Yuhuu~ ini memang bukan fic pertamaku di fandom ini, hihi, tapi karna saya masih newbie jadi mohon bantuannya ^^
Yosh, gomen karena disaat hiatus seperti ini saya malahan sempat-sempatnya meng-update fic baru ToT
Jangan salahkan innerku (?) dia sudah berbaik hati mengingatkanku akan semua fic-ficku yang belum tuntas, hanya saja, hiks, nemu doc ini di lappy, entah mengapa saya tergoda untuk meng-editnya dan akhirnya memutuskan untuk meng-publishnya T.T
Sekali lagi gomen. Dan soal judulnya, sumpah nggak ada ide lain. Saya memang nggak ahli bikin judul, jadi kalau ada saran, jangan ragu buat bilang :)
Oke, langsung aja.
DON'T LIKE, DON'T READ
Title : 1+6=7
Disclamer : Masashi Kishimoto
Warnings : OOC, AU, Gaje, Typo (s), dll
Maaf kalau jelek :)
Story by: Bii Akari
.
.
"Hei, berhenti mengganggu Sakura!"
"I-ino?!"
"Cih, kau mau menolongnya, hah? Cobalah kalau kau bisa, pirang!"
"Ino, pergilah!"
"Tidak, aku tidak mungkin meninggalkanmu seperti ini, Sakura. Kau tidak boleh lemah seperti ini."
"T-tap-"
"Diamlah, bocah naka-"
"S-sasuke-nii?!"
"Kau berani mengganggu adik kami, hah? Merepotkan saja."
"Shikamaru-nii!"
"Sudah bosan hidup rupanya."
"Hn."
"Bermain kasar seperti ini, sungguh tidak berseni."
"Kalian tidak apa-apa?"
"Kyaa~ Sai-nii~"
"Ssst, Ino, ini bukan saat yang tepat."
"Tunggu, k-kenapa kalian bisa ada di sini? J-jangan-jangan kalian benar-benar saudar-"
"Ya, kami ber-enam adalah-"
.
.
NORMAL POV
Sakura terbangun dengan kepala yang terasa pening. Padahal gadis berambut pink itu tidak minum sake atau terbentur apapun semalam, sama sekali tidak. Entah apa yang membuatnya merasa agak sakit hari ini. Mungkin saja karena mimpi itu, mimpi yang sejak kemarin selalu menghantuinya. Sakura Senju, anak bungsu dari pasangan Dan dan Tsunade itu sejak kemarin terus-menerus bermimpi aneh. Dan mimpi anehnya itu merupakan koleksi-koleksi kenangan masa kecilnya yang tanpa sadar tersimpan di suatu celah dalam otaknya.
Sambil memijat-mijat batang hidungnya, Sakura menghembuskan napas berat, "Berhentilah bermimpi Sakura, terima saja kenyataannya," gumamnya pelan. Disingkirkannya selimut tebal bermotif bunga-bunga kecil itu dari badannya, lalu dengan perlahan Sakura bangkit untuk duduk.
Dan saat berhasil menahan rasa pusing itu, Sakura pun membuka matanya selebar mungkin. Iris emerald-nya seketika membulat, begitu mendapati pemandangan 'ganjil' di kamarnya itu.
"Kyaaaa~"
.
.
"-saudara Sakura."
.
.
Seorang pemuda berkulit pucat tampak terkejut mendengar jeritan Sakura, dengan perlahan pemuda itu berbalik dan tersenyum ramah ke arah adik perempuan tunggalnya itu, "Sakura, kau sudah sadar, syukurlah. Bagaimana keadaanmu, kau baik-baik saja?"
Mengabaikan pertanyaan itu, Sakura masih terlihat shock dengan pemandangan sekitarnya. Apalagi setelah menyadari bahwa kakak tertuanya tampak terusik akan teriakannya tadi, "Hoaaam~ Kau sudah sadar rupanya, baguslah. Aku akan melanjutkan tidurku, mendokusai," ucapnya malas. Pemuda itu lalu kembali membaringkan tubuhnya di atas sofa di pojok ruangan, setelah sebelumnya sempat melirik Sakura sejenak.
Lupakan pemuda yang hobi tidur itu, karena kini perhatian Sakura dicuri sepenuhnya oleh sosok tenang yang tampaknya sedang duduk santai di dekat rak buku besar di sudut lain. Pemuda itu melepaskan kacamata bacanya lalu menatap Sakura lekat-lekat. Buku dalam genggamannya segera dia tutup, lalu senyum tipis pun menghiasi wajah tampannya, "Kau terlihat pucat, istirahatlah lagi."
Sakura nyaris lari saat ini juga, bagaimana mungkin mereka berkumpul dalam satu ruangan yang sama?
"Jangan berkata seperti itu, Neji-nii. Sakura baru saja sadar, dia pasti lapar," ucap pemuda tampan lainnya, si baby face. Pemuda itu menatap Sakura dengan iris gelapnya lurus-lurus, lalu sudut-sudut bibirnya pun tertarik pelan, membentuk seulas senyum kecil. "Kau masih terlihat sakit," lanjutnya, dengan tatapan bosannya seperti biasa.
"Gaara, bukalah tirai jendelanya. Matahari pagi bagus untuk Sakura," sambung pemuda tadi, sambil melirik sekilas ke arah pemuda tampan yang duduk paling dekat dengan jendela kamar Sakura.
Sekilas, pemuda bernama Gaara itu melirik Sakura yang masih duduk dalam posisi yang sama, lalu akhirnya bergumam singkat, "Hn."
Gaara pun bangkit dari duduknya dan menggeser tirai jendela berwarna soft pink itu dengan cepat, hingga akhirnya kembali berkutat dengan PSP miliknya sambil duduk di kursi yang sebelumnya dia tempati.
Sakura menganga dengan tidak elitnya karena pemandangan di sekelilingnya. Inner-nya terus-menerus berteriak tak percaya. Jika saja kejadian ini terjadi minggu lalu, Sakura masih bisa tersenyum manis dan berterimakasih atas perhatian yang diberikan oleh kakak-kakaknya, tapi sekarang tidak. Gadis itu teringat akan 'fakta' yang baru saja diketahuinya beberapa hari yang lalu, kenyataan mengejutkan yang membuatnya gugup jika berada di dekat kakak-kakaknya itu.
'Tidak, ini salah. Apa yang mereka katakan. Lebih tepatnya, apa yang mereka lakukan di kamarku?!' jerit Sakura dalam hati, suaranya seakan hilang begitu saja ketika ditatap langsung oleh empat, err bukan, lima-satu lagi yang baru saja muncul dari balik pintu-kakak lelakinya sekaligus.
"Kau sudah sadar, Sakura."
Suara berat itu menyadarkan Sakura dari alam bawah sadarnya, pemuda tampan berambut raven itu kini berdiri di ambang pintu. Tatapannya tetap dingin, dan pembawaannya tetap cool seperti biasa, meski kini dia mengenakan celemek bergambar bunga matahari dan membawa nampan berisi makanan. Kilauan manik onyx-nya membuat Sakura terlena, satu-satunya hal yang dapat menghipnotis gadis cantik itu.
"Cepat masuk, Sasuke-nii. Sini, biar aku yang menyuapi Sakura," tawar pemuda dengan kulit pucat itu, masih bersama senyum innocent-nya. Pemuda yang hanya berbeda umur dua tahun dari Sakura itu berjalan pelan menghampiri Sasuke, yang tampak mematung di depan pintu.
Belum sempat mendekati Sakura, mangkok berisi bubur yang sesaat lalu direbut Sai dari Sasuke sudah kembali berpindah tangan, kali ini sang kakak ketiga yang merampasnya, "Biar aku saja, Sai."
Pemuda bermata sayu itu duduk di tepi tempat tidur Sakura, lalu tersenyum kecil, membuat wajah yang seharusnya terlihat lebih tua empat tahun dari Sakura malah terlihat lebih muda darinya. "Ayo Sakura, buka mulutmu," ucapnya pelan.
Sakura baru saja sadar dari keterkejutuannya, dengan cepat Sakura menutupi wajahnya yang hampir semerah tomat dengan bantal terdekat lalu menggeleng secepat mungkin. "T-tidak perlu, aku baik-baik saja, Sasori-nii."
Sasori tertawa kecil melihat aksi manja adik bungsunya itu, setidaknya bagi Sasori, Sakura hanya sedang ingin dibujuk saja. "Tak apa Sakura, ini agar kau bisa segera sembuh. Ayo, mumpung masih hangat," tawarnya lagi.
Namun Sakura masih tak bergeming, dengan susah payah gadis itu mengendalikan dirinya yang mengalami blushing tingkat tinggi-ketika berhadapan dengan kakak-kakaknya. Lalu setelah merasa cukup tenang, Sakura pun mengangkat wajahnya kembali seraya memasang senyum terbaiknya, "Aku tidak apa-apa, percayalah. Aku hanya butuh istirahat saja."
Mendengar itu, Neji yang sejak tadi melanjutkan kegiatan membacanya tersenyum puas, "Baiklah, aku rasa kita harus keluar sekarang. Biarkan Sakura beristirahat dulu, ayo," perintahnya halus. Sesaat kemudian, pemuda bersurai panjang itu meletakkan buku bacaannya tadi di rak buku tepat di sampingnya, lalu tersenyum lembut ke arah Sakura, "Istirahatlah, panggil kami jika kau butuh sesuatu."
Sakura hanya bisa mengangguk kikuk, berusaha keras menahan rona merah di wajahnya. Tentu saja, gadis mana yang tidak terpesona pada senyum pemuda se-tampan itu?
"Hn," gumam Gaara singkat. Pemuda bertato 'ai' itu bangkit dari duduknya dan memasang headset di telinganya. Sesaat, pemuda irit bicara yang hanya lebih tua setahun dari Sakura itu menatap Sakura dengan wajah stoic-nya, cukup berhasil membuat Sakura gugup. "Sakura, lain kali kau harus mengganti bajumu dulu sebelum tidur."
Sakura agak terkejut mendengar ucapan Gaara, dengan cepat Sakura menunduk guna melihat baju tidurnya. Dan betapa terkejutnya dia begitu mendapati dirinya hanya berbalut baju tidur yang lumayan err-tipis, terlebih lagi baju tidur berwarna soft itu agak terbuka pada bagian atasnya, membuat semburat merah di pipi Sakura tak tertahankan lagi.
Terlalu malu, Sakura pun tidak menggubris ucapan Gaara tadi dan lebih memilih bungkam sambil mengangkat selimutnya tinggi-tinggi, menyelimuti tubuhnya. Dalam hati Sakura terus menebak-nebak siapa di antara ke-enam kakaknya itu yang mengganti bajunya semalam. Sekarang Sakura bahkan sudah mulai memikirkan hal yang tidak-tidak. Wajar saja, kedua orang tua mereka sedang punya urusan masing-masing di luar kota dan baru akan kembali besok, sementara bibi yang bekerja di rumah mereka juga sedang ada urusan di kampung halamannya, dan baru akan kembali minggu depan. Lalu, siapa yang mengganti baju Sakura?
"Baiklah, buburnya kusimpan di atas meja, makanlah selagi hangat."
Sasori pun ikut beranjak keluar, mengikuti jejak Neji. Di belakangnya, Sai tersenyum simpul, sambil berjalan mengekori Sasori, "Istirahatlah yang cukup, Sakura," pesan Sai singkat sebelum hilang di balik pintu.
Gaara yang beranjak keluar segera saja membangunkan Shikamaru dari tidur nyenyaknya, lalu mengisyaratkan kakak tertuanya itu agar segera keluar juga. Satu per satu pemuda itu pun beranjak pergi, meninggalkan Sasuke yang masih tampak sibuk membuka celemeknya di dekat pintu. Sebelum keluar, pemuda itu berbalik dan tersenyum tipis ke arah Sakura. "Habiskan buburnya, aku sudah menambahkan ekstra tomat di sana," ucapnya pelan, lalu akhirnya menutup pintu Sakura dari luar.
Sakura hanya bisa tersenyum kikuk dengan hati yang berdebar, kakak lelakinya yang satu itu memang sangat fanatik dengan tomat. Tapi, entah mengapa Sakura selalu merasa jauh lebih gugup jika harus berhadapan dengannya.
'Ah sial, sekarang perasaanku benar-benar dipermainkan,' batin Sakura kesal. Semua hal yang terjadi padanya belakangan ini membuatnya benar-benar sempoyongan, semenjak fakta tentang keluarganya itu terungkap.
Sakura mengacak-acak rambutnya dengan ganas, berharap bahwa ini semua hanyalah mimpi buruk saja. Kenyataan yang tersuguh di hadapannya membuatnya bingung. Sakura tidak tahu harus bersikap seperti apa pada kakak-kakaknya itu. Sakura tidak bisa bersikap normal lagi selayaknya seorang 'adik' pada mereka, karena selalu ada kegugupan berlebihan yang dirasakannya. Sakura sendiri bingung, bagaimana perasaannya yang sebenarnya terhadap kakak-kakaknya-yang notabene sangat tampan-itu saat ini. Entahlah, sebagai seorang gadis normal, Sakura tidak tahan jika harus tinggal satu atap dengan pemuda-pemuda berkharisma itu.
Saat ini, yang diinginkan Sakura hanya satu. Sakura ingin kehidupannya kembali normal seperti sebelumnya, meski sering diejek karena keluarga mereka tidak mempunyai kemiripan sama sekali, namun Sakura bahagia dengan itu semua. Sakura merasa keluarganya sudah cukup sempurna untuknya. Meski Sakura harus melewati banyak cobaan dulu sebelum akhirnya bisa menerima prinsip 'saudara tidak harus mirip' yang sering didengarnya dari sahabat kecilnya, Ino Yamanaka. Kini, prinsip itu benar-benar salah, saudara memang seharusnya mirip. Dan sudah sepantasnyalah mereka tidak mirip, karena memang mereka tak terikat hubungan darah sedikitpun.
Di luar kamar Sakura, keenam pemuda yang hanya berselisih umur masing-masing satu tahun itu saling pandang-pandangan, bertukar pikiran dengan sorotan mata. Hingga akhirnya Sasori memberikan kode mata ke arah saudara-saudaranya, agar segera beranjak dari sana dan melanjutkan diskusi kecil mereka di tempat yang lebih aman.
Setelah sampai di ruang santai, pemuda-pemuda tampan itu lalu mencari tempat ternyaman mereka masing-masing. Ruangan itu bernuansa Eropa, lampu gantung yang mewah tampak mendominasi keindahan yang ada di ruang santai itu. Di sisi ruangan yang megah itu terdapat sebuah cerobong asap tua yang masih terlihat kokoh, memperkuat tekstur vintage yang ada. Beberapa lukisan karya pelukis-pelukis ternama juga tampak akrab menghiasi dinding-dinding bercat peach itu. Di satu sisi bahkan terdapat lukisan karya Sai, yang sengaja dipasang di sana beberapa tahun yang lalu. Di sudut lain, ada beberapa boneka keramik dan kayu yang tampak unik, ukurannya yang mungil serta detailnya yang bak boneka porselen menambah kesan hangat ruangan itu. Papan shogi, beberapa perangkat game, serta sebuah rak buku kecil menjadi pelengkap ruang santai itu. Ruangan yang benar-benar nyaman bagi semua penghuni rumah. Sebuah perangkat komputer dibiarkan menganggur di pojok ruangan, bersebelahan dengan beberapa piagam penghargaan dan lemari kayu berisi piala yang dibiarkan terpajang begitu saja. Bukan hanya satu nama saja yang ada di sana, seluruh anggota keluarga bermarga Senju itu ikut berpartisipasi menyumbangkan piala serta piagam mereka. Terkecuali Shikamaru yang terlalu malas untuk mengikuti satu ajang perlombaan pun, serta Sakura yang masih belum bisa menemukan bakatnya.
Shikamaru menguap lebar di kursi malasnya, sambil menatap saudara-saudaranya dengan malas. "Jadi, kalian ingin membicarakan masalah Sakura?" tanyanya sarkastis, memandang satu per-satu saudaranya sejenak lalu kembali menguap lagi.
Sai yang duduk di antara Gaara dan Sasori tersenyum tipis, sembari mengacungkan tangannya, "Aku rasa Sakura hanya kelelahan saja," ucapnya, setelah mendapat anggukan kecil dari Shikamaru.
Mendengar itu, Shikamaru mulai kehilangan rasa kantuknya. Adiknya yang satu itu memang tidak pernah berubah, selalu berhasil menyembunyikan apa yang dipikirkannya di balik senyum palsunya itu. Akhirnya, Shikamaru duduk tegap, meregangkan sedikit otot-otot lehernya sambil memejamkan matanya sejenak, "Neji, tutup dulu bukumu. Sasori, berhenti memainkan boneka itu. Sasuke, lihat aku. Sai, berhenti tersenyum sambil memandangi lukisanmu. Dan Gaara, cabut dulu headset-mu itu."
Sejenak, semua nama yang disebutkan tadi mengalihkan perhatian mereka. Kelima pemuda itu kini menatap objek yang sama, sang pemuda berusia 22 tahun. "Aku tahu apa yang kalian pikirkan," ucap Shikamaru yakin. Pemuda itu lalu menyapu pandangannya ke sekeliling, mengamati perubahan ekspresi yang tampak pada wajah beberapa orang di sana.
Tak ada yang berniat membuka suara, semuanya masih tetap menunggu Shikamaru untuk kembali bicara. "Dan aku rasa cepat atau lambat semua ini akan terjadi," lanjut pemuda berambut hitam itu.
"Jadi, karena itu Sakura berubah?" tanya Sasuke, dengan wajah dingin andalannya.
Sai kembali tersenyum tipis, sementara Gaara hanya bergumam datar, sesuatu seperti 'Hn' atau mungkin 'Hmm', entahlah.
"Begitulah, Sasuke. Aku rasa Okaa-san lah yang telah memberitahukannya pada Sakura," jawab Neji, sambil memandang Sasuke dengan penuh arti.
Semuanya pun mengangguk kecil. "Dan aku rasa ini agak sedikit bermasalah pada kondisi mental Sakura," ujar Sasori. Pemuda itu masih memainkan boneka kecil miliknya dari kiri ke kanan, dan tersenyum kecil saat menyadari tak ada satupun yang berniat mengintrupsi ucapannya tadi.
"Coba lihat," Sasori mengangkat miniatur boneka cantik di tangannya agak sedikit tinggi, memperlakukan boneka itu seperti alat peraga. "Sakura awalnya selalu bersikap manis terhadap kita, dia bahkan telah kita anggap sebagai adik kandung kita sendiri. Sakura, satu-satunya orang yang dengan mudahnya bisa beradaptasi dengan kita semua, setuju?"
Sasuke dan Gaara hanya bergumam, "Hn."
Sementara Neji dan Sai tersenyum tipis, tanda setuju. Dan Shikamaru, pemuda itu hanya mengangkat sebelah alisnya, merasa bahwa ucapan Sasori tadi tak perlu dia setujui, karena semua orang sudah tahu pasti kebenaranya.
Sasori pun tersenyum puas, pemuda itu lalu membalik tubuh boneka kain itu hingga kepalanya berada di bawah. "Tapi lihat sekarang, Sakura seakan memperlakukan kita seperti orang asing. Bukan karena kita yang berubah, tapi karena Sakura merasa dunianya telah terbalik. Dia sendiri yang tanpa sadar mengubah dirinya hingga menjadi seperti sekarang, karena kebenaran yang baru diketahuinya."
Tak ada yang merespon, mereka semua sibuk dengan pikiran mereka masing-masing, memikirkan ucapan Sasori barusan. "Tadi saja dia tidak ingin disuapi olehku," gerutu pemuda berambut merah itu. Senyum sinis sedikit tersungging di bibirnya, agak kesal karena perlakuan Sakura yang menghindarinya belakangan ini. Memang benar, di antara mereka ber-enam, Sasori lah yang paling senang memanjakan Sakura, dan paling perhatian pada gadis berambut unik itu.
"Jadi? Apa kita akan membiarkannya begitu saja?"
Tanpa disangka-sangka, Gaara lah yang berbicara se-panjang (?) itu. Enam kata, sangat jarang pemuda itu berkomentar lebih dari satu kata.
Neji mengedikkan bahunya, "Shikamaru, bagaimana menurutmu?" tanyanya singkat, melirik sang kakak yang hanya berbeda setahun dengannya.
Shikamaru berpikir sejenak, "Kita tak bisa berbuat apa-apa. Sakura mungkin masih terkejut akan fakta yang baru diketahuinya itu, berbeda dengan kita. Tapi, meski kita bertujuh tidak memiliki hubungan darah apapun, aku harap kita masih bisa terus bertingkah selayaknya saudara. Kita semua berasal dari latar belakang yang berbeda, dari kisah yang berbeda pula, termasuk Sakura. Kita biarkan Sakura belajar dari ini semua, karena itu kita harus tetap bersikap normal seperti biasanya," jelas Shikamaru panjang lebar.
"Baiklah, kurasa tidak buruk."
"Ah, aku rindu Sakura yang biasanya."
"Ucapan Shikamaru benar, aku setuju dengan usulnya."
"Hn, itu mudah."
"Baiklah, jika keputusannya seperti itu."
Dan akhirnya, keenam pemuda itu pun memutuskan satu hal yang pasti. Bahwa Sakura akan tetap menjadi adik kecil mereka yang manis, selamanya.
.
'Tak ada yang akan berubah, Sakura,' batin Sakura dalam hati, berusaha keras untuk menenangkan dirinya sendiri yang saat ini sedang mengurung diri di dalam kamar mandi kamarnya.
Sekali lagi, Sakura membasuh wajahnya dengan air yang mengalir di wastafelnya, lalu kembali menatap pantulan dirinya pada cermin di hadapannya. Wajah Sakura cukup berantakan, matanya terlihat bengkak dan agak merah. Serta ada sedikit rona merah di ujung hidungnya, menandakan bahwa sistem pernapasannya sedang terganggu. Tenggorokan yang agak perih serta kepala yang pening membuat Sakura yakin bahwa kemarin dia benar-benar demam. Sakura bahkan dapat merasakan seluruh tubuhnya yang terasa panas, dan matanya yang tiba-tiba saja ingin menangis.
Kebenaran tentang indentitas dirinya-yang tidak mempunyai hubungan darah dengan kakak-kakaknya-membuat Sakura merasa terpukul. Bagaimana mungkin? Keluarga yang selalu membuatnya merasa 'hidup' ternyata hanyalah kumpulan kebohongan semata. Terlebih lagi, Sakura tidak tahu siapa dirinya yang sebenarnya. Beberapa hari belakangan ini dia seperti hidup tanpa jati diri, seolah dirinya yang dahulu benar-benar hilang entah ke mana.
Sekarang, kepada siapa Sakura harus mengeluh? Tuhan? Tidak bisa, Sakura merasa tidak pantas mengeluhkan hal sekonyol ini pada-Nya. Jika memang Tsunade bukanlah Ibu kandungnya, dan Dan bukanlah Ayah kandungnya, lalu di mana keluarga aslinya berada? Haruskah Sakura pergi mencari mereka?
Liquid bening itu meluncur begitu saja, mengalir bebas dari pelupuk mata Sakura yang sembab. Gadis itu tak bisa berbuat apapun, memikirkannya saja sudah hampir membuatnya gila. Bagaimana bisa dia bertahan hidup dalam kepalsuan selama 16 tahun belakangan ini? Bagaimana bisa matanya begitu buta selama ini?
Sakura menenggelamkan wajahnya di kedua telapak tangannya, lalu berjongkok di lantai kamar mandinya itu. Demam yang menjangkitinya membuat suasana hatinya bertambah buruk, dan menangis adalah satu-satunya solusi untuk dirinya sekarang.
"Haruskah, aku melarikan diri?"
.
.
.
TBC
Yeah XD masih pendek, gomen ini baru prolognya hoho.
Fic pertamaku tentang SasuSaku XD yosh, gimana? Aneh kah? Jelekkah? Maaf, ide pasaran, hoho. Tapi tenang saja, meski Sakura nanti akan 'dekat' dengan kakak-kakaknya yang lain, romantic interestnya tetap Sasuke kok, hihi.
Ohiya, chapter depan akan ku flashback, ke kejadian sebelum Sakura tau tentang yang sebenarnya. Karena rasanya masih membingungkan, hoho *apanih* Ohiya, sedikit keterangan. Shikamaru itu kakak tertua di keluarganya, setelah itu Neji, Sasori, Sasuke, Sai, Gaara, dan Sakura. Umur mereka juga cuma berbeda satu-satu tahun aja. Shikamaru kan 22, berarti Neji 21, Sasori 20, Sasuke 19, Sai 18, Gaara 17, dan Sakura 16, hohoho. Segitu aja dulu, kalau ada yang kurang jelas silahkan bertanya.
Oke, review dari para readers sangat kutunggu. Saran dan kritikannya juga kuterima ^^
So, REVIEW yaaa ^^
Arigatou :)
