Kuroko no Basket hanya milik Fujimaki Tadatoshi.

Warning: Real! Akashi, OOC, typo, alur kecepetan kayaknya, DLDR!


Prologue: How It Starts, Their Stories


"Jangan berlari di koridor, Shintarou!" seru seorang wanita paruh baya pada anaknya yang baru saja meletakkan sepatunya ke dalam rak sepatu di depan pintu masuk. Anak itu –Shintarou, Midorima Shintarou—yang baru saja melompat dan bersiap untuk berlari ke ruang tengah langsung mengurungkan niatnya.

"Baik, Bu." Dengan tenang tapi tergesa, Shintarou berjalan menyusuri koridor apartemennya yang menyambungkan ruang tengah dan pintu masuk.

Ibu Shintarou yang baru berhasil melepaskan sepatu hak tinggi yang tadi dipakainya cepat-cepat menyamakan langkah dengan Shintarou. Dua plastik putih besar berisi belanjaan ia bawa di kedua tangannya.

Ayah pasti sedang membaca koran atau menonton berita di ruang tengah sekarang, pikir Shintarou. Anak berumur tiga tahun tersebut benar-benar tak sabar ingin segera bertemu ayahnya dan saling bertukar cerita dengannya.

Ayah Shintarou seorang dokter ternama. Jadi tentu saja ia tak punya banyak waktu untuk dihabiskan bersama putra semata wayangnya. Meski akhir-akhir ini Shintarou merasa ada yang aneh dengan sikap kedua orangtuanya.

Mereka sering terdengar membicarakan sesuatu saat mereka mengira Shintarou sedang tak ada di sana. Sesuatu tentang 'dokter' dan 'mal praktek' dan lain sebagainya yang tak dimengerti Shintarou yang baru berusia tiga tahun.

Kaki kecil Shintarou yang berbalutkan kaus kaki putih selutut itu terhenti begitu ia sampai di ruang tengah rumahnya yang hanya disinari cahaya yang menyusup dari luar. Tanpa ia sadari ia sudah menahan napasnya.

Tidak. Ia tidak berhenti karena matanya belum terbiasa dengan absennya cahaya. Tapi ia berhenti karena melihat sosok seorang pria berjubah putih yang lehernya terhubung ke langit-langit melalui seutas tali.

Sesosok pria berkacamata dengan rambut hijau yang identik dengan rambut Shintarou.

Semuanya menjadi kabur di mata Shintarou dan semua suara seakan ditahan sehingga tak masuk ke telinganya. Ia terlalu shock untuk bisa menyadari kalau ibunya telah berteriak dan kini bahkan telah hilang akal ketika melihat jasad ayahnya tergantung di ruang tengah.

Setelah itu semuanya terasa samar-samar. Shintarou tak benar-benar ingat apa yang terjadi. Yang ia ingat adalah ibunya membawa sesuatu di kedua tangannya ke ruang tengah beserta sebuah ember, kemudian setelah menuang benda di tangannya ke dalam ember, ibunya terjatuh. Tak berapa lama setelah itu, beberapa orang yang berpakaian seperti tim medis merangsek masuk ke dalam rumahnya dan membawanya ke rumah sakit.

Shintarou membuka matanya keesokan harinya untuk menemukan langit-langit putih di atasnya dan ingatan yang samar-samar atas kejadian semalam.

"Kau Midorima Shintarou, benar? Putra dari dokter Midorima?"

Shintarou menolehkan kepalanya dan menangkap sesosok pria berambut hitam dengan mata heterokrom tengah menatapnya dari sisi ranjang tempatnya kini berbaring.

Shintarou mengangguk lemah.

"Paman benar-benar menyesal mengatakan ini padamu, tapi kedua orang tuamu meninggal semalam karena satu-dua hal yang tak perlu kau ketahui sekarang," jeda sejenak. Pria itu menarik napas dalam dan terus menatap mata Shintarou dengan tatapan tenang tapi di saat bersamaan tatapannya seolah meneriakkan seruan untuk mematuhinya, "tapi jangan khawatir, mulai hari ini Paman mengangkatmu menjadi putra Paman. Karena ayahmu adalah teman baik Paman..."

Shintarou yang masih belia tak begitu mengerti. Satu yang ia tahu adalah orang tuanya sudah pergi dan tak akan kembali jadi sekarang ia akan diurus oleh pria bernama Akashi Seijiro. Jadi ia menurut saja ketika Paman –maksudnya 'Ayah'nya—mengajaknya pulang ke rumah barunya.

Dan satu lagi yang ia mengerti, menurut cerita Ayah barunya di perjalanan menuju ke rumah, adalah ia akan punya 'kakak'.


Tiga tahun kemudian.


Hanya warna merah dan oranye yang terpantul di mata Murasakibara Atsushi ketika televisi di rumahnya menyela acara kesayangnnya –acara masak-memasak—untuk menayangkan sebuah acara yang menurut Atsushi –yang kala itu baru berusia lima tahun—kalah menarik dibandingkan demo masak; breaking news.

"Sebuah toko kue habis dilalap api siang ini. Penyebab kebakaran diduga adalah akibat kecerobohan manusia. Terdapat dua korban dalam peristiwa kali ini. Korban tersebut bernama—"

Telinga Atsushi tak lagi benar-benar berfungsi. Yang ia tahu sekarang ini adalah telah terjadi kebakaran dan yang terbakar adalah toko kue milik keluarganya. Atsushi memang tak sepintar anak seumurannya hingga ia tak bisa hapal alamat toko kue keluarganya sendiri. Tapi Atsushi dapat melihat jelas papan nama toko kuenya yang dilalap si jago merah di siaran berita di hadapannya.

Entah sejak kapan Atsushi telah berhenti mengunyah keripik kentang yang bungkusnya kini duduk manis di pangkuannya. Alis Atsushi berkerut. Bibirnya bergetar hebat. Pertama kali dalam hidupnya ia bingung harus merasa seperti apa sekarang ini.

Ayah dan ibu sudah tidak ada...

Ia ingin menangis tapi di saat yang sama ia bingung, takut, dan marah. Bagaimana bisa orang tuanya berbohong padanya dengan mengatakan akan pergi selama satu jam saja? Nyatanya mereka tak akan pernah kembali...

Bagaimana bisa orang tuanya meniggalkannya sendirian di rumah...

Dua hari setelah toko kuenya dibumihanguskan api beserta dengan kedua orang tuanya, ada seorang wanita datang ke rumahnya, mengatakan kalau ia adalah petugas dari pemerintahan yang akan menjemputnya dan mengantarnya ke panti asuhan.

Belum satu hari di panti, Atsushi sudah tidak menyukainya. Tempat itu penuh dengan anak-anak. Dari yang lebih tua hingga yang lebih muda dari Atsushi sendiri. Tapi bukan itu yang membuatnya tidak menyukai panti asuhan.

Itu adalah karena ia harus berbagi segalanya dengan semua anak. Mulai dari mainan, ibu pemilik panti yang baik, dan yang terpenting; makanan. Anak-anak kecil di panti asuhan itu juga berisik dan suka sekali mengganggu Atsushi dengan pertanyaan-pertanyaan tidak penting seperti "Kenapa tubuhmu begitu tinggi?"

Ah, dan anak-anak yang lebih tua di panti asuhan tidak kalah menyebalkan. Mereka sering menjahili dan meledek Atsushi karena tinggi Atsushi yang tak seperti anak-anak seusianya. Bahkan terkadang mereka menjadikan tubuh Atsushi sebagai tiang untuk dipanjat.

Tapi Atsushi tak itu tak harus berlama-lama mengalami hal tersebut, karena setelah dua hari berada di panti, tiba-tiba saja ia dipanggil oleh salah seorang ibu yang mengurus anak-anak di panti.

"Ada seorang pria yang ingin bertemu dengan Atsushi. Bersikap baiklah dengannya." Begitulah katanya sembari merapikan baju yang dipakai Atsushi dan membersihkan remah-remah roti yang menempel di wajah anak lelaki berambut ungu tersebut.

Di tengah ruangan sempit di mana hanya terdapat tiga kursi yang berhadapan –satu kursi di satu sisi dan dua kursi di sisi lainnya—dan dibatasi meja kayu kecil, telah duduk seorang pria berambut hitam dengan tatapan tajam, penuh kuasa tapi di saat yang bersamaan juga lembut.

Ia memperkenalkan dirinya. Namanya Akashi Seijiro dan ia mengaku akan mengadopsi Atsushi jika Atsushi setuju.

Tentu saja Atsushi tanpa pikir panjang segera mengiyakan penawaran pria tersebut.

Selama ia bisa keluar dari tempat menyebalkan ini...


Tiga tahun kemudian


"Kenapa Aominecchi selalu bisa menang melawanku? Padahal aku lebih tua-ssu..." kata Kise Ryouta sambil mengerucutkan bibirnya. Ia masih tak bisa menerima hasil pertandingan one-on-one mereka di lapangan basket di taman.

Di sebelahnya berdiri Aomine Daiki, anak lelaki berusia lima tahun yang tengah memantulkan bola basket di tangannya sembari terus berjalan.

"Itu karena kau memang payah, Kise." Aomine tersenyum lebar disusul dengan tawanya yang pecah ketika melihat anak yang setahun lebih tua di sampingnya itu semakin mengerutkan otot-otot wajahnya dalam bentuk cemberut.

Ryouta mendesis tapi tak menjawab kata-kata Daiki. Ia justru mengacak-acak rambut raven anak lelaki di sampingnya sambil ikut tersenyum lebar. "Kau ini menyebalkan-ssu."

"Hei, hentikan itu!"

Mengacuhkan protes Daiki, Ryouta tetap mengacak-acak rambut anak TK tersebut sebelum akhirnya berkata, "Kalau dalam hal ini aku tak akan kalah!"

Dan Ryouta melesat cepat meninggalkan Daiki yang terdiam melihatnya tiba-tiba berlari kencang meninggalkan dirinya. Setelah beberapa detik hanya melihat punggung Ryouta yang kian menjauh, Daiki memeluk bola basket yang dibawanya dengan satu tangan kemudian ikut berlari secepat mungkin menyusul Ryouta.

"Tunggu aku! Kau curaaaang!"

Ryouta tertawa lepas mendengar teriakan Daiki di belakangnya. Ia bahkan masih tertawa lepas ketika ia berpisah dengan Daiki di depan rumah dan memutar kenop pintu yang anehnya tak terkunci.

"Aku pulaaaang-ssu!" seru Ryouta dengan cukup keras sembari melepas sepatunya dan menendangnya ke sembarang arah sebelum melompat-lompat menyusuri lorong rumahnya.

Satu pun keanehan di rumahnya tak ada yang ia sadari. Mulai dari pintu depan yang tak terkunci –padahal orang tuanya selalu menekankan untuk mengunci pintu setiap saat—dan keadaan rumah yang terlalu sepi.

Tak biasanya Ibu tak menyambutku pulang, pikir Ryouta. Sebelah alisnya yang sewarna dengan rambutnya –pirang—terangkat. Kaki-kaki kecilnya membawanya berkeliling rumah selagi mulutnya terus berusaha memanggil ibunya, "Ibuuu?"

Kaki kecil Ryouta membawanya menuju ke dapur. Tempat di mana ibunya biasa berada pada jam-jam sekarang ini.

"Ibu?" panggil Ryouta sembari menjulurkan lehernya ke dapur.

Ryouta memang menemukan ibunya. Tapi bukannya senyum hangat dan suara lembut ibunya yang menyambut kepulangannya hari ini, justru sosok ibunya yang tergeletak di lantai berlumuran darah lah yang menyambutnya.

Tak jauh dari sosok ibunya terdapat sosok lainnya yang berpakaian serba hitam. Mulai dari kaus kaki hingga kaus yang dipakainya hitam. Bahkan topeng ski yang dipakainya untuk menutupi wajahnya pun berwarna hitam.

Mata sosok itu melebar begitu matanya menangkap sosok Ryouta. Sesuatu di tangan sosok –yang diyakini Ryouta adalah pelaku kekacauan ini—terdapat benda yang memantulkan cahaya matahari dari jendela ke mata hazel Ryouta; pisau.

Sadar aksinya dilihat oleh orang lain, sosok serba hitam itu panik, menjatuhkan pisau di tangannya, membanting pintu yang menghubungkan dapur dengan halaman samping dan menghilang begitu saja. Sepertinya ia melompati pagar menuju rumah Daiki di sebelah.

Napas Ryouta memburu. Kepalanya serasa berputar. Ia benar-benar linglung. Apa yang harus ia lakukan?

Ibu terkapar... beritahu Ayah... Ambulans, aku harus menelepon ambulans! Tapi Ibu... Ah, bagaimana dengan Aominecchi? Orang tadi pergi ke rumah Aominecchi... Apa yang harus kulakukan?!

Pikirannya berkecamuk bagai badai di tengah laut. Pada akhirnya ia hanya terduduk lemas di pintu dapur dan menangis meratapi ibunya yang sudah melayang ke dunia lain.

Keesokan harinya rumahnya dan rumah Daiki ramai dikunjungi kerabat dan kenalan orang tua mereka. Mereka semua memakai pakaian hitam dan semuanya terlihat sedih. Terlihat bersimpati. Semua orang yang datang terus memeluk Ryouta dan berkata "Ryouta harus kuat". Hal yang sama juga mereka lakukan pada ayahnya.

Ketika semua orang sudah pulang, ayah Ryouta menggandeng tangannya dan sambil tersenyum sedih berkata, "Mari kita ke rumah Daiki dan memberikan penghormatan terakhir pada mereka. Kedua orang tua Daiki juga meninggal."

Ayahnya menceritakan semuanya. Semua yang terjadi dengan orang tua Daiki.

Orang yang kemarin dilihat Ryouta ternyata adalah perampok. Orang itu berusaha menggasak rumah mereka namun ia salah masuk ruangan dan justru memasuki dapur. Ketika ia akan keluar, ibu Ryouta datang. Perampok itu panik, langsung mengambil pisau dapur di dekatnya, dan menusuk ibu Ryouta.

Setelah Ryouta pulang dan sekali lagi aksinya terlihat oleh orang lain, ia kembali panik. Refleks, ia menjatuhkan pisau di tangannya dan kabur ke rumah sebelah, rumah Daiki. Dan yang terjadi setelah kurang lebih sama. Hanya saja di rumah Daiki jatuh dua orang korban.

Ayah Ryouta mengadopsi Daiki dan membiarkannya tinggal di rumah mereka. Mereka hidup dengan cukup bahagia dan peristiwa mengenaskan waktu itu telah hampir terlupakan sepenuhnya dari benak Ryouta dan Daiki.

Hingga suatu hari, dua bulan setelah peristiwa mengenaskan itu terjadi, Ryouta mengajak Daiki pergi ke bandara menjemput ayah mereka yang akan segera selesai jam kerjanya. Ayah Ryouta berprofesi sebagai seorang pilot yang bekerja dengan cakupan nasional. Jadi suudah merupakan kebiasaan bagi Ryouta untuk bolak-balik dari rumah ke bandara untuk menjemput ayahnya ketika sore menjelang.

Tapi sejujurnya, Daiki memiliki firasat buruk hari itu. Anak lelaki itu berusaha untuk mengacuhkan firasat tersebut dan terus berjalan bergandengan tangan dengan Ryouta menuju jendela kaca besar yang menampakkan landasan pacu pesawat.

"Itu dia! Pesawat Ayah! Lihat, Daikicchi!" seru Ryouta dengan cukup keras sambil menunjuk-nunjuk ke arah sebuah pesawat yang tengah bersiap mendarat.

Daiki mengusap telinganya yang agak berdenging karena suara Ryouta yang terlalu keras. "Kau berisik, Ryouta. Iya, aku tahu."

Ryouta tertawa dan melihat wajah cerah Ryouta saat itu membuat Daiki jadi tak tega mengatakan pada Ryouta kalau ia merasakan firasat buruk dan mungkin mereka sebaiknya pergi dari sana. Diam menjadi keputusan Daiki saat itu.

Tepat saat Daiki kembali memfokuskan pandangannya ke pesawat yang tadi ditunjuk Ryouta, Ryouta kembali berkicau.

"Ini aneh-ssu..."

"Apanya?" tanya Daiki tanpa menoleh ke arah kakak angkatnya.

"Roda pesawatnya..." Ryouta mendekatkan wajahnya pada jendela kaca di depannya hingga ujung hidungnya menempel di kaca. Kedua matanya membelalak lebar, "roda pesawatnya belum dikeluarkan! Padahal jarak pesawat dengan tanah sudah—"

Sebelum Ryouta sempat menjelaskan hingga akhir, bagian lambung pesawat sudah bergesekan dengan aspal landasan pacu. Percik-percik api dapat terlihat di bagian di mana pesawat dan aspal bergesekan.

Daiki terkejut. Tanpa sadar ia menempelkan tangannya di kaca di hadapannya dan wajahnya mendekat.

Dan suara ledakan pun terdengar.

Daiki berpikir, seharusnya ia memberitahu Ryouta mengenai firasatnya dan mengajaknya segera menjauh dari sana agar kakak angkatnya itu tak harus menyaksikan kecelakaan tragis pesawat yang memuat ayah mereka di dalamnya.

Daiki sama sekali tak berpikir kalau ia akan menghadiri upacara pemakaman dua kali berturut-turut dalam dua bulan. Ralat, ia sama sekali tak berpikir kalau mereka akan mengalami hal tersebut dalam dua bulan.

Lagi-lagi mereka harus berpakaian serba hitam, dikelilingi orang-orang berpakaian serba hitam pula dengan berbagai ucapan dan pelukan turut berduka dihujankan pada mereka. Sebuah kotak kayu hitam yang di sekitarnya dihiasi bunga serta foto seorang anggota keluarga mereka kembali menghiasi rumah.

Tapi kali ini ada yang berbeda.

Setelah upacara pemakaman kali ini, ada seorang paman paruh baya berambut hitam dengan iris yang berbeda warna yang tetap tinggal di rumah mereka bahkan saat yang lainnya sudah mohon izin untuk pulang.

"Nama Paman Akashi Seijiro. Mulai hari ini kalian adalah anak angkat Paman."

Itulah yang dikatakan paman itu sebelum ia membawa mereka berdua pergi ke sebuah rumah besar dan memperkenalkan mereka pada seorang anak berambut merah yang identik auranya dengan paman meski usianya baru dua belas tahun. Anak itu bagaikan paman versi lebih muda.

Paman itu berkata, anak berambut merah itu adalah kakak mereka mulai hari ini.


Dua tahun kemudian


Akashi Seijuurou, kala itu berusia empat belas tahun, dengan langkah berderap menyusuri koridor rumah sakit yang tak terlalu ramai pengunjung. Matanya memindai sekitar. Mencari ruangan dengan pelat 311 menempel di pintunya.

Ruangan di mana ayahnya dirawat setelah mengalami kecelakaan parah.

Seijuurou menelan ludah. Di luar ia mungkin terlihat sangat tenang. Tapi pada kenyataannya ia hampir tak bisa berpikir lurus sejak ada telepon dari pihak kepolisian yang mengabarkan telah terjadi kecelakaan dan ayahnya menjadi salah seorang korban.

Ia bahkan sempat hampir langsung berlari meninggalkan rumah dan hampir membanting gagang telepon ke tempatnya semula jika saja Shintarou tidak di sana dan mengingatkannya untuk menjaga kepalanya agar tetap dingin dan meletakkan tas sekolahnya dulu di kamar.

Ayah...

Setelah menitipkan pesan kepada Shintarou –adiknya yang paling tua; yang berumur sebelas tahun—untuk menjaga rumah dan menjaga ketiga adiknya yang lain, Seijuurou segera memanggil salah seorang supir pribadi keluarga Akashi dan pergi begitu saja. Pakaian sekolah bahkan masih melekat di tubuhnya. Lengkap dengan dasi dan ikat pinggangnya.

Seijuurou sama sekali tak mengira kalau ia justru akan bergegas menuju ke rumah sakit dan bukannya dipertemukan dengan –lagi-lagi—anggota keluarga baru yang ayahnya bilang akan ia bawa ke rumah hari ini.

Mata merah Seijuurou bergerak liar ke segala arah. Setelah sekitar sepuluh menit mencari, akhirnya ia menemukan ruangan tempat ayahnya ditangani. Mengacuhkan nasihat Shintarou padanya tadi, Seijuurou masuk dengan –bisa dibilang—membanting terbuka pintu di hadapannya.

Akashi Seijiro menoleh ke arah pintu dan terkejut ketika melihat anak kandungnya telah berdiri di sana dengan tampang berantakan. Melenceng jauh dari yang selama ini selalu ia tekankan pada pewaris sah keluarga Akashi tersebut.

"Seijuurou..." panggil ayahnya lirih. Kepalanya dililit perban berbercak merah dan oranye dan beberapa bagian tubuhnya yang terlihat –pergelangan tangan dan semacamnya—juga dibalut perban. Dari luar lukanya tak terlihat begitu parah.

"Ayah..." Seijuurou mengatur napasnya yang agak memburu setelah berderap menyusuri lorong rumah sakit dari area parkir. Seijuurou menarik kursi dan mendudukkan dirinya di samping tempat tidur sang ayah.

Apa perasaannya saja atau memang mata ayahnya terlihat berair?

"Seijuurou, maafkan Ayah... Ayah benar-benar—"

Mengejutkan bagi Seijuurou, ayahnya yang selama ini selalu bersikap dingin dan tak pernah menunjukkan kelemahan apa pun padanya kini secara terang-terangan menangis. Tersedu-sedu malah.

Sebelah tangan ayahnya terangkat, mencoba untuk menyentuh pipi Seijuurou tapi ia tak kuasa mengangkatnya. Mengerti maksud ayahnya, kedua tangan Seijuurou segera menyambut tangan ayahnya yang mulai berkerut dan menyentuhkannya dengan pipinya yang masih terasa hangat setelah berlari.

Seijuurou menutup matanya, menikmati saat-saat yang sangat jarang terjadi ini, dan berkata, "Kenapa minta maaf? Ayah tidak salah apa-apa padaku."

"Maaf, Ayah tidak pernah punya waktu untukmu. Ayah tak pernah memanjakanmu, bahkan untuk sekadar memujimu saat dapat nilai sempurna di sekolah. Padahal Ayah satu-satunya orang tuamu setelah Ibumu meninggal ketika melahirkanmu... Ayah sungguh—" Ayahnya memejamkan mata dan terus menangis. Menyesali semua yang telah dilakukannya di masa lalu.

Seijuurou mengakui kalau ayahnya memang bukan ayah terbaik di dunia. Tapi harus ia akui dirinya yang sekarang, yang pintar di segala bidang baik akademis mau pun non-akademis, yang memiliki perilaku dan sopan santun yang sama sekali tak tercela, dan baik serta berbakat memimpin, semua itu bisa terbentuk berkat ayahnya.

Seijuurou menekankan pipinya ke telapak tangan ayahnya. "Tak apa. Aku yang sekarang ini ada berkat Ayah. Lagi pula Ayah selalu bisa memperbaiki itu nan—"

"Tidak bisa!" ayahnya menggenggam erat-erat seprai yang membalut tubuhnya. "Luka Ayah terlalu parah. Tulang rusuk Ayah patah dan itu banyak memengaruhi paru-paru Ayah yang dokter bilang—intinya, Ayah bisa bicara sekarang denganmu saja sudah keajaiban—"

Seijuurou tak bisa menyangkal kalau sebenarnya sejak ia menerima telepon di rumah, ia sudah merasa kalau inilah yang 'terakhir'. Tapi ia tetap diam dan membiarkan Ayahnya terus berbicara.

"Seijuurou?"

"Ya?" Seijuurou membuka matanya dan menatap ayahnya lurus-lurus.

Ayahnya terdiam, sedang mencoba menghentikan luapan perasaannya. "Ayah minta maaf. Tapi Ayah berjanji ini yang terakhir. Ayah mohon, jagalah adik-adikmu dengan baik. Meski mereka bukan adik kandungmu. Termasuk adikmu yang paling muda; yang rencananya akan Ayah perkenalkan pada kalian di rumah hari ini."

Mulut Ayahnya membuka dan menutup. Napasnya tersengal. Seakan saluran pernapasannya tengah dijepit sesuatu hingga oksigen saja susah melaluinya. Bagai ikan dibawa ke daratan. Seperti itulah nampaknya Akashi Seijiro kini.

Tangan Ayahnya mulai terasa dingin. Seijuurou tahu inilah saatnya.

"Tentu, Ayah. Tentu," Seijuurou memiliki firasat kalau ayahnya sudah tak kuat lagi bicara. Mungkin luka dalamnya semakin parah akibat banyaknya jumlah kata yang ia lontarkan tadi pada Seijuurou. Jadi ketika ayahnya melemparkan pandangan penuh rasa bersalah padanya ia berkata, "Aku seorang Akashi, Ayah. Ayah tak perlu khawatir. Istirahat saja dengan tenang..."

Sebutir air mata mengalir dari sisi mata berbeda warna ayahnya hingga akhirnya perlahan tapi pasti kedua mata tersebut tertutup sempurna. Tangan yang Seijuurou tempelkan di pipinya berubah lemas dan dingin, sedingin es.

Seijuurou tak mengatakan apa pun setelahnya. Tidak juga sepatah-dua patah kata selamat tinggal. Ia hanya memanggil dokter dan setelah bertukar beberapa kata dengan sang dokter ia pergi meninggalkan ruangan tersebut menuju ke ruangan rumah sakit yang lain untuk menjemput 'adik baru'nya.

Ia berjalan membelah lorong rumah sakit dengan kontrol diri yang sempurna. Kontras dengan dirinya saat baru datang ke rumah sakit.

Akashi Seijuurou tidak boleh menangis. Ralat, tidak bisa menangis. Tidak di saat seperti ini; di saat keempat , tidak, kelima orang adiknya membutuhkan dirinya sebagai sandaran di saat-saat kehilangan anggota keluarga penting seperti ini.

Dengan langkah pasti, Seijuurou menjejaki lantai rumah sakit menuju kamar di mana adik barunya berada.


Haloooo ketemu lagi dengan saya! Dee-chan desu! Yang pernah baca fic pertamaku di fandom ini pasti kenal aku, hehe

btw, ini fic yang menceritakan tentang kehidupan Akashi yang harus ngambil berbagai peran demi adik-adiknya sekaligus padahal dia baru empat belas tahun, remaja yang emosinya masih labil dan baru kehilangan ayahnya. Daaaan, di usianya yang masih muda dan pengalaman yang belom banyak, Akashi juga harus ngadepin berbagai masalah yang berhubungan sama adiknya! XD

Ini baru prolognya jadi masalahnya baru bakal muncul chapter depan! Mohon tunggu dengan sabar! Mungkin fic ini bakal update seminggu sekali. Tergantung aku sibuk atau nggak hehe

Review di fic aku yang KA bakal aku balas seccepatnya! Gomen ne baru bisa mulai bales sekarang.

Review please?