"I don't know why they call it heartbreak. It feels like every other part of my body is broken too." -Missy Altijd
Tokyo, 1 November 2013
.
.
Orang-orang terus menatapku. Mata nanar mereka memandangku heran. Mungkin mereka pikir aku sudah gila.
Aku tidak menyalahkan siapapun. Jika aku berada di posisi mereka, aku pun akan menganggap seorang gadis yang berkeliaran di jalan pada malam musim dingin tanpa alas kaki itu kurang waras.
Hanya kebetulan kali ini, seseorang yang tidak waras itu adalah aku, Aoi Saki.
Sepertinya sudah lima belas menit aku berjalan tanpa arah. Bertelanjang kaki, mata berair, syal hilang entah kemana, seluruh badan beku, menggigil kedinginan. Terlihat seperti apa wajahku sekarang, aku tidak mau tahu dan tidak berminat untuk tahu. Mengintip bayangan di kaca toko sebelahku saja tak berani kulakukan.
Aku takut akan melihat gadis lemah yang sama seperti setengah jam yang lalu. Gadis jelek, yang baru saja dicampakkan laki-laki sok hebat tak tahu diri. Dan anehnya, aku cukup tolol mau memacarinya selama 4 tahun. Ternyata pepatah itu benar adanya. Cinta itu buta. Terlalu silau, sampai-sampai kita hanya bisa melihat kelebihan palsu yang notabene memang sengaja ditonjolkan orang itu. Lalu pada akhirnya, penyesalanlah yang datang terlambat. Aku meringis, tertawa dalam hati. Air mata yang berlinangan di pipiku perlahan mengering tertiup angin malam, membuat suhu di wajahku sama bekunya dengan kakiku—yang omong-omong, mulai kehilangan tenaganya.
Pupil mataku refleks menangkap kursi kosong di taman seberang. Dengan malas, kedua tungkai ini menyeret tubuhku maju. Aku bahkan tidak mengindahkan tumpukan es di atas kursi panjang itu dan langsung duduk. Tangan dan kakiku sudah terlalu mati rasa untuk merasakan dinginnya. Mungkin juga hatiku, perasaanku yang dengan mudahnya diinjak seorang pria brengsek.
Sepuluh menit berikutnya aku hanya menatap kosong tanah bersalju di bawahku. Langit telah lama larut. Kemudian tiba-tiba saja, telingaku menangkap bunyi decit sepatu. Awalnya tidak kugubris. Namun semakin lama, decit itu semakin keras—dan cepat—diikuti pantulan bola dan teriakan beberapa orang. Entahlah, teriakan seperti 'Sial, hentikan dia!' atau 'Shit!' atau 'Dia monster!' dan beberapa umpatan lain sempat terhujat dari mulut mereka. Aku menghela nafas berat, tidak berniat melihat ke arah sumber suara tersebut. Tepat ketika aku butuh ketenangan, bising menyerbu. Apa takdir sebegitu bencinya padaku?
Kalau mengingat kejadian tadi, kurasa ya. Takdir memang membenciku. Atau boleh kukatakan, dendam padaku.
Bagaimana tidak? Berniat memberi kejutan ulang tahun pada pria sialan itu, malah menemukannya sibuk bercumbu dengan gadis lain di apartemennya. Kuulangi, bercumbu di apartemennya. Dan ketika aku melemparkan semua kekesalanku pada pria dan gadis itu (baca: memaki, menjambak), sebuah tamparan keras justru mendarat di pipiku. Awalnya aku hanya diam sambil menahan air mata yang jelas-jelas mulai mengalir. Lalu kemudian ia mencaciku balik, sementara si gadis meringsut di belakangnya, dengan gaya manja memohon perlindungan. Saat kemarahan yang sempat kutahan mencapai puncak, dor. Kedua heelsku melayang, tepat mengenai wajah keduanya. Singkat cerita, aku pulang setelah rasa jengkelku terlampiaskan.
Dan disinilah aku sekarang. Laksana gadis tunawisma yang tak punya arah tujuan. Setahun lagi, aku akan lulus SMA. Mestinya aku dapat menikmati masa-masa ini semaksimal mungkin, sebahagia mungkin. Bukankah itu yang biasa dilakukan gadis-gadis seusiaku?
Setitik air mata berhasil lolos. Lalu setitik lagi, dan setitik lainnya. Tanpa bisa kubendung, aku mulai terisak.
Sakit. Sakit sekali.
Inikah yang namanya patah hati? Banyak orang mengatakan rasanya bagai ditusuk seribu jarum. Kurasa itu benar, bahkan lebih parah. Tapi seharusnya—
Mendadak kurasakan seseorang menduduki tempat kosong di sebelahku. Dan jelas sekali, terdengar teriakan lain dari arah jalan. Nada mengutuk yang sama seperti tadi. Nampaknya dari orang-orang yang sama pula.
"Kau brengsek! Jangan kira kami kalah begitu saja!"
"Lihat pembalasan kami nanti!"
"Kau memang monster!"
Dan sejenisnya.
Apa-apaan itu? Monster? Balas dendam? Jangan-jangan habis terjadi perkelahian di dekat sini?
Aku menelan ludah dan isakku, sebelum mendongakkan kepala ke arah penghuni kursi baru ini. Rasa penasaranku semakin bertambah, tatkala melihat orang—tepatnya, laki-laki di sebelahku seolah tidak peduli dengan keberadaanku. Matanya menerawang ke tanah, persis seperti yang kulakukan sebelumnya. Hanya saja, sorotnya dipenuhi emosi yang tak dapat kumengerti. Kosong? Hampa? Bosan?
Siapa dia? Tidakkah ia takut disangka bergaul dengan orang gila? Maksudku, dengan segala tatapan yang kudapat dari orang-orang di jalan, menghindari seorang gadis aneh tanpa sepatu yang keluyuran di malam bersalju tampaknya merupakan opsi terbaik.
Sepertinya jalan pikir orang ini sedikit berbeda. Kudapati rambut biru serta kulit gelapnya basah oleh peluh, meskipun tidak banyak. Di tangannya bertengger bola basket. Jadi bunyi decit dan pantulan bola tadi berasal dari permainan basket? Apa orang-orang yang merutukinya tadi juga ikut bermain dengannya? Dan kalah? Tapi orang sinting macam apa yang bermain basket di tengah malam dingin begini? Yah, kurasa aku menyindir diriku sendiri untuk pertanyaan terakhir itu.
Mataku kemudian membulat ketika ia melirikku balik. Sejenak aku melihat iris birunya turun menatap—
"C, hm?"
Apa?
Dengan mudah pandangannya kembali ke depan, seolah ia tidak pernah mengatakan apapun. Aku tidak salah dengar, bukan? Jelas-jelas dia menyebut—
"Maaf," kataku dengan gigi menggertak. "Apa yang kau katakan barusan?"
"Ng?" Orang ini bahkan tidak mau ambil repot untuk menengok dan malah memainkan bola basket dengan jari-jari panjangnya. Sementara kedua tanganku mengepal erat. "Aku tadi bicara sesuatu?"
Kami-sama, kenapa kau begitu senang menguji kesabaranku?
"ARGH! Sudah cukup!" Secepat kilat aku berdiri, mengusap kasar air mata di pipiku.
Tindakanku yang mendadak jelas sedikit mengejutkan tamu baru ini. Aku bisa melihatnya dari cara dia menghentikan permainan bodohnya dengan bola oranye itu dan menatapku dengan mata penasaran. Namun sejurus kemudian pandangannya berubah bosan. Cukup. Aku sudah cukup merasakan kesialan-kesialan hina dan ini yang terakhir.
"KAU JELAS-JELAS MELECEHKANKU, TUAN!" Aku tak peduli lagi jika suara melengkingku membuat beberapa orang di sekitar kami menatap heran, atau ngeri. Aku tidak peduli. Aku hanya ingin menumpahkan semua amarahku pada orang ini—yang terlihat sama brengseknya dengan pria jahanam itu. Dengan jari telunjuk tertuding ke wajahnya, suaraku kembali berkumandang memecah sunyi malam. "Apa itu pantas dikatakan seorang laki-laki pada perempuan yang sedang menangis?! Kuberitahu, hari ini aku sudah terlalu banyak melewati malang, cacian, hinaan yang semuanya membuatku muak. Dan kau salah satunya, kau dengar?! Aku sangat benci laki-laki sepertimu! Dasar baka! Tidak tahu malu!"
Nafasku terengah-engah. Kutatap balik setiap orang yang berbisik sambil melewati kami. Terserah mereka mau bergosip apa. Tak akan sedetik pun kuladeni.
Tapi hal yang selanjutnya kudengar sungguh diluar nalar.
Awalnya hanya sebuah gelak kecil. Tertahan, terdengar disembunyikan. Kemudian suaranya membesar.
Dia tertawa.
Sekali lagi, pemuda bersurai biru ini tertawa.
Tambahan, tawa mengejek. Kentara sekali itu ejekan.
Telunjuk yang sedaritadi menuding ke arahnya kuturunkan perlahan. Sorot mataku berubah semakin nanar.
"Hebat," ketusku sembari menahan ledakan. Namun yang tak sempat kusadari adalah cairan bening mulai keluar dari mataku. "Tertawa sesukamu."
Aku berbalik, mulai meninggalkan tempat terkutuk itu tanpa sepatah kata pun yang berhasil lolos. Tenggorokanku tercekat.
Diselingkuhi, ditampar, dicaci-maki, dipermalukan di depan umum, kedinginan, dan sekarang ditertawakan oleh orang asing aneh berkulit hitam. Apa lagi setelah ini? Ditenggelamkan ke sungai es?
Aku tidak tahan lagi.
Sambil terus berjalan, cemooh konyol untuk diri sendiri dan untuk orang itu tiada hentinya terlontar dari bibirku. Tapi, ini hanya perasaanku atau aku memang menerima tatapan menusuk dari belakang?
Entahlah.
Aku sungguh tidak berharap akan bertemu kaum adam sejenis makhluk ini lagi dalam waktu dekat. Tidak sekarang, tidak selamanya.
.
.
.
To be continued.
