Disclaimer: Kurobas punya Fujimaki-sensei. Akakuro punya Fei #plakk.

Rate: T+

Pair: Father!Kuroko X Son!Akashi.

Warning: Violence, bully, children abuse, blood, typo(?).

A/N: Niat awal maunya Akashi jadi ayah, tapi entah kenapa pengen banget liat Akashi jadi anak, biar anti mainstream :v #digebukin, ini gara-gara Fei baca berita tentang hubungan ayah dan anak yang hancur, yang menurut Fei banyak terjadi zaman ini. (Sebenarnya karena liat foto Kuroko dengan shotaneko Akashi.)

Selamat membaca ^^


Tampan, imut, jenius, sempurna dalam segala hal #bukanpromosi, siapa yang tak mau jadi seperti Akashi Seijuurou?


Bola basket itu meluncur mulus ke dalam ring, sedangkan si pencetak berdiri sambil tersenyum senang.


Anak ini memiliki hampir semua yang diharapkan kalian.


"Bagus!" Seru seorang pemuda berambut hitam sambil menepuk bahu anak kecil itu.

"Hehehe." Kekeh si bocah.


Memiliki wajah yang tampan dan imut, anak jenius ini sudah duduk di bangku kelas 3 SMA, lupakan fakta bahwa usianya masih 10 tahun. Seorang guru di SDnya memberinya kesempatan untuk mengikuti program akselerasi, hingga berhasil menjadi siswa termuda di SMA Teiko pada usia 8 tahun.


"Latihan hari ini cukup sekian. Semuanya boleh bubar." Perintah sang pelatih.


Tidak hanya menjadi siswa termuda, anak ini bahkan berhasil masuk first string tim basket SMA Teiko, dan menjadi pemain starter termuda dalam sejarah Teiko.


Tangan itu berusaha menarik handuk yang diletakkan diatas loker. Salahkan orang yang meletakkan handuknya disana sehingga tangan mungilnya tak bisa menggapai handuk itu.

"Akashi, kau ngapain-nodayo?"

Seijuurou berbalik dan mendapati Midorima Shintarou, senpainya, berdiri di pintu masuk dengan wajah bingung melihat dirinya berjinjit hendak mengambil handuk. Midorima mendekati anak itu dan menepuk bahunya, "Ada apa?"

Seijuurou terdiam sebentar, "Shintarou-nii, tolong aku.." Bisiknya malu-malu.

Midorima tersenyum melihat wajah Seijuurou yang imut saat meminta bantuannya. Baru kali ini, sejak pertama kali mengenalnya, Midorima mendengar Seijuurou meminta bantuan padanya.

"Hm..apa aku tidak salah dengar?" Goda Midorima, "Bukannya kau absolut?"


Kalian yang membaca ini, tentunya ingin bertukar tempat dengannya kan? Tahukah kalian, dia sama sekali tidak keberatan untuk bertukar tempat denganmu.


Memang, pada pertama kali masuk, Seijuurou adalah anak manis yang selalu tersenyum. Mereka semua sangat senang melihatnya, terutama ketika anak manis itu memanggil mereka 'nii' dan bukan 'senpai'. Hei, siapa sih yang ga mau jadi kakak dari anak semanis dia? Namun, tiga bulan kemudian, anak itu berubah menjadi begitu tertutup, dingin dan tidak banyak bicara. Bahkan ketika ditanya, anak itu hanya sekedar mengangguk atau menggeleng, dia selalu menyebut dirinya absolut. Tapi, Nijimura berhasil mengembalikan Akashi Seijuurou yang dulu, anak yang ceria dan selalu membuat orang lain tersenyum.

Manik rubi itu mulai berkaca-kaca, siap mengalirkan sungai di pipi porselen itu.

"E-eh, jangan nangis-nodayo! Iya aku ambilkan-nodayo!"

"Bukan ambil, tapi angkat." Ucap Seijuurou sambl terisak.

"Angkat? Mengangkatmu?" Tanya Midorima.

Seijuurou menggeleng.

"Aku tak mengerti."

"Shintarou-nii, tolong angkat kakimu, sakit."

Midorima buru-buru mengangkat kakinya yang menginjak kaki si bocah merah di hadapannya, "Gomen, aku tak tau-nodayo. Kenapa ngga terus terang saja-nodayo?"

"Aku takut Shintarou-nii tersinggung." Jawab Akashi.

"Dasar, cepat ganti bajumu, aku mau mengunci gym ini."


Kalian, para pembaca, yang masih bisa bercanda dan tertawa dengan ayah kalian, tahukah kalian kalau anak ini sangat ingin mendapatkan tempatmu?


"Akashi, mau pulang bareng?" Tanya Midorima.

"Eh? Kenapa?" Tanya Seijuurou.

"B-bukannya aku peduli padamu-nodayo, tapi sekarang sudah malam."

Sejujurnya, Midorima mengkhawatirkan Seijuurou. Sekarang sudah pukul 8 malam, dan untuk anak kecil seperti Seijuurou, tentu sangat berbahaya untuk pulang sendirian. Hell, bagaimana kalau ada orang yang menculik anak ini lalu memutilasi tubuhnya untuk diambil organ dalamnya, atau mungkin dibawa ke klub malam?

Midorima menggelengkan kepalanya untuk menyingkirkan pikiran anehnya.

"Tenang saja, aku bisa sendiri kok." Ujar Seijuurou.

"Kau yakin?" Tanya Midorima.

"Tentu saja." Jawab Akashi sembari tersenyum manis.

Midorima menghela nafas, "Kalau begitu, aku duluan." Ucapnya sembari melangkah pergi.

"Hati-hati di jalan, Shintarou-nii." Seru Seijuurou sambil melambaikan tangannya.

Midorima tersenyum kecil.


Kalian pasti bertanya-tanya, kenapa dia dengan senang hati mau bertukar tempat dengan kalian, bukan? Tahukah kalian, kalau Akashi Seijuurou memiliki sebuah rahasia? Rahasia yang selalu disimpannya rapat-rapat? Rahasia kelam yang akan membuat kalian berubah pikiran?


Rumah tempat Akashi Seijuurou tinggal ada di ujung jalan, rumah yang terbuat dari kayu dan papan itu terletak tidak jauh dari pemukiman warga, namun cukup sepi. Aku bahkan bingung untuk menjabarkannya.


Sekarang, aku ingin bertanya pada kalian, seandainya kau melihat anak kebanggaanmu melangkah masuk ke rumah, apa yang akan kau katakan padanya? Tentu saja ucapan 'selamat datang' dan pelukan hangat bukan?


Seijuurou berdiri di depan pintu rumahnya, dia tak berani masuk karena mendengar suara yang mengerikan dari dalam rumahnya.

"Seijuurou-kunh~hiks~dimana kau~?"

Terdengar suara botol yang pecah. Seijuurou gemetar ketakutan. Jujur saja, dia merasa sedikit takut, wlaupun dia sudah tau hal ini akan terjadi.

Pintu menjeblak terbuka, menampilkan sosok Akashi Tetsuya yang wajahnya memerah. "Sudah pulang ya, anakku? Cepatlah masuk."


Namun, bukan ucapan selamat datang ataupun pelukan hangat yang diterima Seijuurou setiap pulang sekolah.


Seijuurou berlari masuk ke dalam rumah tanpa menatap ayahnya, dia takut melihat sorot mata ayahnya yang mengerikan. Namun sebelum sempat melangkah lebih jauh, dia merasakan tarikan di kerah seragamnya.

"Apa," Geram Tetsuya sembari meneguk sake, "yang harus kau katakan ketika tiba di rumah? JAWAB!"

"T-tadaima, T-tou-san.." Ucap Seijuurou gemetar, saking takutnya, dia sampai lupa mengucapkan salam. Tentu saja ini akan menjadi sasaran empuk.

"Rupanya kau sudah lupa tata krama ya," Seringai terkembang di wajah Tetsuya, "Biar kuajarkan padamu."

Seijuurou terbelalak, "Tidak, Tou-san, kumohon, jangan!"

Mendengar jeritan Seijuurou, bukannya kasihan, seringai Tetsuya malah melebar. Dilucutinya semua pakaian yang melekat di tubuh anaknya, hingga yang tersisa hanya celana dalamnya, dan diseretnya tubuh mungil itu ke pohon sakura di belakang rumah. Seijuurou berusaha untuk meronta, namun sayang, tenaga Tetsuya jauh lebih besar. Sehingga, sebelum sempat menyadarinya, Seijuurou sudah terikat di batang pohon sakura dengan tangan terikat di belakang pohon, seolah dia sedang memeluk pohon itu.

CTARR


Melainkan hinaan, pukulan, dan penderitaan.


"AAARGH!"

"Itu karna kau melupakan sopan santunmu." Ucap Tetsuya dingin sambil mencambuk punggung Seijuurou dengan rotan, meninggalkan bekas kemerahan memanjang di kulit mulusnya.

CTARR

"AARGH!"

"Itu karna kau tidak menghormati ayahmu."

Tetsuya menarik rambut Seijuurou, membuatnya bertatapan langsung dengan manik azure yang ditakuti sekaligus dikaguminya, "Kemana saja kau?"

"A-aku latihan basket…"

Tetsuya melepaskan cengkeramannya dan kembali mencambuki punggung Seijuurou yang sudah mulai berdarah di beberapa titik. Seijuurou menangis menahan sakit. Sementara Tetsuya terus memukulnya tanpa henti. Rotan itu mendarat berkali-kali di punggung dan paha Seijuurou, dan Tetsuya tak menunjukkan tanda bahwa dirinya akan berhenti, sehingga Seijuurou hanya bisa menangis dan menggigit bibirnya.

Entah sudah berapa lama waktu berlalu, akhirnya Tetsuya berhenti mencambuki anaknya. Ditatapnya mahakarya yang dilukisnya sambil tersenyum keji.

"Ingat, aku melakukan ini agar kau belajar dari kesalahanmu hari ini." Ucap Tetsuya sembari melangkah masuk ke rumah. Tanpa melihat senyuman senang di wajah Seijuurou.

Aku tau kok, Tou-san, kau melakukannya sebagai pelampiasan saja, kan? Aku tidak keberatan, selama aku bisa melihat senyummu, walaupun itu senyuman keji.

"Kaa-san.." Isak Seijuurou disela senyumannya.


Ya, itulah rahasia kelam yang disimpan Seijuurou, fakta bahwa dia adalah korban dari kekerasan anak.

Mungkin kalian bertanya-tanya, kenapa Seijuurou bisa mengalami hal mengerikan ini, dan sejak kapan dia mengalaminya. Baiklah, akan aku ceritakan.

Akashi Tetsuya adalah putra dari Akashi Hideki, pemimpin Akashi Corp. yang terkenal di seantaro dunia. Dia mencintai Momoi Satsuki, yang tak lain adalah maidnya sendiri. Pada hari Natal, Tetsuya menyatakan cintanya pada pujaan hatinya. Karena memiliki perasaan yang sama, Satsuki pun menerimanya. Sayangnya, Hideki menentang hubungan mereka. Namun hal itu tidak mematahkan cinta mereka. Secara diam-diam, Tetsuya menikahi Satsuki.

Hubungan terlarang mereka terbongkar ketika Satsuki meminta cuti. Setelah diselidiki, ternyata Satsuki tengah mengandung buah cintanya dan Tetsuya. Hideki menjadi berang, diusirnya putra kandung dan menantunya. Tetsuya sangat senang bisa keluar dari coretpenjaracoret rumahnya. Dia membeli sebuah rumah-yang ditempatinya hingga sekarang-dan menetap di sana. Seijuurou lahir tepat 5 hari sebelum Natal, melengkapi anggota keluarga kecil itu.

Namun, kebahagiaan itu tak berlangsung lama. Ketika seijuurou berusia 8 tahun, atau tiga bulan setelah masuk SMA, sang ibunda, Satsuki, meninggal karena kecelakaan mobil. Tetsuya sangat terpukul dengan kejadian itu. Namun beberapa harikemudian, Tetsuya berubah, dia selalu menatap Seijuuou dengan mata yang penuh kebencian. Dan sejak itulah, semua teror ini dimulai.

Bukan rahasia lagi kalau Tetsuya membenci Hideki, namun dia tak pernah menunjukkan kebencian itu, bahkan, aku bisa bilang kalau kebencian itu hanya 10%, namun entah apa yang dia dengar atau dia ketahui, hingga kebencian itu menjadi 95%, dan entah apa alasan Yang Diatas , Seijuurou memiliki fisik yang sama dengan kakeknya, membuat dirinya tampak seperti Hideki versi mungil, siapapun yang melihat Seijuurou akan merasa melihat Hideki, dan hal itu juga berlaku pada Tetsuya. Sejak saat itu, Tetsuya selalu melampiaskan kebenciannya pada sang ayah lewat Seijuurou. Itulah alasan mengapa Seijuurou berubah menjadi pemurung di tahun keduanya.

Mungkin juga kalian bertanya-tanya, kenapa tak seorang pun bertindak? Tak seorang pun menyelamatkan Seijuurou yang malang? Aku beritahukan pada kalian, semua karena anak itu sendiri yang melarang mereka. Jika kalian bertanya tentang alasannya, aku hanya bisa mengatakan kalau dia ingin menunggu, menunggu apa, aku juga tak tau.


Pagi itu, Seijuurou terbangun dengan kepala sedikit pening. Ikatan di pergelangan tangannya telah lepas, sepertinya Tetsuya sudah melepaskannya. Perlahan, Seijuurou bangun dan berjalan menuju kamarnya. Setelah mandi dan berpakaian, dia segera turun dan pergi ke biara terdekat. Kepala biara tua itu sangat ramah, dia selalu memberikan makanan untuknya dan ayahnya.

"Tou-san belum bangun ya?" Gumamnya sembari mengintip ke kamar Tetsuya. Benar saja, ayahnya masih terbaring di ranjangnya, memunggungi pintu. Seijuurou tersenyum kecil sebelum menutup pintu itu dan berjalan keluar rumah.


"Tetsuya, apa kau masih sering menghajar Seijuurou?"

Tetsuya mengangkat wajahnya dan menatap sosok di hadapannya dengan sinis, "Kalau iya, memangnya kenapa, aniki?"

Mayuzumi Chihiro menghela nafas. Ya, dia adalah kakak Tetsuya, tepatnya kakak tiri, anak yang berasal dari hubungan gelap ibu Tetsuya dan ayah Mayuzumi. Sejak Tetsuya keluar dari rumahnya, Hideki menyerahkan kepercayaannya pada Mayuzumi. Dialah satu-satunya orang yang mengakui Tetsuya dan keluarganya sebagai bagian dari keluarga Akashi.

"Kau tau, ini bukan salahnya, dia tak meminta untuk menjadi mirip dengan kakeknya. Lagipula, yang salah kan ayah, jangan kau lampiaskan padanya."

"Cih." Tetsuya mendecih.

"Lagipula dia masih terlalu kecil, dan apa yang kau lakukan padanya terlalu kasar, Tetsuya." Ujar Mayuzumi.

Terdengar suara pintu terbuka, dan Seijuurou melangkah masuk ke ruang tamu, "Ah, ojichan." Sapanya, "Tou-san, ini ada yakisoba, kalau mau, makan saja dulu." Ujarnya sembari meletakkan sebuah bungkusan di atas meja. Setelah itu dia membungkuk dan berjalan ke kamarnya.

"Lihat, Tetsuya?" Bisik Mayuzumi seraya mengangkat bungkusan yang dibawa Seijuurou, "Anak itu peduli padamu, dia membelikan makanan untukmu, apa balasannya? Hinaan? Sadarlah, kau masih punya seorang anak. Seharusnya kau menghargai dia, bukan menyiksanya."

"Apa pedulimu?"

"Eh?"

"Apa pedulimu jika aku melakukan semua itu, HAH?!" Teriak Tetsuya sembari berlari menuju kamar Seijuurou, Mayuzumi berteriak untuk mencegah hal buruk, namun semuanya sudah terlambat.

"Ampun Tou-san~hiks~"

Tetsuya melepaskan cengkeramannya pada rambut Seijuurou dan menghempaskan tubuh mungil itu ke dinding. Terdengar suara benturan yang cukup keras ketika batok kepala Seijuurou mencium dinding.

"Apa pedulimu jika aku melakukan ini-" Ditendangnya perut Seijuurou dengan keras, "-atau ini-" kali ini kakinya menginjak kepala Seijuurou, "-atau ini-" tangannya meraih rotan dan mencambuki punggung Seijuurou lagi, membuat luka-luka yang belum sembuh itu terbuka lagi.

Seijuurou hanya bisa mengerang pelan, kepalanya yang pening bertambah pening, niatnya untuk beristirahat batal, digantikan dengan siksaan yang menyakitkan. Samar-samar, dia bisa mendengar suara sang paman, sebelum kesadarannya benar-benar hilang.


"Kaa-san, lagu apa ini?"

"Hm? Kenapa? Sei-kun suka?"

"Un."

"Kalau mau, Kaa-san akan menyanyikannya setiap malam untukmu."

"Uwah, hontou?"

"Tentu saja."

"Ha'i! aku mau!"

"Kalau begitu, sekarang Sei-kun tidur, Kaa-san akan menyanyikannya."

"Ha'I, oyasumi, Kaa-san."


"…Denden taiko ni, Sho no fue~."

Seijuurou membuka matanya perlahan, dan mendapati dirinya terbaring di kamarnya, dia bisa merasakan belaian lembut di kepalanya dan alunan lagu pengantar tidur yang disukainya.

"Kaa-san?"

Mayuzumi tersentak, "Ah, Sei, kau sudah bangun? Apa ada yang sakit?" Tanyanya khawatir.

"Apa yang terjadi? Mana Tou-san?" Tanya Seijuurou dengan wajah kecewa.

"Kau terkena demam. Ayahmu tak mau berhenti menghajarmu, walaupun kau sudah luka-luka. Butuh waktu cukup lama untuk menenangkan ayahmu. Jadi, aku menyuntiknya dengan obat tidur."

Mereka berdua terdiam, "Aku minta maaf, Sei."

"Eh? Untuk apa?" Tanya Seijuurou.

"Seharusnya aku tak memancing amarahnya, seandainya aku tak mengatakan hal itu…" Mayuzumi menunduk.

Tangan mungil itu menggenggam lemah tangan Mayuzumi, "ojichan tidak salah kok." Ujarnya menenangkan, senyuman manis terpatri di wajahnya.

Mayuzumi menggenggam jari-jari kecil itu dengan lembut, "Sudahlah Sei, jangan paksakan dirimu lagi. Ikutlah dengan ojichan, ojichan akan merawatmu dengan baik, seperti anak sendiri. Kalau kau tak mau tinggal di mansion Akashi, kau bisa tinggal di rumahku. Aku tak tahan melihatmu menderita."

Seijuurou menggeleng, "Tou-san pasti kesepian. Dan aku tak mau meninggalkan Tou-san."

Mayuzumi hanya bisa tersenyum miris melihat keponakan kesayangannya yang terbaring lemah di tempat tidur. Dia tak habis pikir, bagaimana bisa anak sepolos dan sebaik Seijuurou harus menanggung penderitaan yang berat, ditinggal mati oleh ibunya, disiksa oleh ayahnya, dan diasingkan dari masyarakat, rasanya sangat tidak adil. Tetsuya dan Seijuurou, yang memiliki darah Akashi, diasingkan dari keluarganya, sedangkan dia, anak haram yang tak memiliki darah Akashi, dielu-elukan. Bukankah itu aneh?

Mayuzumi rela, dia rela dihina dan diasingkan karena dia adalah anak haram, daripada melihat Seijuurou, keponakan kesayangannya, dan juga Tetsuya, adiknya, menderita seperti ini. Dia rela dianggap tak pernah ada agar Seijuurou dan Tetsuya bisa kembali ke Mansion Akashi, tempat dimana mereka seharusnya ada.

Bahkan aku rela bertukar tempat dengannya, Batin Mayuzumi.

"Tapi kenapa?" Tanyanya, "bukankah kau akan bebas dan tidak tersiksa lagi?"

"Ojichan," Seijuurou tersenyum manis, "akan lebih tersiksa jika aku harus meninggalkan Tou-san."


Pintu kamar itu terbuka tanpa suara, sesosok pria berambut biru muda berjalan masuk ke dalam ruangan itu. Didekatinya ranjang kecil tempat anak laki-laki bersurai scarlet tertidur. Pria itu, Tetsuya, menatap wajah tidur Seijuurou yang tampak damai seolah tak ada masalah. Tetsuya duduk di tepi tempat tidur, mengelus perban yang membungkus hampir seluruh tubuh Seijuurou.

"Sejak kapan?" Gumamnya, "aku jadi begini?"

Seijuurou menggeliat menyamankan diri, "Tou-san…" Igaunya.

Tetsuya mengelus pipi porselen anaknya dengan air mata yang mengalir, "Kenapa aku melakukan ini?"

"Tou-san, daisuki da yo. (aku mencintaimu.)" Lagi-lagi Seijuurou mengigau dalam tidurnya. Tetsuya tersentak mendengar penuturan itu. Air matanya mengalir semakin deras, direngkuhnya tubuh mungil itu ke dalam pelukannya, "Seijuurou-kun, maafkan Tou-san." Tangisnya, sementara objek yang berada di dalam pelukannya tersenyum bahagia.


Tetsuya selalu berusaha, berusaha untuk memulai dari awal, menghentikan segala kebiasaan buruknya, dan kembali menjadi ayah yang baik untuk anaknya. Tapi setan yang tinggal dalam dirinya selalu berhasil menjeratnya kembali ke dosa lamanya. Setiap kali dirinya mencoba untuk berhenti, hasratnya pasti akan kembali lagi. Imannya tidak kuat, tidak sekuat Seijuurou yang kokoh tak tergoncangkan.

Tubuhnya merosot di dinding kamarnya. Dia mengacak rambutnya dengan frustasi, air matanya terus mengalir tanpa henti.

Tetsuya merasa lemah. Tetsuya merasa gagal. Tetsuya merasa tak layak. Seharusnya Seijuurou mendapatkan kebahagiaan yang layak, bukan kehidupan hina bersama dirinya. Anak itu terlalu baik, terlalu menyayanginya, dan apa balasannya?

Mayuzumi benar. Seijuurou tak bersalah. Dia hanya korban. Korban dari pemberontakan Tetsuya. Seharusnya Tetsuya yang disiksa, bukannya Seijuurou.

"Kenapa?" Tanyanya pada diri sendiri, "Kenapa aku tak bisa berhenti?"

SREKK SREKK

Tetsuya menatap tajam bayangan di balik jendela, "apa maumu? Aku tak minat main sekarang."

"Walau kau tak mau," Perlahan-lahan, sosok itu masuk melalui jendela dan mengunci pergerakan Tetsuya yang terbaring di lantai, " aku tetap akan melakukannya, bersiaplah."

Tetsuya terbelalak mendengar kalimat itu.


Sinar matahari pagi menembus masuk melalui jendela, menyinari kamar yang gelap. Anak laki-laki itu terbangun dari tidurnya. Masih berbaring, Seijuurou menempelkan punggung tangannya ke dahinya.

"Masih demam ya?" Gumamnya. Manik rubi itu menatap langit-langit.

Semalam, dia bermimpi, ayahnya memeluk dirinya begitu erat. Mimpinya terasa nyata, seolah itu benar-benar terjadi.

"Mungkin memang nyata ya," Seijuurou tersenyum. Dia beranjak bangun dan melepaskan perban di tubuhnya, "Aku sudah tak apa kok." Gumamnya sembari menyepak gulungan perban itu ke tepi tempat sampah. Dengan cepat dia memakai seragamnya dan bersiap ke sekolah, tak mempedulikan tubuhnya yang masih demam.

Seijuurou turun ke bawah, berjalan menuju pintu rumah ketika dia mendengar sebuah suara yang tak asing di telinganya, "Sudah mau berangkat?"

Seijuurou berbalik dan mendapati ayahnya bersandar di pintu kamarnya, "Er…iya." Jawab Seijuurou gugup.

Tetsuya menatap Seijuurou beberapa saat, kemudian melangkah masuk ke kamarnya. Seijuurou menghela nafas, "Ittekimasu." Ucapnya.

"Matte."

Seijuurou berbalik lagi, kehangatan melingkupi dirinya ketika Tetsuya memakaikan mantel ke tubuh Seijuurou.

"Dasar ceroboh." Umpatnya, "Musim dingin sudah tiba sejak bulan lalu, kenapa kau tak mau memakai mantel?"

Seijuurou terpaku.

"Bukankah kau sedang sakit? Kenapa masih mau ke sekolah? Tou-san takkan mau membayar biaya rumah sakit kalau kau semakin memburuk."

Apa ini nyata? Tou-san? Untuk pertama kalinya semenjak Kaa-san pergi?

Seijuurou menggenggam tangan Tetsuya yang sedang memakaikan syal ke lehernya, "Daijobu, Tou-san, aku baik-baik saja kok."

Tetsuya melengos, "Terserahmulah." Ujarnya sambil tersenyum kecil.

Ini bukan mimpi kan? Tou-san tersenyum? Kami-sama, aku tidak sedang bermimpi kan?

Seijuurou menghambur masuk ke dalam pelukan Tetsuya, "Ittekimasu, Tou-san." Ucapnya sembari berlari menuju jalanan.

"Itterashai." Balas Tetsuya pelan sambil menatap putranya yang tersenyum lebar padanya sebelum hilang dari pandangan, "Aku harap, kehangatan ini bisa terus bertahan, walau aku tau, aku tetap akan dihajar nanti." Gumam Seijuurou pelan.

Tetsuya menatap sendu ke arah salju yang menumpuk, "Aku harap, aku bisa bertahan, dan terus berbagi kehangatan dengan Seijuurou-kun. Walau aku tau, aku tak pernah memperlakukannya seperti ini sejak Satsuki-san meninggal. Tapi…" Air mata kembali mengalir di pipinya, "Apa aku bisa bertahan?"

TBC


Err…apa ini? Niat awal jadiin oneshot, tapi sayang, kepanjangan. Jadi Fei jadiin entah twoshot, threeshot, fourshot, fiveshot, au ah gelap! #frustasi.

Ah, awalnya pengen banget jadiin Akashi bapak, tapi temen Fei maksa jadiin Kuroko bapak, soalnya 'Tetsuya sebagai anak sudah biasa, sekali-kali tampilkan Seijuurou sebagai anak, biar ga mainstream :v'. Tapi memang cocok sih, kalau Akashi yang unyu jadi anak dan Kuroko yang jadi bapak, sesuai dengan karakter yang Fei buat (Ga kebayang Kuroko bisa shoot biasa)

Fic ini bisa ada sebagai bentuk kekecewaan Fei terhadap keluarga zaman sekarang, dimana banyak orangtua yang membuang, menyiksa, bahkan menjual anak mereka. Malah ada orangtua yang membuang anak kandung mereka dan malah merawat anak haram mereka. Bukannya Fei mau mengatakan sebaliknya, tapi setidaknya anaknya jangan dibuang dong, darah daging sendiri kok diperlakukan seperti itu sih? Yang lebih kampretnya, status si anak kandung dijadikan 'haram', sedangkan 'haram' jadi 'kandung', ironis kan?

Tunggu, kenapa paragraf diatas kayak kata-katanya kak S*to ya? #plakk.

Ja, mau didelete atau lanjut ya?