Endless Love—

Ace of Diamond

Belongs to

Terajima Yuuji

;—

Keiko Kazuya

Proudly Presents

.

.

"Endless Love"

.

You're every breath that i take—

You're every step i made

.

.

"DIAMLAH! AKU MUAK DENGAN OMONG KOSONGMU!"

"MIYUKI-SENPAI, HENTIKAN! KAU MENGANCAM KESELA—"

BRAAKKK

Kalimat itu tak pernah lengkap terucap. Terputus oleh insiden yang mengerikan. Sebuah truk yang hilang kendali menghantam keras mobil sport milik Kazuya yang tengah melintas di jalanan malam Tokyo. Kondisi Kazuya sedikit mengenaskan. Ia terjepit kemudi mobilnya. Sedangkan Eijun—seorang pemuda brunette yang duduk disebelahnya belum hilang kesadaran sepenuhnya. Ia bahkan sempat menengok ke arah Kazuya yang sudah tak sadarkan diri. Kesadaran Eijun masih terjaga beberapa detik setelah suara sirine terdengar.

Eijun tersadar keesokan harinya. Ia berbaring di ranjang rumah sakit. Perban membalut kepalanya. Ia masih merasakan sakit menghantam kepala. Namun segera beranjak untuk mencari tahu kondisi Kazuya. Ia baru saja keluar dari ruangannya ketika mendengar suara seseorang dengan sedikit terburu.

'Kondisinya parah Dok, terjadi kerusakan hati pada korban yang dibawa semalam.'

'Segera carikan donornya.'

'Baik Dok.'

Nafas Eijun tercekat. Terkejut mendengar percakapan Dokter dan perawat itu. Ia segera berlalu, teringat tujuannya tadi. Eijun menyusuri lorong menuju ruang unit gawat darurat. Dimana Kazuya sedang berbaring disana. Dengan beberapa selang yang membelit tubuh atletisnya. Eijun mengepalkan kedua tangannya. Ia angkat di depan dada. Melafalkan doa-doa demi keselamatan Kazuya. Air mata yang sedari tadi dibendung kini sudah tumpah ruah. Membanjiri pipi Eijun yang terlihat lebih tirus dibanding masa remajanya. Sepasang manik emasnya masih menatap Kazuya yang belum sadarkan diri. Sebelum sebuah pemikiran jitu terlintas dibenaknya. Segera carikan donornya.

Kazuya sadar dari komanya tepat tujuh hari setelah kecelakaan malam itu. Ia membuka matanya perlahan. Mencoba beradaptasi dengan sorot lampu yang menyilaukan. Tubuhnya masih merasakan ngilu. Ia mengamati sekeliling ruangan. Mengabsen satu per satu setiap detil dalam ruangan. Senyum hangat Chris menyadarkan Kazuya. Ia tak mampu berpikir dengan baik. Lidahnya sedikit kelu untuk berbicara. Sudah satu minggu ia terbaring diatas ranjang rumah sakit. Tak melakukan aktivitas apapun selain bernafas.

"Akhirnya kau bangun, Miyuki." Sapa Chris dengan senyum kalem yang tak memudar. "Akan kupanggilkan Dokter untuk memeriksa kondisimu." Kemudian ia berlalu meninggalkan Kazuya yang masih tak bergeming. Kazuya masih mencoba mengumpulkan keping-keping ingatannya. Memilah setiap memori dalam otaknya. Apa yang terjadi? Bagaimana Chris-senpai ada disini?

Seminggu setelah kesadarannya, Kazuya diperbolehkan pulang. Sekarang ia masih berkemas. Membereskan barang-barang yang jumlahnya tak seberapa itu. Ia menoleh ketika mendengar decit pintu. Chris berdiri disana. Ia tersenyum menatap Kazuya. Berjalan perlahan mendekatinya. Kazuya berusaha memahami situasi. Ia beranggapan bahwa kedatangan Chris karena ada sesuatu yang ingin ia bicarakan. Dan ada juga yang ingin Kazuya bicarakan padanya. Mereka memutuskan untuk mendudukan diri di sofa coklat di seberang ranjang Kazuya. Tidak ada yang memulai pembicaraan. Kazuya dan Chris masih diam tak bergeming. Sibuk dengan pikiran masing-masing. Lengan panjang Chris yang menepuk bahu Kazuya membuyarkan lamunannya. Chris berlalu meninggalkannya dan sebuah kotak berwarna coklat serta sebuket bunga layu di atas meja. Kedua alis Kazuya bertatut semakin dalam. Terlihat jelas raut wajah bingung disana. Tangan Kazuya yang terlihat sedikit kurus meraih kotak di depannya itu. Ia buka perlahan. Sebuah bola baseball putih dan satu ampol biru langit ada di dalamnya.

Nafas Kazuya tersengal. Ia merasa lehernya tercekik. Linangan air mata yang mengalir di pipi menjadi bukti kehancuran hati seorang Miyuki Kazuya. Mencoba memanggil seseorang yang tak akan pernah kembali. Raungannya tertahan ditenggorokkan. Tak mampu bersuara. Jantungnya bertedak kencang seakan tak ada hari esok. Menatap pilu nama yang terpatri dalam batu di depannya.

'RIP'

'Sawamura Eijun'

'17 November 2023'

.

.

There's only you in my life—

The only thing that's right

Kazuya merasakan dadanya sesak. Tiap kali mengingat kejadian malam itu. Ia ingat betul kalimat apa yang terakhir ia ucapkan. Tanpa pernah tahu alasan apa yang Eijun pendam dalam relung hatinya. Kazuya selalu merasa dirinya adalah laki-laki yang bodoh. Ia merasa putus asa. Sudah tidak ada lagi alasan untuk hidup. Semangat hidupnya sudah terkubur bersama raga Eijun. Tapi ia lupa dengan hadiah terindah yang Eijun berikan padanya. Hati Eijun yang sudah ditanamkan dalam raga Kazuya. Kazuya harusnya ingat itu.

Malam inipun Kazuya masih terisak di kamarnya. Tak mampu memejamkan mata barang sebentar. Kepalanya selalu mengulas memori tentang Eijun. Kenangan awal pertemuannya di Seidou. Mengabsen satu demi satu setiap ingatan manis maupun pedih di dalam otaknya. Ia teringat kembali bagaimana ia mengungkapkan perasaannya pada Eijun. Menikmati kebersamaannya dengan Eijun. Pun memori gelap yang menjadi awal perpisahannya dengan Eijun tak terlewatkan oleh nostalgia Kazuya. Kala itu Kazuya mendapat tawaran dari club pro asal Amerika Serikat setelah karirnya di Jepang melejit. Eijun sangat senang mendengar kabar itu. Ia dengan sangat bangga mengantar Kazuya menapakkan kakinya lebih tinggi. Eijun sangat ingin melihat kesuksesan Kazuya dalam dunia baseball.

Dua bulan awal kepindahan Kazuya, komunikasi mereka masih sangat lancar. Namun bulan-bulan setelahnya mereka semakin jarang berkomunikasi. Kazuya semakin dipadatkan dengan Liga disana. Dan Eijun, disibukkan dengan aktivitas barunya. Hal itulah yang menjadi malapetaka bagi Kazuya. Eijun tak pernah sekalipun membalas pesan singkat ataupun menjawab panggilan telepon dari Kazuya. Ia bagai hilang ditelan bumi. Eksistensi Sawamura Eijun memudar dalam hidup Kazuya.

Libur musim liga pertamanya, Kazuya memutuskan untuk kembali ke Jepang. Ia telusuri jejak-jejak Sawamura Eijun yang mulai lenyap. Apartemen Eijun sudah kosong. Ditinggalkan penghuninya sejak enam bulan yang lalu. Kazuya menghubungi semua kontak yang berhubungan dengan Eijun. Kuramochi, Haruichi, Furuya bahkan Kanemaru sudah ia hubungi. Tapi nihil. Tak ada satupun yang mampu menunjukkan dimana Eijun berada. Mereka juga mengatakan bahwa Eijun selalu mengabaikan pesannya. Mencoba mengakhiri kontak.

Pagi itu pukul sepuluh. Tiga hari pasca kepulangannya ke Jepang, ponselnya berdering. Tanda panggilan masuk. Kuramochi. Tanpa aba-aba ia langsung menekan icon berwarna hijau untuk menerima panggilan.

[Miyuki, aku tahu dimana Sawamura. Akan kukirimkan alamatnya. Segera temui dia!]

[Thanks]

[Yo]

Tutt.. tutt.. tutt.

Panggilannya diakhiri secara sepihak oleh Kuramochi. Kazuya bergegas menuju tempat parkir hotel yang ia tempati tiga hari ini. Ia ambil ponsel dari saku celananya, membuka satu aplikasi pesan singkat. Ia baca pesan dari Kuramochi. Segera ia tancap gas mobilnya. Berlalu menuju alamat yang diberikan teman seperjuangannya itu. Memupuskan sedikit rasa putus atas Kazuya. Manik hazel Kazuya terlihat hidup. Menanti pertemuannya dengan Eijun. Kazuya memacu mobilnya menuju Adachi. Perjalannya menuju Adachi kurang lebih dua jam dari tempatnya menginap.

Kazuya sudah berdiri di depan rumah yang berada di depan Sungai Sumida. Bangunan itu nampak asri. Tak terlalu besar. Dipoles dengan warna coklat khas bangunan tempo dulu. Seperti rumah Eijun di Nagano, batinnya.

Ia menekan bel beberapa kali. Masih belum ada tanda-tanda keberadaan seseorang di dalam rumah. Kazuya lagi-lagi nyaris putus semangat. Ia khawatir jika informasi dari Kuromachi tidak valid. Mungkin saja Eijunnya sudah pindah dari tempat ini beberapa waktu yang lalu. Sama seperti kepindahannya dari apartemen lamanya. Kazuya menggigit bibir bawahnya. Menekan bel itu kembali. Mengatur nafas, menunggu respon.

Pintu kayu coklat itu terbuka sepuluh detik kemudian. Manik mata emas membola menatap Kazuya. Terlihat sangat terkejut. kedua tangan Eijun menutup mulutnya yang sedikit terbuka. Ia tak menyangka melihat Kazuya di depan matanya sendiri.

Kazuya sudah tak mampu menahan diri. Ia rengkuh tubuh Eijun ke dalam pelukannya. Semakin erat. Ia mampu merasakan kehangatan dari tubuh Eijun. Menghirup aroma vanila yang menguar. Pelukannya semakin mengendur ketika ia menyadri Eijun tak memlasan pelukannya. Kazuya menatap wajah Eijun yang sudah kembali normal. Bahkan terlihat datar, tanpa emosi. Dua detik setelahnya, Kazuya menarik kedua tangannya dan melepaskan tubuh Eijun dari rengkuhannya. Ia sedikit khawatir membaca perubahan ekspresi raut wajah Eijun. Kazuya menetralkan emosinya. Ia buang kegugupan yang sedari tadi melingkupi dirinya. Mengambil nafa perlahan. Menarik seutas senyum tulus di sudut bibir tipisnya.

"Ohisashiburi, Eijun." Eijun masih tak bergeming. Menatap Kazuya datar. Melihat ekspresi Eijun, Kazuya kembali bersuara. Ia ingin segera memberitahu Eijun rencananya. Kazuya sudah benar-benar tak mampu menahan diri. Ia tidak ingin Eijunnya pergi lagi. "Bisakah kita bicara, Eijun? Ada yang ingin kusampaikan." Eijun masih belum membuka mulutnya. Tapi iya mengangguk menanggapi permintaan Kazuya. Setelah menunggu dua menit, Eijun siap. Mereka bergegas mencari tempat makan terdekat untuk berbincang. Hening. Menjadi pengawal perjalanan mereka. tak ada satupun yang beniat membuka obrolan. Larut dalam pikiran masing-masing.

Kazuya memakirkan mobil di depan kedai ramen. Ia ingat, Eijun sangat menyukai ramen. Jadi ia putuskan untuk berbincang di kedai ramen. Eijun memilih meja di sudut ruang. Agak jauh dari jangkauan pengunjung lain. Tempat yang tepat untuk berbincang. Kazuya duduk berhadapan dengan Eijun. Menanti ramen pesanannya. Mimik wajah Eijun kini sedikit lebih hangat. Tentu saja melegakan Kazuya. Ia menghela nafas pendek. Menatap lurus manik mata emas Eijun. Sebongkah senyum hangat muncul dari bilah bibir Eijun. Senyum yang amat sangat Kazuya rindukan. Sekali lagi ia menghela nafas lega. Ia membenarkan bingkai kacamatanya yang sedikit turun.

"Apa kau sungguh Miyuki Kazuya?." Eijun melipat kedua tangannya di atas meja. Manik emasnya masih mengamati Kazuya.

"Berhenti memanggilku dengan nama lengkapku, Eijun!" Perintah Kazuya mutlak yang direspon dengan dengusan angkuh Eijun. "Lalu kau ingin kupanggil apa? Miyuki-senpai? Bukankah kau tahu, kau bukan senpaiku lagi Miyuki Kazuya. Dan berhentilah mengharapkan imbuhan senpai dari panggilanku." Sahut Eijun kalem. Mengambil teh ocha yang ia pesan. Menyesapnya perlahan. Selama beberapa detik, tak ada respon yang muncul dari Kazuya. Ia masih diam, membeku. Menatap Eijun tak percaya. "Kau biasa memanggilku Kazuya, Eijun. Kau sudah terbiasa dengan panggilan itu." Mengulum senyum kecil. Kazuya menatap Eijun intens. Eijun hanya mendengus angkuh. Meletakkan kembali ke atas meja cangkir minumannya yang tadi ia pegang. Ia balik menatap Kazuya tajam. "Apa hanya itu yang ingin kau sampaikan? Jika iya, aku dengan senang hati memilih pergi. Ada hal lain yang harus kuselesaikan, Miyuki Kazuya." Beranjak berdiri dari kursinya. Sebelum tangan Kazuya berhasil menarik lengannya.

"Duduklah." Bujuk Kazuya. Nadanya dibuat sehalus mungkin. "Kumohon dengarkan aku. Ada yang ingin kusampaikan padamu." Menatap Eijun. Matanya sendu. Bermacam emosi tercampur di dalamnya. Eijun menghembuskan nafas. Memilih duduk kembali di kursinya. Bersiap mendengarkan semua penjelasan Kazuya.

"Eijun, maukah kau menikah denganku?" Kazuya mencoba menembak langsung. Ia pikir tak perlu berbasa-basi untuk hal sepenting ini. Ia menanyakan itu dengan sangat percaya diri. Membuka kotak beludru merah yang sedari tadi ia simpan di saku celana. Sebuah cincin silver, dengan motif potongan salju menjadi pemanisnya. Eijun membatu. Tubuhnya menegang mendengar pertanyaan—permintaan—yang terlontar dari belah bibir ranum Kazuya.

Dalam beberapa saat, manik emas Eijun bergetar. Kedua tangan ditautkan. Kazuya bisa melihat sorot kegelisahan dalam manik mata Eijun. Eijun masih membisu. Tak mengularkan suara barang sedetik helaan nafas sedikitpun. Bibirnya mengatup rapat. Kepalanya mulai menunduk. Tidak berani menatap manik hazel Kazuya.

Kazuya menelan ludah. Berusaha mengumpulkan segala energi positifnya yang perlahan mulai memudar. Ia takut jawaban yang keluar dari mulut Eijun tak sesuai harapanya. Berusaha bangkit dan mengumpulkan sisa-sisa keberaniannya. Memanggil Eijun kembali. "Eijun.."

Panggilan Kazuya sukses menarik atensi Eijun. Eijun mulai mengangkat kepalanya. Berusaha fokus menatap mata Kazuya. Ia menggigit pipi bagian dalamnya. Menguatkan diri untuk berhadapan dengan Kazuya. Kedua tangannya sudah tak bertaut. Kini ia tangkupkan keduanya di depan dada. "Maafkan aku. Aku tidak bisa." Suaranya lirih. Hampir seperti bisikan. Kepala Eijun kembali ditundukkan. Dua detik berikutnya ia berlalu. Meninggalkan Kazuya yang masih membeku. Mencerna detil kejadian yang baru saja terjadi di hadapannya. Kazuya mulai kembali pada dunia nyata ketika menatap punggung Eijun yang mulai menjauh. Kazuya bangkit dari kursinya. Ia berlari. Mengejar langkah Eijun.

"Eijun!" Kazuya masih berlari. Jarak antara ia dan Eijun ternyata sedikit jauh. Langah kaki Eijun terasa lebih gesit. Ia berusaha menghindar dari jangkauan Miyuki Kazuya. Eijun menulikan telinganya. Mengabaikan panggilan Kazuya.

Kazuya menarik tangan Eijun ketika jarak antara mereka kurang dari dua langkah. Ia rengkuh tubuh mungil itu sekali lagi. Memeluknya erat. Menghapus hawa dingin yang mencoba menginvansi mereka. Eijun meronta. Berusaha melepaskan diri dari belenggu Kazuya. Tapi gagal. Tangan kekar Kazuya berhasil mendekapnya. Eijun merasakan dingin di ceruk lehernya. Telinga Eijun berhasil menangkap suara isakan Kazuya. Apa Kazuya menangis? Batinnya dalam hati. Ia tak mampu berucap. Lagi, Eijun membeku. Merasakan paru-parunya panas. Lehernya terasa tercekik. Kehancuran dan kepedihan yang terdengar dari isakan itu begitu menusuk relung hati Eijun. Menikamnya tanpa ampun.

Kazuya menarik diri. Mencari manik mata emas Eijun. Menatapnya lekat. "Biarkan aku mengantarmu pulang, Eijun." Permintaan yang keluar dari bibir Kazuya. Suara begitu lirih. Sedikit bergetar. Sorot matanya tampak sendu. Eijun tak mampu mengabaikannya kali ini. Bersama satu helaan nafas. Menjawab Kazuya dengan ringkas. "Baiklah."

Mereka berbalik, menuju mobil Kazuya. Eijun berjalan dua langkah di depan Kazuya. Kazuya sengaja berjalan lebih pelan. Mengamati Eijun dari belakang. Ia menyadari tubuh Eijun lebih kurus dari terakhir mereka bertemu. Tepat sebelum Kazuya pergi ke Amerika. Bila ia ingat-ingat kembali ketika Eijun membukakan pintu rumahnya tadi, Kazuya juga menyadari satu hal, pipi Eijun menyusut hingga garis rahangnya terlihat jelas. Rambutnya juga tidak sebervolume dulu. Mungkin itu efek dari proses pendewasaannya, batin Kazuya pilu. Ia merasa sedikit bersalah. Tak bisa bersama Eijun. Menapaki masa-masa peralihannya.

Mata Kazuya kembali kosong ketika teringat penolakan Eijun. Ia bahkan tak mengetahui alasannya. Eijun belum mengatakannya.

Eijun masuk ke dalam mobil Kazuya setelah Kazuya membukakan pintu untuknya. Kemudian memutar. Kembali di kursi kemudi miliknya. Menyalakan mesin dan memacu mobilnya perlahan. Eijun hanya bisa menghela nafas panjang mengamati tingkah Kazuya. Suasana kembali hening. Tak ada yang berinisiatif membuka obrolan. Lima menit kemudian, Kazuya sempat melirik ke arah Eijun. Menghembuskan nafas pelan, memutuskan untuk membuka percakapan.

"Eijun, bisa kau beri tahu alasanmu menolakku?" Masih berusaha fokus memacu mobilnya.

"Aku sudah menikah." Suara Eijun membuat Kazuya menolehkan kepalanya.

"Apa katamu?!" Ia hentikan mobilnya mendadak. Menatap Eijun tajam. Mencari kebohongan dari raut wajah Eijun. Paru-paru Kazuya kembali terasa panas. Aliran oksigen ditubuhnya terhenti.

Eijun sibuk menumpahkan sumpah serapahnya. Dahinya membentur dasboard mobil Kazuya. " Berhati-hatilah, Miyuki Kazuya! Kau membawa nyawa orang lain sekarang!" Menatap sengit manik hazel Kazuya.

"Jawab pertanyaanku!"

"Jalankan mobilnya, Bodoh!"

"Jawab dulu!"

"Jalankan!"

"Jawab!"

"Kau menganggu perjalanan orang lain, Miyuki Kazuya. Lihatlah belakangmu!"

Kazuya terpaksa menyerah. Suara klakson yang membahana menyerang dari belakang mobilnya. Ia kembali fokus menyetir. Kazuya masih diselimuti perasaan gusar. Ia sangat hancur. Sedih. Marah. Merayap disekujur tubuhnya.

Tiga menit perjalanan, Kazuya mendengar helaan nafas Eijun. Ia sempat melirik, sebelum kembali fokus ke jalanan yang mulai sepi. "Kau turunkan aku disini saja, Miyuki Kazuya." Suara Eijun mengalihkan kegusaran yang menghinggapi Kazuya. Alis Kazuya berkerut. "Kenapa begitu?" Tanyanya singkat. "Kau pulanglah. Tenangkan pikiranmu." Sahut Eijun ringan. Berusaha tenang. Sedangkan jantungnya berdentum keras. Mencoba berakting senatural mungkin.

"Tidak!" Memacukan mobilnya lebih kencang.

"Berhenti, Miyuki Kazuya!"

"Aku akan mengantarmu."

"KUBILANG BERHENTI, SIALAN!

"DIAMLAH! AKU MUAK DENGANMU!"

"MIYUKI KAZUYA, HENTIKAN! KAU MENGANCAM KESELA—"

BRAAKKK

Mobil Kazuya terhempas ke udara sepersekian sekon. Terjun bebas menghujan ke jalan beton. Sempat terguling dua kali. Ia merasakan tubuhnya mati rasa. Menengok ke samping. Melihat Eijun dengan kepala terkulai di sandara kursi. Pandangannya semakin memburam. Detik berikutnya, kesadarannya pun menghilang. Kondisi Kazuya saat itu sangat mengenaskan. Bagian perut dan dadanya terjepit kemudi. Darah segar mengucur dari dahinya. Ia tak lagi ingat apa saja yang terjadi setelah itu.

Kazuya baru saja membuka kelopak matanya. Disapa oleh silau lampu penerangan kamar bernuansa putih khas rumah sakit. Dengan seorang lelaki yang amat ia kenal. Tersenyum manis. Terasa hangat. Kazuya ingin membuka mulutnya. Mengucapkan apapun yang ada dalam otaknya. Namun, ia tak bisa. Lidahnya kelu. Badannya terasa kaku. Koma selama tujuh hari membuatnya tak mampu bergerak.

Selama proses penyembuhannya, lelaki itu selalu menjenguknya. Bahkan menginap untuk menemaninya. Hingga hari sebelum kepulangannya, lelaki itu—Chris—datang menghampirinya. Tidak mengatakan apapun. Hanya meletakkan sebuah kotak ukuran sedang. Bermotif sarung tangan catcher, berwarna biru langit. Serta satu buket bunga yang tampak layu.

Kazuya membuka kotak berwarna biru langit itu. Ada sebuah bola baseball putih dengan benang jahit merah serta sebuah amplop dengan warna senada kotak pembungkusnya. Ia mencoba mengambil amplop lebih dulu. Mencari tahu apa isinya. Surat.

.

My endless love

.

Kazuya —

''

Hei Kazuya! Bagaimana kabarmu? Apa harimu menyenangkan?

Aku berharap, harimu selalu menyenangkan.

Tenang saja, Kazuya. Si ace-sama, Sawamura Eijun akan dengan senang hati mendoakan kebahagiaanmu. Percayalah! Aku janji!

Dan berjanjilah padaku, kau akan mewujudkan janjiku itu. Jadi berbahagialah.! Hhhahahaha

Hmmm

Oh ya, kumohon maafkan aku setulus hatimu, Kazuya. Agar aku bisa tenang disini. Biarkan aku melihat sisi baikmu sekali saja, kumohon :"

Beri aku satu kesempatan untuk mengucapkan terima kasih dengan tulus pula.

Cukup Kazuya! Jangan mengataiku bodoh lagi! Aku sudah pensiun dari master bodoh. Jadi kumohon hentikan umpatanmu itu! Aku bisa mendengar umpatanmu dengan jelas disini! Dan hentikan senyum menyebalkanmu itu! Sangat menjengkelkan!

Apa jangan-jangan kau sangat bahagia mendapat surat dariku? Katakan Kazuya, jangan malu-malu seperti itu.

Katakan! Apa dugaanku benar, Miyuki Kazuya?

Jawab aku, sialan!

Aku menantikan jawabanmu itu.

Akan kukatakan pada semua orang disini, bahwa ada tanuki sialan yang sedang berbahagia menerima suratku.

Sungguh, aku tidak bercanda soal ini.

Mereka pasti akan dengan senang hati menertawakanmu, Kazuya.

''

''

Kazuya, aku tidak pernah seserius ini sebelumnya. Jadi, kumohon pahami baik-baik. Aku tidak akan mengulanginya lagi!

Miyuki Kazuya, maaf jika intro diatas terlalu panjang. Aku hanya merindukanmu. Maafkan aku. Maaf atas tak memberimu kesempatan mengetahuinya. Maafkan aku karena terlalu pengecut berhadapan denganmu.

Aku hanya ingin melakukan apapun yang aku bisa. Aku tidak ingin membuatmu kecewa. Itu menjengkelkan.

Tapi nyatanya sebaliknya. Apa yang kulakukan malah menimbulkan masalah untukmu.

Kumohon maafkan aku, Tanuki-senpai :"

Saat pertama kali mendengar kabar itu, kurasa neuron yang ada diotakku membeku. Tak mampu merespon. Mungkin seperti terkena lemparan Furuya yang cepatnya luar biasa itu. Bisa saja melukaiku. Atau bahkan mengambil nyawaku. Berfikir. Mencari solusi bagaimana menyampaikannya padamu. Sedang tubuhku saja tak mampu merespon. Hingga, kudengar ponselku berdering. Panggilan masuk darimu. Memintaku bertemu di cafe biasa kita ngobrol.

Dan saat itu, aku merasa berada di tepi jurang. Mendengar kabar darimu. Sampai aku tak mampu menyampaikan kabar dariku untukmu. Kulihat kau sangat bahagia. Aku bahkan belum pernah melihat binar dan bintang imajiner di dalam manik mata hazelmu itu. Jadi sudah kuputuskan, akan kudukung apapun keputusanmu. Apalagi tentang baseball, aku akan menjadi pendukungmu di barisan pertama. Bukankah itu sudah menjadi kewajibanku? Dan janjiku. Aku harus menepatinya!

Setelah kepergianmu, aku mulai rajin ke rumah sakit. Sudah menjadi rutinitasku setiap pag bagamanapun cuacanya. Seperti dulu, saat aku terus jogging walau sedang hujan sekalipun. Bahkan kau harus sampai turun tangan menghentikanku. Arigatou, na!

Miyuki-senpai, apa kau tahu? Fungsi obat untuk apa?

Tentu saja kau akan mengataiku bodoh lagi, membaca pertanyaanku. Tapi ini beda senpai. Obat-obat itu hampir saja merebut rabutku. Kepalaku nyaris botak seperti Masuko-senpai. Aku tidak ingin meminumnya lagi. Tapi mereka memaksaku.

Bahkan kemoterapi yang kujalani membuat badanku ngilu. Bahkan mati rasa. Aku nyaris menyerah saat itu. Tapi –lagi-lagi—panggilan telponmu menyadarkanku. Membuat kembali bersemangat. Karena ada satu orang yang menungguku. Menyayangiku sepenuh hatinya. Sedang berjuang disana. Aku tidak boleh menyerah. Jangan sampai dia menyerah. Kupikir begitu.

Kemudian kufokuskan untuk penyembuhan. Berbagai macam obat dan terapi kujalani. Namun apa boleh kata. Tuhan sangat menyayangimu Kazuya. Dan tentu saja—menyayangiku—

Penyakit yang kuderita sudah memasuki stadium akhir. Aku benar-benar sudah menyerah. Tak ada lagi harapan.

Tiba-tiba—

Suara ketukan pintu.

Dannnn.. tanuki senpai sudah berada di depanku. Sialan! Umpatku geram. Aku belum menyiapkan skenario yang matang. Aku benar-benar tak sanggup memberitahumu. Kupikir aku akan berhasil dengan membuatmu meembenciku. "aku sudah menikah" kataku. Bahkan kutunjukkan fotoku bersama seorang wanita yang sedang hamil muda padamu. Tapi ternyata benar, kau tak akan semudah itu percaya. Keras kepala, seperti dulu. Tidak berubah sedikitpun.

Lalu kecelakaan maut itu terjadi. Aku merasa jurang yang memisahkan kita semakin melebar senpai. Sungguh aku takut. Aku sangat takut tak mampu memberitahu semua kebenarannya padamu. Aku selalu merasa tercekik mengingat apa yang kukatakan padamu sebelum kejadian itu.

Sekali lagi kukatakan padamu, Tuhan sangat menyayangimu Kazuya. Sebuah cahaya menerangiku. Membukakan sebuah jalan. Sangat terang. Hingga mampu menghapus ketakutanku. Aku berjalan dengan penuh tekad. Menyusuri jalan keputusanku. Menapak selangkah demi selangkah, hingga aku menemukan rumahku. Hatimuu..

Two hearts that beat as one—

''

Otanjobi omedetto gozaimasu, Kazuya

Jangan hina hadiah dariku Kazuya! Aku belajar mati-matian untuk mencari tahu maknanya. Bersyukurlah meskipun hanya, bola baseball—berisi kalung, ups—dan sebuket bunga "BABY BREATH" yang bahkan kuyakini sudah layu. Tapi bersyukurlah. Masih ada yang mengingat hari lahirmu. Bahkan dengan setulus hati memberikanku hadiah.

Kau harus belajar mati-matian sepertiku untuk memahami maknanya. Dengarkan itu, Kazuya!

Dan terima dengan senang hati hadiah spesialku Kazuya. Hadiah yang akan bersamamu selamanya. Bukankah tadi kubilang aku sudah menemukan rumahku? Yaa, kutitipkan hadiah istimewaku disana. Jangan menyangkal Miyuki Kazuya, sekarang Sawamura Eijun sudah bersemam abadi di dalam tubuhmu, bersama hatinya.

Jangan menjengkelkan Kazuya. Kau membawa hatiku sekarang. Jangan bertingkah aneh-aneh. Jangan membaca shojo manga. Kau ingat betulkan? Hati Eijun itu bagai kaca, sangat ringkih. Mudah remuk. Dia juga bagai badai, perasaannya bisa berubah sepersekian sekon. Jika kau tak ingin dilaporkan ke polisi, jangan pernah membaca shojo manga. Atau yang palik buruk, kau dipecat dari timmu. Jangan sampai, Kazuya! Aku bersumpah akan menghantuimu seumur hidup jika kau mengabaikan pesanku!

Janji!

.

.

.

Aku mencintaimu,

Eijun—

I'll be that fool, for you—

I'm sure

Kazuya melepas kacamata yang tadi bertengger di tulang hidungnya. Menyeka setetes air mata yang masih menggantung di sudut matanya. Ia bahkan tak mampu mengingat sudah berapa kali membaca surat pemberian Eijun. Kazuya hanya ingin melepas rindu. Hari dimana kepergian Eijun adalah tanggal saat ia lahir. Tepat satu hati Eijun tertanam sempurna ditubuh Kazuya. Perasaannya bagai tornado. Menggulung apapun. Campur aduk. Merasa bahagia, karena Eijun kini bersamanya. Atau bersedih karena kehilangan raga Eijun disisinya. Tiap hembusan nafas Kazuya, selalu diiringi air mata. Seperti satu melodi. Turun bersama seirama deru nafas. Jantungnya seakan beradu liar di dalam tulang rusuknya, saat ia teringat akan sosok Sawamura Eijun. Pemuda bodoh, idiot, tolol yang selalu menjadi tujuan hidupnya.

Kazuya kembali menatap nisan di depannya. Dilihatnya lekat. Tatapannya sendu. Bekas aliran air mata tercetak di kedua belah pipinya. Ia tak menyadari, ada yang sedang memperhatikannya dari kejauhan. Kazuya kelewat hancur. Mendapati kebenaran yang tak pernah terpikirkan sebelumnya. Sawamura Eijun selalu melampaui harapannya. Selalu diluar dugaan Kazuya.

Kazuya terkeluai lemah. Menatap nisan itu dengan sorot mata tak berdaya. Ia sungguh tak berdaya melawan takdir.

Satu tangan terjulur, meletakkan satu buket bunga putih dengan kelopak lima berukuran kecil di atas makam Eijun. Menyadarkan Kazuya dari parade kesedihannya. Ia lantas menoleh, mendapati seorang lelaki blasteran yang amat ia dan Eijun kenali bersama seorang perempuan serta gadis kecil di sampingnya. Chris tersenyum simpul setelah meletakkan bunga periwinkle white favorit Eijun di makamnya. Satu tangan Chris mulai menepuk-nepuk bahu Kazuya yang mulai bergetar. Ia tak mampu lagi membendung tangisnya. Membuang semua gengsinya, menangis sejadi-jadinya di depan makam orang yang amat ia sayangi. Chris menggendong gadis kecil itu. Tangan kanannya masih menepuk bahu Kazuya. Membiarkan menumpahkan semua emosi yang terpendam melalui air matanya. Dengan harapan, setelah itu ia mampu bangkit kembali. Melanjutkan hidupnya. Dengan semua pengorbanan yang telah dilakukan Eijun untuknya.

Chris memaksa Kazuya beranjak ketika senja mulai menyapa. Ia membawa Kazuya pulang ke rumahnya. Membiarkan menginap. Tentu saja, untuk mengawasinya.

Mata Kazuya membulat sempurna. Tubuhnya menegang. Melihat ia dibawa ke rumah dimana Eijun tinggal. Nafasnya kembali tersengal. Dadanya sesak, mengingat kejadian malam itu.

Chris merangkul Kazuya, setelah melihat ekspresinya. Ia tuntun Kazuya perlahan memasuki rumah—Eijun—yang juga rumahnya. Tubuh Kazuya bergetar tiap langkah kakinya memasuki ruangnya. Ia ingat betul, dimana pintu dan ruang tamu menjadi saksi pertemua Kazuya dengan Eijun. Bahkan ia kelewat ingat, betapa gugupnya ketika sampai di depan rumah itu. Jika Kazuya sedang dalam mode normal, tentu saja ia akan malu bukan kepalang. Bahkan bisa jadi, wajahnya sudah memerah layaknya kepiting rebus. Itu juga modenya sedang normal. Sekarang ia sudah tidak mempedulikan rasa malu. Kazuya sedang berada dalam mde offnya. Bahkan ia tak sadar sudah duduk di sofa putih susu di ruang tamu. Ia samar-samar melihat punggung Chris menjauh, memasuki rumah lebih dalam.

Tiga puluh detik kemudian, Chris kembali. Membawa map putih ditangan kanannya. Ia mengambil posisi duduk di sebelah kanan Kazuya. Memberikan map itu padanya. Kazuya menerimanya dengan mimik wajah lelah. Kerutan disekitar matanya jelas terlihat. Lingkar hitam itu juga sudah menjadi satu bukti otentik betapa kacaunya Kazuya sekarang.

Kazuya menegakkan punggungnya. Membuka map perlahan. Mengambil satu lembar kertas putih di dalamnya. Ia baca satu demi satu kalimat yang tertulis dikertas itu. Memahami informasi apa yang kiranya ingin kertas itu sampaikan. Milik Eijun, ka? Setelah mendapati nama Sawamura Eijun tertera di dalamnya.

Kazuya nyaris tersedak liurnya sendiri ketika membaca baris demi baris isi tulisannya. Matanya kembali terasa panas. Mulai berair. Kertas itu memberitahukan mengenai keadaan Eijun. Ia tak mampu menangkap detail yang ada dalam kertas. Kazuya hanya mampu memahami satu hal,Eijun saat itu sangat membuthkannya. Kanker otak stadium akhir. Umurnya kurang dari satu tahun. Tapi apa yang ia lakukan? Ia malah dengan senangnya mengatakan keinginannya untuk mengejar karir. Mengabaikan sosok belahan jiwa yang eksistensinya semakin memudar tiap hembus nafasnya. Bodoh, Bakazuya idiot!

Ia meremas kertas yang dipegangnya. Hingga mengkerut tak berbentuk. Menggertakan gigi, menahan amarah. Chris hanya menghela nafas melihatnya. Kemudian senyum kecil itu muncul kembali. Menepuk pelan bahu Kazuya untuk mendapatkan atensinya.

"Apa yang ingin kau sampaikan padanya, Miyuki?" Tanyanya kalem. Kazuya mendengus geli. Bersama satu tarikan nafas, ia menjawab. "Bakamura idiot Eijun Sawamura. Tunggu saja pembalasanku! Kau bahkan tidak memberiku kesempatan untuk mengejekmu di saat-saat terakhirmu itu, Bodoh! Apa jangan-jangan kau takut mendengar perkataan kasarku tentangmu, hah? Lalu kau putuskan, pergi sebelum aku kembali begitu, hm? Ingatlah wahai ace-sama, aku tak akan berhenti menyebutmu Bodoh disisa hidupku. Dengarkan itu, Sawamura!" Sebongkah seringai arogan mulai menghiasi bibir tipis Kazuya. Tapi sorot mata tak pernah berbohong. Terlihat jelas, sorot kesedihan didalamnya. Bahkan kehancuran. Kazuya sekali lagi, hanya sedang membayangkan eksistensi seorang Sawamura Eijun dibenaknya.

"Miyuki?" Panggil Chris lembut. Kazuya menoleh, menatapnya. Tersenyum getir. Lalu menggumam, "hm?" kembali menatap kosong langit-langit rumah itu. Tak mempedulikan Chris di sampingnya.

"Apa dia bilang padamu sudah menikah, Miyuki?" Tanya Chris. Mengikuti kegiatan Kazuya. Mengangkat kepalanya. Menatap langit-langit rumah. Kazuya kembali bergumam, yang dianggap Chris sebagai kode mengiyakan.

"Apa kau percaya?"

"Tidak."

"Dia istriku," Menggerakkan dagunya menunjuk dua sosok perempuan yang sedang berdiri di seberang mereka. "Dan itu putri pertama kami." Kazuya sontak menoleh ketika Chris bersuara. Mengikuti kemana arah dagunya menunjuk. Perempuan dewasa yang berdiri diambang pintu itu sangat familiar diingatan Kazuya. Perempuan itu adalah sosok yang ditunjukkan Eijun sebagai istrinya. Tengah mengandung.

Kazuya ingin menjerit. Tapi suaranya tak mampu keluar. Tercekat dipangkal tenggorokkan. Lagi-lagi si idiot Eijun berhasil membodohinya. Chris sekali lagi hanya tersenyum. Melambaikan tangannya untuk menyuruh istrinya mendekat. Mereka berdua duduk di sofa seberang Kazuya. Kazuya masih menatap sosok didepannya tak percaya. Lelucon macam apa lagi, Eijun?

"Miyuki?" Panggilan itu sukses mengambil atensi Kazuy sekali lagi. Chris menatapnya lekat. Kali ini tak ada senyum diwajahnya. Tegas, namun sorot dimatanya keruh. Tak ada binar sedikitpun. Ia sedang berduka. Chris-senpai juga merasakannya.

"Maafkan kami karena tidak memberitahumu sejak awal." Chris menarik nafas dalam. Menggigit bibir bawahnya. Berusaha menahan air mata yang akan tumpah kapan saja. Dua telapak tangan yang kokoh kini saling bertaut. Meremat satu sama lain. Mencari kekuatan tambahan. Jeda yang diambil Chris lumayan lama. Sekita sepuluh detik, sebelum kembali berbicara. "Kau tahu kan betapa keras kepalanya, Sawamura? Ia bahkan sampai berlutut dikakiku, agar aku tak memberitahukannya pada siapapun salah satunya kau, Miyuki."

"Jadi, senpai, tahu?" Memberikan perhatiannya pada Chris. Menajamkan telinga. Mendengar tiap kata yang akan dikeluarkan oleh Chris.

"Ah. Aku bertemu dengannya ketika mengantar istriku praktek. Istriku adalah salah satu Dokter di rumah sakit dimana Sawamura berobat. Setelah mengetahui kondisinya, istriku memutuskan untuk menjadi Dokter pendampingnya. Menanganinya dan memberikannya perawatan. Kondisinya harus selalu diawasi, Miyuki. Oleh sebab itu, kami memutuskan untuk membawa Sawamura kemari. Agar lebih mudah dalam memantaunya." Tandas Chris yang mulai tenang. Guratan diwajahnya sudah mulai tenang. Terlihat seperti Chris biasanya. Kazuya sendiri memutuskan untuk diam. Membatu. Menjadi pengamat dan pendengar yang baik untuk Chris.

"Dia baru tinggal bersama kami, enam bulan yang lalu. Enam bulan setelah ia didiagnosis penyakitnya." Chris terkekeh kecil, kembali mengorek memorinya dengan Eijun. "Dia sangat menyayangi putriku. Bahkan dia pernah berkata, 'Chris-senpai, bolehkah aku mengadopsinya? Dia sangat menggemaskan. Mengingatkanku pada diriku yang dulu.' Atau 'Tunggu saja Chris-senpai, aku akan memiliki putri yang lebih lucu dari putrimu.' Jika aku menolak keinginannya. Bahkan aku pernah sekali tak mampu menahan tawa melihat tingkahnya. Suatu hari ia melihat Keiko—putri pertamaku—memberinya coklat yang baru saja dia beli setelah kemo, dia bilang, 'senpai, lihat Kei-chan! Wajahnya seperti bayi anjing yang ditelantarkan majikannya'." Mengambil nafas sejenak. Chris menatap manik hazel Kazuya. Mencoba menyalurkan segenap perasaannya. "Miyuki?" yang dijawab gumaman. "Hm?"

"Apa kau sudah membuka hadiahnya? Bolanya sudah kau buka?"

Respon lawan bicaranya nampak terkejut. Tak memahami maksud dari ucapan Chris.

Memberikan senyum hangatnya, Chris menepuk bahu Kazuya. "Didalam bola itu, masih ada jackpotynya Miyuki. Kau harus membukanya. Temukan keajaibannya, Miyuki." Titah sang senpai yang mulai kembali pada mode normalnya. Kazuya hanya tersenyum kecil, mengiyakan perintah itu.

Gelap masih menyelimuti langit pagi saat Kazuya pamit pulang. Ia berkeras untuk segera kembali ke penginapannya. Membereskan barang-barang miliknya yang sempat terbengkalai.

"Kau boleh kesini kapanpun kau mau, Miyuki."

Kazuya hanya menganggukkan kepala. Melampaikan tangan kecil. Kemudian berlalu. Menuju penginapannya.

.

This love i have inside—

And i'll give it all to you

.

Pagi ini ia berencana mengunjungi makam eijun. Sambil membawakan sebuket bunga kebanggaannya. Yang baru Kazuya tahu dari cerita Chris semalam. Ia bersiap. Mengenakan kaus polos putih, dibalut kemeja flanel biru langit dengan motif kotak-kotak. Favorit Eijun—hadiah ulang tahun dari Eijun—. Kazuya bergegas memesan taksi. Ia sempatkan diri untuk membeli bunga yang ia inginkan. Kemudian menuju pemakaman.

Kazuya meletakkan bunga-bunga itu yang tentu saja lebih dari satu di atas makam Eijun. Ada enam buket bunga tersusun rapi. Kazuya tersenyum melihatnya. Mendengus geli. Entah apa yang ia pikirkan.

"Ohayou, Bakamura." Kazuya tersenyum miring. Menatap miris nisan Eijun. Dan hatinya yang retak. Air matanya kembali membuncah tanpa kendali. Nyaris menjatuhkan diri tanpa komando.

"Apa kau sudah bahagia disana?"

"Jangan katakan, kau mencari suami disana Bakamura!"

"Aku akan dengan senang hati menolak lemparanmu, jika benar itu terjadi."

"Sekarang giliranmu, mendengarkanku Bakamura."

"Terima kasih atas jimat keberuntungan yang kau berikan. Aku akan selalu memakainya. Bagaimana kalau taruhan, Bakamura? Jika aku bisa mencetak tujuh belas kali homerun pada satu musim, maka kau harus kembali kesini. Jika kau tidak kemari, akan kucari kau kesana. Dan menyeretmu pulang."

"Kau tidak sopan, Bakamura!"

"Keras kepala."

"Bodoh."

"Apa kau pernah mendapatkan ijin dariku untuk pergi, Bakamura?"

"Kau harus membayar denda untuk itu. Uang ganti rugi untuk biaya hidupku."

"Oi, apa kau sudah tertidur lagi?"

"Aku belum selesai bicara, Bodoh. Dengarkan baik-baik, tidak pengulangan."

"Aku membawakanmu bunga favoritmu. Dan bunga yang ingin kuberikan padamu sewaktu kau masih berada dihadapanku. Maaf karena aku baru memberikannya sekarang."

"Dengarkan, Eijun. Kalo perlu catat. Kau ingat betulkan, betapa bodohnya kau? Berpindah alam tak akan menghapus kebodohanmu itu, Bakamura!."

"Pertama."

"Bunga Lilac Mauve."

"Kau tahu maknanya, kan? Jadi tak perlu kujelaskan."

"Baiklah, baiklah."

"Lilac Mauve.. cinta pertama. Terkagumlah kau, Bakamura. Kau adalah cinta pertamaku. Bahagialah disana Eijun, karena kau berhasil menjadi cinta pertamaku. Menghangatkan hatiku yang beku. Bahkan aku sempat meyakini bahwa daging merah hati itu telah lama mati. Tapi kau datang, membawa cahaya yang tak pernah redup. Tak pernah memudar barang sedetikpun. Aku mencitaimu, Bakamura. Bagaimana denganmu, do you still love me?

"Kedua."

"Bunga Zinnia Yellow. Kenangan setiap hari."

"Terima kasih sudah hadir dalam hidupku, Bakamura. Meninggalkan berbagai macam kenangan di dalam sudut relung hatiku yang paling dalam. Sawamura Eijun yang idiot selalu menenangkanku. Dan diammu menjadi malapetakan bagiku, Eijun. Aku membencimu ketika kau diam. Selalu ada rencana konyol yang kau putuskan dalalm diammu. Kenangan-kenangan itu tak kan pernah terlupakan Bakamura. Aku selalu mengingatnya. Dan menyimpan seribu dendam padamu."

"Ketiga."

"Bunga Periwinkle White.. salah satu bunga favoritmu."

"Chris-senpai sudah memberitahuku semuanya."

"Bermakna memori yang membahagiakan, bukan?"

"Aku bersyukur mengenalmu Eijun. Meskipun idiot, hariku lebih berwarna karenamu. Dan tampak keruh tanpa kehadiran sosok idiotmu dihadapanku. Kedatanganmu ke Seidou kala itu membantuku melupakan tujuanku datang ke Seidou, yaitu untuk —menghancurkan— Chris-senpaii. Kau membawaku ke jalan yang benar Eijun. Aku berhasil melupakan niat jahatku itu. Dan berfokus mencari perhatianmu. Tak kusangka, kau juga menginginkannya. Apa kau tahu? Lemparan monster Furuya hampir saja menghancurkan hidung mancungku, Eijun? Saat itu aku kehilangan fokus, karena melihatmu berbincang dengan Bocah Serigala. Kau sangat menyebalkan saat itu. Kau bahkan tidak peduli padaku yang hampir mati karena lemparan Furuya, hm? Tapi sungguh, dalam hatiku yang paling dalam bahwa aku sangat bahagia mengenalmu, Eijun. Terima kasih, telah meninggalkan memori-memori membahagiakan dalam hidupku."

"Oh, Eijun. Chris-senpai bilang padaku bahwa kau menginginkan seorang anak?"

"Apa itu sungguhan?"

"Apa kau akan kembali padaku, jika aku memberimu anak?"

"Keempat."

"Apa kau sudah mencatatnya? Aku tidak akan ingat bila kau memintaku mengulangnya, Bakamura! Jadi cepat catatlah. Jangan membuatku mengulang.!"

"Bunga Snowdrop.. Harapan."

"Kau seperti bunga itu Eijun."

"Kau memberi harapan pada semua orang yang berada didekatmu. Tak terkecuali aku. Kehadiranmu menumbuhkan harapan baru dalam hidupku. Membangkitkan semangat untuk terus maju. Tanpa kau sadari sekalipun."

"Eijun, kuceritakan satu hal yang selama ini tak pernah terungkap."

"Apa kau tahu, seberapa besar pengaruhmu bagi tim Seidou?"

"Mereka semua termotivasi olehmu, Bakamura. Kau ingat kekalahan melawan Ichidai?"

"Kau berhampir menampar kami semua, Bakamura. Karenamu kami semakin bersemangat latihan memukul. Tak ingin merasakan hal yang sama untuk kedua kalinya. Bahkan aku menyesal mengabaikanku kala itu. Maafkan aku. Tapi sekarang kau tahu bukan, sebelum mendapat nomor punggung satupun kau telah menjadi ace bagi kami semua Bakamura."

"Kuramochi bahkan begidik melihatmu diam."

"Kau harus meminta maaf padanya setelah ini."

"Kelima."

"Bunga yang ingin kuberikan padamu sejak pertama."

"Agapanthus."

"Bunga cinta."

"Aku jatuh cinta pada Sawamura Eijun, sejak kali pertama ke datangannya ke Seidou."

"Apa kau ingat?"

"Hm, hasil dari kekurang ajaranmu itu, membuatku harus menemanimu dalam perburuan monster. Dan syukurnya, kau menang. Aku sangat bangga padamu. Bahkan sebelum aku benar-benar menjadi bagian dari kami kala itu."

"Apa sekarang kau masih meragukan perasaanu padamu, Eijun-kun?"

"Dan terakhir."

"Bunga kebanggaanmu."

"Bunga yang kau berikan padaku."

"Baby breath."

"Aku sudah belajar mati-matian untuk memahami maknanya Eijun. Apa kau tidak ingin memberikanku hadiah atas keberhasilanku?"

"Kau membuatku merengek seperti bayi sekarang."

"Dasar tidak sopan!."

"Ketulusan, kemurnian, cinta abadi dan sejati."

"Kau tahu, Eijun? Kau belum sepenuhnya memahami makna bunga ini."

"Jika kau paham, kenapa kau berikan bunga ini untukku Bodoh?"

"Bunga ini tidak pantas untukku."

"Kali ini biarkan aku memberikannya untukmu. Dengan setulus hatiku, Eijun."

"Aku tidak pernah menduga. Ketulusan dan kemurnian yang berbalut kebodohanmu itu mampu meruntuhkan pertahanku, Eijun. Aku belajar arti ketulusan yang tuangkan melalui pengorbanan konyolmu itu. Sungguh, kini aku paham. Kau memberiku semua yang kau punya Eijun. Sekarang giliranku untuk memberi semua yang aku miliki. Kau akan abadi bersamaku, Eijun. Aku janji."

"Akan kujaga hadiah terindah darimu sepenuh hati. Dengan tekad dan semangatku."

"Jangan pernah bosan menungguku, Eijun."

"Akan kutemui kau besok."

Sebuah cincin tersemat manis dalam buket bunga baby breath yang dibawa Kazuya. Cincin yang tak sempat melingkari jari manis Eijun. Cincin yang sempat ia tolak tempo hari. Cincin silver bermanik serpihan salju.

my endless love—

.

Not sure if you know this

But when we first met

I got so nervous i couldn't speak

In that very moment

I found the one and

My life had found its missing piece

.

Kei; Halo minaa.. terima kasih untuk semua yang sudah mau baca fic pertamaku. Maaf kalo OOC yaa.

Mohon bantuannya semua, biar semangat nulis.

Review, please? :"