Hari ini Akashi Seijuurou pulang cepat. Sesuatu yang amat langka.

Pekerjaan di kantor sudah ia selesaikan semua. Ia meminta Mibuchi Reo, asisten pribadinya untuk mengatur segala urusan dan jadwalnya di kantor agar tak terlalu padat. Laki-laki melambai itu sempat terkejut ketika diperintah seperti itu oleh atasannya. "Sei-chan tidak sedang sakit 'kan?" Reo sampai mengecek suhu tubuhnya dengan cara menempelkan dahi miliknya pada Seijuurou—membuat sang pemilik Akashi Corporation ini reflek menendang perut asistennya itu. Untuk jaga-jaga, memang, Seijuurou ragu dengan orientasi seksual Mibuchi Reo, masih lurus atau sudah belok 'kah? Tapi, untuk Seijuurou pribadi, ia yakin dirinya ini seratus persen normal. Ia masih menyukai wanita. Beda dengan Reo yang masih abu-abu.

Bagaimanapun, keputusannya untuk tak terlalu tenggelam dengan pekerjaannya mutlak. Ia tidak mau mengulang kesalahan yang sama. Ia sedang berusaha memperbaiki diri, omong-omong.

Ketika sampai di rumah, ia disapa oleh beberapa pelayan yang sedang sibuk bekerja di sana. Menyapanya dan menanyainya, heran karena tak biasanya Seijuurou pulang cepat. Rutinitas ini memang baru ia jalani beberapa hari dan akan terus berlanjut rencananya, tidak banyak yang tahu.

Suara pantofel beradu dengan ubin dingin, menggema dalam lorong yang sunyi. Seijuurou sampai di depan kamarnya sediri. Menitik dari keadaan rumah yang sepi, yang lainnya pasti masih bekerja dan belum pulang. Shintarou di rumah sakit; Ryouta sibuk dengan jadwal penerbangannya; Daiki ada tugas pelatihan di luar kota; Atsushi ... Ah. anak itu mungkin masih betah bergelut di toko kuenya.

Ia melirik pada arloji di tangannya, waktu masih menunjukan pukul enam sore. Shintarou dan Atsushi biasanya akan pulang sekitar satu jam lagi.

Ketika iris rubinya tak sengaja menangkap kamar bercat biru muda di ujung lorong—dengan spasi tiga kamar dari kamarnya—ia diam memperhatikan. Tangannya masih bergeming memegangi daun pintu kamarnya sendiri yang sudah terbuka sedikit.

Di ujung adalah kamar milik Akashi Tetsuya—dan jujur membuatnya penasaran. Memang sudah lama ia tak berkunjung ke sana. Bukan, lebih tepatnya Seijuurou memang tak pernah menyinggahi kamar almarhum adiknya tersebut. Sejak sang pemilik pergi, ia juga melarang seluruh pelayan untuk menyentuh kamar yang terletak di pojok koridor lantai dua.

Pada akhirnya, ia mengubah haluan. Tadinya ia memang ingin masuk ke kamarnya untuk sekedar beristirahat, sambil menunggu kedua adiknya pulang dan makan malam (Daiki pulang tidak menentu dan Ryouta hanya pulang saat hari Minggu).

Satu yang indera penciumannya sadari ketika membuka pintu kamar.

Itu adalah aroma vanila yang begitu segar dan manis. Bahkan setelah kurang lebih tiga bulan kamar ini tak tersentuh, bau khas sang pemilik kamar masih terikat kuat. Baunya membuatnya rindu sekaligus bernostalgia.

Akashi Seijuurou melangkahkan kakinya masuk lebih dalam, tidak puas hanya memandangi dari ambang pintu.

Ini pertama kalinya setelah sekian tahun Seijuurou mengunjungi ruangan ini. Tidak banyak yang berubah, masih rapi dan sederhana seperti dulu. Tempat tidur king size dengan seprai berwarna biru polos—ada dua bantal dan satu guling yang disusun rapi. Selimut tebal yang dilipat. Tak jauh dari tempat tidur, ada meja belajar dengan beberapa buku yang tersusun teratur. Seijuurou mendekati meja belajar itu, memperhatikan lebih dekat.

Ada dua frame yang berdiri saling bersisihan. Di sisi kanan, foto yang amat Seijuurou kenal, keluarganya sendiri-terdiri dari: Ayah, Ibu, dirinya, dan kelima adiknya yang saat itu masih belia. Ia ingat foto ini diambil saat dirinya berumur lima belas tahun. Memperhatikan wajah-wajah bahagia yang sedang tersenyum di sana ada kalanya membuat ekspresi wajahnya sendiri berubah menjadi sendu tanpa disadarinya. Seijuurou sedih, kalau boleh jujur. Tiga diantara mereka sudah tiada. Ayah, Ibu, dan Tetsuya. Mereka bertiga sudah berada di tempat yang jauh-saking jauhnya, ia sendiri tak bisa menggapainya lagi. Tapi Seijuurou bersyukur, karena ia yakin ketiganya sudah bahagia di tempatnya sana.

Di sisi kiri, potret tiga orang remaja yang saling merangkul masuk dalam visualnya. Seijuurou mengambilnya, mengamati lebih dekat. Kemudian dapat dilihat bibirnya tertarik sedikit. Tersenyum miring.

"Tetsuya, temannya, dan pacarnya," bibir itu bergumam pelan, membuat kesimpulannya sendiri.

Ia tidak menyangka adiknya yang terlihat seperti hikikomori ternyata sudah memiliki pacar dan uhm-teman. Pasalnya, Seijuurou tak pernah melihatnya berinteraksi dengan individu lain. Ah, tidak. Tepatnya, ia tak tahu apa-apa lantaran terlalu mengabaikan kehidupan adik kecilnya itu.

Seijuurou menyadari ada senyum tipis di wajah polos adiknya. Mungkin kalau orang lain yang melihatnya, ia akan mengira adik bungsunya ini sedang menunjukan ekspresi datar seakan tak tertarik—berkebalikan dengan dua orang lainnya yang memperlihatkan wajah ceria tak lupa senyum lebarnya.

Ibu jarinya mengusap tepat pada sosok pemuda berambut biru muda yang sedang berada diantara kedua temannya. Dirangkul teman laki-lakinya dan dipeluk teman perempuannya. Gadis cantik berambut peach ini sepertinya sangat menyukai Tetsuya, pikir Seijuurou

Meletakkan benda di tangannya dengan hati-hati pada tempat semula, kini Seijuurou beralih mendekati lemari dua pintu berwarna cokelat yang berada tak jauh darinya.

Membuka lemarinya perlahan, Seijuurou dapat mendengar derit yang membuatnya ngilu. Eh? Baru beberapa bulan, tapi sepertinya lemari ini jadi lapuk. Atau karena terlalu lama tak dibuka si pemilik aslinya?

Beberapa baju, kemeja dan jaket tergantung cantik. Didominasi oleh warna biru langit dan warna cerah lainnya.

Ada juga yang dilipat apik, beberapa seperti boxer dan celana santai, juga jeans.

Ia mengambil satu jaket yang tergantung. Berwarna biru gelap dengan model yang polos seperti jaket kebanyakan. Tetsuya pribadi yang sederhana. Ia tidak suka model yang terlalu banyak embel-embelnya atau kompleks. Itu yang ia tahu. Beda dengan Ryouta, si pirang itu memang sangat menyukai gaya baju yang kelewat rumit, yang bahkan membuat mata Seijuurou sakit melihatnya. Jiwa model, pekerjaan Ryouta sebelum menjadi pilot memang model, ia memaklumi.

Jaket didekatkan pada wajahnya. Seijuurou menenggelamkan wajahnya pada fabrik berbahan tebal dan halus tersebut. Menghirup dalam aroma yang tersisa milik adiknya. Manis, dan disaat bersamaan menenangkan. Penat yang membebani tubuhnya serasa berkurang sedikit demi sedikit.

Setelah puas menghirup, ia memperhatikan jaket itu dengan saksama. Bayangan wajah polos adiknya muncul. Pertama saat ia masih kecil, tersenyum lebar. Berganti menjadi wajah dingin dan tak berperasaan. Terakhir, wajah terluka Tetsuya yang sedang menangis muncul di kepalanya. Dan sialnya, Seijuuroulah orang yang membuat ekspresi yang menyakitkan untuk dipandang tersebut.

Ia tidak sadar kalau sedari tadi sepasang manik krimsonnya sudah memproduksi banyak air mata, yang kini membentuk aliran sungai kecil di pipinya.

Seijuurou tidak menampik, ia memang cengeng kalau sudah menyangkut urusan orang-orang yang disayanginya. Dan Tetsuya adalah salah satunya.

"Seijuurou-nii ... "

Bisikian lemah dan halus menyapa gendang telinga. Ia sangat mengenal suara ini. "Tetsuya..?"

"Seijuurou-nii ... "

Ketika tubuhnya berbalik. Ia mendapati sosok yang dicari-carinya sedang duduk di kasur. Sosok itu tersenyum lemah pada Seijuurou, tubuhnya bercahaya dan kelihatan rapuh. Juga sedikit membayang.

Ah, ini lagi. Sepertinya Seijuurou memang harus meminta obat pencegah halusinasi berkelanjutan pada Shintarou nanti.

"Halo, Tetsuya," sapanya sambil tersenyum tipis.

"Seijuurou-nii, kemarilah."

Menurut. Akashi Seijuurou mendekat, duduk disebelah sang adik. Pertama, memperhatikan wajah lugu yang sedang tersenyum simpul padanya. Wajah itu kelihatan tenteram, Seijuurou tak melihat ada beban berarti pada iris cerulean itu.

Jaket berwarna biru gelap masih di genggamannya. Terbawa suasana, Seijuurou menyandarkan tubuhnya pada raga disampingnya. Vanila lagi. Ia memejamkan matanya, merasakan hangat pada tubuh khayalan Akashi Tetsuya.

Ia yakin dirinya sedang berhalusinasi. Mana mungkin orang yang sudah mati tiba-tiba muncul di hadapanmu sekarang. Seijuurou yakin jasad mengenaskan adiknya sudah dikubur di dalam tanah tiga bulan lalu. Ia menyaksikannya langsung, sampai ikut membantu menimbun dengan tanah dan menaburkan bunga di atasnya malah, ia tak akan lupa itu.

Kerinduannya pada si bungsu membuat alam bawah sadarnya menciptakan visual yang sedang diinginkannya.

"Seijuurou-nii sangat merindukanmu, Tetsuya," ia berbisik pelan, kedua matanya masih terkatup rapat.

"Aku juga."

Tersenyum lagi. Seijuurou merasakan sesuatu yang dingin dan lembut membelai rambutnya selagi ia menyandarkan tubuhnya di bahu sang adik. Ia menikmati perlakuan itu.

'Kalau seperti ini, aku tidak ingin bangun, rasanya.'—seandainya ini hanya mimpi.

Karena kenyataan sudah seperti mimpi buruk baginya.

Ah ... Sepertinya Seijuurou memang sedang lelah sekarang ini.

.

.

x

.

.

Author Note:

Jadi..? Halo, ketemu lagi sama saya author engga bertanggung jawab /ditendang.

Iya tau, saya banyak utang, sebenarnya yang lain udah dibuat lanjutannya, Cuma males ngembanginnya _ Salahkan diri ini yang setiap kena wb (dalam fanfik tertentu) malah muncul keinginan untuk buat lagi.

Eh, tapi yang ini masih berhubungan sama salah satu fik MC saya yang lagi on going, From You to You. Ini masuk ke pre-quel, atau kisah random yang ga di ceritakan di bagian yang MC (karena saya merasa cerita itu udah kebanyakan flashback) khusus Akashi Tetsuya side.

Jiwa maso saya keluar, jadi kebuat yang seperti ini. Dan, ehm, memang untuk kepuasan pribadi, sih..

Salam,

-Nameless pierrot-