Ruangan itu masih terasa sama.

Sepi.

Gelap.

Dan bau.

Ia tak masalah diperlakukan seperti hewan saat kedua tangan dan kakinya terikat oleh rantai. Udara musim dingin masuk melalui celah ventilasi kecil di ujung atas tembok bangunan hingga menusuk-nusuk anggota tubuhnya. Matanya terus menatap di satu titik, yakni pada pintu sel di depannya yang tertutup rapat.

Laki-laki itu menghentikan aktivitas memutar satu jarinya ke bola rantai di kakinya menuju suara pintu berderit yang menandakan sedang terbuka.

Dirinya terdiam sejenak kala menengok seberkas cahaya di ujung pintu. Meskipun kedua obsidian-nya tertutupi kain hitam, hal itu tak menampik bahwa ia tahu siapa sosok yang tengah berdiri di hadapannya saat ini. Seringai kecil mulai muncul di sudut bibirnya.

"Sasuke?"

Ah, malaikat penolongnya.


...

.

.

.

If You Were Me

(sequel of Bad Habit)

story by; silent monster

.

.

"Tidak ada cara apapun ketika aku mencoba untuk melupakanmu dalam pikiranku..., Bagaikan paku berduri yang menusukku sepanjang hari dan kala kata itu menyiksaku. Seberapa banyak kau mengenalku?" —Sakura.

.

.

"Paku berduri itu muncul, dan aku merasakannya lagi. Bahkan jika tidak, aku akan tetap menyukaimu. Waktuku kembali dalam pikiranmu. Bisakah kau mencintaiku?" —Sasuke.

.

.

.

...


4 tahun.

Kala itu Sasuke kecil tengah duduk manis di belakang kursi pengemudi, mobil yang membawanya kini menyusuri jalan raya. Bibirnya tak berhenti mengulum senyum sedari tadi. Bahkan, ketika sampai di depan mansion, kedua tangannya masih mengenggam erat sebuah buku kecil nan tipis berwarna biru tua yang tertera kata rapor di atasnya. Dia memperoleh nilai sempurna hampir di setiap kategori mata pelajaran.

Matanya sesekali melirik siluet pria di depannya. Sekarang ia sedang duduk bersimpuh di hadapan Tou-san sambil melirik malu.

"Ba-bagaimana ayah?"

Hening.

Sejenak tak ada jawaban apapun yang terucap dari bibir sang Ayah. Dan hanya kekecewaan yang kembali di dapatinya setelah ayahnya berujar dengan kalimat yang sama seperti dulu.

"Teruslah pertahankan."

Sasuke tak menyadari, bahwa dirinya adalah sosok yang sangat jenius.

.


7 tahun.

Sasuke sudah menginjak usia masuk sekolah dasar. Walaupun begitu, tak ada yang mampu membuatnya senang seperti kebanyakan anak pada umumnya. Sasuke seakan sudah tahu watak dari teman-temannya saat mereka menghampiri tempat duduk Sasuke hanya untuk saling tukar-menukar bekal sebagai alasan untuk mengakrabkan diri. Terutama banyak anak perempuan di sekolah yang selalu memperhatikannya sebagai objek yang pertama kali dilihat saat masuk sekolah—bahkan sampai sekarang. Di depannya kini berdiri seorang gadis cilik bercepol dua yang sedang memuji penampilan bekalnya—bukan bermaksud memintanya.

"Pergi."

Hanya satu kata, dan itu berhasil membuat semua temannya tak berani mendekatinya.

.


8 tahun.

Sasuke mendengar kabar jika kedua orang tua-nya mengalami kecelakaan. Keadaan ruang IGD yang nampak kacau, berbanding terbalik dengan Sasuke. Ia hanya bisa duduk diam sembari mengamati kekacauan yang terjadi.

Pihak rumah sakit mengerahkan seluruh dokter yang ada untuk menangani kedua orang tua-nya—yang bisa dibilang adalah orang penting—sehingga ruangan dan lorong yang sempat heboh kini kembali sepi—karena IGD adalah hal yang paling menakutkan ketika kau berada rumah sakit—.

Dari arah lain, terlihat beberapa orang berbalut baju putih keluar dari pintu IGD. Seorang pria yang tengah mengenakan masker nampak tengah berbincang dengan salah satu petugas medis.

Samar-samar, Sasuke dapat mendengar percakapan dua pria dewasa tersebut.

"Bagaimana?"

"Tidak bisa lagi." pria di sebelahnya menggeleng, lalu lanjut bertanya, "Apa satunya sudah ditemukan?"

"Tidak ada," jawab petugas itu.

Pria bermasker itu mengembuskan napas panjang dan berat. Embusan napasnya itu bahkan terdengar jelas di telinga Sasuke. Perhatiannya nampak teralihkan saat ambulans dengan bunyi sirenenya kembali datang melalui pintu utama IGD. Lalu, nampak petugas medis itu berlari dan memastikan, siapakah yang diturunkan dari ambulans.

"Sasuke!"

Dia menoleh. Dan disana ada pria dengan perawakan jangkung dengan rambut hitam yang sedikit ikal di ujungnya datang mendekat.

"Paman Shisui!"

Pria yang namanya tadi di panggil oleh Sasuke langsung mendekat ke arahnya lalu memeluk Sasuke yang nampak masih terkejut dengan peristiwa yang ia alami, "Tenanglah, paman sudah disini."

Di balik punggung lebar sang paman, Sasuke masih dapat melihat pasien yang datang dari ambulans beberapa saat yang lalu. Ranjang yang semula di turunkan dari ambulans, kini di tutupi oleh kain putih yang terdapat beberapa bercak noda darah di sekitarnya.

Terdengar jeritan yang datang setelah ranjang pasien itu melewatinya begitu saja. Setelah sang Paman melepaskan pelukannya, barulah Sasuke melirik sosok anak perempuan yang sepertinya juga sebaya dengannya. Anak itu menangis histeris saat tahu jika jasad kedua orang tua-nya sudah tak bernyawa.

Ternyata bukan hanya kedua orang tua-nya. Peristiwa lain yang terjadi juga menewaskan kedua orang tua dari anak perempuan berambut gulali yang ia lihat sedang berjongkok di lorong IGD. Sasuke menatapnya datar, walaupun jauh di lubuk kecilnya ia juga ingin menangis dan turut merasakan apa yang dirasakan oleh sang gadis.

Sasuke tengah berada di kamarnya. Ia sedang mengepak beberapa tumpukan pakaian dan memasukkannya sekaligus ke dalam koper. Bersamaan dengan itu, matanya melirik bingkai foto kecil di atas nakas di samping tempat tidurnya. Ia kemudian berdiri dan mengambil bingkai itu dengan cepat lalu memasukkannya kembali ke dalam koper, menarik kedua ujung resleting dan menutupnya.

Ia mendesah lelah.

Pria itu...

Dia bahkan tidak datang sama sekali mengunjungi rumah sakit sampai upacara pemakaman kedua orang tua-nya selesai. Sasuke menekan bibir bawahnya hingga warna merah keluar dari sudutnya. Sasuke bukan anak-anak lagi. Ia bahkan tak menangis sesaat peti mati terakhir itu di letakkan di bawah tanah yang sudah tertimbun. Yang melintas di benaknya sampai sekarang, hanyalah untaian kata manis yang terucap dari bibir sang Ibu.

Dengan sekuat tenaga, wanita itu berusaha berbicara sembari mengangkat sebelah tangannya. Tanpa mengatakan sepatah kata pun, Sasuke langsung menggenggam tangan sang wanita.

"Sasuke... bagi ibu dan ayah kau adalah sosok yang istimewa. Bisa melihatmu berada di samping ibu seperti ini saja sudah membuat ibu senang."

Air mata Sasuke menetes.

"Suatu saat nanti, carilah seorang teman dan hiduplah dengan mencintai seorang perempuan. Kau adalah anak yang cerdas, ibu yakin suatu saat kau bisa lebih hebat dari ayahmu. Ini benar-benar sulit saat ibu tak bisa berada di sampingmu dalam waktu yang lama. Maafkan Ibu... maafkan juga ayahmu. Dan hiduplah rukun bersama 'kakak'mu hanya dia satu-satunya..."

Di sela-sela ucapan Ibunya, darah masih saja keluar dari mulut wanita itu. Namun, sang Ibu tak berhenti bicara sampai akhirnya tak dapat lagi bergerak. Sasuke mengangguk lemah dan mengusap air matanya, tangan kecilnya masih menggenggam erat tangan sang Ibu. Tak ada lagi ucapan yang bisa didengar dari tubuh yang terkulai lemas itu. Pada akhirnya, Sasuke meletakkan tangan sang Ibu di ranjang, lalu menutup mata wanita itu dengan salah satu tangannya.

"Pergilah dengan tenang bersama ayah. Aku akan merindukan kalian,"

Di umur delapan tahun, ia kehilangan semuanya.

Di umur delapan tahun, ia kehilangan orang yang sangat ia hormati.

Di umur delapan tahun, ia kehilangan sosok wanita yang sangat disayanginya.

Dan di umur ke delapan, ia sangat membenci seorang pria.

.


10 tahun.

Sasuke di pindahkan oleh walinya—yang saat ini adalah Paman Shisui—, dan menetap tinggal di ibukota besar. Ia merasa bahwa selama dua tahun kesedihannya harus ia buang jauh-jauh ketika Paman Shisui menasehatinya dengan lembut layaknya seorang ayah kepada anaknya.

Namun, di umurnya yang baru menginjak ke-10. Di musim panas yang bertepatan dengan ulang tahunnya. Peristiwa itu kembali terjadi dengan begitu cepat saat sebuah siaran televisi tengah menampilkan sebuah kapal besar yang sedang terbakar di tengah lautan yang luas.

Satu lagi, ia kehilangan sosok pelindungnya.

.


12 tahun.

Musim semi adalah awal baru untuk memulai tahun pertamanya di sekolah menengah. Setelah berjuang demi mendapatkan beasiswa Sasuke kini mendapatkannya. Semua mata yang pada awalnya menampilkan sorot tak peduli kini mulai tertuju padanya. Sasuke tahu itu. Dia tahu apa yang mereka bicarakan ketika dirinya sedang tidak ada atau bahkan saat dia pura-pura tidak mendengarkan mereka mencemooh dirinya secara langsung.

"Sasuke! Ayo, kita pergi ke kantin!"

Sejenak, ia melirik datar anak yang tengah menyengir riang padanya, Naruto—laki-laki—itu berusaha mengajak Sasuke agar tidak menghiraukan berbagai macam bahan pembicaraan yang menimpa dirinya.

"Menjauh dariku, usuratonkachi."

Pertama kalinya, ia merasa tak membutuhkan sosok teman dalam hidupnya.

.


14 tahun.

Usia yang tepat saat anak seusianya sudah mulai menginjak masa pubertas—yakni, mengenal ketertarikan antar lawan jenis.

Ya.

Sasuke mengalaminya tentu saja.

Disaat musim semi itu kembali datang menghampirinya. Sesosok perempuan berhelai bak bunga Sakura datang memperkenalkan diri sebagai siswi baru di kelasnya. Entah mengapa, saat pertama kali oniks-nya memperhatikan permata hijau itu, ia merasakan sesuatu yang berbeda saat kedua pasang mata itu saling bertaut.

Kemudian, tanpa ia sadari sang gadis yang semula berdiri di depan kelasnya kini berjalan dengan tenang lalu menarik ujung kursi tepat di sebelahnya.

"Uhm..., hai. Namaku Haruno Sakura."

Untuk pertama kalinya, ia jatuh cinta pada seseorang.

.


17 tahun.

Tak punya orang tua, sanak keluarga, maupun teman.

Tak bisa ia pungkiri, pikiran itu terus menghantuinya. Saraf-sarafnya kembali berfungsi mengingat kejadian yang di alaminya selama sepuluh tahun belakangan ini. Afeksi nyatanya mengenai sosok pria yang di bencinya membuat sesuatu di dalam dirinya kian bergejolak.

Suatu hari saat dirinya terbangun, ia menemui dirinya yang tengah bermimpi buruk.

Hal yang dapat di ingatnya sampai sekarang,—

"Nii-san..."

—darah dan tubuh manusia.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

10 tahun kemudian.

Jelaga hitam itu terus menatap lekat wanita bersurai merah muda di depannya. Meski matanya tak lagi ditutupi kain hitam kini mulut manisnya yang malah terkatup rapat seperti saat wanita itu masuk untuk pertama kali ke dalam sel tahanannya.

Merasa tak kunjung mendapatkan respon, wanita yang mengenakan jas putih di balik pakaiannya itu mulai mencoba memecahkan suasana saat sang pasien di depannya masih menatapnya datar.

"Ah, baiklah-baiklah..." Ia berlagak seperti orang yang sedang menyerah dengan mengangkat kedua tangannya, lalu melanjutkan kembali kalimatnya, "Jika kau bersikeras masih tidak ingin berbicara kita lanjutkan bes—"

"Pulang."

Hanya satu kata, dan itu sangat jelas terdengar di telinganya. Ia menarik dirinya yang semula berdiri tegak lalu kembali duduk di kursinya.

"Kau mendengarnya, Sakura." ucap pria itu. Ia ingin memastikan bahwa wanita beriris zamrud ini tak salah menilik kalimatnya.

Sakura—wanita itu—tertawa mendengar kata pertama yang keluar dari mulut sang pemilik jelaga hitam.

"Oke, begini sikapmu di saat pertemuan ke-tujuh kita yang tak menghasilkan apapun. Dan sekarang... kau menatap ku dan berkata ingin pulang?" tanya Sakura.

Dari nada serta intonasi yang Sakura ucapan sengaja ia naikkan agar bisa memancing pemuda itu untuk berbicara lebih. Dan ia bersorak senang dalam hati ketika ia berhasil menarik Sasuke berbicara melalui kalimat awalnya.

"Aku tidak memiliki hubungan baik dengan teman dan juga tumbuh di lingkungan buruk. Kedua orang tuaku meninggal saat aku berumur delapan tahun, dan pamanku menyusul dua tahun setelahnya."

Sakura tak berkutik mendengar ucapan Sasuke yang terlampau—menurutnya—jujur itu. Namun, hal itu tak terlihat dari penampilannya, sehingga membuat orang lain yang tak mengenalnya hanya bisa diam dan kecewa saat mengetahui sifat aslinya tersebut. Sakura yang mencoba untuk mengontrol dirinya, malah jadi menunjukkan ketertarikan dalam cerita Sasuke yang seolah menunjukkan sosok dirinya yang sebenarnya kepada lawannya.

"Monster. Belasan tahun dalam hidupku aku selalu mendengar orang-orang menyebutku dengan sebutan itu. Saat itu pula, aku benar-benar tidak memiliki tujuan untuk hidup dan keinginan berbagai macam lainnya. Untuk pertama kalinya saat beranjak remaja, aku mempunyai seorang teman, katakan dia wanita dan sering berada di sisiku saat masih sekolah. Dia datang ke kelasku sembari memperkenalkan dirinya sebagai murid baru. Aku yang semula tak peduli pada siapapun, kini menjadi tertarik padanya. Aneh, meski waktu terus berlalu aku mulai memperhatikannya. Wanita itu terus mengusik hidupku dan berpura-pura menjadi orang yang paling bahagia di dunia, tapi kenyataannya dia memang tidak merasa bahagia dan aku tidak bisa memercayai wanita itu."

Sakura hanya terfokus dengan kalimat panjang yang dilontarkan oleh Sasuke. Wow, mungkin ini saatnya bagi Sakura mengorek informasi lebih dari Sasuke dan mencoba menahan berbagai macam pertanyaan lain yang masih berkecamuk di dalam kepalanya.

"Kenapa, kenapa kau merasa tak bisa memercayainya?"

Sasuke melanjutkan sembari menghela napas panjang, "Entahlah. Aku ingin memercayai seseorang, tapi aku tidak bisa. Aku bukan menghindarinya, hanya saja..." Nampak ada kegelisahan yang terselip dalam setiap kata yang diucapkannya. Meskipun Sasuke tidak melanjutkan kalimatnya, Sakura paham akan apa yang di ucapkan Sasuke. Namun, siapa wanita yang di bicarakan dan apa hubungannya dengan masa lalu Sasuke dirinya tidak mengerti.

Merasa tak ada yang cukup menjelaskan hal tersebut, Sakura kembali berujar, "Perkataanmu soal kepercayaan... bisakah kau memberikannya padaku?"

Sasuke langsung mengalihkan tatapan lurus ke arahnya. Sakura tak menyadari apa yang ia lontarkan, dan ucapannya itu bahkan membuat dirinya sendiri terkejut. Wanita itu secara spontan menutup mulutnya dengan tangan. Sasuke yang melihat ekspresi terkejut Sakura itu ingin tahu mengapa wanita itu menutup mulutnya, seolah ucapan itu tak ingin keluar dari mulutnya begitu saja.

"Ah, ini bukan suara hatiku. Jangan salah paham. Aku cuma ingin membuatmu terkejut, dan juga ingin mengetes keberanianmu kepadaku,"

"Memangnya siapa yang akan percaya jika seorang Haruno Sakura adalah orang yang penakut?"

Sasuke sedikit mengangkat satu alisnya dan memberikan seringai—yang malah di salah artikan Sakura saat ini. Perkataan pria itu sukses membuat tenggorokan Sakura terasa seperti disengat.

"Jangan berkata seakan kau mengetahui semua tentangku!" ucapan Sakura membuat kecanggungan di antara mereka semakin terasa.

Sakura yang semula menatap ke arah oniks pasien yang di diagnosa memiliki sakit jiwa ini, kini memilih untuk menatap ke arah apapun itu asalkan tak menyangkut Sasuke.

"Kau tahu, aku tidak sakit seperti yang orang lain katakan."

Sakura terdiam. Ia harus lebih waspada, psikopat itu pikirannya selalu manipulatif, egosentris, dan pandai dalam bertutur kata, sama seperti kalimat yang Sasuke katakan padanya. Sakura kemudian mencoba melirik Sasuke. Masih terpasang dengan sempurna, borgol di kaki dan tangan Sasuke masih terikat penuh. Merasa tak akan terjadi hal berbahaya yang menimpa dirinya, perlahan Sakura bangkit berdiri dan mendekati Sasuke, "Kau tahu, jika kau berbicara serius dan menghentikan bualanmu dari tadi semua bisa menjadi lebih cepat dan mudah, Sasuke."

Sasuke mendengus kemudian membuang muka sembarang arah, sejenak ia terkekeh mendengar ucapan yang berani keluar dari mulut gadis itu, "Ekspresimu mengatakan seolah kau tertarik pada ceritaku, dan selanjutnya kau mengatakan jika ini omong kosong. Aku katakan padamu, apa yang dibicarakan di luar sana... mereka banyak membuang waktu."

Sakura tertawa mendengar ucapan Sasuke. Ia mendekat lalu menghampiri pria itu yang masih duduk dengan tenang. Sakura mencoba menarik kursinya dan duduk di samping Sasuke.

"Kalau begitu apa bedanya dirimu yang menghabiskan sisa waktu seseorang?"

"Sisa waktu?" Sasuke menjawabnya dengan nada sarkas.

Mereka terdiam dan larut dalam pemikiran masing-masing. Hanya dua pasang mata yang saling bertaut dan mencoba memberikan sinyal non-verbal. Mungkin untuk Sasuke, ia tak perlu mencerna lebih jauh kalimat yang Sakura lontarkan. Sama seperti saat Sakura bertemu Sasuke untuk pertama kalinya di jeruji besi ini. Sakura selalu merasa tak aman jika berada dekat dengan Sasuke. Dalam setiap kegiatan pertemuan mereka, Sakura kembali mengoreksi bahwa dirinya selalu salah dalam memilih kata.

"Aku bukan pelakunya, Sakura. Di balik kasus ini aku juga korban yang di paksa tarik sebagai tersangka utama." Pria itu mencoba menekankan kalimatnya saat Sakura berani menatap matanya nyalang. Sasuke melanjutkan kalimatnya kembali dengan mendekatkan bibirnya ke sekitar telinga wanita itu lalu berbisik, "Bagaimana... bagaimana jika aku berusaha menujukkan kepercayaan yang kau katakan dengan perbuatan, bukan melalui perkataan?"

Bibir Sasuke menyentuh telinga Sakura sekilas. Napas Sasuke yang terasa panas seperti menjalar ke seluruh tubuh Sakura. Sejenak Sasuke bisa merasakan jika napas gadis itu tercekat. Ia pun perlahan mendekatkan tubuhnya ke samping Sakura. Ia ingin gerakannya diketahui oleh Sakura, tapi gadis itu bisa merasakannya. Dengan segera, Sakura menjauhkan tubuhnya dari Sasuke dan memberi jarak dari pria itu. Sakura masih tak menyadari jika borgol yang memenjarakan kedua tangan Sasuke sudah terlepas sedari tadi.

"A-aku mengerti maksud ucapanmu. Tunggu jawaban dari pihak berwajib mengenai kasusmu dan jangan berbuat hal yang aneh-aneh padaku." jawab Sakura setelah sekian lama terdiam akan tindakan pria itu barusan.

Setelah ia selesai berbicara, dengan cepat Sasuke mencium bibir gadis itu. Sakura yang sejak tadi terlihat baik-baik saja terkejut akibat gerakan cepat Sasuke. Ia merasakan jika kedua lengan pria itu berhasil menarik pinggangnya mendekat ke tubuhnya. Sakura merasakan tenggorokannya tak dapat menarik sebanyak apapun oksigen di ruangan ini saat Sasuke berusaha menekan bibir bawahnya dan mengigitnya, kemudian melepaskannya begitu saja saat kedua tangan Sakura mencoba memukul dadanya.

Sakura menetralkan dirinya dengan menarik pasukan oksigen yang banyak meskipun ventilasi udara berada jauh di atas tembok ruangan ini. Berbeda jauh dengan Sasuke nampak tenang seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Ia melirik Sakura terlihat jelas semburat merah menghiasi wajah piasnya.

Sasuke kemudian mengusap bibir bawahnya dengan ibu jari, "Mulut pintarmu itu harusnya kubungkam saja dari tadi dengan bibirku."

.

.

.

.

.

.

"Sakura-san, apa kau sudah mendengar beritanya?"

Tadi Sakura habis memasuki ruangan instalasi rekam medis. Ia memberikan beberapa data berupa catatan dan menyelipkannya di sebuah dokumen biru, itu semua meyangkut tentang pasien gila tanpa gangguan mental yang baru saja diurusnya beberapa jam yang lalu. Dirinya masih merona karena mengingat kejadian yang di alaminya saat berada di jeruji besi pria itu. Tidak tidak. Sakura tidak ingin mengingat kejadian barusan, bahkan sekedar menyebut nama pria itu lagi dengan mulutnya saja ia enggan. Tak menyadari jika gelengan kepalanya barusan membuat lawan bicaranya yang sedang memperhatikannya mulai kebingungan.

"Sakura-san?"

"A—ah ya! Lee-san?" sahutnya terkejut.

"Kau seperti sedang menahan banyak beban dan pikiran." Mahkluk satu lagi datang. Dan ia adalah sahabatnya sejak SMA sekaligus rekan kerjanya sendiri—Ino Yamanaka. "Apa ini menyangkut Sasuke si pasien gilamu itu?"

Refleks wajah Sakura kembali memunculkan semburat merah, ketika nama pria itu kembali muncul di benaknya.

"Ti-tidak!"

"Hmm... benarkah?"

"Eum..."

Sakura mengangguk kaku, ia ingin mencoba meyakinkan kedua rekan kerjanya yang masih memandangnya ragu.

"Tak ada yang berani mengambil rekam medis mengenai data Sasuke selain kau. Yah, terserah sajalah, lagi pula gesturmu tak bisa menutup kemungkinan bahwa ada sesuatu yang telah terjadi antara kau dan Sasuke." jawab Ino sekenanya sambil mengedikkan bahu.

"Lee-san, apa ada yang ingin kau bicarakan tadi?"

Sakura mengabaikan wanita berambut pirang itu dan menoleh ke arah laki-laki beralis tebal di sebelahnya, menurut pikiran Sakura saat ini ia tak ada waktu sekedar meladeni ucapan Ino yang sebenarnya hampir seratus persen benar mengenai dirinya dan 'sesuatu' yang di sebutnya barusan. Sementara, Ino hanya bisa menganga lebar dibuatnya ketika Sakura cuek seolah-olah tak mendengar celotehannya.

"A—itu... mengenai pasienmu, Sakura-san."

Apa ini menyangkut tentang Sasuke? "Ada apa?"

Sekarang giliran Sakura dan Ino tak mengerti akan sikap pria berambut mangkok itu, seakan enggan mengutarakan apa yang tadinya ingin ia sampaikan pada Sakura. Namun, setelah ia kembali berujar wanita berhelai merah muda itu kembali mencerna konseling yang di lakukannya saat bersama Sasuke beberapa saat lalu. Bertepatan saat pria itu untuk pertama kalinya bersuara setelah sekian banyak dari pertemuan mereka yang tak jua menghasilkan apapun. Pikirannya kembali bertalu.

"Ada berita yang mengatakan bahwa Sasuke bukanlah pelaku di balik kasus kematian Danzo dan anaknya."

.

.

.

Sasuke tidak berbohong mengenai dirinya.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

bersambung.


Note (1): Rekam Medis: berkas yang berisikan catatan dan dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan pelayanan lain yang diberikan kepada pasien yang dikelola oleh instalasi rekam medis.

Note (2): Egosentris: menjadikan diri sendiri sebagai titik pusat pemikiran (perbuatan); berpusat pada diri sendiri (menilai segalanya dari sudut diri sendiri).

.

.

.

hai, seperti yang aku janjikan ini adalah sequel bad habit. Yah, meskipun rasanya tidak pede akan hasilnya tapi aku mencoba untuk mempelajari apa saja yang berhubungan dengan psikologis manusia sejak membuat ff ini—padahal dianya anak teknik—maafkan aku jika ada yang salah.

apakah kalian puas? apakah ini di lanjut atau sampai disitu saja? jujur aku kurang puas kalau cuma dibuat sequel oneshot, hehe.

Berikan tanggapan kalian mengenai fict ini ya ㅠㅠ sesungguhnya kalau ada yang typo atau tidak mengerti bisa kalian ulas di kolom review :3

see ya!