertawa kecil, "Kirain apa." Jawabnya, sambil mengedip ke gue. "Makanya tadi jangan bolos, bego."

Dengan jawaban tidak jelasnya itu, menghilang lah ia di balik pintu. Menyisakan gue yang menatap kepergian Baekhyun dengan jantung berdebar, merasa menemukan ide gila. Tiba-tiba kata-kata tak bermutu Oh Sehun lewat dengan elegan di kepala gue, menginvasi setiap sudut otak gue, meneriakkan hal yang sama di setiap sel nya.

'Makanya lo cari coce baru dong.'

'Kalau retak ya lem aja lagi susah amat.'

Buru-buru gue ngerogoh kantong celana, mengambil hape lalu gue hidupkan dengan tidak sabaran. Jari-jari gue dengan lincah mengetik sebaris pesan singkat buat kutu air yang satu itu.

'Hun ntar pulang jemput gue di atap, lagi semedi.'

'Dan gue baru aja nemuin lem yang lo bilang kemaren. Namanya Baekhyun. Gue yakin daya rekatnya ngalahin lem Gajah. Siap-siap nraktir gue cimol okay.'

.

Continue—

.

Sedikit glosarium(?) nggak penting:

Cimol – aci digemol, gue nggak tau di Korea ada cimol tapi adain aja XD /woy/

Laif mas gos on – life must goes on, gue pelesetin ehee

Master Shifu – gurunya Pou di animasi Kungfu Panda, itu tuh yang rada mirip wapres kita XD /ditimpuk

The Gods Must Be Crazy – film konyol bersetting Afrika yang sampe sekarang gue nggak ngerti gimana caranya mereka bisa bertahan hidup tanpa TV

Onigiri – makanan khas Jepang; nasi kepal dibalut rumput laut

Hoobae – adik kelas

Nyingnying – anak tikus (gue nggak tau ini bahasa Indonesia resmi-nya anak tikus apa enggak, tapi di daerah gue disebutnya begitu)

Master Oogway – masternya Master Shifu

Jack Frost – salah satu dari lima penjaga dalam animasi Rise of The Guardians. Emang sih gigi Baekhyun nggak serapi giginya Jack Frost tapi iyain aja /plak/

Lem Gajah – Gajah itu nama cap-nya ya, bukan lem buat nangkep gajah. Gila aja ada lem kayak gitu

Panggilan sayang ChanSoo: Kak Chanyeol, Kak Chan, Dedek Kyungsoo, Dek Kyungsoo, Soo. (dan Kyungsoo anaknya sopan makanya pake sebutan 'saya')

Panggilan sayang ChanBaek: eits, belum ding, wkwkwwwwww /dibakar masa/

Gue nggak berharap banyak sama selera humor gue, jadi gue harap kalian bisa mengkritik feel yang coba gue buat. Ditunggu reviewnya!