Kehidupan itu apa?

Bungo to Alchemist Fanfiction by Reisuke Celestine

.

Disclaimer: DMM Games

.

Cast: Edogawa Ranpo/Osamu Dazai

Warning: OOC, terlalu banyak berbicara, slash, no-plot.

.

.

Don't Like, Don't Read

.

.

Kehidupan itu apa?

Di kehidupannya kini atau sebelumnya, selalu itu yang mengganggu pikiran. Lebih mudah mengerti kematian baginya. Seperti melakukan perjalanan, tujuannya pasti. Sedangkan kehidupan, rumit. Namun di lain sisi, ia begitu sederhana. Masalahnya, apa yang tidak ia mengerti?

"Bukankah itu karena Dazai-kun tidak mencoba melihat dari sisi lain?"

"Hm?"

Pemuda bersurai merah itu mendongakkan kepala. Lawan bicaranya sibuk dengan lembaran-lembaran bergambar abstrak yang tidak ia mengerti sama sekali (tidak sepenuhnya gambar tidak jelas, hanya saja ia memang sama sekali tidak mengerti).

"Lalu, Ranpo-san mengerti?"

Yang ditanya tertawa kecil. Monocle putih yang setia bertengger di mata kirinya sedikit bergeser ketika ia melakukan itu. Orang itu penulis novel misteri—dulunya. Tapi Dazai tidak bisa melihat sedikit pun kesan detektif dalam dirinya, bahkan walau dalam keseharian dimana ia melepas topi putih dan jubah miliknya. Ia lebih merasa melihat seorang tukang sulap, atau penghibur.

"Bukan masalah mengerti, tapi bagaimana cara memandangnya. Setiap orang punya pandangan berbeda soal apa itu kehidupan. Bagi seseorang, mungkin itu adalah sesuatu yang baik. Bagi yang lain, ia adalah sesuatu yang teramat buruk."

"Apa itu artinya untukku yang lebih mengerti kematian, maka kehidupan adalah sesuatu yang buruk?"

"Apa kau menganggapnya demikian?"

Dazai tersentak. Ah, pertanyaan sederhana—lagi. Sayangnya, tetap saja sulit dijawab. Dazai selalu merasa seperti ini ketika berhadapan dengannya. Pertanyaannya terlampau singkat, sederhana, lugas—sayangnya, untuk cara berpikirnya, itulah pertanyaan yang sulit.

"Tidak masalah sebenarnya, kau menganggapnya baik atau buruk tidak akan mengubah kehidupan orang lain. Hanya berpengaruh pada dirimu sendiri."

"Lalu, bagi Ranpo-san sendiri, apa itu kehidupan?"

"Abu-abu."

Dazai mengerjapkan kedua matanya. Jawaban yang tidak ia duga sama sekali. Dan terlalu singkat, kalau boleh jujur. Ia berpikir, karena lawan bicara adalah penulis novel misteri, maka ia akan mendapat jawaban yang lebih jelas—seperti ketika seorang detektif menjelaskan kronologi kejadian sebuah kasus lalu mengungkap siapa pelakunya.

Rasanya memang itu yang ia baca dari kebanyakan novel misteri yang bertumpuk di meja kerja sang shiso (ia tidak mengerti sebenarnya untuk apa buku-buku itu ada di sana karena mereka, seingatnya, hanya disentuh sekali oleh laki-laki itu).

Tapi…

Ah, benar juga. Orang ini penulis novel misteri. Kalau pikiranya bisa segamblang itu ia baca, semua karyanya sama saja dengan sia-sia.

"Ini sama seperti melihat dua hal, sebenarnya. Baik atau buruk. Putih atau hitam. Dan yang di tengah-tengah adalah abu-abu. Netral. Menerima keduanya tanpa memandang rendah satu dengan yang lainnya. Kalau aku tidak bisa melihat baik dan buruk sebagai satu kesatuan, aku tidak akan pernah jadi penulis novel misteri, Dazai-kun."

Ia mengernyitkan alisnya. Merasa mendapati hal yang janggal. "Apa maksudnya?"

"Pelaku kejahatan adalah orang jahat. Itu stereotip masyarakat hingga kini, benar? Itu satu sisi. Sisi lainnya, pelaku kejahatan sebagian besarnya justru bukan orang jahat, hanya terjebak keadaan. Korban situasi."

"Ini seperti, melihat negatif dan positif pada satu hal secara bersamaan, begitu?"

"Tepat."

Dazai memandang keluar jendela. Tengah hari begitu terik, tapi dilihatnya Shiga Naoya dan muridnya yang selalu mengenakan tudung itu berada di tengah taman. Memotret entah apa yang ada di sana. Guru dan muridnya ya. Mirip dengannya, tapi…

"Berbeda sekali ya. Denganmu dan Akutagawa-san."

Dazai menoleh. "Apanya?"

"Yang di luar sana. Akutagawa-san lebih terkesan santai dibandingkan dengan Naoya-san."

"Apa aku bisa seperti mereka?"

"Bisa, kalau saja hari kematianmu sama dengan hari kelahiran Akutagawa-san."

"Ranpo-san… itu tidak lucu sama sekali."

"Aku juga tidak sedang melawak."

Dazai mengusap dahinya perlahan. Berhadapan dengan Edogawa Ranpo, terkadang jauh lebih melelahkan dibandingkan berhadapan dengan Chuuya yang sedang dalam mode menyebalkannya.

"Tapi tunggu, aku kan tidak mengatakan apapun soal Naoya-san ataupun Akutagawa-san?"

"Kalau segalanya harus dijelaskan, apa gunanya kemampuan deduksi seorang detektif?"

Lagi.

Menyebalkan.

Rasanya seperti diperlakukan layaknya anak kecil, walau faktanya, baik di kehidupan sebelumnya atau yang sekarang, ia tetap saja lebih muda dari Ranpo.

"Lalu menurutmu, kalau kehidupan itu abu-abu, kematian itu apa?"

Pertanyaan retoris. Tapi Dazai iseng bertanya, walau sudah menduga apa jawabannya.

"Abu-abu."

Benar kan?

"Sudah kukatakan, bukan? Kita tidak bisa melihat sesuatu hanya dari sisi yang kita inginkan saja. Baik dan buruk tetap harus kita anggap satu."

Dazai melirik ke arah jam yang menggantung. Sudah waktunya ia pergi. Pembicaraan ini tidak menghabiskan banyak waktu, tapi seluruh tenaganya. Ia tidak sedang bertarung, ataupun bergulat di atas ranjang, tapi rasanya tenaganya sudah menghilang entah kemana. Ia mungkin seorang penulis yang terfokus pada permasalahan psikologis manusia, di sisi yang buruk. Tapi Ranpo, yang hidup lima belas tahun lebih awal daripada dirinya dan jauh lebih lama jelas memiliki terlalu banyak pengalaman hidup yang beragam, dimana segala aspek psikologis, entah itu sisi yang baik atau buruk, sudah ia hadapi.

"Ranpo-san, terima kasih untuk pembicaraan ini. Kurasa ini waktunya untuk pergi." Dazai beranjak, melangkah ke arah pintu yang terbuka. Tepat sebelum ia keluar, pemuda bersurai merah tua itu menoleh.

"Ah, satu hal lagi, kalau kau melihatku mati, maka kematian itu apa?"

Sang penulis misteri mengulas senyum tipis di bibirnya. "Maka akan kuanggap bahwa kematian itu adalah sesuatu yang buruk. Ngomong-ngomong, Dazai-kun, tidak ingin tinggal sebentar lagi untuk menemaniku minum teh?"

"Aku benar-benar harus pergi sekarang, Ranpo-san. Lagipula, terakhir kali aku menerima tawaranmu ini, segalanya berakhir di atas ranjang," Dazai menyeringai, sedangkan si lawan bicara mengalihkan atensinya kembali pada lembaran di tangannya walau indera pendengaran masih focus pada si penulis yang lebih muda, "kurasa aku akan menerima tawaranmu di lain waktu—kalau Ranpo-san menawariku… di malam hari."

"Akan kuingat."

Dan Dazai menghilang di balik pintu.

.

END

.

a/n Diawali dengan kegalauan, diakhiri dengan kenistaan. :'D

Hai, ini fanfic pertamaku di fandom ini, jadi salam kenal~~ xD