Title : Never Ending Story

Genre : Hurt/ Comfort

Chaptered

Cast : Kris, Tao, Suho, Lay, Luhan

Warning : Yaoi, typos, abal, dan plot berantakan

.

Jika kau bertanya kenapa ia masih bertahan, mudah saja, karena ia mencintainya. Jika kau bertanya kenapa ia memilih berkorban, jawabannyapun masih sama, karena ia mencintainya. Karena cinta itu bukan apa yang dipikirkan oleh akal, tapi cinta adalah apa yang dirasakan oleh hati.

(Greg Evans)

.


.

.

Masih ditempat yang sama, terdiam memandang helai ilalang yang bergoyang, berteman sayup bisikan semesta alam. Riak nyata memecah rumput muda yang tumbuh subur ditepian kali, membasahi sang makhluk hidup dalam ketidakberdayaan yang sang pencipta alam jatuhkan.

Mengulang kembali lolongan keras yang tak teresapi, menulikan diri dari pekik bahagia yang mengalun syahdu pada rapatnya udara.

Lagi-lagi…

Di depan sana, tepat di depan mata, satu lagi luka menggerogoti relung jiwa. Menggoreskan kuas kasar berselimut jeruji tajam yang terbakar api neraka.

Tawa lebar mereka, langkah ringan tanpa beban bak memijak tanah surga, dan satu dua pelukan ringan yang tampak pada retina mata, apa yang ada dihadapannya bak satu kesempuranaan yang tak terpisahkan.

Terkadang terpikir akan kebodohan yang menenggelamkan ia pada pahitnya kenyataan. Mencoba menutup luka meski nyatanya ia tak bisa. Mencoba membutakan mata namun debar dalam dada masih dapat melihat sosoknya. Seolah ia hidup hanya untuk memuja tanpa balas rasa yang tak akan pernah ia terima.

Menutup kelopak mata, kala sebutir sumber kehidupan mulai menghujam tanah lembab yang tengah dipijaknya. Saling menyusul dengan hujaman selanjutnya. Tawa riang yang sedari tadi menjadi mimpi buruk berangsur menghilang dibalik derai air hujan. Meninggalkan sang lapangan dalam kesendirian. Melupakan bahwa ditempat yang sama masih ada sosoknya. Lagi-lagi terlupakan. Lagi-lagi terabaikan.

Tak berniat membuka mata meski dingin mulai menyergap raga. Menyekap bibir biru itu dalam sedu tangis beku. Butiran permata jatuh diantara tangis angkasa yang menaunginya. Seakan membagi luka, meluruhkan derita dengan basuhan suci mata air sang penguasa.

"Sampai kapan kau akan berdiam diri disini, Tao?"

Membuka kelopak mata, Tao, sang namja dengan lingkaran hitam digaris matanya, memandang sosok tampan dengan kepalan tangan yang memegang gagang payung merah berdiri tepat dibelakangnya.

"Suho ge…"

Mengulurkan lengannya perlahan, Suho mengulas senyum samar dibawah rintik hujan yang tak membasahi sosok rupawannya.

"Kita pulang…"

Entah kenapa, entah karena alasan apa, ia melihat tatapan terluka sama seperti apa yang tengah dirasanya. Tao mungkin mulai paham, mengerti satu simpul takdir turut andil dalam jalan penuh sulur fana yang membelit kakinya.

.

.

.

Never Ending Story

Chapter 1

.

.

.

Langkah demi langkah keduanya tenggelam dalam kebisuan. Hanya derai hujan yang meramaikan jalan pulang. Ingin Tao berkata, membuka suara, dan merapalkan tanya pada sosok tampan disampingnya. Namun melihat tatapan datar dengan kekosongan yang menusuk dada, ia tak sanggup membuka bibir hanya sekedar untuk bertanya bagaimana keadaannya.

"Aku tidak setampan dia Tao…"

Tercekat dengan rona merah yang mempermanis senyum kikuknya, Tao mengalihkan tatap mata begitu saja.

"Maaf…"

"Kenapa kau minta maaf?"

Memandang namja yang lebih muda darinya, Suho mengulum senyum lembut melihat bocah manis dengan tubuh menggigil samar itu menundukkan kepala.

"Karena aku lagi-lagi merepotkan gege…"

"Kau ini kenapa hah? air hujan membentur kepalamu terlalu keras?" ujarnya bercanda. Menepuk-nepuk kepala Tao tanpa peduli telapak tangan itu basah akan air hujan yang tak berhenti menetes dari surai gelapnya.

"Lagipula… kau tak merepotkan. Aku bicara yang sejujurnya. Karena kita tinggal satu atap, aku tak bisa memandangmu sebelah mata. Kau tinggal jauh dari rumahmu, jauh dari keluargamu. Merupakan tanggung jawab bagi kami untuk menjagamu"

Langkah namja manis itu terhenti. Masih enggan memandang sang lawan bicara. Mengukir senyum getir sarat akan bahagia yang tercipta bersamanya. Ucap kata semacam itu tak pernah Tao sangka akan ia dengar dari sosok sedingin Suho.

"Aku ini bodoh ya ge, kenapa bukan Suho ge saja yang kusuka? Kenapa harus orang lain yang bahkan tak pernah melihatku ada?"

Turut berhenti melangkahkan kaki, Suho menangkup rahang Tao dengan kelima jemari bebasnya. Memaksa Tao menatap balik pendar hangat yang menguar dari sorot mata miliknya.

"Kalau begitu cobalah… cobalah untuk menyukaiku"

Beberapa detik larut dalam keheningan, hanya tatap mata yang saling memandang. Perlahan namun pasti sudut bibir namja manis itu terangkat tinggi. Hingga kekehan geli menyambut Suho yang juga turut tak mampu menahan gelak tawa. Entah untuk alasan apa, keduanya terbahak bak orang gila.

Lama, sampai sedu tangis itu menghapus lengkungan indah yang bertengger nyata dibelahan bibir Suho.

Lagi-lagi tangis yang sama. Entah berapa kali pemuda tampan itu dihadapkan dalam moment menyedihkan semacam ini. Ingin Suho memakinya, memarahi bocah yang telah dia anggap sebagai dongsaengnya itu dengan lontaran kata yang pasti menyakiti jiwa. Namun ia tak sanggup, tak mampu membuka bibirnya hanya untuk menambah luka sang namja muda.

Tanpa kata, Suho menjatuhkan payung dalam genggamannya begitu saja. Melingkarkan lengannya pada tubuh bergetar sosok manis dihadapannya. Membiarkan tebah air hujan turut membasahi tubuh gagahnya.

.

.

"Kami pulang…"

Satu kata yang teramat sering menggema di apartemen ini kembali memecah sunyi. Saling pandang sesaat sebelum derap langkah menenggelamkan keduanya pada segala jenis pemikiran yang enggan terucapkan.

"Selamat dat— Astaga, kenapa kau basah kuyup begitu Tao? Dan…" memutus kalimat sampai disana, namja mungil dengan bibir secerah cherry blossom itu balik memandang satu sosok lainnya.

"Apa yang terjadi dengan kalian berdua?"

Menghela nafas layaknya hal biasa baginya, Suho melangkah santai tak peduli jika ia meninggalkan jejak basah dilantai.

"Issh! Namja itu benar-benar…" mendesah kesal, pemilik paras cantik itu, Xi Luhan, kembali mengalihkan perhatiannya pada namja muda dihadapannya.

"Sebaiknya kau mandi sekarang Tao, jangan sampai kau jatuh sakit"

"Ne, Luhan ge…"

.

.

"Berhenti mengacak rambutku Kris!"

"Hei… aku sedang membantu mengeringkan rambutmu"

Langkah kaki itu terhenti. Memandang dua sosok yang sibuk dengan dunianya sendiri. Tao nyaris melupakannya, tentang kenyataan bahwa disini ia tak hanya tinggal bertiga.

"Eeh… Tao, kau darimana saja?"

Sosok manis itu mengulas senyum hangat, "Jalan-jalan…"

"Di cuaca seperti ini?"

"Terkadang air hujan bisa membuat kepalamu dingin, Lay gege… hehehe…" tawanya hambar.

"Air hujan akan membuatmu demam. Mandi sana…" satu namja lainnya turut menyahut. Tak mengalihkan fokus kegiatannya, sibuk mengeringkan surai kecoklatan Lay dengan handuk kering menggunakan kedua tangannya.

Memandang sendu, namja manis itu mengangguk paham. "Baiklah, Kris ge…"

Tak ada yang dapat ia lakukan selain menarik sudut bibirnya. Berlalu tanpa mempedulikan gelak tawa dua sosok dibelakangnya. Keduanya seolah tak menyadari, melupakan bocah itu bahwa sebelumnya mereka berada ditempat yang sama. Di ruang terbuka, dengan sekat sungai yang memisahkan ketiganya dalam sisi berbeda.

Tao seakan begitu terbiasa dengan sosok maya yang tergambar untuknya. Ia yang tampak abstrak, dan sekalipun tak pernah terlihat.

Kala tak seorangpun berada disekitarnya, lelehan kristal bening itu kembali menghantam dunia. membasuh dinginnya lantai yang menjadi saksi bisu getirnya perasaan namja manis itu. Menjadikan datarnya pintu sebagai sandaran punggung rapuhnya, Tao tak sanggup lagi bersikap seolah ia baik-baik saja. Hanya disaat seperti ini, ia bersyukur tengah sendiri. Melepas sesak yang melingkupi, dengan topeng yang telah ia lucuti.

.

.

—CsN—

.

.

Jika takdir tengah memihak padamu pada detik tertentu, kau yang tanpa persiapan matang akan terlihat begitu menyedihkan. Mencoba mengikuti arus yang tersaji di depan mata, meski sesungguhnya kau tenggelam diantara riak-riak yang ada didalamnya.

Meski nyatanya mereka bersama, sekat tak kasat mata seolah memisahkan keduanya.

"Kris gege…" namja manis itu mulai bersuara, sedikit mengalihkan perhatian sang pemilik tatapan tajam dari ramainya jalanan.

"Iya Tao?"

"Apa gege bosan bersamaku?"

Pandangan yang berbeda. Mengrenyit ringan meski kerutan didahi tak terhindari.

"Apa maksudmu Tao?"

"Ahh… tidak…" elaknya.

Kris tak mengubah fokus matanya. Menatap paras sang dongsaeng yang belakangan ini ia jaga.

"Tugas kampus menyiksamu? Atau ada sesuatu yang tengah membebanimu?"

Terpaku sesaat mendengar pertanyaan namja tampan itu, Tao menggerakkan jemari tanpa tujuan berarti. Mengaduk minuman yang tersaji, mencari celah mengaburkan isi hati.

"Aku—"

"Jatuh cinta?"

Bola matanya membulat. Menunduk dalam, tak berharap getar yang menyengat tubuh itu Kris sadari.

"Benar kau sedang jatuh cinta? Dengan siapa? Astaga… aku benar-benar tak menyadarinya"

Tentu saja…

Karena dimatamu hanya ada sosoknya.

Karena dihatimu hanya ada namanya.

"Kurasa aku memang jatuh cinta…"

Satu keputusan riskan tergumam. Membutakan mata jika ia harus tenggelam kian dalam.

"Jinjja?"

Mengangguk dengan gores bibir teramat indah, manik mata pemuda manis itu menghilang dibalik secerca kata yang mengalir setelahnya. "… Dan itu hanya cinta sepihak ge"

Kris terdiam. Memandangnya dalam. Langkah kaki pengguna jalan tak lagi menjadi daya tarik penglihatan. Sunyi melingkupi. Hanya tatap mata yang saling bertabrakan.

"Mungkin dia bukan jodohmu"

Tao tak tahu, entah Kris menyadari perasaannya atau tidak. Kalimat yang Tao terima bak segumpal jawaban yang ia butuhkan.

Ibarat ia yang telah membidik lama, mencari saat yang tepat mengutarakan perasaannya, dan saat jenjang kaki itu nyaris memijak tanah perang, ia terlanjur dikalahkan.

Sekalipun Tao tak berniat memperlihatkan sisi rapuhnya. Kekehan geli penuh dusta yang mengalun detik ini hanyalah bentuk pengalihan rasa sakit yang mengiris hati.

"Aah… hahahaa… kurasa itu memang benar" ujarnya konyol. Nyaris tersedak hingga Kris terburu mencondongkan tubuh tegapnya. Mengelus punggung Tao dengan alasan pasti yang kian melukai kepingan hati.

"I'm fine ge…"

Kris mengulas senyum lembut, menarik lengannya yang tertepis begitu saja.

Kembali tenggelam dalam kebekuan. Senyap merayap dengan bibir yang terkunci rapat. Hanya celoteh maya yang menggema dalam jiwa. Sampai suara yang mencetus setelahnya membuka lebar kelopak mata.

"Bicara soal cinta, kurasa aku juga sedang jatuh cinta"

"…" tak berkomentar, Tao hanya diam memandangnya.

"Tiap detik kau berharap selalu bersamanya, bercengkrama dengannya, dan menggenggam jemarinya. Bukankah itu cinta?"

"Hnn… Kurasa… lalu siapa orang yang gege cintai?"

"Rahasia"

"Kris gege pelit sekali"

"Hahahaa…"

Tawa itu menggema, mengusik pengunjung kafe lainnya yang ada disekeliling mereka.

"Kau benar-benar ingin tahu siapa orang itu?"

Memutus tatapan keduanya, namja manis itu tak tahu harus bereaksi seperti apa. Dalam satu sisi ia ingin mengetahui, satu sisi lainnya memaksa ia tak bersuara. Terlalu takut dihadapkan dengan luapan kata yang hendak Kris dengungkan.

"Dia tinggal satu atap denganku, nyaris tiap waktu ada didekatku. Coba tebak!"

Menahan nafas untuk yang kesekian kali, sekalipun Tao tak berani memandang pijar terang yang tengah mengurai kebahagiaan. Mawas diri, mematri dalam hati, jangan sampai ia menangis dihadapan namja tampan ini.

Kris masih saja mengumbar senyum suka cita. Menunggu Tao bereaksi akan pengakuan yang dilontarkannya.

"L-Lay gege…" cetus Tao lirih. Meremas kedua tangannya yang saling bertautan dibawah meja.

"Binggo! Dialah orangnya…"

.

.

TBC!

.

.

Draf lama yang menjamur di lepi. Bener-bener lagi tergila-gila ama Taoris nih, bantu saya mengenal mereka lebih jauh ya, readers-ssi.

Terimakasih buat kunjungannya, kritik dan saran saya terima.

Sampai jumpa^^