.
.
.
Disclaimer ~ Masashi Kishimoto
Love like this ~ Keinarra Minami
Genre : Romance / Hurt/Comfort / Drama
Warning : Au, Ooc, No-EYD, Typo, Lime Inside
Don't like, don't read
.
.
.
..
Hokkaido
Hari sudah semakin larut, di sepanjang jalan terlihat beberapa orang berlalu lalang sambil memegang payung dan beberapa lainnya memakai jas hujan untuk menutupi tubuh mereka dari derasnya air hujan yang turun membasahi setiap apa yang ia sentuh.
Berteduh di sebuah halte dengan ditemani dinginnya hembusan angin yang datang bersama derasnya hujan, menunggu bus berikutnya yang akan membawa aku dan putri kecilku yang sekarang telah berusia dua tahun, pergi untuk selamanya dari kota ini. Kota dimana semua kesedihan dan kenangan manisku bersama semua orang-orang yang aku cintai. Keluarga, sahabat, teman dan seseorang yang sangat amat aku cintai, dia yang selalu bisa membuat aku bahagia di setiap hari-hari ku.
Tapi kini ia telah pergi meninggalkan aku untuk selamanya, tanpa sepatah kata pun, tanpa memberi tahu apa alasannya, mencampakan aku setelah semua yang telah terjadi diantara kita berdua dan membawa semua janji yang pernah ia ucapkan untuk selalu bersama, sehidup dan semati apa pun yang akan terjadi.
Benci, itulah sekarang yang aku rasakan. Aku lelah menjadi orang yang baik, selalu mengalah kepada semua orang hingga aku yang kini harus menderita. Tidak ada seorang pun dari mereka yang mau membantuku saat aku telah terpuruk, tidak memiliki apa pun selain putri kecilku yang amat aku cintai ini. Setelah kepergian satu-satunya adik perempuanku dan kedua orang tuaku setahun lalu untuk selamanya karena kecelakaan itu, tanpa meninggalkan sepeser pun uang untukku. Belum lagi satu-satunya rumah yang kami miliki disita oleh pihak bank karena hutang keluarga kami yang terlalu banyak hingga akhirnya aku yang harus bekerja keras untuk melunasi sisa hutang.
Tidak berhenti sampai disitu, siang dan malam bekerja. Tapi masih belum juga cukup untuk menutupi semua kebutuhan kami berdua, belum lagi biaya sewa rumah yang semakin menumpuk hingga akhirnya aku memutuskan untuk pergi dari kota ini, mencari keberuntungan yang lebih baik di luar sana.
Setelah hampir satu jam menunggu tetap tidak ada tanda-tanda akan adanya bus yang datang, dan hujan pun ternyata sudah mulai reda. Aku putuskan untuk beranjak dari halte bus, berjalan menyusuri kota kecil ini dengan membawa tas yang tidak terlalu besar dan menggendong putriku yang sedang tertidur lelap di dekapanku.
"Kenapa sama sekali tidak ada kendaran yang lewat." Aku edarkan penglihatan ke sekelilingku sudah begitu sepi, terlihat beberapa toko yang sudah mulai tutup dan pedagang kaki lima yang sudah mulai merapikan barang dagangan mereka. "Aku sangat lapar, sepertinya di seberang sana ada kedai yang masih buka. Lebih baik aku membeli sesuatu di sana untuk mengganjal perut keronconganku ini dan melanjutkan perjalananku."
Berjalan menyeberangi jalan yang cukup sepi sambil terus mengeratkan pelukan pada putri kecilku, karena suhu saat ini sudah semakin dingin.
Baru saja aku berjalan beberapa meter tiba-tiba terdengar suara klakson mobil yang begitu kencang, datang dari arah kiri begitu cepat sehingga membuat kakiku menjadi kaku seketika dan tidak bisa di gerakkan. Mobil itu berusaha mengerem agar bisa berhenti tepat waktu, walaupun akhirnya tetap sia-sia.
Ckiittt
Braakk
Terdengar suara benda yang menabrak sesuatu, ternyata mobil itu membanting setir setelah sedikit menyentuh bagian tubuhku hingga membuat tubuh kecilku terpental beberapa langkah dari tempatku berdiri, dan dengan tetap mendekap erat putri kecilku yang menangis karena suara dentuman yang cukup keras dari mobil itu. Ku lihat mobil hitam menabrak sebuah pohon di seberang jalan, dan mengalami kerusakkan yang cukup parah terlihat dari bagian depan mobil yang ringsek serta mengeluarkan asap.
Cklek
Pintu mobil terbuka dan terlihat sesosok pria dengan rambut berwarna silver turun dari mobil dengan luka memar di bagian dahi yang mengeluarkan cukup banyak darah, berjalan menghampiriku dengan langkah sempoyongan sambil sebelah tangan memegang kepalanya yang terluka.
"Nona. Apa kau baik-baik saja, akhh ..."
Aku bisa mendengar suara lembut pria itu yang mengkhawatirkan diriku. "Aa-ak-kuu ..." pandanganku memburam, gelap dan tak bisa melihat apa-apa kecuali tangisan putri kecilku yang terdengar begitu jelas tanpa bisa melihatnya, apakah dia baik-baik saja? Atau malah sebaliknya? Dan seketika semua menghilang dari pendengaranku.
.
.
Saat pertama kali aku membuka kedua mataku, terlihat cahaya matahari menembus masuk melewati jendela bergorden putih. Ruangan bernuansa putih dengan aroma khas obat-obatan tercium jelas melewati kedua lubang hidungku dan masuk ke dalam paru-paru. Melihat ke sekeliling ruangan begitu sepi, hanya ada seorang pria berambut silver yang tengah menggendong putri kecilku.
"Putriku ... akkhh ..." Kakiku begitu sakit saat aku berusaha bangun dan ingin turun dari tempatku berbaring.
Pria itu segera berlari kecil menghampiriku yang hampir saja terjatuh ke lantai. "Jangan terlalu banyak bergerak, kakimu masih belum sembuh sepenuhnya." ucapnya lembut.
"Aaa ...sshhh ... putriku." Aku berdesis merasakan sakit yang begitu luar biasa di bawah sana, tapi semua hilang seketika saat melihat putri kecilku baik-baik saja dan menggendongnya erat dalam pelukanku.
"Ma-maaf, maafkan aku telah membuatmu jadi seperti ini." Pria itu membungkuk membuatku kaget karena walaupun telah menabrakku dia sudah mau bertanggung jawab, menolong, membawa aku dan putriku ke rumah sakit.
"Jangan seperti itu. Dan terima kasih banyak, kau sudah mau membawa kami ke rumah sakit."
"Sekali lagi aku sungguh-sungguh minta maaf atas keteledoranku, Nona."
"Hinata, panggil aku Hinata." Tersenyum kepada pria di hadapanku dengan tulus.
"Nama yang cantik nona, Hinata," mengulurkan tangan dan aku menjabatnya. "Kau bisa memanggilku Toneri."
"Terima kasih Toneri-sama, kau sudah menolong aku dan putriku."
"Itu sudah menjadi tanggung jawabku, Hinata-san. Kalau boleh tau siapa nama putri cantikmu ini?" menatap ke arah Himawari dengan senyum yang menenangkan.
"Himawari ... dia satu-satunya keluarga yang aku punya saat ini." Aku bisa merasakan perubahan ekspresi wajahku yang langsung berubah sedih.
"Nama yang indah," Toneri membelai lembut pipi Himawari penuh kasih sayang. "Kalau boleh tahu, sedang apa kau di tengah malam yang begitu dingin? Dan kenapa kau masih berada di luar rumah bersama putri cantikmu, Hinata-san?"
"Aku ... tidak tahu." menatap Himawari yang mulai membuka mata kecilnya, "Yang aku pikirkan sekarang hanya ingin pergi sejauh mungkin dari kota ini bersama putri kecilku."
Toneri menatap serius ke arah ku, "Lalu!"
Tak terasa air mata mulai mengalir dari kedua mataku, meluncur bebas membasahi pipiku. "Aku merasa begitu lemah setiap kali melihat wajah Himawari, tidak pernah terbayang di pikiranku ia akan mengalami hal begitu berat di usia sekecil ini."
"Di mana suami dan keluargamu?"
"Aku sudah tidak memiliki suami, dan semua keluargaku sudah meninggal dunia setahun lalu."
Mendengus pelan, kini Toneri membelai lembut rambut Himawari yang berwarna indigo sama persis seperti warna rambutku.
"Setelah ini, apa yang akan kau lakukan?"
Menggeleng pelan dan kembali meneteskan air mata, sungguh hidupku sangat menyedihkan tanpa seorang pun yang peduli. Kami-sama pun seperti menutup kedua matanya tidak ingin melihat aku bahagia setelah semua kebahagiaan yang selama ini ia berikan untuk ku kembali ia ambil dan tidak menyisahkan sedikit pun rasa bahagia, hingga aku lupa bagaimana dan seperti apa rasa bahagia yang sesungguhnya. Tapi aku kembali tersadar setiap melihat putri kecilku, ternyata Kami-sama tidak sepenuhnya menutup kedua matanya, karena ia masih memberikan setitik harapan dan kebahagiaan itu melalui putri yang amat aku cintai, Himawari.
"Begini saja, sebagai tanda permintaan maafku karena sudah membuatmu seperti ini. Bagaimana jika kau dan Himawari ikut bersamaku ke Tokyo, kalian berdua bisa tinggal di kediamanku selama kapan pun yang kalian mau."
Sungguh aku sangat terkejut ketika mendengar langsung kata-kata itu dari mulut Toneri saat ini. Tapi aku benar-benar tidak tahu harus bagaimana, karena belum genap sehari kami berdua bertemu dan berkenalan. Tapi, ia sudah begitu baik kepadaku sampai sejauh ini.
"Tapi, apa kami berdua tidak merepotkanmu nantinya? Belum lagi keluargamu, apa mereka tidak keberatan jika aku dan Hima-chan tinggal dengan kalian?"
"Tenang saja Hinata-san, keluargaku tinggal di luar negeri. Dan aku tinggal sendirian di Tokyo, jadi tidak perlu terlalu memikirkan hal itu."
"..."
"Bagaimana, Hinata-san?"
"Apa kau sungguh-sungguh dengan perkataanmu?"
Tersenyum perlahan, "Aku sangat bersungguh-sungguh. Dan ku harap kau mau menerima tawaranku ini!"
Melihat sejenak wajah Himawari yang kembali tertidur pulas di pelukanku, membuat aku sedih jika harus hidup berkeliaran seperti gelandangan di jalanan tanpa tujuan hidup yang pasti dan membuatnya tidak punya masa depan nantinya.
"Baiklah, aku ikut denganmu Toneri-sama."
Toneri tersenyum, terlihat begitu tulus dan bahagia. Itu benar adanya atau hanya firasatku saja, entahlah aku masih belum mengerti tentang dirinya yang sesungguhnya. "Jangan terlalu formal begitu, aku terdengar sangat tua. Panggil saja aku dengan sebutan yang lebih akrab."
Berpikir sejenak, "Emm ... Toneri-san. Atau Nii-san? Haha ... aku sekarang serasa mempunyai seorang kakak laki-laki."
"Begitu juga boleh, jadi sekarang kau adalah adik perempuanku, Hinata-chan."
"Baiklah." Akhirnya aku memiliki kembali cahaya kebahagiaan itu. Memulai kehidupan baruku bersama keluarga baru, seorang kakak laki - laki yang baru aku kenal yang di kirim Kami-sama untuk aku dan Himawari.
.
.
.
~ Dream ~
"Emmh ...," desahan Hinata membuat sang pemuda semakin liar memainkan lidahnya di dalam mulut Hinata, semakin mengeratkan pelukan di pinggang sang gadis, menandakan gairahnya semakin memuncak.
"Aah ... hah ... hah ...," melepas ciuman panasnya, napas keduanya memburu dan saling tersenyum menatap satu sama lain yang tersengal-sengal berusaha mengatur nafas agar kembali normal.
Pipi Hinata memerah saat sang pemuda mulai medekatkan kembali wajahnya beberapa senti di hadapannya, "Emmh ... kenapa kau memandangiku seperti itu!" memalingkan wajah yang mulai ikut memerah seperti udang rebus saat ini.
"Apa kau benar-benar mencintaiku, Hime-chan?" bisiknya tepat di telinga Hinata, membuat sang gadis terkejut.
"Kenapa kau bertanya seperti itu? Apa kau meragukanku!"
"Hm."
Bibir Hinata mulai bergetar, air mata mulai memenuhi tepian mata bulan miliknya, "Lalu kenapa kau mengatakan cinta padaku! Jika kau saja tidak yakin dengan perasaanmu?" ucapnya dengan nada yang ikut bergetar dan melemah.
"Hinata-chan, kau menangis?"
"Hiks ..."
"Kau benar-benar menangis?" memeluk erat sang gadis, "Ma-maafkan aku, Hime! Aku tidak bermaksud seperti itu. Aku tau kau mencintaiku, dan aku sangat ... sangat ... sangat mencintaimu, Hinata-chan." Semakin menekankan ucapannya di akhir kalimat, menandakan ia sangat bersungguh-sungguh dengan perkataannya, seketika Hinata kembali membulatkan kedua bola mata amesthysnya dan menenggelamkan wajah di pelukan hangat sang pemuda.
"Kau jahat ... hiks ... hiks ...," Sambil terus memukul dada bidang beraroma citrus itu.
"Hentikan Hime-chan, itu sakit."
"Kau jahat, bisa - bisanya kau menanyakan hal seperti itu. Aku kira kau sudah tidak mencintaiku lagi."
"Tentu aku sangat mencintaimu, Hime."
Tangan kekarnya mulai meremas sebelah kiri dada Hinata, membuat sang gadis mendesah pelan. "Emh ... tanganmu nakal sekali, akan ku cubit kau." terus mencubit setiap inci kulit tan sang pemuda hingga membuatnya tidak bisa berhenti merintih.
"Huwaa ... sakit Hime ... tolong hentikan ... itu sakit. Aku tidak akan menyentuhnya lagi." Berdiri dari posisinya karena cubitan Hinata yang ternyata cukup membutnya terus memohon agar sang gadis berhenti.
"Itu yang ingin aku dengar, berjanjilah." Masih terus mencubit tangan, perut dan pinggangnya. Hingga ia tak menyadari kalau kali ini pemuda pirangnya telah berhasil memegang kedua tangan jahil yang terus mencubit itu, dan sukses merebahkan kembali tubuh mungilnya di atas ranjang king size berseprai putih.
"Kyaaa ... apa yang ingin kau lakukan! Lepaskan aku."
"Baiklah, aku berjanji bahwa aku akan." Tersenyum penuh arti, "Akan memakanmu, Hime."
"Kyaaa ... ja-emmhh." Hinata tidak dapat melanjutkan lagi kata-katanya, karena ciuman panas keduanya saat ini. Dengan perlahan lidah keduanya mulai saling bertautan, masuk semakin dalam dan menari kesana kemari saling menyatukan saliva keduanya.
Kembali tangan nakal pemuda pirangnya beraksi, meremas kedua dada Hinata bergantian dan kali ini ia memasukkan tangan besarnya kedalam pakaian gadisnya yang mulai memejamkan mata menikmati setiap sentuhan lembut itu tanpa perlawanan. Perlahan membuka satu persatu kancing kemeja Hinata, melepas pengait pakaian dalam berwarna ungu muda itu, menampakkan buah dada yang menyembul begitu indah dan mulai mengeras.
Melepas ciuman pada bibir sang gadis dan mulai turun kebawah menjilat setiap inci leher jenjang dan mulus itu, meninggalkan beberapa kiss mark di sana. Menghisap perlahan kedua buah dada Hinata secara bergantian dengan sesekali meremasnya dan mencubit puting berwarna coklat kemerahan di hadapannya, membuat sang pemilik semakin mendesah tak karuan.
Sebelah tangan Hinata membelai surai pirang sang pemuda dan yang lain mencengkram sprei putih dibawahnya.
"Engh ... aah ... hen-ti-kan, aah ..." Perkataannya bukan membuat sang pemuda berhenti, tapi ia malah melahap kembali bibir yang sudah memerah karena hisapan kuatnya sedari tadi.
Tangan kekarnya semakin turun kebawah yang kini mulai menyibak rok biru tua selutut dan menurunkan celana dalam ungu muda yang senada dengan pakaian dalam tadi, membelai benda di antara kedua paha putih yang sudah basah dengan cairan cinta milik sang gadis sendiri. Kembali melepas ciuman pada bibir Hinata dan turun kebawah berjongkok tepat di tepian ranjang king sizenya, semakin menurunkan celana dalam itu dan membuangnya asal, mengangkat kedua paha putih di depannya. Mendekatkan wajahnya di sana, tercium aroma khas wanita yang semakin membuat gairahnya semakin menggebu.
"Hime-chan, apa boleh aku melakukan sesuatu di sini?"
"Emmh ... engh ... jangan di sana, kumohon."
"Baiklah." Berdiri melepas semua pakaian yang ia kenakan hingga tanpa sehelai benang pun di tubuhnya.
Menarik gadisnya agar ia terduduk dan menanggalkan kemeja putih sang gadis dan bra miliknya, tak lupa menurunkan rok biru tua itu dan kembali melempar semuanya kesembarang arah. Merebahkan kembali tubuh Hinata yang sudah tak tertutup apa pun lagi diatas ranjang king size dengan lembut, memposisikan dirinya berada tepat di atas sang gadis. Melihat semua perlakuan lembut itu membuat wajah Hinata memerah padam dan memalingkannya, sungguh ia akan benar-benar melakukannya untuk yang pertama kalinya bersama pemuda pirang yang tak lain adalah sang kekasih yang amat ia cintai.
"Hime-chan, aku akan memasuki mu. Ini adalah yang pertama, aku tidak pernah tahu seperti apa rasanya. Dan mungkin ini akan sedikit sakit." Ujarnya pelan.
Menganggukan kepala dan tersenyum, "Hn. Lakukanlah." Suara lembut Hinata membuat hati kecil sang pemuda tidak tega jika harus menyakitinya, tapi saat ini keadaan sudah membuat rasa ingin tahu dan gairahnya mematahkan pikiran tidak ingin menyakiti sang gadis hilang begitu saja.
"Baiklah Hime-chan, aku akan melakukannya perlahan. Jika sakit, kau bisa melampiaskannya padaku." Tersenyum manis khas miliknya yang selalu membuat gadisnya luluh dibuatnya.
"Hn." kembali Hinata mengangguk tanda mengerti dan setuju.
"..."
"Aakh ... kyaaa ..."
...
Tokyo
"Hah ... hah ... mimpi itu." Menatap ke arah jendela di mana cahaya matahari mulai menembus kaca, "Huh ... Ta, ta ... hah ... siapa dia? Kenapa aku sama sekali tidak bisa mengingat namanya, hah."
Terus menarik kasar surai pirang miliknya tanpa memperdulikan rasa sakit karena tarikan kasar itu. "Wajah itu seperti tidak asing dan ..." Tangan kekarnya memegang dada yang masih berdegup kencang tak beraturan. "Sentuhan itu, rasa itu dan senyumannya terasa begitu nyata. Tapi, siapa ... di mana ... dan kenapa aku selalu bermimpi tentang gadis itu?"
Berdiri dari posisi duduknya, berjalan meninggalkan ranjang king sizenya mendekati jendela dan membuka tirai berwarna biru yang menghalangi masuknya cahaya. Menatap keluar jendela, hamparan kota di pagi hari masih begitu lengah kendaraan yang berlalu lalang dan indah karena pancaran cahaya matahari yang masih malu menampakkan dirinya.
Padahal aku merasa tidak pernah mengenal gadis itu, tapi mimpi itu selalu datang di setiap malamku selama ini, rasa itu juga begitu nyata, dan sepertinya aku tidak asing dengan tempat itu. Apa yang sebenarnya terjadi denganku? Apa mungkin dia masalaluku? Di mana dia sekarang? Di mana aku mengenalnya? Jika aku mengenalnya, lalu siapa aku sebenarnya?
.
.
.
To Be Continued
.
.
.
Maaf kalo jelek, tinggalkan jejak kalian #Arigatou
Mind to RnR?
