Prolog.

Aku tahu ini terasa bodoh. Bahkan saat cangkir kesayanganku terisi penuh kembali oleh susu hangat untuk ketiga kalinya, aku tetap tidak merasakan kantuk sama sekali. Padahal biasanya saat aku tegak setengah susu dari gelas tersebut, rasa kantuk akan segera menyerang dan aku akan beristirahat nyenyak sampai pagi menjemput.

Pikiranku melayang pada kejadian tempo hari yang membuatku terjaga di pagi buta dengan pipi kiri ku tempelkan pada meja pantry. Aku menghembuskan nafas lelah serta jengah.

.

.

.

Semua berjalan seperti biasanya, sungguh. Hingga datang hari di mana hujan turun dengan derasnya di luar butikku yang terletak pada kawasan Gangnam, sesosok berpostur tegap membuka pintu dengan tergesa dan menimbulkan keributan kecil di antara karyawan-karyawanku.

Aku lantas beranjak dari manekin yang telah dipasangkan setelan pakaian koleksi terbaru untuk menilik siapa yang telah membuat heboh tempat kerjaku. Dan aku cukup terkejut dengan 'sosok' tersebut.

Lelaki itu hanya menggunakan kaus hitam polos berpotongan 'v' rendah pada kerah lehernya serta jeans belel berwarna senada yang entah kenapa terkesan serampangan namun dapat menarik seluruh atensi dunia ke dalam pusaran dirinya. Lelaki tersebut terlihat basah kuyup akibat guyuran air hujan dan -sial- ia tampak begitu memukau hanya dengan rambut hitam legamnya yang lepek serta tetesan air yang turun perlahan di bawah tindikan di kedua telinganya.

Bangsat. Dia Jeon Jungkook. Penyanyi solo muda yang sedang menaiki posisi puncak karirnya dan-

"Could you get some clothes for me? Aku kehujanan."

-dan ia adalah satu-satunya mantan kekasih yang inginku lenyapkan bersama jutaan kenangan memuakkan di dasar hatiku yang paling dalam.

Aku menatap tajam menilai keberaniannya menginjakkan kaki di dunia kecilku setelah dua tahun kami berpisah. Apa yang dia inginkan sekarang? Lama tak bertemu dengannya membuatku teringat kembali pada masa-masa saat kami masih bersama dan aku tentu sangat tidak menyukai hal ini! Satu-satunya cara adalah melarikan diri sebelum pikiran irasionalku menguasai.

"Yoonjin," perintahku datar kepada salah satu karyawati setelah aku memunggungi Jungkook, "bawakan tuan ini handuk kering serta setelan pakaian kasual. Pastikan kau mengurus pembayarannya dengan benar. Aku pergi sebentar."

Belum sempat aku mendengar Yoonjin menjawab, Jungkook menyelanya dengan cepat. "Hei, tidak, terima kasih.. Err.. Yoonjin? Kau kembali bekerja saja dengan teman-temanmu," Ia berdeham kecil dan melanjutkan ucapannya.

"Aku ingin kau yang melayaniku, Tae."

Aku memejamkan mata menahan geraman dan pitam yang tersulut. Oh, ayolah. Jangan buat aku membencimu lebih dari ini, Jeon.

Tae? Cih, kau tempatkan dirimu siapa di hidupku sampai dapat memanggil namaku dengan begitu mudah dan sederhana? No more 'you' and your shits in my life since long time ago, dude. Aku berbalik menghadap Jungkook yang melekatkan senyum kecil wajahnya.

"Tuan, maaf aku sedang banyak urusan. Jika berkenan, anda akan ditemani dengan karyawan-karyawanku yang ramah," sapaku dengan senyuman bisnis profesional penuh kepalsuan. Aku menarik dua karyawan di sebelahku yang canggung melihat situasi yang terjadi antara bos besarnya dengan sang penyanyi terkenal. Mungkin di dalam hati mereka bertanya-tanya seperti apa hubungan yang terjalin antara aku dan pemuda brengsek yang tiba-tiba telah merangsek masuk kembali ke batas amanku. Aku tidak peduli asal aku dapat pergi dari sini, karena -sungguh!- aku tidak tahan berdiri di tempat yang sama dengannya.

Aku melewati Jungkook begitu saja yang terus menatap pergerakkanku hingga aku mencapai pintu masuk butik dan mengambil satu buah payung transparan. Sebelum aku benar-benar keluar dari butik, aku sedikit menengokkan kepalaku ke kiri dan menyempatkan diri untuk melontarkan kalimat dingin kepada pemuda di belakangku.

"Oh, aku kira tuan, kita terlihat tidak dekat dan tidak pula saling mengenal. Jadi, jika kita bertemu kembali suatu hari nanti, mohon kita bersikap formal saja. Panggil aku V karena di dunia kerjaku aku dikenal dengan nama tersebut, sama seperti brand kebanggaan milikku."

Dan setelah itu aku buru-buru menerobos pekatnya hujan dengan perasaan tak tentu, meninggalkan pemuda tersebut yang terdiam tak terbaca raut wajahnya.

.

.

.

Dengan setia kepala masihku miringkan menyentuh dinginnya meja marmer di dapur. Aku sadar ini sudah memasuki pukul tiga pagi, tapi entah kenapa mataku masih saja terjaga. Telapak tangan kiriku bergerak menyentuh uluh hatiku yang terasa nyeri. Ku penjamkan mata dengan perlahan, dan airmata yang sudah lama ku tahan akhirnya jatuh juga.

Bukan ini yang aneh. Hanya saja aku terlalu bodoh.

Karena nyatanya, hanya dengan 'ia' yang tiba-tiba hadir kembali di sekitarku, aku menyadari bahwa hingga saat ini aku masih sangat mencintainya.

.

.

.

Continue or not?

Give me your answer on the review box, please ;)