SWORD's MEMORIES

(ps: cerita ini murni fiksi. Selain mengambil latar pada jaman dinasti Joseon, seluruh alur cerita tidak ada kaitannya dengan sejarah asli Korea.)

Backsound : The Sorrow Song of Love - The Moon That Embrasing The Sun ost. (very recomended)

Happy Reading!

Kilatan pedang menghunus kekosongan udara. Denting tajamnya masih meramaikan suasana barak pelatihan Istana, sementara si pelaku permainan pedang itu sendiri tidak terlalu mengindahkan sorak riuh dari beberapa Dayang Istana juga ragam pujian yang terlontar saling bersahutan.

Putra Mahkota.

Begitu sosok yang tengah melatih kelihaiannya dalam memainkan pedang itu disebut.

Ia dikenal berwajah tampan nan lembut. Meski begitu beberapa orang atau nyaris seluruh penghuni Istana kesulitan mendeskripsikan lebih dari sekedar paras yang dimiliki satu-satunya pewaris tahta kerajaan Joseon itu.

Bagi mereka, Putra Mahkota terkenal memiliki sifat pendiam dan begitu tertutup dari dunia luar. Ia jarang terlihat di mana pun, meski sesekali mengikuti rapat kerajaan di balairung Istana.

Hobinya hanya memainkan pedang, dan bagian yang paling ia senangi ialah bertarung dengan sang pelatih.

Seperti yang tengah terjadi.

Pedang itu nyaris mengoyak lengan jika Baekhyun tidak dengan sigap menghindar. "Kau akan dihukum mati jika berani melukai Putra Mahkota, guru!" Sosok berpostur tubuh mungil itu berkelakar diselingi tawa kecil yang ditujukan pada Minho, sang pelatih.

"Tetap fokus!" Minho menghardik sang murid karena kebiasaannya bercanda saat tengah berlatih.

"Maaf, guru- akhh!"

"Putra Mahkota!"

Tidak hanya Minho, namun para Dayang pribadi beserta dua orang Kasim yang setia mengikuti Pangeran setiap waktu ikut berseru panik, sebab melihat sang Putra Mahkota tiba-tiba terhuyung ke tanah.

"Aku baik! Aku baik!" Baekhyun mengangkat sebelah tangan saat Minho hendak merangkulnya, juga menghentikan para pelayan Istana yang berniat membantunya bangkit. Ia berdiri dengan senyum kecil yang tergurat di bibir merahnya. "Aku hanya sedikit pusing."

"Tunggu apa lagi?! Bawa Putra Mahkota masuk dan biarkan beliau beristirahat!" Suara tegas Minho membuat para Dayang dengan sigap memboyong sang pewaris tahta.

"Oh, aku bisa sendiri." Baekhyun kembali mengangkat tangan, isyarat kedua yang berarti sebuah penolakan akan sentuhan dari siapapun.

Semua orang menunduk patuh meski belum terbiasa dan kerap bertanya-tanya pada setiap penolakan yang terjadi.

Putra Mahkota benar-benar tidak membiarkan siapapun mendekat padanya.

Lalu, Baekhyun mulai meninggalkan barak pelatihan dengan diekori oleh para Dayang dan Kasim di belakangnya. Langkah yang baru sampai pada pelataran Istana kini terhenti saat mereka berpapasan dengan rombongan lain dari arah berlawanan.

Baekhyun membungkuk hormat pada sosok anggun di balik baju kebesaran Permaisuri, yang tak lain ialah sang Ibunda.

"Jangan terlalu memforsir latihanmu, Pangeran. Utamakan kesehatan."

Nada halus itu terlontar dari Ratu Sora diselingi senyum lembut nan tulus.

Sekali lagi, Baekhyun membungkuk hormat sebelum kemudian balas senyum kepada sang Permaisuri. "Hamba akan mengingatnya, Ibunda Ratu."

"Jika sudah cukup beristirahat, jangan lupa luangkan waktu untuk menemui Baginda Raja."

"Baik, Ibunda Ratu."

Rombongan Permaisuri berlalu, Baekhyun masih membungkukkan badannya dengan sopan sebelum kemudian menghela kecil.

Satu hal dari sang Ratu yang tak pernah gagal membuat Baekhyun merasa lemah, yaitu tutur sapanya yang lembut pun sosoknya yang begitu penyayang. Dan tentu saja, terlepas dari sebuah keputusan besar yang diambilnya belasan tahun silam.

Penat Baekhyun kian membebani tubuh kala benaknya kembali dipenuhi segala hal yang berimbas pada dirinya saat ini.

"Aku mau ke Istana timur."

Dan seperti yang kerap terjadi, jika Baekhyun melontarkan keinginan yang berkaitan dengan Istana timur maka siapapun akan berhenti di tempat dengan patuh, tidak lebih jauh mengekori sang pewaria tahta dan membiarkannya seorang diri menuju tempat yang dikehendaki.

Tidak ada yang tahu seperti apa Istana timur. Selain Baekhyun, tempat itu terlarang bagi siapa pun. Meski begitu, hal tersebut adalah apa yang Baekhyun syukuri. Karena di sebuah ruangan yang dipenuhi berbagai macam bunga dan tanaman herbal itu ia bisa dengan leluasa melepas satu-persatu pakaian yang melekat.

Baju zirah yang kerap ia pakai untuk berlatih pedang itu kini tergelatak di atas kayu mengilat. Desah kecil lolos saat tubuhnya terbebas dari beban material pakaian yang dikhususkan untuk perang tersebut.

Suara percikan air di atas kolam kecil yang sengaja di buat di dalam ruangan itu membuat senyum manis terlukis di bibirnya, dan dengan satu tarikan kecil pada ujung tali di atas kepala, rambut panjang dan hitam itu tergerai dengan lembut.

Sutra putih yang tak lain adalah pakaian dalam masih melekat, si mungil mendengus setelah mendapati kain yang melingkar erat di bagian dadanya.

Jemari lentik itu membuka gulungan yang menyesakkan dada dan napasnya perlahan terurai dengan lega. "Putra Mahkota apanya? Dada seorang anak laki-laki tidak sebesar ini." Gerutu kecil terlontar bersamaan dengan sebuah fakta bahwa tubuh polosnya kini adalah tubuh seorang wanita.

Bahwa tidak ada lagi Pangeran tampan pujaan, melainkan sesosok gadis yang tengah membasuh seluruh tubuhnya dengan air sejuk bercampur ekstraksi bunga mawar di dalam kolam.

Wewangian yang dihasilkan membuat senyum lembut terlukis di wajah cantiknya.

"Siapa itu?!" Baekhyun menoleh dengan waspada sesaat setelah merasakan kehadiran orang lain di tempat favoritnya. Lantas dengus kecil lolos dari hidung, "kau membuatku terkejut, Dayang Han."

Sosok itu adalah wanita paruh baya, seorang Dayang senior yang dipercaya mengurus segala keperluan Baekhyun serta yang telah merawat gadis itu sedari kecil. "Oh, maafkan hamba, Tuan Puteri—"

"Putra Mahkota.." Baekhyun meralat lalu melempar cengiran kecil sesaat setelah menyadari ia tengah bertransformasi menjadi sosoknya yang asli.

Sosok yang selama ini disembunyikan dengan rapat serta hati-hati. Selain kedua orang tua yang merupakan Raja dan Ratu Joseon serta Dayang Han, tiada satu pun yang tahu bahwa penerus tahta kerajaan itu adalah seorang gadis yang diharuskan bersembunyi di balik baju kebesaran Putra Mahkota.

Bermula dari kelahiran bayi perempuan lima belas tahun silam membuat sang Raja dirundung resah, terlebih Ratu yang ia cintai divonis tidak bisa memberinya keturunan lagi setelah melahirkan anak pertamanya, dan penguasa Joseon tersebut terlalu mencintai sang Permaisuri dan tidak berkeinginan memiliki selir yang berpeluang memberinya anak laki-laki sebagai pewaris tahta yang semestinya.

Segala cara telah ditempuh termasuk memanfaatkan Istana bintang untuk meminta bantuan Dewa agar sang Ratu diberi mukjizat bisa mengandung anak kedua, namun sia-sia saja karena kepalan tangan takdir terlalu kuat. Setelah merasa begitu putus asa karena tidak ingin tahta kerajaan jatuh kepada pihak yang dianggap musuh, sang Raja akhirnya memutuskan untuk membungkam tabib yang membantu proses persalinan Permaisuri dan menghapus apa yang terjadi pada hari itu, menggantinya dengan skenario baru yang berisi kelahiran anak laki-laki sebagai pewaris tahta.

Dan Ratu tidak memiliki daya upaya untuk menolak, lantas membiarkan putri tercintanya hidup layaknya anak laki-laki dan melewati hari-harinya dengan menjadi Putra Mahkota.

"Jadi, akan ke mana kita hari ini?" Baekhyun dengan antusias bertanya setelah keluar dari kolam air mawarnya.

Penatnya menguap dengan cepat.

"Tuan Puteri, apa sebaiknya anda beristirahat saja?"

"Kenapa begitu? Oh ayolah, aku sangat bosan di Istana. Ajak aku keluar, ke manapun." Si mungil merengek seraya memakai hanbok yang dibantu oleh sang Dayang.

Setelah selesai membantu Baekhyun, Dayang Han mendengus kecil, tak mempunyai perisai yang cukup kuat untuk melawan rengekan manja TuanPuterinya. "Di pusat kota akan diadakan festival lampion-"

"Whoa!"

"Sstt.!"

Baekhyun refleks menutup mulut setelah diperingati oleh Dayang Han untuk tidak membuat kegaduhan.

"Aku ingin lihat! Ayo kita ke sana! Kumohon! Hum? Hum?"

Dan desah Dayang Han untuk ke sekian kali adalah apa yang ia sebut dengan mengalah. "Pakai ini dulu." Lalu dengan telaten ia memakaikan penutup wajah setelah menata rambut Baekhyun.

Seperti yang kerap terjadi, Baekhyun dan Dayang Han akan bertingkah layaknya pencuri dan mencari celah keluar dari kawasan Istana dengan sangat hati-hati. Sebab, Raja akan sangat murka jika mengetahui fakta bahwa selama ini putri yang dikehendakinya bertingkah selayaknya anak laki-laki mengendap-endap keluar Istana, dengan menggunakan hanbok sutra dengan beberapa hiasan rambut khas anak perempuan.

"Oh, tadi itu hampir saja!" Dayang Han menyeka keringat di dahi seraya menetralkan debar jantung yang memburu karena nyaris tertangkap basah oleh pengawal Istana.

"Menyenangkan sekali!" Baekhyun berseru kecil lalu memeluk Dayang Han dengan sayang. "Ngomong-ngomong, bukankah festival lampion itu diadakan satu tahun sekali di pusat kota? Kita baru saja menontonnya beberapa bulan yang lalu, apa yang terjadi?"

"Saya dengar putra dari salah satu pejabat Istana berulang tahun hari ini, dan festival lampion akan menjadi salah satu bagian dari acara pesta."

Baekhyun mengangguk-anggukan kepalanya paham.

"Ingat perjanjian kita, kembali ke Istana sebelum hari mulai gelap."

Meski sebenarnya tidak mempunyai kesempatan menyaksikan festival lampion namun Baekhyun cukup senang karena sejenak ia terbebas dari jerat tembok Istana yang membosankan.

"Baiklah, aku tidak akan mengingkari perjanjian kita asal setelah ini kita lanjutkan kelas menyulam." Baekhyun menyahut dan pasrah saat Dayang Han menutupi kepalanya dengan jubah bertudung.

"Putra Mahkota tidak belajar menyulam, Tuan Puteri."

Baekhyun tersenyum lebar, ia tahu Dayang Han akan dengan senang hati mengajarinya beberapa hal yang seharusnya dikuasai oleh perempuan. Sebab, selain belajar menghunus pedang dan taktik perang, Baekhyun tidak pernah melupakan kodratnya sebagai perempuan. Hukum dan peraturan Istana yang harus ditaati serta dijalani oleh seorang Puteti telah ia hafal di luar kepala. Meski semua itu dipelajarinya dengan sembunyi-sembunyi.

Satu dari sekian banyak hal yang membuat Baekhyun nekat menerobos keluar dari tembok Istana yaitu mendamba segala hal yang tak pernah ia jumpai di lingkungan kerajaan.

Termasuk menyaksikan langsung kehidupan rakyat yang dipimpin oleh Ayahnya. Dan untuk ke sekian kali yang tak terhitung, hatinya kembali merasakan perih ketika menjumpai kemiskinan yang bertebaran.

Baekhyun tidak melanggar aturan sang Ayah untuk menikmati kebebasan dan bersenang-senang di luar Istana, sebab kenekatannya kerap membawa gadis itu dirundung duka mendalam. Merasa sangat terpukul menyaksikan masih banyak rakyat yang menderita karena kemiskinan.

"Hei, sayang.. kau sudah makan?" Baekhyun bertanya setelah berlutut di hadapan seorang bocah laki-laki berbaju kumal yang duduk bersila di pinggir jalan di kawasan kumuh pusat kota. Jemari mungilnya terulur lantas membelai wajah si bocah dengan sayang.

Ada yang menggeleng pelan karena jujur. "Aku belum makan sejak kemarin sore."

Di balik kain yang menutup sebagian wajahnya, Baekhyun menggigit bibir. Lantas ia melirik pada Dayang Han yang sedari tadi menunduk hormat kepadanya.

"Di mana orang tuamu, hum?"

Bocah itu kembali menggeleng. Antara tidak tahu atau memang tidak mempunyai orang tua.

Baekhyun meraih tangan si bocah lalu meletakkan sesuatu di telapaknya. "Belilah sesuatu untuk kau makan. Pastikan kau tidak kelaparan lagi, mengerti?"

Mulanya si bocah hanya membeo, namun setelah mendapati beberapa kepingan perak di tangan, binar di kedua matanya berpendar dan hal itu sampai pada lengkungan bahagia di kedua sudut bibir.

Baekhyun mengusak rambut si bocah sebelum membiarkannya berlalu, langkah riang itu mengalirkan sengatan bahagia di hatinya.

Dayang Han dengan sigap memakaikan kembali tudung kepala sang Puteri. "Dia anak terakhir untuk hari ini, kita bisa kembali lagi lain waktu, Tuan Puteri."

"Benarkah? Apa tidak ada anak-anak jalanan yang kelaparan lagi?"

Dayang Han tersenyum pada polah sang puteri. "Kemiskinan yang merajarela bukan karena baginda Raja tidak melakoni perannya dengan baik, beliau adalah Raja yang begitu mulia dan dicintai oleh rakyatnya, jadi Tuan Puteri tidak harus merasa bersalah karena melihat penderitaan di lingkungan luar Istana. Roda kehidupan berlaku untuk semua manusia."

"Tapi sedih rasanya melihat anak-anak itu terlantar, melihat mereka tidur di pinggir jalan, kepanasan dan kehujanan. Bagaimana jika hal itu terjadi padaku atau keluargaku?"

Dayang Han kembali mengulas senyum haru, bayi perempuan yang sempat tak diinginkan oleh Ayahnya karena tak memenuhi syarat sebagai penerus tahta telah tumbuh menjadi gadis berhati lembut. Ada sebersit rasa bangga karena Dayang Han sendiri yang merawatnya sejak bayi.

"Sang Pencipta telah menentukan jalan yang terbaik untuk kita semua, jangan terlalu cemas, Puteri." Dayang Han menggandeng Baekhyun dengan hati-hati, lalu menuntunnya masuk ke dalam pusat keramaian kota.

Sepanjang jalan dihiasi hiasan lampion beraneka warna yang digantung di setiap kedai kecil maupun besar, sementara kegaduhan sampai pada gendang telinga saat beberapa pedagang kaki lima saling bersahutan menjajakan dagangannya.

Baekhyun masih menikmati kebisingan yang tak pernah ia dengar di lingkungan Istana sebelum kemudian matanya berpusat pada salah satu meja pedagang yang dihiasi berbagai macam pernak-pernik.

Atensi Baekhyun masih tertancap pada sebuah permata giok berwarna biru cerah, benda mungil itu terbuat dari perak mengilat dan dirancang dengan model penjempit yang dikhususkan untuk mempercantik tatanan rambut.

Jemari lentik itu terulur kala langkah kaki telah sampai di tujuan, namun tak hanya tangan putih mulusnya yang berhasil menyentuh hiasan rambut dambaan, di saat yang sama tangan seseorang juga hinggap di sana.

Praktis Baekhyun menoleh.

Di balik penutup wajah, ada sosok pemuda berdiri di sampingnya.

Sesaat mereka bersitatap dalam diam.

Si gadis tengah menduga-duga bahwa akan membutuhkan sedikit upaya untuk mendapatkan hiasan rambut yang kini disentuh oleh dua tangan berbeda, sementara si pemuda tengah mengulas satu pertanyaan dalam benak.

Seperti apa keseluruhan wajah dari si pemilik mata jernih di balik kain penutupnya?

Apakah dia lebih cantik dari kekasihku?

"Tuan, mohon maaf, tapi saya yang lebih dulu melihat hiasan rambut ini."

Yang lebih tinggi berdeham, dari caranya bersuara terkesan menunjukan sebuah otoritas.

Baekhyun menebak.

"Tapi saya yang lebih dulu menyentuh hiasan rambut ini."

Dan juga telah menduganya sejak awal, pakaian sutra yang terlihat mahal dan hanya biasa dikenakan oleh para bangsawan itu memberitahu setinggi apa derajat dan harga diri yang dijunjung.

"Seingat saya, saya juga lah yang lebih dulu menyentuh jepit rembut ini." Jelas, Baekhyun tidak menaruh rasa hormat pada siapapun yang memiliki aura angkuh.

Bahkan kesombongan pemuda itu tercetak jelas di wajahnya.

Ada senyum remeh yang terulas di balik punggung tangan. Tak ada lagi kata yang terlontar selain sebuah tarikan paksa pada hiasan rambut yang kini seutuhnya lepas dari genggaman Baekhyun.

"Hei, anak muda! Tidak perlu sekasar itu jika—"

Baekhyun menyela ucapan Dayang Han dengan mengangkat sebelah tangan lalu menghela kecil atas perlakuan kasar yang diterimanya. "Pakaian yang bagus memang bukan jaminan akan tingkah laku baik seseorang." Gumamnya seraya memilih beberapa hiasan rambut yang lain.

"Apa katamu?"

Dan Baekhyun jelas berhasil menohok si pemuda angkuh, gadis itu tersenyum lembut lalu menggeleng maklum. "Bagaimana mungkin berharap menemukan gading di dalam mulut anjing?*" Tukasnya tepat di kedua iris beku yang berpotensi menjebak.

Ya. Tentu saja, Baekhyun tahu ia tidak akan mendapatkan sebuah permohonan maaf dari pemuda yang terlampau kasar itu.

Sepertinya pemuda itu memang terlahir tanpa ditakdirkan berkata manis.

"Pikirmu aku tidak mengerti apa yang kau katakan? Aku telah lama belajar ilmu sastra dan selalu mendapatkan nilai sempurna! Jangan mendebatku dengan—"

"Chanyeol!"

Ada yang berseru keras, seorang pemuda lain menepuk bahu pemuda yang tengah merasa sedikit geram karena ada seorang gadis yang mencoba mendebat otak cerdasnya.

Dan yang membuatnya kesal, gadis itu terlihat sepadan.

Baekhyun masih bersikap tenang, meski tak mendapatkan hiasan rambut yang ia inginkan namun akhirnya ia membayar untuk hiasan rambut yang lain.

Setelah berterima kasih, ia melirik Chanyeol sejenak. "Tuan, ilmu sastramu yang setinggi langit itu tidak akan menyelamatkanmu dari malapetaka yang terlahir dari sakit hati seseorang terutama wanita. Bersikaplah dengan baik, wanita tidak selemah yang terlihat." Lantas menunduk sopan sebelum kemudian berlalu, menyisakan kebisuan yang panjang.

Chanyeol, pemuda tampan yang dikenal sebagai putra sulung dari pejabat tinggi Istana itu kelu, sedang atensinya masih menancap kuat pada punggung sempit si gadis yang baru saja berlalu.

"Siapa gadis itu?"

"Apa aku baru saja diceramahi olehnya?" Chanyeol menoleh pada Taejoon yang sedari tadi terpukau dengan keberanian si gadis. Lalu melirik pada pedagang di hadapannya. "Apa kau mengenal gadis itu, paman?"

"Entahlah, tuan. Saya tidak mengetahui nama Nona itu, tapi dia kerap terlihat beberapa kali karena penampilannya yang khas dengan penutup wajah itu, beberapa orang tidak asing terhadapnya karena hal tersebut."

Chanyeol mencengkram apa yang baru saja ia beli, hiasan rambut itu memang berhasil ia dapatkan, namun harga dirinya jelas kalah telak oleh setiap kata yang terlontar dari mulut gadis bercadar.

"Kau merasa dipermalukan?" Taejoon memecah keheningan selama mengurai langkah di samping Chanyeol. "Kau dibuat kesal di hari ulang tahunmu sendiri? Ini tidak pernah terjadi sebelumnya! Gadis itu layak diberi penghargaan."

"Diamlah."

Ada yang terkekeh kecil. "Kupikir tidak ada yang berani melawan putra sulung dari menteri perpajakan yang terkenal di seluruh penjuru Joseon ini."

Chanyeol tak mengindahkan sejauh mana Taejoon menggodanya. Suasana hatinya sedang tidak bagus dan ia tidak ingin terlihat kacau saat bertemu dengan gadis yang mungkin tengah menunggunya di perbatasan kota saat ini.

"Tapi siapa sebenarnya gadis itu? Maksudku, Ayahmu mempunyai reputasi dan bahkan sama terkenalnya dengan Baginda Raja, semua gadis dari penjuru kota mengenal dan memujamu, kau mendapatkan juara satu di bidang akademik saat ujian negara dan Baginda Raja sendiri yang memberimu penghargaan. Aneh sekali jika ada yang tidak mengenalmu."

"Mungkin gadis itu berasal dari pedalaman hutan."

Tawa Taejoon kembali meledak, terhibur dengan nada ketus yang terlontar dari mulut Chanyeol. Suasana hati temannya itu memang akan mudah terganggu jika ada yang mampu melampauinya dalam segala hal.

Menjadi tercerdas dari sekian banyak cendekiawan muda yang mengikuti ujian negara membuat Chanyeol berada di atas langit. Ya, sebelum kemudian terhempas ke dasar bumi akibat ucapan menohok si gadis bercadar beberapa saat lalu.

"Berhenti tertawa." Chanyeol membungkam Taejoon. Ajaibnya senyum kecil terulas kala atensinya tertancap pada sosok cantik yang berdiri di depan sebuah danau hijau yang terletak di ujung desa.

Pemuda berusia tujuh belas tahun itu tidak hanya menggendong kedua tangannya di belakang untuk membuat siapapun segan pada aura kebangsawanan yang terlahir, namun juga tengah menyembunyikan sebuah tas kecil berisi hiasan rambut sebagai hadiah yang begitu ingin ia beri kepada Hyejin, kekasihnya.

Sosok berparas cantik dan anggun dalam balutan sutra hanbok itu adalah putri dari menteri personalia kerajaan. Terkenal dengan sosoknya yang lembut dan ramah, membuat Chanyeol merasa beruntung karena dari sekian banyak pemuda yang mencoba mengambil hati gadisnya, adalah Chanyeol satu-satunya yang berhasil.

~oOo~

"Bagaimana kelas militermu?"

Ruangan itu khas, ornamen naga yang melekat pada dinding kertas melahirkan satu ketegasan mutlak. Adalah sang otoriter, yang menghuni ruang luas yang kini di penuhi aroma teh krisan itu.

Setelah menuang cairan kuning dari dalam poci, Baekhyun turut menyodorkan cangkir kecil ke hadapan sang Ayah yang bersila di seberangnya.

"Hamba tengah mengikuti serangkaian tes, Paduka."

Yang kini telah menua dengan untaian janggut di dagu berdeham setelah menyesap aroma bunga krisan di cangkirnya.

"Puteri mendapat nilai tinggi untuk ujian militer kala itu, Yang Mulia. Maka kemampuannya bukan lagi hal yang dapat diragukan." Ratu Sora yang duduk di samping Raja turut bersuara, diselingi senyum hangat yang menenangkan.

"Jaga bicaramu! Dia bukan Puteri tapi Putra Mahkota!" Sang Raja menghardik kecerobohan Ratu yang berpotensi mendatangkan malapetaka.

"Hamba mohon ampun, Yang Mulia.." Sora bersujud atas kecerobohannya.

Meski belasan tahun dilaluinya dengan keharusan menganggap Baekhyun sebagai pewaris tahta, namun kenyataan tidak tertelan oleh waktu yang terus berjalan.

Bagi Sora, Baekhyun tetaplah putri kecilnya yang cantik. Ia tidak sepenuhnya merelakan kehendak sang Raja, karena bagaimanapun adalah salah melupakan fakta dan memaksakan suatu keadaan dengan melawan sebuah kodrat.

"Mohon ampuni Ibunda Ratu, Ayahanda." Baekhyun ikut bersujud. Sifat keras sang Ayah telah ia pelajari selama belasan tahun, Raja Siwon adalah pendiktaktor ulung, dan kehendaknya adalah apa yag mutlak terwujud.

Baekhyun telah belajar untuk menuruti segala hal yang Ayahnya perintahkan. Ia tidak pernah merasa keberatan menjalani hidupnya selama ini, karena ia yakin selalu ada alasan kuat di balik segala hal yang harus dijalani. Terlepas dari seberapa sulitnya hal itu.

~oOo~

Alunan kecapi yang dipetik oleh salah satu wanita penghibur menambah nikmat arak yang mengalir di kerongkongan para pejabat tinggi Istana, yang kini tengah berkumpul di dalam paviliun sebuah rumah bordir.

"Raja salah besar jika berpikir kita tidak tahu apapun."

"Ya, hanya menunggu waktu yang tepat sebelum kita menjalankan aksi untuk menggulingkan tahtanya."

"Bagaimana menurutmu pejabat Park?"

Sosok paruh baya yang terlihat seperti seorang pemimpin sebuah perkumpulan pengkritisi ulung itu bersila dengan khidmat, sisa arak masih mencumbu indera pengecap sementara tak terlalu mengindahkan sentuhan dari dua wanita penghibur yang mengapit sisi kiri dan kanannya.

Park Sangyoon. Menduduki jabatan tinggi sebagai menteri perpajakan yang disegani oleh para pejabat peringkat senior yang setara maupun oleh pejabat peringkat junior. Pria paruh baya itu memiliki garis wajah tegas disamping penuaan yang tak luput dari pertambahan usia. Meski begitu, ia adalah sosok ambisius yang telah menjabat dan mengabdikan diri pada kerajaan lebih dari setengah usianya.

"Sudah waktunya menggulingkan kekuasaan keluarga Byun. Kita tidak bisa menunggu lebih lama lagi."

Semua orang mendesah lega mendengar penuturan sang ketua.

"Kami akan dengan senang hati menjalankan perintahmu, Tuan."

Sangyoon tersenyum kecil, meski begitu ekspresi liciknya terlihat begitu kentara.

Ia tidak mengabdi untuk menjadi budak Raja dengan senang hati, karena telah lama pria paruh baya itu memendam obsesi untuk sebuah kekuasaan.

"Apa yang kau peroleh hari ini, pejabat Kim?" Sangyoon bertanya kepada menteri hukum, salah satu abdi setia yang berialiansi dalam sebuah konspirasi bersama dengan dirinya.

"Putra— tidak, maksud saya Tuan Puteri hari ini terlihat di pusat kota dengan Dayang pribadinya."

Sangyoon tersenyum remeh. "Disaat Ayahnya mati-matian menyembunyikan identitas putrinya dan mencoba mempertahankan tahta meski harus melawan sebuah kodrat, putri tercintanya justru membangkang dan berjalan-jalan di pusat keramaian?"

Semua orang tergelak dengan nikmat.

"Apa jadinya jika Ibu Suri tahu bahwa Putta Mahkota adalah seorang gadis manis?" Pejabat Kim berceloteh diselingi tawa.

"Itu rencanaku. Ibu Suri adalah tipikal orang yang tidak akan mentoleransi sebuah kebohongan, wanita tua itu cukup kejam. Meski begitu, kekuasaan yang dimilikinya cukup untuk membantu kita mencapai tujuan." Sangyoon menyahut.

"Apa Tuan akan mengecualikan Ibu Suri dari eksekusi?" Pejabat lain bertanya diikuti oleh wajah-wajah serius yang lainnya.

"Kita membutuhkan wanita itu paling tidak sebelum apa yang kita inginkan terwujud. Dan setelah Raja berhasil digulingkan, aku akan melenyapkan wanita tua itu juga."

Semua orang mengangguk setuju.

"Bukankah sudah saatnya kita berontak dari perbudakan Raja yang tidak becus itu?" Sangyoon tersenyum licik sebelum kemudian menyesap sisa araknya.

~oOo~

"Jadilah Raja."

Chanyeol mundur satu langkah untuk satu kalimat pendek yang terlontar mulus dari mulut sang Ayah. Sedikit banyak tidak mengerti dan berharap apa yang terucap diselingi aura konspirasi itu adalah sebuah gurauan. Namun kenyataan mematahkan segala praduga ketika Chanyeol teringat bahwa Park Sangyoon, Ayahnya itu bukanlah sosok yang gemar mencairkan suasana dengan sebuah gurauan.

"A-apa maksudmu, Ayah?"Tentu, Chanyeol butuh sebuah kejelasan akan maksud dari ucapan konyol sang Ayah.

"Aku akan memberimu tempat tertinggi di Istana, kau akan kujadikan Raja."

Sunyi pertanda Chanyeol masih mencerna segala hal, meski telah berusaha sebisa mungkin namun ucapan sang Ayah sulit diterima oleh akal sehat.

Sangyoon berdecak. "Apa sesulit itu mengerti ucapanku?!"

Perlahan Chanyeol menatap sang Ayah. "Apa Ayahberniat melakukan kudeta? Tapi kenapa?"

"Raja kita saat ini tidak pantas duduk di atas singgasana. Maka dari itu dia layak kehilangan tahtanya."

"Aku tidak mengerti." Chanyeol menyerah. "Raja kita adalah panutan semua orang. Apa yang menyebabkanmu menyebutnya tidak pantas?"

"Dasar bodoh! Untuk apa gelar cendekiawan muda terbaik jika kau berpikir senaif itu?!

"Ayah.."

"Dia telah menipu kita semua! Dan itu adalah sebuah kejahatan besar! Dia dan seluruh anggota keluarganya pantas dihukum!"

"Bukankah rencanamu sama jahatnya?"

Pertanyaan yang dianggap lancang itu lantas menghantarkan satu tamparan keras di pipi Chanyeol.

"Aku tidak membesarkan dan memanjakanmu untuk menjadi seorang pembangkang!" Park Sangyoon berdeham keras untuk kewibawaannya yang tersisa. "Segala hal telah ditentukan, kau harus menuruti apa yang aku katakan."

Terdengar mutlak di telinga Chanyeol, akan tetapi tak sedikit pun membenarkan segala hal yang berkaitan dengan obsesi sang Ayah.

"Ayah bisa menamparku sebanyak yang kau mau. Tapi tentu, itu tidak akan membuatku menyetujui rencana konyolmu."

Chanyeol memgernyit dalam pada satu fakta mengejutkan. Bahwa selama ini Ayahnya menyimpan begitu banyak kedengkian.

"Anak kurang ajar!" Sangyoon menyela ucapan putranya dengan sebuah cengkraman kuat di kerah. "Apa kau tidak ingin menjadi lebih baik dalam hidupmu?! Apa kau akan terus berada di tingkat yang sama dengan orang lain dan tidak ingin berada di atas mereka dengan sebuah otoritas?!"

Saliva Chanyeol tertelan susah payah. "Ayah.. apa ini semua demi sebuah kekuasaan? Tapi untuk apa? Apa gunanya semua itu?!"

Chanyeol telah mempelajari banyak hal, termasuk menghadapi kemarahan sang Ayah untuk kehendak yang tidak terpenuhi. Namun tak pernah sedikit pun terlintas dalam benaknya bahwa sang Ayah berani berpikir untuk memerangi keadaan demi mengenggam sebuah otoritas.

"Raja telah menipu kita semua! Faktanya dia telah berdosa besar, dan itu tidak akan ditoleransi oleh siapapun, termasuk rakyat tercintanya. Dia layak dihukum atas perbuatannya." Sangyoon menghempas kerah Chanyeol lalu berbalik, melempar raut muka penuh amarah pada hamparan teratai di atas kolam seberang paviliun.

"Itu bukan berarti Ayah harus memaksakan segala kehendak!"

"Park Chanyeol!"

"Aku tetap pada keputusanku untuk tidak terlibat dengan konspirasi apaaun!" Final Chanyeol sebelum kemudian menunduk sopan lantas berbalik.

"Kim Hyejin.."

Namun nama itu sukses menginterupsi niat Chanyeol untuk melangkah.

Sangyoon berbalik. "Pikirmu aku tidak tahu bahwa selama ini kau menjalin kasih dengan putri dari pejabat Kim!"

Chanyeol menangkap segala macam konspirasi di balik kalimat yang Ayahnya lontarkan, karenanya ia berbalik dengan wajah yang digelayuti perasaan waswas. "A-apa maksud dari perkataanmu?"

"Kau tidak harus menyembunyikan hubunganmu dengan gadis itu lagi, bahkan aku akan menikahkan kalian jika kau menuruti semua perintahku."

Chanyeol tahu dari setiap isu yang mencuat di kalangan banyak pihak bahwa hubungan Ayahnya dengan pejabat Kim tidak begitu bagus. Mereka kerap berbeda pemahaman dalam segala hal yang bersangkutann dengan politk di kehidupan Istana kerajaan.

Dan tentu segala macam perselisihan tidak luput dari akibat. Imbasnya Chanyeol dan Hyejin harus menyembunyikan hubungan mereka karena kedua belah pihak keluarga akan menentang dengan keras jalinan asmara yang dijalin oleh keduanya.

Chanyeol mencintai Hyejin, begitu pun sebaliknya. Dan kini rasa cinta itu mulai melahirkan perang batin di dalam diri Chanyeol akibat penawaran sang Ayah.

Kau tidak akan mendapat restu itu di lain waktu, Park Chanyeol. Ayahmu bukan seseorang yang akan luluh hanya karena sebuah permohonan. Lakukan apa yang beliau perintahkan, dengan begitu kau bisa menikahi Hyejin dan bahagia bersamanya.

Perlahan, pemuda itu mengangkat wajah setelah dijebak oleh kemelut di dalam diri.

"Tentu aku marah mendengar kau menjalin hubungan dengan putri dari salah satu musuhku, kau tahu aku bisa melakukan apapun pada gadis itu jika aku mau. Tapi di sini aku mencoba memahami keinginan putraku. Bagaimana?"

"Keinginanku?" Chanyeol nyaris berdecak remeh. "Bukankah ini semua untuk memuaskan keinginanmu, Ayah?"

"Terserah. Membangkangku hanya akan mendatangkan kerugian. Aku masih berbaik hati memberimu peluang untuk bisa bersama dengan gadis pujaanmu meskipun aku begitu tidak menyukai orang tuanya."

Chanyeol kembali dirundung oleh kebingungan. Di lain sisi bersama dengan Hyejin tanpa harus menjalani hubungan dengan cara sembunyi-sembunyi adalah apa yang ia impikan selama ini, namun di satu sisi ia tidak cukup berani mengorbankan nurani dan menghadapi sebuah pertumpahan darah. Karena apa yang yang menjadi obsesi sang Ayah benar-benar melewati batas nalar.

Pemuda itu menghabiskan beberapa saat dengan menimang kembali penawaran dari sang Ayah, lalu sejurus kemudian ia mengangguk. Karena wajah cantik Hyejin berkelebat dalam benak.

Ya. Mungkin tidak salah mengorbankan nurani demi cinta. Demi Hyejin. Tidak salah.

"Sebenarnya kebohongan apa yang telah dilakukan oleh Baginda Raja?"

Senyum licik terulas di bibir Sangyoon kala rasa penasaran putranya mulai mendominasi. "Selama ini dia telah menyembunyikan identitas asli Putra Mahkota." Ia menepuk bahu Chanyeol, "nak, Raja berbohong tentang pewaris tahta. Dia tidak memiliki siapapun kecuali seorang Puteri yang bersembunyi di balik jubah kebesaran Putra Mahkota. Ya, mereka telah membohongi seluruh rakyat Joseon!" Jelas Sangyoon saat melihat kilatan tak percaya di kedua mata putranya yang membola.

"A-apa?" Chanyeol membeo dan ia harap telinganya salah mendengar apa yang keluar dari mulut sang Ayah.

Segala hal terasa semakin sulit diterima oleh nalar ketika Chanyeol tidak menemukan satu titik kebohongan dari kedua manik Sangyoon. Namun perlahan satu pemikiran yang semula bertolak belakang dengan pendirian Chanyeol mencuat.

Jika memang Raja telah melakukan dosa besar dengan membohongi semua rakytanya, bukankah tidak ada yang lebih pantas diterimanya selain hukuman?

"Aku sudah menjalankan rencanaku, dan mungkin saat ini segala kebusukan Raja telah sampai di telinga seluruh rakyat Joseon. Itu sebuah keuntungan untuk kita. Sudah sepantasnya keluarga Park bangkit dan menduduki kasta tertinggi di negeri ini. Untuk itu kau harus melakukan semua perintahku."

Lagi-lagi Chanyeol tertegun untuk sebuah kalimat penuh konspirasi yang sampai di gendang telinganya.

"Aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan emas ini, berpuluh tahun lamanya keluarga Park mengabdi pada kerajaan. Nenek moyang kita telah menumpahkan banyak darah dan keringat dengan kesetiaan melayani keluarga kerajaan. Dan sekarang waktunya kita memutar keadaan. Percayalah, nak.. kau bahkan mampu menggapai matahari dengan berdiri di atas tahta itu. Kau bisa bersama dengan gadismu tanpa takut akan mendapat halangan dari siapapun. Kau tentu ingin bersamanya bukan?"

Rasanya pahit, saliva yang Chanyeol telan dengan susah payah mengantarnya pada batas nurani. Karena yang terngiang hanya kebahagiaannya dengan sang pujaan hati. Kini harapannya berubah menjadi sebuah obsesi yang terpampang jelas di kedua iris kelamnya.

"A-apa yang harus aku lakukan?"

Dan senyum jahat tercetak di bibir Sangyoon saat berhasil memenangkan hati putranya.

~oOo~

Sudah lebih dari dua jam Siwon mengurung diri di ruangannya tanpa memberi ijin kepada siapapun untuk masuk. Raut wajahnya tampak kacau, gelisah bergelayut diselingi rasa cemas yang mendominasi. Sedari tadi kedua tangannya terkepal di atas meja sementara berkas-berkas berisi petisi dari para siswa Sungkyunkwan telah lama menjadi sasaran emosinya yang membludak.

"Sudah ku bilang jangan—"

Siwon nyaris meluapkan beragam kemarahan jika sosok yang memaksa menerobos masuk ke dalam ruangannya bukanlah sang Permaisuri.

Sora berdiri dengan sisa kekuatan yang ia rangkai, banyaknya siswa Sungkyunkwan yang berdemo di depan gerbang utama Istana jelas menjadi buah bibir di seluruh penjuru tembok kerajaan.

"Lihat apa yang saat ini terjadi?!" Sora melupakan kewibawaannya sebagai seorang Ratu. Ia meraung marah atas informasi yang didengarnya dari Dayang Han. "Tidak akan sekacau ini jika Paduka tidak bersikeras menggugu sebuah otoritas! Putriku dalam bahaya! Paduka tahu betul konsekuensi apa yang tengah menanti Baekhyun saat ini!"

"Jaga ucapannu, Permaisuri!"

"Kenapa? Tidak ada lagi yang harus hamba sembunyikan! Semua orang bahkan seluruh rakyat Joseon tahu bahwa Baekhyun adalah seorang Puteri!"

"Kau tahu lebih dari siapapun ini tidak akan terjadi jika kau memberiku seorang anak laki-laki!"

Seperti sebuah belati yang meluncur mulus di udara sebelum kemudian menancap tepat di ulu hati, Sora tumbang dari keberaniannya. Ada perih yang menjalar saat kalimat yang terlontar dari mulut suaminya tak kunjung berhenti menggema.

Siwon jelas kalut. Akal sehatnya terkecoh oleh kemarahan para menteri di balairung Istana. Kosa katanya tak lagi beraturan mendapati fakta bahwa kini ia adalah sosok yang paling dikutuk di seluruh penjuru negeri.

"Bagaimana bisa rahasia yang tertutup rapat muncul ke permukaan? Aku mengorbankan segalanya untuk ini." Geram sang Raja.

Lantas sang penguasa itu menggeleng kala wajah Baekhyun berkelebat dalam pandangan. Tanpa pernah ia duga sebelumnya, satu pertanyaan muncul dalam benak.

Apa yang akan terjadi pada putrinya tersebut?

"Dimana Baekhyun?"

Sora pulih dari kesedihan lantas mendongak.

"Aku tanya di mana Baekhyun?!"

Sora hendak menyahut jika saja bunyi ribut dari luar tidak lebih dulu memekakkan telinga.

"Kami membawa perintah dari pengadilan Istana! Dimana Raja dan Ratu?!

Sora dan Siwon bertukar pandang dengan kalut, mereka lantas beringsut kala tiga pintu penghubung menuju ruang sang penguasa itu terkuak dengan sebuah paksaan.

~oOo~

"Dayang, kita di mana? Mengapa Ibunda meminta kita untuk ke sini?" Baekhyun bertanya dengan rasa penasaran yang membumbung tinggi, disamping merasa heran dengan hanbok yang ia pakai. Dayang Han mengatakan bahwa Sora yang memintanya memakai stelan sutra lembut nan anggun tersebut.

Terang saja Baekhyun merasa aneh karena baik sang Ayah maupun Ibu, tidak pernah mengijinkannya keluar Istana dengan memakai pakaian perempuan.

Dayang Han menyapukan atensi ke seluruh penjuru hutan lantas mennyeret Baekhyun masuk ke dalam sebuah paviliun kecil yang terletak jauh dari Istana.

"Bolehkah aku membuka tudung ini?"

"Tidak. Tuan Puteri harus terus memakainya!"

"Tapi kita berada di dalam ruangan, sebenarnya kita sedang apa di sini, Dayang?" Baekhyun terdengar bosan dengan sedikit keluhan.

Dayang Han memegang kedua bahu Baekhyun dengan erat. "Dengarkan ini baik-baik, Tuan Puteri. Saat ini Istana sedang dalam keadaan darurat, para siswa dari Sungkyunkwan melakukan demo besar-besaran dan membuat petisi agar Baginda Raja turun dari tahta."

"A-apa? Tapi kenapa? Apa yang terjadi?" Baekhyun diserang panik dan cemas dalam sekejap.

Dayang Han menelan salivanya dengan sulit. "Identitas Tuan Puteri yang sebenarnya telah tersebar ke seluruh penjuru negeri, dan para menteri telah sepakat untuk menggulingkan tahta Raja serta.. serta.."

"Serta apa?" Desak Baekhyun dengan perasaan tak nyaman yang kian mendominasi.

"Akan menghukum seluruh anggota keluarga kerajaan dengan.. dengan eksekusi mati karena dianggap telah berkhianat."

Baekhyun refleks menutup mulut, ia menggeleng tak percaya meski kini lututnya selemas agar agar. Kemudian gadis itu tumbang dan jatuh di atas permukaan jerami. "Lantas apa yang aku lakukan di sini?" Ia menatap ke arah Dayang Han. "Apa yang aku lakukan di sini ketika kedua orang tuaku tengah menghadapi bahaya. Tidak. Aku harus kembali.. aku.. aku akan—"

"—tidak." Dayang Han mencekal lengan Baekhyun. "Yang Mulia Ratu memerintahkan hamba untuk memastikan Tuan Puteri tetap berada di sini dan menjauhi Istana. Ada begitu banyak konspirasi yang kini bertebaran di balik dinding kerajaan. Istana bukan tempat yang aman saat ini."

"Lalu apa kau akan membiarkanku diam saja ketika bahkan mungkin saat ini kedua orang tuaku tengah diadili?!" Baekhyun meradang.

Tumbuh besar dengan didikan yang mengharuskannya menjadi seorang anak laki-laki sedikit banyak melatih mentalnya agar kebas terhadap sikap emosional. Meski ada getar sama di dalam pita suara, namun Baekhyun tidak sedikitpun membiarkan penglihatannya memburam oleh air mata.

"Saya mohon, ini adalah tugas dan perintah dari Yang Mulia Ratu. Hamba tidak diijinkan membiarkan Tuan Puteri mendekati Istana. Di sana berbahaya, bahkan mungkin saat ini pengawal kerajaan tengah berbondong-bondong mencari keberadaan anda."

Baekhyun meremat hanbok nya dengan kuat, merasa tidak berdaya sama sekali. "Bagaimana bisa ini terjadi? Mengapa semuanya menjadi seperti ini?"

Dayang Han kembali menghela berat, setelah memastikan pintu paviliun terkunci rapat, wanita paruh baya itu lantas duduk bersimpuh di hadapan Baekhyun. "Saya tidak tahu dengan jelas, tapi tadi malam Ibu Suri bersama dengan menteri perpajakan terlibat perbincangan serius di paviliun timur."

"Nenek Ratu?"

Dayang Han mengangguk. "Ibu Suri tampak begitu marah. Hamba tebak beliau tahu kebenarannya dari pejabat Park."

"Pejabat Park tahu?"

"Ya. Dugaan hamba benar. Ternyata selama ini pejabat Park lah yang kerap mengirim mata-mata untuk mengikuti kita di pusat kota."

"Tapi kenapa? Kenapa paman itu jahat sekali?"

"Semua orang tahu bahwa pejabat Park mengantongi kepercayaan Ibu Suri. Dan fakta bahwa Baginda Raja bukanlah anak kandung dari Ibu Suri adalah apa yang akan pejabat Park manfaatkan untuk suatu tujuan."

"Tujuan apa yang kau maksud, Dayang? Apa yang hendak direncanakan oleh pejabat Park?"

"Hamba tidak tahu, Tuan Puteri. Tapi yang jelas pejabat Park menginginkan kekuasaan."

Baekhyun kelu, mengapa semua orang begitu terobsesi dengan sebuah otoritas? Bahkan Ayahnya sendiri melupakan kodrat putrinya demi mempertahankan kekuasaan.

Segala hal terasa percuma, Baekhyun menghabiskan lima belas tahun hidupnya menjadi seorang anak laki-laki untuk dihadapkan pada situasi pelik seperti saat ini.

"Dayang, aku mencemaskan kedua orang tuaku. Bagiku mereka segalanya meski kesalahan yang diperbuat tidak akan mendapat pengampunan dari siapapun. Aku harus menyelamatkan orang tuaku. Bagaimana pun caranya!"

Tekad Baekhyun membuatnya bangkit dari ketidakberdayaan di atas tumpukan jerami, lantas ia melangkah keluar dengan yakin, tak sedikit pun mengindahkan seruan Dayang Han di belakang punggungnya

Langit yang mulai merambat menuju kegelapan saat matahari hendak kembali ke peraduan menuntun langkah Baekhyun menuju pusat keramaian di depan gerbang Istana.

Dayang Han telah menyerah menghadapi sifat keras kepala sang Puteri, meski kini ia dengan sigap menutupi kepala Baekhyun dengan tudung hanbok.

Setelah keduanya berhasil menghindari massa yang tengah sibuk berorasi dengan kalimat kebencian yang ditujukan kepada Raja, Baekhyun dan Dayang Han menyusup dan tiba di barat Istana tempat di mana penjara untuk setiap kejahatan berada.

Baekhyun menunggu sementara Dayang Han menghampiri penjaga penjara dan terlihat tengah melakukan negosiasi.

Setelah menyerahkan sebuah kantong berisi kepingan perak kepada penjaga, Dayang Han menggiring Baekhyun masuk ke dalam penjara dengan langkah waspada.

"Ibunda.. A-ayahanda.." Baekhyun kehilangan tenaga untuk menumpu seluruh tubuh, dan berakhir tumbang di hadapan sel kayu tempat di mana kedua sosok paruh baya berpakaian putih terkurung dalam keadaan mengenaskan

Sora nyaris terpekik sebelum kembali mendapatkan akal sehat dengan merangkak di atas jerami, mengabaikan ngilu di seluruh tubuh untuk menggapai wajah mungil nan cantik putrinya. "Apa yang kau lakukan di sini?!" Wanita itu menggeram rendah lantas melirik pada Dayang Han. "Aku menugaskanmu untuk menjaga Puteri!"

"Ke-kenapa dengan wajahmu, Ibunda? Apa yang mereka lakukan?" Lantas melirik pada sosok yang tengah meringkuk menyedihkan di sudut sel. "A-yahanda.." beonya dengan mental sekuat baja, karena bagaimanapun Baekhyun harus kuat. Meski Ayahnya dalam keadaan sekarat dengan bercak darah di seluruh pakaian.

Tidak ada lagi sang pendiktaktor yang mendidik Baekhyun dengan keras. Tidak ada lagi sosoknya yang gagah berotoritas di atas singgasana, Baekhyun asing pada Ayahnya. Dan menyakitkan melihat sosok yang kerap terlihat mengintimidasi siapapun di balik baju kebesaran Raja itu kini meringkuk tak berdaya dengan luka di sekujur tubuh.

Siwon menangkap suara lembut yang memanggilnya, tenaga yang terkuras oleh siksaan di balai pengadilan Istana beberapa saat lalu kini mendapat sedikit asupan kekuatan.

Karena bagaimana pun Baekhyun adalah putrinya.

Tidak. Siwon tidak pernah melewatkan satu detik pun untuk melupakan kodrat Baekhyun. Dia hanya digugu oleh rasa haus akan sebuah tahta.

Siwon tidak mendidik dan mengharuskan Baekhyun menjalani hidupnya sebagai seorang anak laki-laki tanpa rasa bersalah yang kerap menemani jam tidurnya yang terganggu.

Di waktu senggang Siwon kerap membiarkannya mengutuk diri sendiri karena memaksa Baekhyun untuk kehendaknya yang tidak ingin dibantah.

Sosok itu mulai merangkai kekuatan lantas isak tangis kecil dari Sora menuntun tubuhnya merangkak menuju pintu sel.

Baekhyun menyambut telapak tangan yang tidak ia duga akan sehangat itu dan mengenggamnya dengan erat.

"Ayah membeli ini saat musim dingin lalu. Kau ingat kita berkunjung ke tempat pemandian air panas saat itu ." dengan suara parau, Siwon menyerahkan sebuah jepit rambut kepada Baekhyun. "Putriku.."

Dan pertahanan diri Baekhyun rubuh dalam hitungan detik. Karena taktik perang dan hunusan pedang yang menemani hari-harinya tidak sedikitpun mengubah kodratnya sebagai seorang perempuan. Baekhyun tetaplah makhluk rapuh yang berhati lembut.

Air matanya lolos untuk satu panggilan yang selama ini tidak pernah singgah di gendang telinganya.

"Ayah tidak membencimu."

Baekhyun menggeleng, seraya menciumi punggung tangan sang Ayah.

"Ayah salah. Ayah berdosa kepadamu."

Sora telah lebih dulu merangkul suaminya dengan haru dan kesedihan mendalam.

"Maafkan Ayahmu ini. Kau harus melalui kesulitan tak berujung ini karena ulahku. Karena keserakahanku."

"Aku tidak menyalahkanmu." Baekhyun mencicit dengan isak tangis yang terdengar payah. "Aku menyayangi kalian berdua."

"Kalian harus pergi!"

Dayang Han yang telah lama membisu dalam haru lantas menoleh kepada penjaga penjara yang terlihat panik.

"Cepat! Pergi sebelum pengawal Istana datang!"

Baekhyun mulai panik lantas kembali melirik pada kedua orang tuanya di balik sel kayu. "Kita harus pergi, aku akan menyelamatkan kalian. Kita harus keluar dari sini." Kukuhnya seraya berkutat dengan kunci sel yang sulit dibuka.

"Cepatlah! Pengawal Istana menuju kemari!"

Dayang Han dan Baekhyun terdesak luar biasa.

"Tidak, nak. Pergilah." Sora menginterupsi segalanya.

Dan Baekhyun kelu seraya mematung. "A-apa maksudnya?" Lantas ia menggeleng mendapati Ibunya menghela pasrah. "Tidak. Tidak! Aku tidak akan meninggalkan kalian."

"Pergilah. Di sini berbahaya, kau harus pergi." Geram Siwon. "Selamatkan dirimu, apapun yang terjadi keluarlah dengan selamat. Kuatlah, nak. Kuatlah.."

"Tidak!" Baekhyun meraung dengan isak tangis, lantas meronta hebat saat Dayang Han merangkulnya dengan sebuah paksaan untuk keluar dari dalam penjara.

Dayang Han praktis membungkam mulut Baekhyun dengan telapak tangan saat iring-iringan pengawal Istana memasuki penjara.

"Pengadilan Istana memutuskan dua pengkhianat ini dieksekusi malam ini juga."

Dalam persembunyian di balik tanaman hias raksasa, Baekhyun meronta. Inginnya berteriak menyuarakan keberatan namun Dayang Han bersikukuh menjaga keselamatannya.

~oOo~

"Keputusan bersama menyatakan Raja Siwon resmi digulingkan dari tahta. Dan atas kejahatan yang telah dilakukan yang bersangkutan beserta anggota keluarga yang dianggap ikut andil dalam pengkhianatan pada seluruh rakyat Joseon akan dihukum dengan—"

"Tunggu."

Sosok tambun itu memasuki balai pengadilan terbuka. Langkahnya serupa yang paling berkuasa, namun apa yang terlihat sepadan saat semua yang berkumpul sebagai persatuan pihak berwajib membungkuk hormat padanya.

"Pejabat Park."

Adalah menteri hukum yang memanggil sosok itu seraya membungkuk hormat.

Sangyoon tidak menyahut lantas ia melangkah menuju dua kursi berpenghuni di tengah pelataran pengadilan. Dimana Siwon yang terikat tak berdaya telah lebih dulu menatapnya dengan sengit.

Sora tampak memucat dan pasrah untuk apapun yang tengah menanti. Karena tiada yang lebih diharapkan olehnya selain keselamatan putrinya saat ini.

"Di mana putri kalian? Eksekusi ini tidak boleh berjalan jika anggota keluarga tidak lengkap. Sumber dari masalah dan pengkhianatan ini adalah putrimu." Sangyoon tertawa sejenak. "Kita bahkan tidak tahu siapa namanya. Cepat katakan di mana kalian menyembunyikan pengkhianat itu?"

"Park Sangyoon!" Siwon meraung dan meronta. Kemarahannya tercetak jelas pada urat-urat leher yang mengemuka.

"Siapa kau berani menyebut namaku seperti itu?!" Geram Sangyoon seraya menorehkan timah panas bercap pengkhianatan di lengan Siwon yang kini merintih kesakitan.

"Tidak. Kumohon hentikan! Jangan siksa suamiku!" Sora meronta menghadapi siksaan yang mendera suaminya.

"Oh, apa Ratu kita yang cantik akan memberitahu di mana puteri bersembunyi?"

Sora meludah tepat di wajah Sangyoon, lalu sebuah kemarahan mencuat dari seorang pemuda yang melintasi pelataran sebelum kemudian menghunus kilatan pedang di depan leher Sora.

"Kau tidak akan menghina Ayahku seperti itu, pengkhianat!"

Sangyoon tersenyum bangga mendapati pembelaan dari putranya, Park Chanyeol.

Sementara itu ada yang nyaris terpekik di dalam persembunyian mendapati kilatan pedang nyaris mengonyak leher Ibunya. Ialah Baekhyun yang sedari tadi memandang cemas ditemani redaman tangis di balik punggung tangan. Kesedihannya menggunung mendapati Ibu dan Ayahnya disiksa tanpa belas kasih.

"Kau hanya akan menanggung benalu seumur hidup untuk ini, Park Sangyoon." Celoteh Siwon dengan tawa renyah juga pilu. Selisih pahamnya dengan Sangyoon selama ini mengantarkannya pada satu fakta.

Bahwa Park Sangyoon menyimpan kedengkian mendalam terhadap dirinya.

Lalu Siwon beralih pada Chanyeol yang masih menggantungkan pedangnya di depan leher Sora.

"Nak, kau hendak mengotori tanganmu untuk membela manusia hina seperti Sangyoon?" Siwon kembali tertawa lemah, namun syarat akan cemoohan. "Bunuh istriku dan kau akan sama hinanya dengan Ayahmu— oh, apa dia layak disebut Ayah?"

Sangyoon naik pitam dan merebut pedang dari tangan Chanyeol. Kemarahannya tak terbendung dan hinaan yang tertuju mengantarkan satu tebasan mutlak di leher Siwon.

Sora menjerit histeris, sementara perlahan sebuah kehidupan mulai terenggut, lepas dari raga Siwon.

Sora menangis sejadi-jadinya, rembesan darah yang mulai menggenang adalah bukti bahwa Sangyoon telah menghilangkan satu nyawa.

Cipratan darah yang sampai pada wajah Chanyeol menciptakan keterkejutan tanpa banding, pemuda itu mematung. Kelu merajarela kala atensinya tertancap kuat pada sosok Siwon yang sudah terbujur di kursi penghakiman. Satu langkah mundur adalah untuk rasa takut, Chanyeol melirik dengan tempo lambat pada sang Ayah. Lantas menggeleng atas kekejaman yang baru saja ia saksikan.

Kau akan sama hinanya dengan Ayahmu.

Di sudut tembok temaram persembunyian sebuah tangis di balik telapak tangan telah lama menjadi penanda bahwa kesedihan menghantamnya secara telak. Baekhyun menggeleng keras dalam dekap Dayang Han, sementara hatinya mengutuk diri atas ketidakberdayaan.

Bagaimana bisa ia hanya diam menyaksikan Ayahnya dibunuh tepat di hadapan matanya?

Bagaimana bisa ia setidakberdaya itu?

"Park Sangyoon!" Sora berteriak lantang dalam tangis pilu, lalu memicing benci pada sosok paruh baya yang tengah menikmati tetesan darah di ujung pedang. "Langit akan menghukummu! Kau tidak akan hidup dalam kedamaian dan selamanya akan terkutuk!" Wanita yang kerap terlihat anggun dan lembut itu pun meluapkan kemarahan yang tak terbendung. "Kau dan keluargamu akan mendapat balasan atas perbuatan kejimu! Camkan!"

Teriakan lantang itu adalah sebuah hinaan yang sampai pada gendang telinga Sangyoon. Lalu senyum remeh tercetak di sudut bibir. "Jika karma yang tengah kau bicarakan, maka saat ini juga aku akan memperlihatkan balasan apa yang takdir beri atas kebohonganmu dan suami selama ini!"

Sangyoon berdalih, memanfaatkan satu kesalahan yang terpampang nyata demi sebuah alibi masuk akal. Agar tebasan pedang yang kembali merenggut satu kehidupan itu mendapat sebuah pemakluman.

Kini langkah mundur Chanyeol terasa intens. Tangan dan tubuhnya tak luput dari cipratan darah. Dua sosok yang Ayahnya bunuh di depan matanya benar-benar melahirkan keterkejutan mendalam. Dan Chanyeol semakin dirundung oleh rasa takut.

Baekhyun meronta hebat, tangisnya teredam oleh rasa takut meskipun pada saat yang sama ia ingin keluar dari persembunyian dan membalas perbuatan Sangyoon terhadap kedua orang tuanya.

Dayang Han berkali-kali menguatkan meski ia sendiri sangat terpukul dengan apa yang kini terjadi.

"Aku yakin Puteri tengah bersembunyi di suatu tempat, cari dan kejar sampai dapat! Meskipun berada di ujung dunia sekalipun! Kalian harus mendapatkannya!"

Titah itu mutlak. Sangyoon berada di atas angin kala prajurit Istana membungkuk patuh.

Dayang Han menggeleng pelan, lantas mulai panik seraya menyeret Baekhyun pergi.

Cahaya bulan menohok dua perempuan itu dengan telak, mereka berlari di bawah langit malam kala suara para prajurit terdengar lebih keras.

"Mereka bilang melihat seorang gadis dan Dayang Istana di sekitar sini, cari mereka sampai dapat!"

Para prajurit Istana itu tidak menyerah, sementara yang telah lebih dulu lari dari kejaran mulai dirundung rasa lelah.

Baekhyun tak sedikit pun mengeluh, karena pesan kedua orang tuanya agar dirinya selamat adalah apa yang terngiak dalam benak.

"Hei, siapa itu?!"

Dayang Han panik lalu kembali menarik Baekhyun dan berlari sekuat tenaga.

"Itu mereka!"

Kedua perempuan tadi bertemu dengan bibir hutan. Lantas tanpa menunggu lama mereka kembali berlari dari kejaran para prajurit Istana.

Baekhyun telah lama kehilangan alas kaki, meski begitu rembesan darah yang keluar dari telapak kakinya tidak sedikitpun menggoyahkan tekad untuk menyelamatkan diri disamping puluhan anak panah yang melesat ke arahnya juga Dayang Han.

"Bertahanlah, Tuan Puteri. Bertahan—"

"Dayang!" Baekhyun berteriak kecil, dan langkahnya terhenti seketika. "Tidak, tidak!" Ia berlutut kala anak panah yang dilesatkan oleh prajurit Istana mengenai punggung Dayang Han. "Akh tidak! Kita harus pergi, kita.." Dan gadis itu menangis untuk ke sekian kali. Ia berniat merangkul dan menggendong Dayang Han di belakang punggung namun sebuah penolakan menghantam ulu hatinya dengan rasa sesak.

Wanita paruh baya itu mulai tak berdaya dengan semburan darah segar dari dalam mulut, malam yang pekat menjadi saksi bagaimana kedua tangan itu saling menggenggam dan memberi kekuatan,

"Pergilah, selamatkan dirimu." Suara dari sisa kehidupan itu terdengar payah.

Baekhyun menggeleng keras. "Tidak. Aku tidak akan meninggalkanmu! Tidak!"

"Hamba mohon—" semburan darah itu kembali keluar dari mulut Dayang Han. "Selamatkan dirimu, Tuan Puteri!"

Tangis Baekhyun semakin pilu sementara cahaya obor dari para prajurit mulai terlihat semakin dekat. "Jangan tinggalkan aku, Dayang. Aku.. tidak mempunyai siapapun sekarang."

"Kuatlah. Kuatkan dirimu."

Baekhyun tidak pulih dari kesedihan, ia terus menggeleng. Menolak meninggalkan Dayang Han yang tengah sekarat.

"Pergilah, cepat! Selamatkan dirimu! Jangan biarkan pengorbanan orang tuamu menjadi sia-sia!"

Tangan lemah wanita paruh baya yang mengasuhnya sejak kecil terasa begitu hangat di wajah berhias noda air mata. "Pergilah. Sekarang!"

"Kejar mereka!"

Dengan amat sangat terpaksa Baekhyun bangkit setelah memeluk Dayang Han untuk terakhir kali, lantas ia berbalik dan berlari menulusuri kedalaman hutan.

Segala skenario tentang apa yang menimpanya terekam dalam otak, lalu berputar menciptakan satu kesedihan yang medalam. Di belakang punggungnya pengejaran masih tetap berlangsung dan Baekhyun bertekad untuk menyelamtakn diri.

Ia tidak akan membiarkan pengorban orang-orang yang ia sayangi menjadi percuma.

Bahkan tekadnya yang kuat menahan rasa sakit luar biasa saat anak panah menancap di sisi lengan. Gadis itu menggigit bibirnya dengan kuat dan terus berlari.

"Kejar dia sampai dapat!"

Baekhyun menggeleng saat langkahnya nyaris diimbangi, dan untuk itu kepanikan mulai meradang. Ia tak lagi berhati-hati kemudian menginjak lumut basah dan licin di ujung jurang dangkal.

Tubuh mungil itu bergulingan dalam keadaan mengenaskan, di dasar jurang ia mengerang kesakitan meski kembali bangkit dan terpincang-pincang berlari dari kejaran.

Air mata setia mengalir di wajahnya yang dipenuhi luka memar.

Dan puncaknya tidak ia ketahui, bahwa satu langkah maju mengantar kakinya pada pijakan kosong. Lantas tubuhnya melesat jatuh, jauh ke dasar jurang yang curam.

Gadis itu mencoba menggapai udara kosong, berharap mendapat pegangan kuat namun hasilnya nihil.

Ibunda..

Ayahanda..

Dayang Han..

Tiga nama itu terngiang sebelum mengantar raganya terjun ke dasar sungai di tepian air terjun.

Pengejaran itu berakhir. Di atas jurang para prajurit menatap ngeri pada sungai deras ratusan meter bawah sana.

"Dia tidak mungkin selamat jatuh dari jurang setinggi ini."

"Benar, tubuhnya akan hancur menghantam bebatuan di dasar sungai. Dia pasti sudah mati."

"Kalau begitu kita kembali."

~oOo~

Kelamnya malam berlangsung dengan kejam dan mencekam.

Sinar mentari mulai menampakkan diri dari peraduan, di ufuk timur biasnya menghantar ragam skenario bagi setiap kehidupan.

Lantas di sebuah pelataran luas Istana, genderang telah ditabuh. Pengangkatan seorang Raja baru berlangsung meriah atas ijin dari Ibu Suri yang tak ingin repot-repot berduka atas apa yang terjadi sebelumnya karena merasa telah dibohongi.

Tahta itu resmi berpindah tangan pada sosok muda yang juga akan melangsungkan pernikahan dengan sang pujaan hati di hari yang sama.

Kebahagiaan yang terlahir dari sebuah konspirasi yang menguar di balik tembok Istana berbanding terbalik dengan sosok mungil yang terbujur pucat dan mengenaskan di hulu sungai hutan rimbun.

"A-ayah.. A-da mayat!"

Suara bocah itu lantang dan cukup keras, jelas sampai pada telinga dari sosok yang mulai pulih dari ketidaksadaran.

"Astaga!"

Suara lain, kali ini terdengar seperti orang dewasa di telinga Baekhyun.

Lantas gadis itu merasakan sebuah telapak tangan di atas kulit lehernya.

"Masih hidup, nak! Dia masih hidup!"

"Ayah, kita harus membawanya. Kasihan sekali Eonni ini."

"Benar, nak. Kita harus membawanya."

Dalam keadaan setengah sadar, Baekhyun merasa tubuhnya berada dalam sebuah gendongan, kernyitan di dahi berhias luka adalah untuk sinar mentari yang hinggap tepat di wajah, dan setelah itu kesadarannya kembali terenggut.

~oOo~

"Dia sadar, Ayah! Eonni ini sadar!

Nada antusias itu menghantar atensi Baekhyun yang beberapa detik lalu terbuka pada sosok gadis kecil berusia lebih muda darinya duduk di samping tubuh yang terbalut selimut.

"Benarkah?" Langkah kaki intens terdengar lalu sebuah pintu terkuak. Seorang pria paruh baya muncul dengan wajah sama antusiasnya. "Kau sudah sadar?"

Baekhyun menyapukan seluruh atensi pada ruangan kecil tanpa ornamen apapun. Dan kesederhaan serta perasaan asing yang menguar melahirkan ragam tanya.

"Kalian siapa? Ke-kenapa aku ada di sini?"

Melihat gadis di hadapannya beringsut dengan gestur defensif, pria paruh baya itu berinisiatif menenangkan.

"Tenang, nak. Paman bukan orang jahat. Paman menemukanmu di hulu sungai di pedalaman hutan. Paman hanya mencoba menyelamatkanmu."

Selamat..

Aku selamat?

Dan Baekhyun baru menyadari itu, lalu meraba seluruh tubuh dan perban yang menempel di beberapa bagian menjawab pertanyaannya.

"Jangan takut, nak. Kau bisa memanggilku paman Lee." Pria paruh baya itu kembali bersuara.

Baekhyun tidak menyahut karena telah tenggelam dalam lamunan yang memutar kilas balik seluruh kejadian sebelum ia berakhir di sebuah ruangan sempit sang penyelamat.

Mendapati gadis yang ia selamatkan hanya diam, Tuan Lee menghela maklum.

Tidak ada yang berakhir mengenaskan di hulu sungai tanpa sebuah sebab bukan?

Dan Tuan Lee harus menyimpan rasa penasarannya untuk saat ini, ia akan memberi gadis itu ruang. "Sebaiknya kau beristirahat. Paman akan pergi bekerja dulu."

••

Tak ada satu waktu yang dilalui oleh manusia tanpa kesulitan setelah mengalami kejadian terburuk dalam sebuah kehidupan.

Begitupun Baekhyun, mimpi buruk tak luput menjadi alasannya terjaga pada tengah malam. Meski waktu mulai membuatnya terbiasa beradaptasi dengan bunga tidur itu selama beberapa bulan terakhir.

Ia juga bukan lagi gadis yang hanya mengurung diri di dalam kamar dan duduk di sudut ruangan dengan getar tubuh ketakutan. Baekhyun mulai berinisiatif membalas budi pada Tuan Lee yang berbaik hati merawatnya selama ini. Bahkan belakangan gadis itu memberanikan diri membantu Tuan Lee dengan menyiapkan obat dan tanaman herbal yang biasa dijual kepada tabib desa.

"Eonni mau ikut?"

Baekhyun mengangguki pertanyaan Jieun, putri dari Tuan Lee.

"Kau yakin tidak apa-apa ikut dengan paman?" Tuan Lee jelas merasa sangsi mengingat selama ini Baekhyun kesulitan pulih dari traumanya. Meski ia masih tidak tahu hal buruk apa yang menimpa gadis cantik itu, namun Tuan Lee yakin Baekhyun telah melewati masa-masa tersulit dalam hidupnya.

Baekhyun kembali mengangguk. Selain sebagai penjual obat-obatan yang merupakan pekerjaan sambilan, Baekhyun juga tahu bahwa tuan Lee adalah seorang budak dari keluarga bangsawan di pusat kota, dan Baekhyun sudah bertekad akan membantu pria paruh baya itu bekerja.

Menjadi budak?

Itu bukanlah masalah. Karena tekad Baekhyun hanya akan membalas budi baik Tuan Lee dengan membantu meringankan pekerjaannya.

Gadis itu masih belum banyak berbicara semenjak Tuan Lee menyelamatkannya kala itu, dan dia adalah gadis yang paling pendiam yang Tuan Lee kenal.

"Majikanku akan mengadakan pesta besar untuk merayakan ulang tahun pernikahannya, jadi kita mempunyai banyak pekerjaan hari ini. Paman dengar akan ada beberapa pejabat penting yang datang dan bahkan.." Tuan Lee melirik sekitar dengan waspada. "Mereka mengundang beberapa Gisaeng terkenal untuk menghibur para bangsawan yang hadir."

"Gisaeng? Maksud Paman wanita penghibur?"

"Ya. Tentu saja."

"Apa para pejabat sekarang senang dengan para wanita penghibur?" Tanya Baekhyun keheranan.

"Tidak hanya sekarang. Saat masa pemerintahan Raja Siwon pun para menteri itu tidak melakukan tugas mereka dengan baik. Mereka lebih sering menghabiskan waktu bersenang-senang dengan wanita penghibur."

Mendadak ulu hati Baekhyun dipenuhi rasa sesak, saat nama Ayahnya terlontar kilas balik kejadian pahit malam itu kembali berputar, lantas tanpa ia sadar tangannya terkepal erat.

"Apa para Gisaeng sedekat itu dengan para pejabat?"

"Tentu saja, bahkan banyak dari mereka yang mendekati para pejabat untuk memperoleh keuntungan. Seperti dijadikan selir atau untuk sekedar meraup kekayaan."

Baekhyun mendapati fakta baru namun ia tidak lagi bersuara, setelahnya ia mengangguki perintah Tuan Lee seraya menyeret hanbok lusuhnya di atas tanah.

"Hei, kau. Angkut bahan makanan ini ke belakang!" Itu sebuah perintah dari seseorang yang tidak Baekhyun kenal.

Gadis yang dulu kerap dilayani oleh puluhan Dayang Istana itu berlari tergopoh-gopoh, menuruti perintah dari setiap orang yang tampak sibuk di kediaman majikan Tuan Lee.

Baekhyun mengangkut beberapa karung menuju bagian belakang paviliun dan kembali untuk apa yang tersisa di dalam gerobak.

"Sedang apa kau, pencuri?!"

Baekhyun menoleh pada suara lantang di sekitarnya, lalu mendapati Jieun tengah dihardik oleh seorang gadis. Baekhyun tebak gadis itu seusianya.

"Ada apa ini?!"

"Bocah ini mencuri makanan!"

Adalah Saebyul. Putri dari majikan Tuan Lee yang telah menuduh Jieun mencuri penganan di tempat penyajian.

"Aku tidak mencuri, tuan. Aku diperintahkan memindahkan semua ini." Jieun berkata jujur.

"Bohong! Aku melihatnya mencicipi kue beras itu!" Tuduh Saebyul sebelum menarik sudut bibirnya dengan licik. Rasa bosan membuatnya perlu sedikit hiburan.

"Pencuri kecil sialan!"

Kornea Baekhyun melebar saat sebuah pukulan keras hinggap di wajah Jieun, pelakunya seorang pria paruh baya dalam balutan pakaian sutra mengilat.

"Sakit.. ampun Tuan. Aku tidak mencuri." Gadis kecil itu mengerang.

"Budak tidak tahu diri! Aku akan menghukummu!"

Tuan Lee telah lebih dulu menyisir kerumunan dan berlutut di atas tanah. Kedua telapak tangan saling bergesek dengan gestur memohon. "Ampuni putri hamba, tuan. Tolong jangan menghukumnya."

"Oh, jadi pencuri ini anakmu?" Tuan Kwak dengan aura kesombongan yang melebihi batas itu bertanya. "Kalian budak hina tidak tahu diuntung! Kalian pantas mendapat hukuman! Tunggu apa lagi? Seret mereka!"

Tiada apapun yang terlintas dalam benak Baekhyun selain mencegah Tuan Lee dan Jieun diseret. "Tunggu, Tuan. Jieun tidak mencuri, aku bersamanya sejak tadi. Dia tidak mencuri apapun."

"Siapa kau?!" Saebyul mendorong tubuh Baekhyun hingga terjerembab ke atas tanah. "Oh! Apa kalian bersekongkol? Benar, aku tidak pernah melihat gadis ini sebelumnya, Ayah."

"Dia datang bersamaku, Tuan. Dia tidak bermaksud apapun selain membantu pekerjaan hamba di sini."

"Aku yakin mereka semua komplotan pencuri, Ayah. Budak-budak ini tidak pantas untuk hidup! Mereka harus dihukum seberat-beratnya." Kukuh Saebyul seraya memicing iri pada kulit wajah Baekhyun yang tampak seputih susu dan juga halus.

Suasana kian memanas akibat provokasi yang dilontarkan Saebyul. Sementara Baekhyun mulai bangkit dari atas tanah. "Apa yang salah dengan seorang budak? Apa hakmu menentukan siapa yang pantas dan tidak untuk hidup?" Lantang Baekhyun seraya menatap dengan berani pada Saebyul.

Merasa ditentang, Saebyul naik pitam. Selama ini ia kerap diperlakukan bak Puteri, keluarganya terpandang dan Ayahnya adalah satu ajudan dari pejabat tinggi Istana. Saebyul tidak menerima sedikit pun bantahan dan bahkan ia tidak akan segan menghukum siapapun yang berbicara kepadanya dengan suara tinggi.

Baekhyun beralih pada Tuan Kwak lalu untuk pertama kali dalam hidupnya ia merendahkan tubuh dan berlutut. "Tuan, jangan hukum paman Lee dan Jieun. Jika anda mau, anda bisa menghukumku sebagai gantinya." Pinta Baekhyun seraya menangkup tangan di depan dada.

"Oh, Ayah. Dia bilang akan menggantikan dua budak itu untuk dihukum. Aku menyetujuinya." Saebyul tersenyum bahagia. Rasa geramnya pada gadis yang menurutnya sok pintar itu akan ia balas dengan siksaan bertubi-tubi.

Dan itu terbukti. Baekhyun mengerang untuk ke sekian kali saat tubuhnya yang dibungkus tikar rotan dipukuli dengan balok kayu besar oleh dua orang pengawal.

"Tuan, kumohon jangan siksa dia." Permohonan itu adalah untuk ke sekian kali yang terlontar mulut Tuan Lee. "Kumohon, hentikan. Hamba akan melakukan apapun, jika perlu hamba akan menjadi budak anda untuk selamanya asal anda melepaskan gadis itu."

Tuan Kwak mengangkat sebelah tangan, lalu penyiksaan terhadap Baekhyun berhenti. Gadis itu telah lama mengeluarkan darah segar dari mulut namun ia tidak sedikit pun mengeluarkan air mata. Yang dilakukannya hanya mengerang kecil.

"Baiklah, lepaskan gadis itu." Titah Tuan Kwak. "Sebagai gantinya kau dan gadis itu akan menjadi budakku seumur hidup!"

Kalimat itu mutlak dan Tuan Lee segera merangkak di atas tanah, merangkul Baekhyun yang nyaris kehilangan kesadaran. Seluruh tubuh gadis itu memar dan bahkan beberapa area mengeluarkan darah segar.

Saebyul mendecih remeh sebelum kemudian mengurai langkah anggun di balik hanbok sutra yang dikenakan.

"Maafkan paman, jika kau tetap di rumah semua ini tidak akan terjadi."

Baekhyun menggeleng tanpa mampu bersuara.

Kini Tuan Lee merasa sangat menyesal karena Baekhyun sudah terikat menjadi budak untuk seumur hidupnya. Ia tidak bisa membiarkan gadis yang mungkin telah melalui banyak kesulitan dalam hidupnya tersebut bertambah sulit karena menjadi seorang budak.

Apa yang harus aku lakukan?

"Lee Donghae?"

Ada seorang wanita yang memanggil namanya. Praktis Tuan Lee menoleh dan mendapati siluet anggun berbalut gaun penghibur serta riasan wajah yang tampak begitu mencolok berdiri di belakangnya. Lalu ia melirik pada rombongan Gisaeng yang baru saja turun dari atas tandu masing-masing. "Kim Heechul?"

"Ternyata benar, ini kau." Wanita bernama Heechul yang Donghae tahu sebagai pemimpin dari para wanita penghibur itu kembali bersuara dengan tenang. "Apa yang kau lakukan di sini? Oh, kenapa betah sekali menjadi budak?" Heechul memang kerap berbicara semaunya. "Kenapa dengannya?" Lalu melirik pada Baekhyun yang masih terkulai lemas di atas tanah.

Donghae mamatung untuk beberapa saat, lalu sebuah pemikiran terlintas dalam benak. "Apa kau bisa meminjamkan aku uang?"

"Astaga!" Heechul tertawa keras. "Kau memang tidak berubah sejak dulu selalu menyusahkan orang."

"Aku butuh uang untuk menebus gadis ini. Dia tidak boleh menjadi budak. Aku akan merasa bersalah seumur hidupku untuk itu."

Heechul mengernyit, lantas berlutut di hadapan Baekhyun, mencengkram dagu dan mengamati wajahnya dengan seksama. Hanya butuh sepersekian detik untuk tahu bahwa gadis itu memiliki kecantikan yang luar biasa. "Kau tidak perlu menebus gadis ini."

"Kupikir kau mempunyai uang hasil menjual tubuhmu kepada para pejabat itu." Decih Donghae.

"Hei, Gisaeng bukanlah pelacur! Camkan itu!"

Donghae mengedikkan bahu lantas membantu Baekhyun bangkit dengan merangkulnya.

"Aku akan menebusnya kepada Tuan Kwak. Sebagai gantinya gadis itu harus ikut denganku."

"Tidak! Kau berniat menjadikannya pelacur sepertimu?"

"Mulut kurang ajarmu!" Geram Heechul. "Terserah padamu memilih membuat gadis itu menjadi seorang budak. Atau membiarkanku membawanya."

Dan Donghae dihadapkan pada pilihan sulit. Setahunya rasa tertarik Heechul pada setiap gadis cantik hanya untuk satu tujuan. Yakni menjadikan mereka wanita penghibur demi sebuah keuntungan.

Apa itu jauh lebih baik daripada menjadi budak?

"Pikirkan matang-matang." Heechul mengedikkan bahu lantas berbalik. Dan ia harus tersenyum puas saat Donghae kembali bersuara.

"Tebus dan bawa dia bersamamu."

Donghae tidak mempunyai pilihan lain karena menjadi seorang budak bukanlah apa yang diidam-idamkan semua orang.

Pria itu tidak ingin membuat gadis dengan kabut kesedihan di kedua iris beningnya merasakan penderitaan sebagai seorang budak.

~oOo~

Setelah berhasil bernegosiasi dengan Tuan Kwak, Heechul kemudian meminta anak buahnya membawa Baekhyun dengan tandu.

"Hamba hanya mengantar anak-anak didik saja, tuan. Mereka tidak boleh melakukan kesalahan saat menghibur para menteri bukan?"

Tuan Kwak yang telah mengenal Heechul sejak lama tergelak. "Begitu rupanya."

"Kalau begitu hamba mohon undur diri."

Wanita itu mengibas kipas di depan wajah lalu dengan langkah anggun menyeret gaunnya keluar.

"Apa gadis itu sudah dibawa?" Tanya Heechul kepada pengawalnya.

"Sudah, Nyonya. Tapi dia pingsan beberapa saat lalu."

"Wajar saja jika dipukuli dengan kejam." Heechul meringis.

"Lalu apa rencanamu selanjutnya, Nyonya?"

Heechul mengulas senyum. Menurutnya, gadis itu berpotensi menjadi anak emas dengan kecantikan yang luar biasa membius. Hanya perlu mendidiknya dengan tepat maka Heechul yakin bahwa gadis itu akan menjadi seorang Gisaeng yang paling bersinar di negeri Joseon.

~oOo~

Sejak saat membawanya ke rumah bordir, Heechul tak pernah mendengar sedikit pun gadis itu berbicara. Bahkan nama saja tidak diketahuinya.

Entah mengapa, Heechul merasa wajah muram itu menyimpan begitu banyak kesedihan yang sulit dijabarkan oleh kata-kata.

Namun Heechul tidak menampung siapapun di rumah bordir miliknya untuk sesuatu yang percuma. Dan wanita itu sudah cukup bersabar selama satu minggu dengan membiarkan Baekhyun mengurung diri di kamar.

"Hei, kau. Keluarlah!" Titah Heechul setelah menghisap gulungan tembakau di ambang pintu. Lalu mengernyit kecil karena gadis itu menurut.

"Apa tubuhmu sudah pulih dengan benar?"

Baekhyun mendongak setelah bungkam beberapa saat. "Nyonya, apa perlu berbasa-basi? Katakan saja pria mana yang harus aku layani?"

Hening menguar selama sejenak sebelum gelak tawa Heechul pecah. "Apa kau tahu cara melayani seorang pria? Pria dewasa? Gadis bau kencur sepertimu?"

Setelah tawanya mereda, Heechul mengibaskan tangan. "Ikut aku." Titahnya yang langsung dipatuhi oleh Baekhyun.

Setelah sampai di ruangan Heechul, wanita itu pun meminta salah satu pelayan untuk membawa tiga buah piring kosong. Lalu ia meminta Baekhyun berdiri dengan tegak seraya merentangkan kedua tangan.

"Daripada repot-repot memikirkan cara untuk melayani seorang pria. Lebih baik jaga keseimbangan." Tukas Heechul setelah meletakkan dua piring di kedua lengan Baekhyun dan satu yang tersisa di atas kepala gadis itu.

"Kenapa? Kau kesulitan melangkah?" Cemooh Heechul setelah mendapati Baekhyun mematung beberapa saat.

"Jangan anggap remeh seorang Gisaeng. Wanita penghibur tidak selalu pelacur. Gisaeng layaknya seorang Puteri, mereka juga belajar tata cara menjadi seorang bangsawan yang anggun dan berkelas.

"Nyonya yakin aku hanya harus melangkah?" Tanya Baekhyun seraya mengurai langkah. Tugasnya hanya menjaga keseimbangan agar ketiga piring tadi tidak jatuh.

Itu sederhana. Baekhyun telah mempelajarinya ratusan kali bersama Dayang Han. Karenanya langkahnya terasa mulus dan ringan. Sesuatu yang mengundang kerutan di dahi Heechul.

"Darimana kau mempelajarinya?"

Selain seorang Puteri dan kalangan bangsawan, mustahil hal itu mampu dikuasai dan dipelajari oleh rakyat biasa.

Baekhyun berbalik arah dan kembali mengurai langkah tanpa membiarkan piring-piring itu jatuh. "Nyonya, ini sederhana. Ketiga piring ini mengharuskanku menjaga keseimbangan agar langkahku terkesan pelan dan anggun seperti Puteri bangsawan. Bukan begitu?"

"Itu kalimat terpanjang yang kau ucapakan selama berada di sini."

Baekhyun bungkam setelah pulih dari apa yang tidak disadarinya. Tanpa pernah ia duga, kenangan menyenangkan belajar bersama Dayang Han berputar dalam benak. Canda tawa di masa lalu itu melahirkan pahit yang menjalari indera perasa. Lantas kecerbohannya membuat satu piring di lengan kiri jatuh sebelum bunyi nyaring menyentaknya dari lamunan.

Heechul menggeleng tak percaya. "Baiklah gadis manis, tugasmu membuang jauh kesombonganmu beberapa saat lalu dan perbaiki ini. Aku tidak ingin ada piring yang pecah besok. Ingat! Dua jam berendam di sungai untuk satu piring yang kau pecahkan."

Baekhyun bungkam lalu mengangguk patuh. Lagipula terlihat terlalu mencolok akan mengundang kecurigaan bukan?

Dan sejak saat itu Baekhyun memulainya lagi dari awal. Buku-buku kebangsawanan yang telah ia hafal di luar kepala kembali ia buka dan pelajari.

Ternyata Heechul benar bahwa ia terlalu sombong. Baekhyun telah melewati puluhan jam dengan berendam di dalam sungai untuk piring-piring yang ia pecahkan.

Meski kini langkahnya benar-benar sempurna tanpa celah setelah berlatih dengan keras.

Dari awal Baekhyun tidak mempermasalahkan akan jadi apa dirinya jika berhasil menyelamatkan diri dari curamnya jurang. Karena tekadnya hanya satu, yaitu tidak membuat pengorbanan orang-orang yang dikasihinya menjadi sia-sia.

Baekhyun harus terus hidup untuk satu tujuan, meski tempatnya menghela napas adalah sebuah rumah bordir.

Walaupun ia bukan lagi seorang gadis bergelar bangsawan.

Ya. Meski kini Byun Baekhyun tidaklah lebih dari seorang wanita penghibur.


Sword's Memories


Sepuluh tahun kemudian..

"Luar biasa! Luar biasa!" Seorang wanita berseru setelah memasuki ruangan, menginterupsi sesi latihan memetik alat musik kecapi.

"Kyung.."

Suara itu terdengar lembut, namun penekanan di balik pita suara melahirkan satu ketegasan yang membuat si pembuat onar praktis meringis malu.

"Berita menghebohkan apa kali ini sehingga membuatmu menjelma menjadi sosok barbar?"

Adalah Baekhyun yang sesaat lalu menghardik Kyungsoo dengan satu panggilan peringatan.

Kyungsoo merengut mendapati teman-temannya tertawa.

Baekhyun menggeleng maklum sebelum kemudian meletakkan kecapi yang sedari tadi ia cumbu di samping tempat duduk. "Kemarilah.." tukasnya dengan lembut, satu hal yang membuat Kyungsoo luluh seketika.

"Kau salah lagi mengikat tali hanbok ini." Baekhyun mengulurkan tangan dan membenarkan simpul pakaian Kyungsoo.

"Oh, aku salah lagi."

Baekhyun tersenyum kecil. "Rambutmu juga berantakan."

"Benarkah?" Praktis Kyungsoo meneliti tatanan rambut di depan cermis hias.

Semua orang kembali tertawa melihat ringisan Kyungsoo.

"Sebenarnya apa yang membuatmu berlari hingga ke sini? Nyonya besar bisa murka jika tahu kau bertingkah seperti orang barbar." Salah satu rekannya bertanya.

Lalu Kyungsoo menoleh pada semua orang yang menatapnya dengan penasaran. "Aku ke sini justru karena mendapat informasi dari Nyonya besar."

Baekhyun mengernyit. "Apa itu?"

Dan kini semua wanita penghibur berjumlah delapan orang itu berkumpul.

"Nyonya besar bilang kita akan diundang dan melakukan pertunjukan pada pesta ulang tahun Baginda Raja minggu depan! Kita akan pergi ke Istana dan bertemu dengan Raja! Beberapa orang berkata bahwa Raja sangatlah tampan! Bukankah itu luar biasa? Setelah sekian lama menanti, akhirnya kita bisa masuk ke Istana!"

Semua orang sontak berseru dan membeo tak percaya. Tentu menjadi suatu kehormatan bisa melakukan pertunjukan di hadapan orang nomor satu di seluruh penjuru negeri Joseon.

"Kita akan menyanyi, menari dan memainkan instrumen kecapi. Oh! Aku harus berlatih dengan giat dari sekarang." Kyungsoo kembali berseru dan mendapat anggukan setuju dari rekan-rekannya.

Dari semua orang yang tampak begitu antusias. Baekhyun telah lama meremat gaun hanbok transparan yang mencetak lekuk tubuhnya. Salivanya tertelan pahit karena disaat yang sama ia mulai merasa tertekan.

Tidak. Kau sudah menantikan ini selama sepuluh tahun, Baekhyun.

Kau tidak melakukan semua ini tanpa tujuan bukan?

Ya. Tentu saja. Akan selalu Baekhyun ingat pertemuan pertamanya dengan sosok itu. Sosok angkuh yang merampas hiasan rambut dari tangannya kala itu. Tidak. Pria itu tidak hanya merampas benda kecil yang tak cukup bernilai namun dia juga telah merenggut apa yang Baekhyun anggap berharga dalam hidupnya.

Segalanya memang telah berlalu, namun setiap luka selalu melahirkan bekas yang tak mampu dipupus oleh waktu.

TBC

( * = Jangan berharap orang jahat mengucapkan kata-kata baik.)

AN:

Gimana? Gimannnaaa? Wkwkwwk

Ini sok-sok an banget ya aku bikin Saeguk :v but honestly aku emang udah lama ingin membuat satu ff Chanbaek bertema historical seperti ini (karena aku pecinta drakor saeguk) hahha Angst ya ini Angst terlepas dari itu terserah readersnim penilaiannya kayak gimana, tapi mau mengingatkan ini masih chapter awal wkwkwkwk yowes kelamaan ngobrol nanti bosyan kelyan :D

See you next chapt!

SAMPISCHU! :*