Sinbad menatap gadis kecil yang berusia sekitar 6 tahun didepannya, matanya menatap gadis itu dengan penuh kemarahan. Gadis kecil itu tampak sangat ketakutan, tubuhnya gemetar.
"Kenapa kau tidak menghilang saja? Kondisi ibu mungkin bisa membaik, kau hanya beban untukku dan ibu." Ucap Sinbad, suaranya penuh dengan kebencian.
Gadis kecil itu tampak terluka mendengar kata- kata itu, air mata tampak nyaris jatuh dari matanya.
"Ta, tapi kak, aku." Kata-kata gadis itu dipotong dengan cepat oleh Sinbad.
"Kau masih punya keberanian mengaku sebagai adikku? Setelah melakukan kesalahan seperti ini?!"
Gadis kecil itu tersentak mendengar suara Sinbad, namun Sinbad tidak peduli. Dia meneruskan kata-katanya.
"Kau membiarkan ibumu sendirian tanpa memberi kabar membuatnya khawatir dan mencari-carimu ketika kondisi tubuhnya sendiri sedang sangat lemah?! Kau bahkan sudah tidak pantas menyebut dirimu sendiri anaknya, kau bukan adikku!." Ucap Sinbad, mata Sinbad tampak begitu dingin.
Gadis itu tampak hancur, dengan air mata yang berjatuhan dari amtanya dia berlari melewati Sinbad keluar dari rumah itu. Kantung yang dipegang gadis itu jatuh dan isinya berserakan dilantai. Awalnya Sinbad tidak memperdulikannya tapi dia melihat suatu benda yang sangat dia kenal.
Sinbad terdiam menatap benda itu, dia mengambil kantung itu dan mengeluarkan isi kantung itu. Mata Sinbad melebar saat melihat isinya, semua isi kantung itu adalah tumbuhan obat yang dibutuhkan ibunya, semuanya tanpa kurang satupun.
Sinbad menaruh semuanya kembali ke kantung dan berlari kearah pelabuhan dari kejauhan dia dapat melihat awan badai yang mulai menutupi desanya. Saat Sinbad sampai dipelabuhan dia melihat pemandangan yang membuat jantungnya terhenti.
Gadis kecil itu bersama perahu yang dia naiki menghilang di dalam badai tersebut.
Mata Sinbad tampak panik, dia berlari tanganya seolah mencoba menjangkau kearah bayangan gadis tadi terlihat. Dia menjerit memanggil gadis itu.
"Shanaz!" jerit Sinbad, Sinbad membuka matanya dia terbaring ditempat tidurnya tangannya terjulur keluar dari selimut yang dia pakai, seolah mencoba menggapai sesuatu, Napasnya terengah-engah. Perlahan dia berhasil menenangkan dirinya. Sinbad menatap sekelilingnya, dia berada dikamarnya di Sindria.
"Hanya mimpi..., sudah lama sekali aku tidak memimpikan hari itu." Pikir Sinbad.
Sinbad turun dari tempat tidurnya dan menatap keluar jendela, dia melihat pemandangan di luar jendela.
15 tahun berlalu sejak kejadian itu, Sinbad masih ingat dengan jelas betapa hancur ibunya saat mengetahui apa yang terjadi dengan adiknya.
Ibunya jatuh sakit, dia mengalami demam tinggi selama beberapa hari dan saat ibunya sembuh, dia tidak ingat tentang Shanaz, dia tidak ingat bahwa dia memiliki anak perempuan, anak yang dia kandung sebelum suaminya dikabarkan meninggal. Harta terakhir dari ayahnya, yang Sinbad gagal lindungi.
Sinbad dan penduduk desa sepakat untuk merahasiakan tentang keberadaan Shanaz dari ibunya, demi melindungi ibunya. Penduduk desa yakin jika Shanaz sudah meninggal dilautan, namun Sinbad yakin bahwa adikknya itu masih hidup, selama dia tidak menemukan tubuh gadis itu dia yakin jika adiknya selamat.
"Kamu dimana, Shanaz?" bisik Sinbad, mata pria itu penuh dengan penyesalan.
"Dimana kau, adikku..." Sinbad menutup matanya, tangannya terkepal kuat.
