Disclaimer : Yu-Gi-Oh! Is never be mine

Rated : T

Genre : Angst/Romance

Warning : Shounen-ai , misstypo(s), AU, etc


Muto Yugi, itulah namaku, nama seorang pemuda berumur 14 tahun yang sedang menikmati jenjang pendidikan sekolah menengah pertama. Aku terkesan biasa-biasa saja di sekolahku ini, tidak terlalu menonjol. Bahkan mungkin terkesan terlupakan.

Aku adalah orang yang pasif dan sebenarnya anti sosial, bukan karena aku tidak bisa menonjolkan diri atau aku tak punya skill. Tapi memang aku yang tak ingin menonjolkan diriku, buat apa menonjolkan diri kalau akhirnya aku harus merasa selalu dibebani dengan tanggung jawab yang terlalu berlebihan? Lebih baik tidak.. jadi aku bisa bebas, melakukan yang aku mau tanpa mempengaruhi dan membuat orang lain merasa terganggu..

Tapi seiring waktu berjalan aku mulai agak gerah dengan kepasifaan-ku, agaknya bukan karena aku merasa dilupakan. Tapi karena dia…

"Bagus Atemu-san, kau bisa kembali ke tempatmu."

Suara melengking guru wanita itu membuatku mengganti objek pandangku kali ini. Bukan karena suara guru itu cempreng dan membuat telingaku pengang, tapi karena guru itu menyebut namanya..

"Baik sensei." Suara baritonenya yang terdengar tenang dan tajam itu membuat dadaku bergemuruh. Sungguh aku selalu terlena dan kaku di tempat saat mendengar suara itu. Suara yang tak pernah terdengar bergetar ataupun ragu.

"Nah, bagimana anak-anak. Apakah jawaban Atemu-san benar?" Tanya guru wanita itu pada siswa yang lain. Aku tak menjawab, membiarkan mulutku terkatup rapat. Hanya menganggukan kepalaku...

Kulihat siswa lainnya juga mengangguk dan beberapa mengumandangkan kata "iya", menandakan jawaban yang telah ditorehkan olehnya di white board kelasku benar. Membuat dia mendapat applauses dari siswa-siswi lain di kelas ini. Tapi itu tidak berlaku untukku, aku hanya menatapnya dalam diam sembari memberikan tatapan yang tak terbaca maknanya.

"Kerjamu bagus Atemu-san." Guru itu kembali berujar dan memberikan sebuah senyum di wajahnya, aku tersenyum sinis mendengar guru itu kembali memanggil namanya.

'Atem, bukan Atemu.' Ralatku dalam hati, kembali kulirik dirinya yang tampak sedang mematri sebuah senyum pada wajahnya yang setara dewa. Presepsi yang berlebihan mungkin, tapi begitulah aku menganggapnya.

Sekarang adalah jam pelajaran matematika, kemarin sensei menyuruh kami untuk mengerjakan tugas dari task book hal 23. Cuma 10 soal dan sebenarnya mudah saja bagiku untuk mengerjakannya. Aku memeriksa jawaban soal yang telah kubuat di atas buku PR-ku. Tinggal 2 soal lagi di periksa dan aku akan dapatkan nilai sempurna.

Kuperhatikan seisi kelas dengan perasaan bosan, sensei memberi jeda agar siswa yang salah bisa memperbaiki jawabnnya. Aku sendiri memanfaatkan waktu jeda itu untuk memandangnya, sesat. Yah hanya sesaat..

Dia Atem Yami, seorang pemuda tampan dan pintar yang sudah menjadi teman sekelasku sejak pertama kali aku menginjakkan kakiku untuk melanjutkan tingkat pendidikanku di sekolah menegah pertama ini.

Ayahnya adalah seorang terkemuka dari Mesir, ibunya sendiri adalah seorang lady berdarah jepang murni. Sedikit sebenarnya yang tahu hal itu, dan aku adalah orang yang masuk dalam sedikit itu.

Walaupun namanya Atem, tetap saja teman-teman dan para guru memanggilnya dengan "Atemu" pengang telingaku ketika namanya diucapkan seperti itu. Yah aku mengerti kalau orang jepang tak bisa mengucapkan suatu nama dengan huruf mati pada akhirannya dengan baik. Tapi kenapa aku bisa? Bukan sombong tapi aku bisa berbahas inggris dengan lancar, jadi menyebut namanya seperti aslinya, mudah saja bagiku.

Atem Yami..

Bagiku dia adalah dewa, dewa yang kupuja dengan seluruh hidupku, dewa yang selalu aku agungkan, dewa yang selalu kuingat dalam setiap rajutan memori kehidupanku. Aku mengaguminya, mengaguminya lebih dari apapun. Memujanya seakan ialah yang memberikan aku kehidupan ini, memujanya seakan derajatnya lebih tinggi dari Tuhan. Yah itupun kalau aku percaya pada Tuhan, pada dasarnya aku seorang atheis, hal biasa dalam kehidupan masyarakat Jepang. Bagi rata-rata masyarakat Jepang, agama itu seperti budaya, agama adalah budaya.. jadi sebenarnya kebanyakan orang jepang adalah atheis 'kan.

Atem Yami…

Sosoknya adalah candu bagiku, keberadaannya adalah surga bagiku. Suaranya adalah simfoni termerdu yang pernah kudengar. Namanya adalah kata terindah yang pernah ada di muka bumi ini.

Tapi.. tak sekalipun aku bisa menggapai dirinya, aku terlalu munafik untuk mengakui perasaan ini. Terlalu munafik untuk menerima kenyataan yang ada. Aku bilang mengaguminya, aku bilang memujanya, tapi dibalik semua itu? aku mengharapkannya. Mengharapkannya menjadi milikku, mengharapkannya selalu ada di sebelahku, mengharpkannya selalu merasakan keeksistensianku.

Aku mencintainya..

Dan aku salah telah merasakan perasaaan itu, karena perasaanku padanya terlarang. Perasaanku padanya adalah tabu. Perasaanku padanya adalah sebuah perasaan yang seharusnya kubuang jauh-jauh sejak dulu.

Tapi semua terlambat, perasaan itu semakin lama semakin mengakar dalam pada kalbuku. Terlalu dalam sampai aku tak kuat, tak sanggup untuk mencabut dan membunuhnya.

Sekarang aku hanya bisa menyesali apa yang terjadi, terus berharap agar semua ini adalah mimpi belaka, mimipi yang akan sirna ketika aku bangun nanti. Tapi ini adalah kenyataan, sebuah kenyataan yang akan menjadi sejarah hidupku…

Aku merana, merana dalam kesendirianku, menghina diriku sendiri akan apa yang telah terjadi. Kenapa bisa dia? Kenapa harus dia? Dan kenapa harus laki-laki?

Tapi semua telah terjadi dan aku terlalu mencintainya.. terlalu mencintainya sampai rasanya begitu sesak dalam dadaku. Aku tak sanggup merasakan sesak ini, tapi aku tak mau mengeluarkannya. Aku tak mau dia jauh dariku karena tahu kenyataan yang sesungguhnya. Aku tak mau itu terjadi, dan aku tak akan pernah membuat itu terjadi.

Dia adalah candu bagiku, menatapnya adalah sebuah kebutuhan untukku. Mendengar suaranya adalah sebuah keajaiban dalam hidupku. Merasakan sentuhannya adalah sesuatu yang mampu membuatku terbang ke langit ke-7.

Yami..

Namanya adalah sebuah mantra yang mengantarku dalam mimpi indah tiada akhir, sungguh aku memujanya, mengaguminya… mencintainya.

Dan sampai sekarang hanya aku, hanya diriku dan tak ada orang lain yang tahu soal hal ini. Soal perasaanku padanya yang terlampau begitu dalam. Hanya aku..

Semua yang melekat pada dirinya adalah suatu hal yang selalu akan terekam dan tersimpan rapi dalam memori otakku. Nada suaranya, warna matanya, bentuk wajahnya, derap langkahnya, bentuk tubuhnya, gaya bicaranya, cara pikirnya, warna kesukaannya, semua tentang dirinya.

Aku dan dia sama halnya dengan bumi dan langit, aku adalah bumi dan dia adalah langit. Aku tak akan pernah bisa mengapainya, tak akan pernah karena ia selalu satu langkah berada di atasku. Cukup dengan bisa melihatnya adalah suatu anugrah tersendiri dalam hidupku.

Setiap hari, setiap saat, setiap aku bisa, aku akan berusah melihatnya, menangkap sosoknya dalam otakku. Membiarkan gemuruh rasa itu semakin menyesakkan, tapi itu bukan masalah bagiku, separah apapun sesaknya. Separah apapun aku harus merasakan sakit karena dia bersama perempuan lain… itu tak akan pernah menjadi masalah bagiku. Asal aku bisa melihatnya, memandangnya, merasakan keberadaannya, merasakan eksistensinya. Aku rela, rela walaupun bayaran yang harus kukeluarkan begitu menyakitkan, menyedihkan, membuatku merana, atau apapun itu. Asal aku bisa melihatnya..

"Baiklah anak-anak, kalian bisa pulang sekarang."

Sensei itu berujar cukup keras, membuat wajah bahagia terpasang pada beberapa siswa. Aku hanya tersenyum tipis melihat hal itu. Aku kembali memandangnya, tak ada ekspresi apapun dalam parasnya yang tampan. Tak satupun..

Setelah bel pulang berbunyi para siswa segera berhamburan keluar dari kelas, tak terkecuali dia. Kulihat dia pulang bersama beberapa temannya dan itu membuat aku iri. Andai saja aku bisa menjadi teman dekatnya..

Miris sekali pikiranku, tentu tidak mungkin. Tak mungkin aku yang pasif ini bisa menjadi teman dekatnya.

Aku mulai melangkahkan kakiku keluar kelas setelah sekolah cukup sepi. Aku sudah bilangkan kalau aku anti sosial?

Aku tidak pernah ingat sejak kapan aku mulai mempunyai rasa padanya, yang kuingat hanyalah aku sangat mengaguminya. Mengaguminya karena dialah orang yang pertama bisa membuatku tersenyum tulus tanpa paksaan, dialah orang pertama yang membuatku belajar untuk menjadi orang yang sedikit aktif dan dialah yang pertam kali mengenalkan aku dengan berbagai rasa yang mungkin ada di dunia ini.

Yami, menyebut namanya dengan mulutku membuatku jatuh dalam dilema tanpa ujung. Membuatku terancam terseret ke dalam jurang keputusasaan.

Memikirkannya membuatku tak mampu mempekerjakan otakku dengan baik. Membuat apa yang sudah kususun dalam otakku berantakkan, hancur seketika.

Aku benci dengan hidupku, sangat membencinya, kenapa aku harus hidup pada masa dimana hubungan sesama jenis ditentang? Masa dimana hubungan sesama jenis itu dianggap menjijikkan? Masa dimana kami yang menyukai sesama jenis dikucilkan dan dianggap tak normal? Oke untuk tak normal memang iya…

Kalau aku mulai berpikir tentang itu, aku merasa masa depanku sudah hancur. Hancur hanya karena sebuah perasaan terlarang yang sebenarnya tak pantas kurasakan. Hancur karena sebuah perasaann yang tak mungkin terbalas. Hancur kerena sebuah perasaan gila yang kupertahankan..

Ironis sekali hidupku.. menydihkan…

"Tadaima."

Ujarku ketika memasuki rumah bertingkat dua milik kakeku, sebuah kata yang sudah menjadi budaya untuk diucapkan ketika sampai di rumah pun keluar dari bibir mungilku. Aku masuk dan kuganti alas kakiku, kuganti dengan sandal khusu untuk di dalam. Kulihat secarik kertas yang dilipat cukup rapi ada di atas meja.

Yugi, kakek pergi dulu.

Aku akan kembali kira-kira menjelang malam, kau tak usah menungguku…

Kakek belum menyiapkan makanan, ada mie instann di dapur. Itu kalau kau mau..

Bahan-bahan di dapur ada semua, kalau kau mau kau bisa memasaknya.

Oh ya, jaga dirimu baik-baik ya? tutup pintu kalau sudah sore. Aku bawa kunci cadangan kok.

Aku mendesah panjang setelah membaca pesan itu, kalau begitu lebih baik aku langsung ke kamar saja. Aku tak berniat untuk mengisi perutku sama sekali. Terlalu malas dan tak berminat untuk melakukannya.

Aku masuk ke kamarku yang ada dilantai dua. Segara kuletakkan tasku di atas tempat tidur, mengganti seragamku dengan baju biasa. Menyalakan komputerku, komputer dengan monitor berlayar LCD. Aku ambil flash disk putih milikku dari laci. Di flash disk itu aku berikan sebuah gantungan berbentuk pyramid terbalik dengan pola yang cukup unik di atasnya. Setelah yakin menyala, aku pasangkan flash disk-ku pada bagian khusu di CPU.

Setelah yakin masuk, aku me-refresh komputer yang perangkatnya serba berwarna hitam metallic itu. komputer ku sendiri masih menggunakan windows xp. Aku buka my document , kulihat flash disk-ku sudah terdata. Ku klik nama flash disk-ku, dan setelah itu aku membuka sebuah document berjudul…

You n Me…..

Sebuah document yang menceritakan soal aku dan dia, berisi soal perasaanku padanya. Sebuah document yang sudah di password. Password document itupun menggunakan namanya..

Setelah document itu terbuka aku mulai memperhatikannya terlebih dahulu.

Page : 1 of 34

Words: 15,540

Banyak? Sedikit sekali bagiku.. karena sebanyak apapun aku mencurahkan perasaanku dalam document ini, tetap saja tak mampu menggambarkan seberapa dalamnya perasaanku padanya, seberapa besar cintaku padanya, seberap besar segala hal tentangnya yang selalu tesimpan dalam otakku. Document ini tak akan pernah bisa menampung semua hal dalam pikiranku tentangnya.

Aku letakkan kedua tanganku di atas keyboard, merenung sebentar. Mengingat apa saja yang terjadi hari ini, segala hal yang berhubungan dengan dia.

dan setelah aku dapatkan… aku mulai membiarkan jemariku menari lincah di atas keyboard itu. Membuat satuan-satuan huruf yang terbentuk berubah menjadi kata-kata. Saling menyatu dan menghasilkan satuan kalimat yang akhirnya membentuk sebuah paragrpah, dan begitu seterusnya.

Dan ketika otakku mulai kehabisan cara untuk membuat satuan kata yang dapat menunjukkan perasaanku padanya, aku berhenti. Mencoba memaksa otakku bekerja lebih kerasa, memaksa otakku untuk bisa membuat lebih banyak satuan kata yang bisa mengabadikan bagaiman dalamnya perasaanku padanya. Tapi semakin aku memaksa, semakin buntu otakku, semakin sakit kepalaku ini.

Aku menyerah..

Aku benci mengatakan itu tapi aku harus lakukan, otakku tak sanggup lagi. Terlalu banyak tentangnya yang tersimpan di otakku, terlalu banyak sampai membuat aku bingung. Terlalu banyak sampai aku menjadi blank. Terlalu banyak sampai membuat kepalaku rasanya pecah..

Aku tersiksa..

Aku memang tersiksa, terlalu tersiksa dengan perasaan ini, perasaan yang membuatku terus merasa bersalah pada orang-orang yang memberikan harap padaku.

Perasaan terlarang yang membuatku selalu dihantui ketakutan yang berlebihan..

Arghhh.. kenapa aku tidak gila saja sekalian? Kenapa? Kenapa?

Semua berantakkan, pikiranku, otakku, emosiku, apalagi? Aku terlalu tersesat dengan perasaan ini. Oh.. apa yang bisa kulakukan?

Aku ambil tas yang ada di tempat tidurku, meletakkannya di tempat yang seharusnya. Ku close document tadi, ku eject flash disk-ku kemudian meletakkannya pada tempat awalnya.

Aku lelah, aku terlalu lelah untuk berpikir lebih jauh lagi. Otakku buntu, pikiranku dan hatiku kacau. Aku butuh istirahat.. sangat membutuhkan itu sekarang.. ku baringkan tubuhku yang terbilang kecil untuk pemuda seumuranku ke atas tempat tidur. Membiarkan rasa lelah dan kantuk menguasai ragaku, membawaku dalam dunia lain yang sering di sebut dunia mimpi

_YuGiOh_

Aku berjalan, berjalan dengan ritme langkah yang teratur. Terkesan santai tanpa beban, sesekali membalas sapaan dari beberapa teman yang ku temui di koridor. Pagi yang cukup baik untuk mengawali hari ini, setidaknya sampai aku kembali melihatnya…

Aku berpapasan dengannya, dan mulutku seakan terkunci. Wajahku kaku seketika, aku hanya melewatinya tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Kulihat dia melirikku sebentar dan langsung berlalu.

Sakit…

Itu yang kurasakan sekarang, bagimana tidak kalau orang yang kau puja, orang yang kau cintai mengabikan mu begitu saja? Padahal pada orang lain tak begitu…

Sakit, sangat sakit… rasa sakit yang kian hari terus menumpuk dalam kalbuku. Asaku seakan telah pergi meninggalkan ragaku. Hatiku seakan telah beku layaknya batu. Terus terkikis oleh rasa sakit yang akan terus kurasakan sampai akhir hayatku. Rasa sakit yang tak akan pernah terobati.. rasa sakit yang tak akan pernah mendapat pembalasan.

Aku bukan apa-apa di matanya, aku bukan siapa-siapa baginya, aku bukanlah orang yang bisa mengisi rongga hatinya. Aku bukanlah orang yang bisa membuatnya bahagia, aku bukanlah orang yang setara dengannya, aku adalah orang yang tak akan pernah sanggup mengapai hatinya…..

Kupercepat ritme langkahku, rasa sakit itu kembali membuatku merasa tersiksa. Tersiksa, sangat tersiksa.. dalam labirin perasaan yang telah kubuat. Labirin yang tak pernah kusadari keberadaannya dalam hatiku, labirin yang kini menampakan wujud nyantanya dalam kesakitanku, labirin yang selalu menjeratku dalam dilema. Mengarahkanku pada jurang keputusasaan. Mengarahkanku kepada sebuah kebimbangan besar yang tak pernah ada habisnya. Mengarahkanku kepada kenyataan yang tak akan pernah kudapatkan.

Aku tak akan pernah bisa menggapainya, aku tak akan pernah bisa bersamanya, dan aku tak akan pernah medapatkan kebahagianku. Karena dia adalah kebahagianku dan aku tak bisa menggapinya….

Aku sampai, sampai di kelasku mendudukan diriku secara tergesa-gesa den langsung memenjarakan kepalaku di antara dua tanganku. Membiarkan diriku tenggelam dalam gejolak hatiku yang tengah mengamuk. Membiarkan gejolak itu menyiksaku.

Perasaanku adalah salah, semua ini salah, semua yang kurasa memang sebuah kesalahan dan aku tidak boleh larut dalam kesalahan ini. Kesalah ini harus di perbaiki, aku tidak bisa larut. Tidak bisa!

Aku selalu berkata itu pada diriku sebuah perkataan yang tak akan pernah bisa ter-realisasi, perkataan yang tak akan pernah bisa tertanama dalam hatiku. Pernyataan yang tak akan pernah bisa jadi pedomanku..

Aku sudah terlalu terjerat, terjerat pada segala hal dalam dirinya, terjerat akan lingkaran kesalahan yang tak memungkinkan aku keluar dari sana. Aku tidak bisa memperbaiki kesalahan yang kubuat….

"Kau baik-baik saja?" sebuah pertanyaan yang terdengar lembut memasuki indra pendengaranku, membuatku mengangkat kepalaku menatapnya. Dan sepasang amthesyt milikku bertatapan denga blue diamond miliknya.

Anzu..

Gadis ini, aku tersenyum miris dalam hatiku. Gadis yang pernah dirumorkan menjadi kekasihnya, selalu saja ada rasa sakit yang begitu menusuk waktu aku melihatnya. Aku akui, Anzu memang cantik.. bentuk tubuhnya terbilang proposional untuk gadis seumurannya. Matanya seperti batu permata safir yang berkilau indah, otaknya pun terbilang encer. Terbukti dengan beberapa penghargaan yang telah dikantonginya.

Aku anggukan kepalaku untuk menjawab pertanyaannya. Sebuah bahas tubuh simpel yang biasa kugunakan. Bisa kau tinggalkan aku sendiri di sini Anzu? Atau bisa kau cari kegiatan lain selain mendekatiku?

"Oh… baiklah kalau begitu. Hanya saja wajahmu tampak kusut.."

Dia kembali menjawabnya, memberikan sebuah senyuman padaku. Dan kubalas senyuman itu, kubiarkan saja saat bibirku membuat sebuah tarikan kecil.

"Hahaha masa? Mungkin karena kurang tidur.."

Aku mulai menjawab dengan kedustaanku, sebuah dusta yang tersembunyi dengan baik dalam tabir kebenaran. Gadis itu kembali mengangguk dan tersenyum, tapi kali ini senyumnya segara luntur akibat panggilan atau lebih tepatnya teriakan seseorang…

"ANZU, aku ambil bukumu ya?"

Suara itu, suaranya.. suara yang hanya dimiliki olehnya, simfoni indah yang paling kusukai. Aku dan Anzu menengok ke arahnya secara bersamaan. Dia telah berdiri tegak tak jauh dari mejaku, sebuah senyum yang terkesan meremehkan terukir dalam wajahnya.

Aku mendengarnya, gadis bermata blue diamond menggeram tak suka. Membuatku ingin memplester mulut gadis itu sekarang juga.

"ATEMU, KEMBALIKAN BUKU ITU KETEMPAT ASALNYA ATAU AKAN KUKIRIM KAU KE RUMAH PEGASUSU SENSEI." Ancam gadis itu, tapi dia tetap diam sorot matanya seakan makin menantang. Anzu mulai berjalan ketempatnya dan mereka pun mulai melakukan ritual mereka.

Aku menghela nafas pelan, mereka berdua sudah tak tampak lagi sosoknya di kelas ini. Andai aku bisa menjadi musuhnya, bisa dekat dengannya walau harus terus beradu kata sinis, ejekan dan makian yang menyakitkan. Tapi dengan begitu aku bisa terus mendengar suaranya, merasakan tatap matanya, melihat dewa pujaanku lebih dekat.

Tapi itu tak akan pernah terjadi, karena sifat dan keadaanku tak akan memungkinkan hal itu terjadi.

Sekarang aku hanya bisa merasakan rasa sakit yang menusuk lebih dalam. Rasanya kali ini bahkan mungkin lebih sakit dari pada saat sebuah katana tajam yang sudah dilumur racun melukai tubuhku.

Mereka berdua terlihat begitu akrab, dan dia.. tampak begitu rileks dengan ritual yang sedang mereka jalankan.

Setiap saat, setiap waktu, setiap menit, setiap detik yang kujalani hanyalah berisi kesepian tanpa ujung, selama ini hanya itu yang kurasakan. Sampai aku bertemu denganya di sini, sampai aku mengenalnya, sampai aku mulai mengaguminya.. perasaan sepi itu mulai menghilang berganti dengan sebuah rasa yang lain. Rasa dengan berbagia warna yang membuatku selalu terjebak. Terjebak akan perasaanku sendiri.

Kuarahkan mataku, berkelana melihat pemandangan yang tersedia di balik kaca transparan yang terpasang di kelasku. Daun-daun berwarna kecoklatan itu terus gugur, berjatuhan di tanah dan beberapa tertiup angin. Terbang bersama angin dengan begitu lembut, menari bersama dalam asuhan suara derau angin yang terdengar merdu.

Diam, dan diam. Mengisi waktuku yang terus berjalan dalam diam. Mungkin sudah lebih dari 12 menit aku seperti ini. Santai saja sih, pelajaran baru akan dimulai 10 menit lagi.

Kupejamkan sepasang amethyst milikku, menguncinya dalam kegelapan artifisial yang biasa kubuat. Menghilangkan pesonanya dalam kurangan kelopak mataku. Membiarkan cahayanya lenyap tertelan oleh kegelapan.

Menghilangkan sosoknya sejanak dari benakku, mengosongkan otakku hanya untuk mendapatkan ketenang kosong belaka. Membiarkan diriku tertelan dalam kegelapan pekat yang mulai menggapaiku. Aku menyukai ini, menyukai ketika hatiku terlena dalam gelapnya asaku. Ketika kegelapan merasuki kalbuku. Aku menyukainya, menyukainnya karena saat itulah aku merasakan diriku yang dulu. Sebelum aku mengenalnya.. sebelum hatiku berkabut dan mulai bergejolak, sebelum otak dan hatiku terus berperang untuk sesuatu yang tak seharusnya dipertengkarkan. Sebelum aku jatuh kedalam dilema tanpa akhir ini…

"Sudah kubilang kita tidak bisa ikut. Kita belum temukan tambahan!"

Aku membuka mataku, segara menolehkan kepalaku ke sumber suara itu, suaranya. Tak ada, sosoknya tak ada dalam ruang kelas ini..

Lalu.. dimana?

Kulihat Anzu masuk kekelas dengan muka ditekuk, kesal sepertinya. Sebuah buku berukuran sedang berada digenggaman tangannya. Jemari lentiknya mencengkram buku itu kuat. Gadis itu menghempaskan tubuhnya secara keras di tempat duduknya.

Selang beberapa detik setelah itu.. sosoknya muncul, dan di sebelahnya Kaiba, Seto Kaiba tepatnya. Pemuda yang akan menjadi penerus sebuah perusahaan besar milik ayahnya.

Seto adalah teman baiknya, ayah mereka punya relasi yang baik, kebetulannya adalah. Ayah Seto merupakan sepupu jauh ibu Yami. Sungguh kebetulankan?

Kulihat mereka berdua sedang berdiskusi. Tegang sekali sepertinya, raut wajahnya yang agung itu kali ini sangat serius. Padahal biasanya raut miliknya selalu tenang dan terkesan santai.

Kalau sedang dengan Seto, tak pernah ada iri atau rasa panas yang membara dalam hatiku, tak pernah. Aku malah merasa tenang, malah cukup senang kalau dia sedang bersama Seto daripada bersama para perempuan jalang itu atu teman-temannya yang lain.

Mereka berdiskusi tak terlalu lama. Berdiskusi di depan pintu kelas.. diskusi itu selesai dengan helaan nafas darinya. Wajahnya yang setara dewa itu tampak lesu dan.. kecewa..

Oh ayolah Yami, jangan kau tunjukkan wajah itu.. nanti aku bad mood. Kau tak pantas dengan raut seperti itu! dan kenapa? Kenapa ruby merah milikmu seperti kehilangan sedikit cahayanya? Kau baik-baik saja kan?

Mereka berdua akhirnya kembali ketempat mereka masing-masing di kelas ini, aku memperhatikannya dalam kebisuan. Menatap ke arah lain ketika ia mulai menyadari apa yang aku lakukan.

"Good morning students. Are you ready to our english class? Say 'yes'."

Sensei yang sudah lama berkelut sebagai pengajar bahasa inggris itu mulai menyerukan kalimat favoritnya. Kami, ralat semua murid di sekolah ini biasa memanggilnya dengan sebutan Pegasus-sensei. Dan guru inilah yang paling tidak disukai olehnya, alasannya.. guru ini seorang pedo dan biseksual. Ueh.. gayanya itu ingin membuatku muntah..

Memang sih dia tidak jauh beda denganku, sama-sama menjijkannya denganku.. tapi aku jauh lebih normal dari pada Pegasus-sensei..

- dalam beberapa hal.


review please?

Domo Arigatou Gozhaimasu