Nampakny saia tidak bisa berlama-lama hiatus,hahaha. Fic ini sebetulny udah ada dari bulan Juni/juli kemarin, tapi baru bisa di-publish sekarang, dan tadiny mau jadi one-shot, tapiii karena saia lagi mandek di scene bertarungny, saia memutuskan untuk menjadikanny 2-shot. Fic ini terinspirasi dari film Mr. and Mrs. Smiths, tapi tenang pasti akan beda kok dari filmny. Saia hanya mengambil ide 2 musuh menikah :)

Anyway, enjoy. Dibilangain Gundam Seed/Destiny bukan punya saia!


Cahaya rembulan menyinari padang bunga di bawahnya, membuat bunga berwarna putih itu terlihat lebih indah terkena terpaan sinar bulan. Kelopak-kelopaknya ada yang lepas dan berterbangan ke segala penjuru karena tertiup angin malam yang dingin. Terdengar suara ombak dari kejauhan, dan jika kau mempertajam indra penciumanmu, kau bisa mencium udara pantai. Malam ini permukaan laut memantulkan bulan purnama di langit malam yang hitam pekat tanpa bintang. Angin berhembus semakin kencang, tetapi hal ini tidak mempengaruhi dua orang yang berdiri di tengah padang bunga semenjak dua jam lalu. Keduanya saling tatap dengan sorot mata dingin seolah ingin saling membunuh, dan mereka menodongkan pistol satu sama lain. Suasana di sekitar mereka mencekam dan hawanya terasa berat dan panas, tidak terusik dengan dinginnya malam.

Sosok yang membelakangi laut memiliki rambut berwarna biru tua, postur tubuhnya tinggi tegap dan kelihatannya lumayan terbentuk. Matanya hijau seperti batu Emerlad, hidungnya mancung, dan dagunya lancip. Dari bibir penuhnya menetes darah segar, wajahnya yang tampan dipenuhi luka yang juga mengeluarkan darah, namun dia tidak menunjukkan rasa sakit. Wajahnya terlihat dingin. Jaket hitam yang dia kenakan sudah compang-camping dan kotor, sementara kemeja putihnya dipenuhi dengan noda darah dan di bagian perutnya sobek. Memperlihatkan sebuah luka gores yang cukup panjang dan dalam. Celana panjangnya dipenuhi beberapa lubang seperti bekas tertembak atau sayatan. Hanya sepatu hitamnya yang tidak rusak, tetapi sangat kotor.

Sementara sosok yang berdiri beberapa langkah darinya berambut pirang dan memiliki postur tubuh seorang wanita. Iris mata berwarna hazel itu tidak melepaskan tatapannya dari sosok yang berdiri di hadapannya. Hidung mancungnya terluka dan meneteskan darah, sama seperti bibirnya. Wajahnya juga penuh lebam serta luka yang mengeluarkan darah segar. Kemeja sleeveless warna lime green-nya compang-camping, memperlihatkan kulit putih penuh luka. Celana panjang dengan warna sama juga mengalami hal yang sama. Sepatu hitamnya tidak rusak, tetapi sama kotornya dengan sepatu sosok di hadapannya.

Keduanya masih saling menatap dengan pistol teracung ke masing-masing. Tidak terdengar hembusan nafas dari keduanya. Angin berhenti berhembus, suara deru ombak menghilang. Seolah waktu berhenti untuk beberapa detik. Dan kembali bergerak dengan ditandai bunyi ombak yang menghantam karang.

"Pada akhirnya, kita memang akan selalu berdiri di sisi yang berbeda..." sosok berambut biru tua itu akhirnya bersuara. Kalimat tersebut ia ucapkan dengan nada dingin. Dari suaranya, nampaknya dia adalah seorang pria.

"Ya, kau benar..." suara seorang wanita membalas. "Tidak peduli seberapa keras kita berusaha untuk berdiri di sisi yang sama, pada akhirnya kita akan tertarik oleh gravitasi dari masing-masing sisi." Mata hazel itu mengkilap sesaat. "Bukan begitu, Athrun?"

Pria bernama Athrun itu tersenyum dingin. "Benar, Cagalli."

Sunyi. Tidak ada percakapan lagi diantara mereka.

"Harus aku akui, aktingmu sungguh hebat." Cagalli mencibir. "Dan betapa bodohnya aku, karena termakan oleh akting sialanmu." dia menurunkan pistolnya untuk sesaat, tetapi dia tahu bahwa itu adalah sesuatu yang berbahaya, sehingga ia kembali mengacukan pistolnya.

Mata hijau itu perlahan menghangat, ia menurukan tangan kanannya ke bawah. "Apa yang kita lalui bersama, mungkin itu hanya akting untuk menutupi siapa kita sebenarnya. Tetapi perasaan yang tumbuh dalam sandiwara itu, itu bukan akting. Itu semua nyata, Cagalli. Senyata luka yang kau berikan kepadaku, senyata luka yang aku berikan kepadamu. Kita bisa melihatnya, dan juga merasakannya."

"DIAM!" teriak Cagalli. Tangannya yang kaku tiba-tiba bergetar. "Seharusnya aku tahu, tidak, aku tahu bahwa ada yang aneh denganmu. Tetapi," sekarang bukan hanya tangannya saja yang bergetar, suaranya juga ikut bergetar. Kemana perginya sikap dingin yang telah menyelimuti dirinya selama dua jam belakangan? "perasaan ini. Perasaan ini membutakanku, membuat aku mengacuhkan insting yang selama ini aku percayai. Karena aku," ia menunduk. "aku sudah mulai percaya dengan yang lain. Aku mempercayai dirimu, Athrun..."

"Aku tahu."

"Kau tidak TAHU!" Cagalli mengangkat kepalanya, dengan mata menantang dia menatap Athrun. "SIALAN! Kau tidak tahu apa-apa tentangku! Yang kau kenal adalah Cagalli Yula Athha, CEO dari Rouge Publishing Company. Anak adopsi Uzumi Nara Athha! Bukan... Bukan Cagalli Hibiki, pembunuh bayaran yang selalu berhasil membunuh target dengan tingkat kesulitan apa pun..."

"Kalau begitu kita berada dalam situasi yang sama." Athrun kali ini memberikan senyum hangatnya. "Pria yang kau nikahi dua tahun silam adalah Athrun Zala, CEO dari ZAFT Motor Company. Anak kandung dari Patrick Zala. Bukan Alex Dino, pembunuh bayaran dengan tingkat keberhasilan seratus persen."

Cagalli menutup kedua telinganya dengan tangannya. "DIAAAAM!"

"Tapi apakah itu penting, Cagalli? Aku menikahimu karena aku mencintaimu. Tidak peduli apakah kau Cagalli Yula Athha atau Cagalli Hibiki. Aku mencintaimu, seluruh kebaikan serta kejelekanmu. Aku mencintai semuanya..."

Satu tembakan terlepas, sebuah peluru melesat melewati Athrun. Tetapi peluru itu membuat pipi Athrun tergores. Pria itu tidak bergerak dan tidak menunjukkan rasa sakit. Cagalli dilain pihak, nafasnya naik turun tidak karuan, tangannya bergetar hebat. Seperti seorang pemula yang baru pertama kali menembakkan pistol. Padahal dia sudah sering melakukannya, dari berbagai jarak, dengan sudut yang berbeda dan posisi yang terkadang aneh. Semuanya tepat sasaran. Tetapi sekarang, kenapa dia bisa meleset ketika menembak Athrun? Demi Hauemea, jarak mereka paling hanya sepuluh langkah!

Kenapa, saat bersama pria ini, Cagalli berubah menjadi pribadi lain?

"Aku mencintaimu, Cagalli." Athrun kembali mengucapkan kalimat itu tanpa bosan.

Hening beberapa menit, Cagalli berusaha menata kembali emosinya yang berantakan, mencari-cari sikap dingin yang sempat mencair. Setelah semuanya siap, Cagalli bersuara. "Jika kau memang mencintaiku, matilah untukku, Athrun Zala!" Wanita berambut pirang itu menarik pelatuk pistolnya.

Reaksi Athrun sangat cepat. Tepat setelah mendengar letusan pistol, dia melakukan hal yang sama.

Bulan purnama bersembunyi di balik langit malam pada saat keduanya ambruk bersamaan.

Sunyi.

Apakah waktu kembali berhenti?

Tidak terdengar hembusan angin atau deru ombak. Hembusan nafas manusia juga tidak terdengar...

Darah segar meresap ke tanah, bau anyirnya menguap ke udara.


Apakah saia setega itu dengan membiarkan mereka tewas? Tentu saja tidak! Tunggu kelanjutanny minggu depan!

Kritik dan saran sangat diharapkan :)