Sasori hampir jatuh terjengkang ketika serombongan orang berpakaian serupa berlari-lari dari arah yang berlawanan dengannya.

Derap langkah kaki yang teratur seperti tapak kuda itu masih terdengar di telinganya—semakin lama mengecil. Kemungkinan bahwa mereka adalah pasukan kerajaan tampak masuk akal baginya. Dan Sasori hanya mengedikkan bahu acuh tak acuh.

Yang penting 'barang' di punggungnya selamat.

Lagi, Sasori melangkahkan kakinya dengan agak terseret di pinggiran jalan, sedikit menepi agar tidak menabrak kerumunan yang entah mengapa malah saling berbisik-bisik ingin tahu. Mungkin karena rombongan tadi.

Salju perlahan mulai turun.

Barangkali suhu juga semakin menurun.

Seraya menghembuskan uap putih dari mulutnya, pemuda berambut merah itu membuka mulutnya—hendak bersuara.

"Hei, kau kedinginan?"

Dari sudut pandang orang ketiga, ia terlihat sedang berjalan sendirian sambil memikul tas yang cukup besar di punggungnya. Jadi… kepada siapa ia bertanya?


"Anonim"

oleh NanoYaro-Kid

dipersembahkan untuk "Crack-Pairing Celebration"

warning:

alternative universe, diusahakan in-character, typo yang terlewatkan, mungkin plot-bunnies, linimasa dianggap tahun 1800-1900-an

disclaimer:

saya tidak memiliki hak apapun selain ide cerita.

Naruto © Masashi Kishimoto


"Sasori, tak bisakah kau ubah ceritamu?"

Merasa namanya disebut, pemuda berambut merah itu menoleh—dan mendapati rekan sesama penyuka seni itu sedang mengamatinya dengan wajah berkerut.

"Ada yang salah dengan itu, Deidara?" balas Sasori, tangannya bergerak mengemasi boneka-boneka kayu—marionette—ke dalam tasnya dengan hati-hati, "kupikir tema ceritaku sesuai—cerita suram untuk tahun yang suram."

"Oh, kau tahu bukan itu maksudku."

Sasori balas mengamati rekan berambut eksentrik itu, lama, seolah ia sedang mencoba menjelaskannya melalui kontak mata saja. Namun rupanya tidak bisa.

"Entahlah. Aku suka cerita itu. Alasan pribadi."

Dan jawaban itu rupanya tidak memuaskan si penanya.

Deidara hendak memprotes, namun diurungkannya. Sebagai gantinya ia hanya menghela napas panjang.

"Kau tahu, cerita itu lama-lama membuatku mengira kalau kau itu penyuka anak kecil."

"Huh? Tidak juga. Bukankah itu kau, Deidara? Saat aku sedang melakukan pertunjukan boneka, kau sering berbaur dengan anak-anak yang sedang menonton dan mengajak mereka mengobrol…"

"Bukan, maksudku kau pedofil."

CTAK!

Perempatan siku-siku muncul di pelipis Sasori.

Pedofil…?

"Membuat cerita tentang anak-anak bukan berarti pedofil. Justru orang yang suka mendekati anak-anak dan mengajak mereka mengobrol lebih patut disebut sebagai pedofil…"

"Hei, aku hanya bermaksud untuk mengatasi ketegangan dari cerita pertunjukan bonekamu itu! Kau tahu, seharusnya tingkat ketegangan ceritamu lebih dikurangi lagi untuk ukuran anak-anak, dengan akhir yang lebih bahagia—"

"Aku tak bermaksud membuat pertunjukan untuk anak-anak."

Nada dingin dan tegas itu membuat Deidara mengatupkan mulutnya rapat-rapat. Kalau sudah begini, biasanya ia tidak mau disanggah lagi. Pemuda berambut pirang dengan gaya eksentrik itu mencoba mengalihkan topik pembicaraan sambil memandang sekeliling ruang teater yang cukup luas itu.

Dan pandangannya terpaku pada bangku penonton.

"Hei, Sasori," panggil Deidara, tangannya mengibas-ibas menyuruh Sasori mendekat sedangkan matanya masih terpusat pada bangku penonton, "lihat sini."

Sasori mengangkat tas berisi boneka kayunya dan membawanya ke belakang punggungnya, sebelum kemudian ia beringsut mendekat dan melihat pada apa yang sedang diamati rekannya.

Seorang bocah dengan jubah dan tudung yang menutupi hampir seluruh kepalanya itu masih terduduk di antara barisan bangku-bangku penonton.

Menganggap bahwa itu adalah hal yang aneh, Sasori beranjak dari balik panggung dan mendekatinya. Sedangkan bocah bertudung itu hanya memandanginya dengan bergeming.

"Kau tidak pulang?"

Bocah itu kemudian menunduk dan menggeleng. Kedua tangannya terkepal di atas pangkuannya. Sasori mengangkat alisnya heran.

"Kau sendirian? Di mana orangtuamu?"

Kali ini bocah itu tidak menjawab. Tangannya yang terkepal tampak gemetar, dan genggamannya semakin erat.

"Kurasa kau menakutinya, Sasori," sahut Deidara dari belakang, nyengir lebar. Sasori mendecih.

"Sebaiknya kau segera pulang, gadis kecil. Hari mulai gelap, dan tempat ini akan ditutup. Kami juga mau pulang, nanti kau bakal sendirian di sini," ujar Deidara dengan nada yang lebih menyenangkan sambil berlutut di samping bocah itu. Huh, gadis kecil? Bahkan Sasori tidak menyadari kalau bocah tersebut adalah perempuan—berkat tudungnya yang hampir menutupi setengah wajahnya itu. Sasori hanya berdiri mengamati dan terheran ketika bocah itu lagi-lagi menggelengkan kepalanya.

"Eh? Tidak pulang?" Deidara menaikkan sebelah alisnya dengan wajah kebingungan.

Dan Sasori yang ingin segera pulang kemudian angkat bicara, "Sudahlah, biarkan saja bocah itu. Kita pulang."

Deidara masih ragu-ragu dan memandang bocah yang sekarang tengah bergetar, "Tapi—"

Belum lagi Deidara menyelesaikan perkataannya, bocah bertudung itu kemudian mengangkat wajahnya dan memandang Sasori lekat-lekat—sebelum akhirnya berkata dengan suara keras, "Tolong biarkan saya ikut denganmu, Tuan!"

Sasori yang akhirnya baru menyadari kalau bocah itu adalah perempuan—dengan rambutnya yang berwarna merah muda dan matanya yang besar—belum menunjukkan reaksinya ketika ia sedang mencerna perkataan bocah tersebut. Dan barulah ia tersadar.

"…Huh?"

Deidara melongo.

Sasori mengangkat alis.

Bocah perempuan itu masih memandanginya dengan mata bulat besarnya berwarna hijau cemerlang. Mulutnya terkatup rapat, alisnya menekuk, wajah penuh tekad itu tampaknya membuat Sasori berpikir sebentar sebelum akhirnya menjawab, "Tidak."

Seketika wajah bocah itu seolah kehilangan warnanya.

"K-ke-kenapa…?" Bocah itu tergagap—tampak kesulitan menelan kekecewaannya.

"Kalau kau sedang mencoba untuk kabur dari rumah, kusarankan tidak usah dan kembalilah ke rumahmu, Bocah." Sasori mengeluarkan pernyataan final dan kemudian melangkahkan kakinya menuju pintu keluar—mengabaikan Deidara dan bocah perempuan yang tampaknya semakin bergetar.

Ketika ia hampir mencapai pintu keluar, tiba-tiba kaki kirinya tertahan dan dibelit dari belakang. Baru ia sadari bahwa rupanya sepasang tangan bocah itulah yang menahan kakinya.

"Kumohon… hanya Tuan yang saya kenal di sini. Saya tidak punya tempat lagi…" Suara bocah perempuan yang terdengar parau dan putus asa itu membuat Sasori jengah. Apalagi kakinya yang masih tertahan karena dipeluk oleh bocah yang sudah hampir menangis itu membuatnya tidak bisa kemana-mana—tidak mungkin ia menendang bocah itu.

"Tapi aku tidak mengenalmu, Bocah. Mungkin kau salah orang. Cepat lepaskan kakiku!" pinta Sasori yang semakin lama semakin pegal karena sebelah kakinya yang ditarik ke belakang dan tas di punggungnya yang berat. Diliriknya Deidara yang hanya menggaruk pipi.

"Sudahlah, Sasori. Biarkan anak itu mengikutimu. Lagipula kalau tidak segera, kita akan terkurung badai di sini," usul Deidara, agak kasihan melihat bocah yang sesenggukan di kaki Sasori. Merasa tidak ada pilihan lain, akhirnya dengan berat hati ia mengiyakan permintaan bocah itu.

"Baiklah, baiklah. Kau boleh ikut denganku—" Wajah bocah perempuan itu langsung berbinar-binar, "—tapi hanya untuk malam ini saja."

Bagai terhempas ke bumi, bocah itu terpaku di tempat, kehilangan warna, lalu murung.

"Oke, Sasori. Aku pulang dulu. Jaga anak itu baik-baik, ya—jangan macam-macam, lho." Deidara segera angkat kaki sambil nyengir ketika Sasori mendelik padanya. Lebih baik kabur daripada dilempar kursi.

Dan menyisakan keheningan. Dan mereka berdua—Sasori dan bocah perempuan itu.

Melirik sekilas, Sasori mengamati langit yang mulai gelap serta hembusan angin yang semakin kencang, lalu bersuara, "Nah, akan lebih baik kalau kau segera melepas kakiku, Bocah."

Sedangkan bocah yang sedaritadi hanya menunduk sambil memeluk kaki Sasori mendadak berjengit dan segera melepaskan belitannya. Ia masih duduk bersimpuh, menunduk, tampak skeptis. Sasori mulai kehilangan kesabaran.

"Kau mau kutinggal atau apa? Cepat berdiri! Aku tidak suka menunggu." Mendengar nada sarkasme dalam perkatannya, bocah itu langsung bangkit dan berdiri kaku dengan bahu terangkat—tudungnya menutupi ekspresinya. Dan Sasori kemudian berbalik dan mulai berjalan menjejak salju yang bertumpuk—sesekali menoleh ke belakang untuk memastikan kalau bocah itu memang mengikutinya.

Dan mereka berdua pun berjalan diiringi butiran salju yang mulai turun serta angin yang mengibarkan jubah dan rambut mereka.


"Nah, tolong jelaskan."

Sasori berdiri sambil melipat tangan di samping perapian, memandang tajam bocah perempuan yang sekarang telah melepas jubahnya dan duduk di kursi depan perapian, menghangatkan diri. Wajahnya yang tertimpa cahaya api itu masih tampak murung. Sasori mencoba untuk bersabar sambil menyandarkan punggungnya di dinding belakangnya.

Badai sedang mengamuk di luar sana. Mereka berdua telah sampai di rumah Sasori tepat waktu. Ketika mereka masuk ke dalam, dan Sasori segera menyalakan perapian, bocah itu tidak banyak bicara, hanya memandang sekeliling. Tempat tinggal Sasori memang tidak terlalu besar—untuk seorang seniman yang tinggal seorang diri—tapi kalau hanya ditambah satu orang bocah, sepertinya tidak akan berubah.

Sekian waktu hanya dihabiskan oleh kesunyian dan diisi oleh suara percikan api di perapian. Dan bocah itu masih bergeming tak bersuara.

Sasori memejamkan mata dan menghela napas, "Baiklah, kalau begitu, kenapa kau mengatakan kalau kau mengenalku? Pernahkah kita bertemu?"

Kali ini bocah itu tampak akan bersuara, mulutnya hendak membuka—sebelum akhirnya tertutup lagi. Ia tampak ragu-ragu, dan akhirnya berbicara, "…Iya."

Sasori mengangkat alis.

"Du-dulu… sewaktu musim dingin tahun lalu… ketika aku terpisah dengan ibuku karena mengejar sapu tanganku yang terbang terbawa angin…"

Bocah itu menggantungkan kalimatnya. Pemuda berambut merah itu mengernyit sekilas, tampak berpikir.

Bocah itu melanjutkan, "A-apakah Tuan ingat…? Tuanlah yang memungut sapu tanganku."

Oh.

Seolah memorinya berputar dan berhenti pada ingatannya di musim dingin tahun lalu, ketika Sasori sedang dalam perjalanan pulang sambil menenteng tas besarnya yang biasa, sebuah sapu tangan yang terbang dari arah depannya tiba-tiba tersangkut di kepalanya—menutupi penglihatannya sejenak. Tak berapa lama kemudian, seorang bocah berambut merah muda berlari tergopoh-gopoh dari arah yang sama, dan matanya terhenti tepat pada sapu tangan yang sedang digenggam Sasori. Dugaannya bahwa bocah itulah pemilik sapu tangan itu benar. Dan tanpa perlu berlama-lama, Sasori segera mengulurkan sapu tangan itu, sambil membungkuk merendah agar bocah itu dapat menggapai tangannya. Ia tidak banyak bicara, karena setelah bocah itu mengambil sapu tangannya, Sasori segera berjalan melaluinya, dan entah karena dorongan apa, menepuk puncak kepala bocah itu sekilas, lalu pergi.

Mengapa ia bisa ingat?

Entahlah.

Dan yang lebih terpenting lagi…

Mengapa bocah itu sampai bisa mengingatnya—kejadian sekilas itu?

Ini masih menyisakan sebuah misteri baginya.

Sasori mengangguk mengiyakan pertanyaan bocah tadi, "Ya, aku ingat."

Dan keheningan kembali menyusupi atmosfer mereka.

"Tapi ingatanmu bagus juga, Bocah. Bisa mengingat kejadian yang bahkan tak sampai dua menit." Sasori berpendapat, mencoba mencaritahu alasan yang membuat bocah itu mengingatnya. Bukankah biasanya seumuran bocah itu selalu bertemu banyak orang? Dan mungkin kejadian memungut kembali sapu tangan yang terlepas juga sudah biasa? Sasori tak habis pikir.

Atau… karena ia menepuk kepala bocah itu sepintas lalu? Memang, ketika ia mengangkat tangannya dan menoleh sejenak untuk melihat bocah itu, bocah itu hanya diam tak bergerak—seolah membeku. Dan Sasori mengabaikan itu.

Masa', sih?

Suara percikan api dan gemuruh badai yang terdengar sayup-sayup dari celah jendela menggantikan mereka bersuara. Ia tak melihat kalau bocah itu akan bersuara lagi, jadi ia memutuskan untuk beranjak pergi.

"A-aku… jarang bertemu orang lain—atau berbicara dengan mereka." Pengakuan bocah itu cukup mengejutkannya. Jarang bertemu orang lain? Apa bocah ini introvert? Sungguh mengherankan untuk seumuran bocah itu. Atau mungkin orangtua bocah ini otoriter? Mungkin saja, membatasi pergaulan bocah itu, melarangnya berbicara… Pantas saja bocah ini jarang bicara.

"Saat aku pertama kali bertemu dengan Tuan, itu pertama kali aku keluar dari rumah bersama ayah dan ibuku di tahun itu. Aku jarang dibawa jalan-jalan… selalu musim dingin. Dan ibuku membatasiku berinteraksi selama perjalanan itu. Tapi…" Bocah itu menggantungkan kalimatnya sekali lagi. Sasori mendengarkan.

"…ketika sapu tanganku terbang, dan aku berhasil lolos dari pengawasan ibuku sejenak… itulah pertama kali aku berinteraksi dengan orang lain."

Pernyataan itu masih mengejutkannya.

Dan akhirnya menjawab pertanyaan yang ada di kepalanya.

Itulah mengapa bocah itu tampak membeku ketika ia—yang hanya sedang iseng saja—menepuk kepalanya, dan bocah itu dapat mengingat kejadian itu—juga dirinya. Rupanya keterbatasan itu membuatnya sangat menghargai pada siapa saja yang ditemuinya.

Tapi.

Itu masih belum menjelaskan mengapa bocah itu bisa berada di luar seorang diri dan menemuinya.

Hawa dingin menyusup melalui celah jendela, dan api di perapian semakin mengecil. Perutnya juga lapar, mungkin saja bocah itu juga. Jadi ia memutuskan untuk ke dapur dan mengambil makanan—sudah waktunya makan malam. Mungkin sambil makan nanti ia bisa menanyakan hal itu nanti.

Sasori kembali dengan membawakan beberapa potong roti dan dua gelas susu, dan meletakkannya di atas meja di samping kursi bocah itu, "Makanlah. Kau pasti lapar, Bocah."

Bocah itu mendongak, memberi tatapan heran. Dan Sasori memutar bola matanya, "Kau tidak mau makan makanan pemberian orang?"

Yang ditanya menggeleng, kemudian mengambil segelas susu dan meminumnya perlahan.

Sasori menarik kursi dari ujung ruangan dan meletakannya di dekat bocah itu, dan mengamatinya, "Kalau begitu, jelaskan kenapa kau bisa kabur dari rumah."

Reaksinya tak terduga. Bocah itu berjengit, hampir tersedak. Namun akhirnya ia dapat menguasai dirinya lagi, "Aku… ada masalah di rumah. Aku tak bisa menjelaskannya."

Sasori memandangnya malas, dan kembali bertanya, "Siapa namamu?"

"Aku tak bisa mengatakannya, nanti Tuan akan tahu."

"Di mana kau tinggal?"

"Aku tak bisa mengatakannya, nanti Tuan akan tahu."

"Apa orangtuamu tidak akan mencemaskanmu kalau kau kabur?"

"A-aku… tak bisa mengatakannya, nanti Tuan akan tahu."

Sasori mengernyit. Alasan macam apa itu?

Bocah ini… bocah anonim—tanpa nama. Bagaimana mungkin ia bisa membiarkan orang dengan identitas tidak jelas untuk berada di rumahnya?

"Kalau kau serba-rahasia begitu terhadapku, Bocah, aku tak bisa membiarkanmu tinggal di sini."

Dan bocah itu kembali berjengit.

"Ti-tidak! Kumohon, aku janji besok aku akan memberitahumu, Tuan! Tapi tolong jangan mengusirku…" Bocah itu mendongak dan menampakkan wajahnya yang tampak panik dan cemas, matanya memelas, dan ia menggigit bibir bawahnya, tampak kalut. Sasori menghela napas panjang, pasrah.

"Baiklah… kubiarkan kau tinggal di sini semalam." Keputusan final itu tampak sedikit mengecewakan bocah itu, tapi setidaknya wajahnya lebih cerah dari sebelumnya.

"Terima kasih, Tuan!"

"Sasori."

"Sa-Sasori—kalajengking?"

"Namaku."

Bocah itu termangu sesaat, sebelum akhirnya mengangguk paham.

"Baiklah, Tuan Saso—"

"Tidak usah pakai 'Tuan', aku risih mendengarnya." Sasori mengalihkan pandangannya ke arah lain, dan bocah itu masih menatapnya dengan mata bulat besarnya.

"O-oke…"

Ketika hari mulai larut, dan bocah itu tampak mulai mengantuk, ia membiarkan bocah itu tidur meringkuk di sofanya—sedangkan ia masih ingin terjaga untuk mengerjakan beberapa boneka kayunya di ruang kerjanya.

Seorang bocah tanpa nama sedang meringkuk di sofanya.

Sungguh aneh membiarkan orang asing berada di rumahnya. Namun sepertinya Sasori mengacuhkannya.

Dan kembali memasang jari-jari kayu pada tangan bonekanya.


Pagi menjelang, dan temperatur menghangat.

Bocah itu terbangun ketika Sasori telah bangun. Ketika bocah itu menggeliat dan meregangkan tubuhnya di atas sofa, lalu mengucek matanya, ia merasa ada sepasang mata yang menatapnya tajam terus-menerus. Dan rupanya itu mata Sasori.

"Hari ini adalah besok, dan aku menunggu penjelasanmu, Bocah," tukas Sasori, dengan pandangan menusuk. Dan sang bocah pun kebingungan.

Dan panik.

"Eh, umm… anu, itu… a-aku…" Bocah itu tergagap, suaranya tercekat. Matanya membelalak dan pelipisnya mengeluarkan keringat dingin.

"Kau tak bisa menjelaskan? Kalau begitu bagaimana kalau aku yang menebak?" Kepanikan bocah itu ditambah dengan kekalutannya semakin menjadi. Seolah Sasori hendak menggotongnya ke tempat pengeksekusian.

"Tadi pagi ketika aku keluar sebentar, aku mendengar sebuah berita…" Sasori melipat kedua tangannya, menyandarkan punggungnya ke dinding. Tatapannya mengintimidasi bocah yang sekarang gemetar ketakutan.

"…bahwa ada kekacauan di kerajaan tadi malam."

Sasori menggantungkan kalimatnya, menunggu reaksi dari sang bocah. Namun karena nihil, akhirnya ia melanjutkan, "Raja dan istrinya ditemukan terbunuh di aula kerajaan. Berita ini mulai menghebohkan dari tadi malam sampai pagi ini. Mereka memperdebatkan siapa pelaku di balik tindakan keji ini. Tapi…"

Sang bocah semakin gemetaran, seolah ada malaikat maut yang hendak mencabut nyawanya. Dan Sasori tidak mengurangi ketajaman penglihatannya.

"…dikabarkan bahwa putri kerajaan telah menghilang."

Bocah itu berjengit, napasnya tertahan. Dan Sasori akhirnya telah mendapat jawabannya.

"Kau sang putri, bukan?"

"Menurut cerita yang kudengar, sang raja sedang mengalami perseteruan dengan salah satu penasehat kerajaan. Mereka memperdebatkan tentang siapa yang akan mewarisi tahtanya—kau tahu kalau akhir-akhir ini keadaan sang raja semakin memburuk. Dan menurut isu yang beredar, penasehat kerajaan yang berdebat dengannya itu adalah saudara kandung sang raja! Dan karena menurut aturan kerajaan, yang mewarisi tahta adalah anak lelaki sang raja, namun bila raja tidak memiliki anak lelaki, maka akan diwarisi saudara lelakinya…"

Suasana tidak lebih mencekam dan menegangkan dari sebelumnya ketika rekan sesama penyuka seni berambut pirang eksentriknya itu tiba-tiba mendobrak masuk ke rumah Sasori dan meneriakkan sebuah kabar—sang raja dan istrinya telah meninggal, sang putri menghilang. Dan tanpa diundang ataupun disuruh, Deidara beringsut duduk di atas sofa tempat si bocah itu tengah duduk gemetaran dan mulai bercerita. Sasori hanya mendelik tajam pada rekannya itu yang tampaknya mengacuhkannya, dan tetap melanjutkan cerita—tanpa menyadari situasi yang sedang terjadi.

"Mungkin itulah penyebab kematian sang raja. Ia dibunuh oleh penasehat itu. Sampai saat ini belum ada yang bisa memastikan karena ketika sang raja dibunuh, rupanya sang penasehat sedang dirawat di rumah sakit karena kakinya patah. Semua orang curiga dan mulai berspekulasi sendiri. Tapi yang lebih terpenting adalah… bahwa putri kerajaan telah menghilang saat kejadian itu." Deidara menghentikan ceritanya sebentar, melihat reaksi Sasori ataupun bocah itu—tampaknya ia belum menyadari keanehan si bocah yang sedang memeluk lututnya cemas.

"Mengenai hilangnya sang putri, orang-orang sudah punya pendapat sendiri mengenai itu. Yang pertama, sang putri diculik oleh orang yang membunuh raja dan istrinya itu—mungkin sebagai sandera. Dan yang kedua... ini yang lebih mengerikan…" Mendengar bahwa nada bicara Deidara mulai rendah dan wajahnya yang horror, Sasori pun menaikkan alisnya, penasaran. Dan sang bocah menyembunyikan wajahnya di balik lipatan tangannya, masih gemetaran.

"…bahwa orang yang membunuh raja dan istrinya adalah sang putri itu sendiri."

Atmosfer mencekam. Deidara melotot untuk melihat reaksinya. Sang bocah masih meringkuk gemetaran. Sasori memasang wajah terkejut sekilas dan memasang wajah curiga pada bocah itu.

"Deidara, apa kau tahu siapa putri kerajaan itu?" tanya Sasori tiba-tiba. Deidara mengerjapkan matanya sejenak, dan menjawab, "Err… tidak."

"Begitu. Dan kau tahu berapa usianya kira-kira?"

"Aku kurang tahu, sih. Soalnya selama ini sang raja selalu merahasiakan segala hal mengenai keluarganya. Anaknya, saudaranya… Yang kita ketahui hanyalah dari keturunan siapa raja itu dan siapa istrinya, tapi ketika mereka telah melahirkan seorang anak, tidak ada beritanya sama sekali. Barulah beredar kalau sang raja telah memiliki seorang anak perempuan entah sejak kapan. Bahkan sang raja juga tidak menyebutkan kalau ia punya saudara kandung, bukan?"

Jawaban Deidara membuat Sasori berpikir sejenak, dan menimang-nimang dugaannya.

"Tapi menurut dugaan orang-orang, sang putri sudah remaja—sekitar enam belasan tahun. Tapi itu sih menurut orang yang menuduh sang putri adalah pembunuhnya. Kalau sang putri masih anak-anak, mana mungkin ia bisa membunuh, 'kan?"

Penjelasan tambahan Deidara itu otomatis membuat tatapan Sasori kembali mengarah pada sang bocah. Bocah itu masih meringkuk, tampak tak berniat untuk menyuarakan pendapat. Sasori kembali berpikir. Awalnya ketika ia menuduh bahwa bocah itu adalah putri kerajaan yang menghilang, ia belum tahu mengenai rumor yang beredar. Ditambah dengan reaksi bocah itu yang tampaknya menghindarinya seolah pernyataannya benar, Sasori yakin kalau bocah itulah sang putri. Tapi… ketika Deidara mengatakan kalau putri kerajaan itu sempat dituduh atas pembunuhan tersebut, Sasori mulai meragukan pendapatnya.

Kalau benar bocah kecil berambut merah muda itu adalah putri kerajaan, mustahil bahwa ia yang membunuh ayah ibunya, bukan?

Tapi, masih ada dugaan kalau sang putri diculik.

Dan bocah yang dicurigai sebagai seorang putri kerajaan sedang berada di rumahnya.

Jadi Sasori adalah penculiknya?

Konyol sekali.

Misteri bocah tanpa nama itu membuat Sasori jengah.

"Bagaimana menurutmu, Sasori?" tanya Deidara, ketika ia mengamati wajah Sasori yang mengerut tampak memikirkan sesuatu.

"Huh?"

"Apa kau punya dugaan di mana keberadaan sang putri?"

Sasori terdiam sejenak, tampak ragu-ragu, sebelum akhirnya menjawab, "…Ya."

"Eh? Benarkah? Di mana?" Deidara menatapnya antusias.

Dan Sasori mengarahkan jari telunjuknya ke arah bocah yang meringkuk di ujung sofa.

Deidara melongo.

"Kau… kau bercanda, 'kan?" Rekan berambut pirang eksentrik itu tampak terperangah, tidak percaya. Dan Sasori hanya mengangkat bahu.

"Itu kan dugaanku."

"Tapi…" Deidara melirik bocah itu melalui sudut matanya, "kenapa kau bisa berkata begitu?"

Sasori tidak menjawab. Ia memandang tajam bocah itu, dan kemudian berjalan mendekat. Ketika ia telah sampai di hadapan bocah perempuan itu, Sasori berkata, "Sebaiknya kau menjelaskan asal-usulmu, Bocah—sebelum kami menyerahkanmu pada pihak yang berwenang."

Hening.

Bocah itu akhirnya mengangkat kepalanya, matanya tak fokus, mulutnya terbuka-tertutup. Deidara memandangi mereka berdua, tidak berkomentar. Sasori mencoba bersabar untuk menunggu.

"Ku-kumohon… setelah aku menceritakannya pada kalian, kalian tidak akan mengusirku…" Suara bocah itu memelas, tampak putus asa.

"Itu tergantung, Bocah." Dan Sasori tidak membuat keadaan menjadi lebih baik.

Bocah itu menunduk kembali, dan akhirnya bercerita, "Aku… memang berasal dari kerajaan—akulah sang putri." Deidara terkejut. Sasori menatapnya seolah berkata 'sudah kuduga'.

"Akhir-akhir ini kondisi ayahku memburuk, ibuku rutin merawat ayahku, dan penasehat kerajaan—pamanku—juga sering menjenguknya dan memberinya obat agar ayahku cepat sembuh. Tapi… bukannya sembuh, ayahku malah tambah parah…"

"Aku sudah curiga pada pamanku semenjak ia bertengkar dengan ayahku. Jadi suatu hari, ketika pamanku hendak membeli obat untuk ayahku, aku diam-diam mengikutinya dan rupanya… yang dibeli pamanku adalah racun—ayahku diracuni." Bocah itu berhenti, wajahnya tampak hendak menangis, dan Deidara mengelus punggung bocah itu untuk menenangkannya.

"Aku hendak memberitahu ayah dan ibuku, tapi ternyata aku ketahuan sedang mengikutinya, dan pamanku mengancamku akan langsung membunuhku kalau aku buka mulut." Mata bocah itu berkaca-kaca, suaranya terdengar parau.

"Karena itulah, sesampainya di istana, aku segera kabur dari rumah—aku tahu ayah dan ibuku tak akan bertahan hidup lebih lama lagi, dan aku mungkin juga akan dibunuh. Aku mencoba mencari tempat perlindungan, tapi tak seorangpun di luar istana yang kukenal. Aku selalu dilarang berinteraksi dengan siapapun oleh ibuku. Dan… dan… ketika aku putus asa, aku melihatmu, Sa-Sasori… sedang memasuki sanggar teater. Hanya itulah satu-satunya harapanku. Karena itu… aku…" Bocah itu tak melanjutkan, sebagai gantinya air matanya mengalir deras dari ujung matanya. Deidara sempat panik dan memberikan tatapan bertanya pada Sasori, dan Sasori hanya mengamati bocah itu.

Merasa iba dengan kondisi si bocah, akhirnya Sasori memejamkan matanya dan menghela napas, "Baiklah, aku mengerti."

Deidara masih heran memandangnya, "Jadi, kau mengenal putri kerajaan, Sasori? Sejak kapan?"

"Aku pernah bertemu dengannya dulu, tapi aku tak tahu kalau ia seorang putri."

"Oh…" Deidara mengalihkan pandangannya pada bocah yang masih menangis, tangannya menepuk punggung si bocah, mencoba menenangkan.

"Ngomong-ngomong, siapa namamu?" tanya Sasori, matanya memandangi sang bocah dengan tatapan sulit diartikan.

"Sa-Sakura…"

"Berapa umurmu?"

"D-delapan t-ta-hun…"

"Baiklah, Sakura. Berhubung bahwa kau adalah bocah perempuan delapan tahun dan tidak punya rumah, kurasa sebaiknya kalau kau kumasukkan ke panti asuhan saja—tidak ada yang tahu identitasmu. Lagipula kau akan lebih terurus di sana." Pernyataan telak ini tampaknya mengejutkan Sakura.

"Ti-tidak!" Sakura menggeleng-geleng kuat, "aku tidak mau! Aku yakin pasti pihak kerajaan akan mencariku, kalau aku berada di panti asuhan, pasti aku akan tertangkap. Tolong… kalian sudah mengetahui identitasku… kalian bisa menyembunyikanku…"

Suara putus asa itu lagi.

"Tapi, Sakura, tidak mungkin kau terus-terusan tinggal serumah dengan laki-laki dua puluh tujuh tahun…" Sasori memejamkan matanya, frustasi. Ia mendelik sekilas ke arah Deidara yang mendengus berusaha menahan tawa.

"Tidak apa, 'kan? Bukankah Sasori sudah cukup dewasa untuk mengurusku?"

"Iya, aku tahu, maksudku… aku laki-laki—"

"Memang kenapa? Sasori bisa bertindak sebagai ayahku."

Ini akan sulit.

Sasori tak habis pikir. Ia mengusap wajahnya dan menunduk sambil menutupi matanya. "Kau tidak akan terurus di sini. Kau tahu, pekerjaanku hanya seorang seniman, dan penghasilanku pas-pasan. Kalau kau ikut menumpang tinggal di sini—"

Perkataan Sasori terputus ketika ia mendengar suara gemerincingan koin. Ketika ia mengangkat wajahnya, dilihatnya Sakura menggenggam sebuah kantung—yang diduganya berisi koin emas.

"Aku akan membayar untuk keperluanku sendiri. Aku juga akan ikut membantu mencari uang," ujar Sakura tegas, wajahnya serius.

Oi, oi, kalau sampai membawa uang begitu… bocah ini benar-benar berniat untuk kabur rupanya…

Sasori mengacak rambutnya frustasi. Deidara sama sekali tidak membantu—sedaritadi hanya melempar cengiran ke arahnya dan memandangnya seolah berkata sudah-terima-saja. Pemuda berambut merah itu berpikir, mencoba mencari alasan, tapi karena merasa tidak punya pilihan, dengan pasrah akhirnya ia pun menyetujui.

"Baiklah, kau boleh tinggal di sini selama yang kau mau, Bocah."

Dan bocah perempuan itu pun tersenyum merekah.

Pada akhirnya, bocah itu bukan tanpa nama lagi—Sakura.


Sasori sedang berdiri bersandar di depan sebuah toko pakaian. Temperatur mulai menghangat, setidaknya ia tidak akan mati membeku bila hanya tegak di sini. Tapi Sasori tetap merapatkan mantel dan syalnya, kepalanya ia sandarkan ke dinding, dan mendongak menatap langit kelabu. Matahari tidak terlihat begitu jelas, tapi setidaknya hari ini lebih terang—dan lebih hangat.

"Ah, maaf telah membuatmu menunggu, Sasori."

Bocah perempuan—Sakura—keluar dari toko sambil membawa beberapa bungkusan. Ia masih mengenakan jubah dan tudungnya, namun tadi Deidara menyuruhnya untuk membeli beberapa pakaian. Karena itu, Sasori harus menemani bocah itu keluar untuk membeli keperluannya—walaupun menurutnya itu agak membosankan.

Tapi Sakura begitu antusias selama perjalanan ini.

Ah, ia lupa. Bocah itu kan jarang sekali keluar dari istananya dengan bebas seperti ini…

Sakura seringkali berhenti di tengah jalan untuk melihat-lihat, atau mungkin mampir sebentar dan masuk ke dalam toko. Sasori lebih memilih untuk menunggunya saja di luar—walau ia tak suka menunggu.

Kali ini pun, mereka sudah mampir ke delapan tempat sebelum sampai ke tujuan utama—toko pakaian.

Benar-benar…

"Nah, ada lagi yang mau kau kunjungi, Bocah?" Sasori mencoba menekan nada sarkasmenya, ia mulai lelah. Namun tampaknya semangat bocah ini masih membara, seolah ia ingin mengunjungi semua tempat saat ini juga.

"Umm… Ya, aku—" Omongannya terhenti ketika matanya terpaku pada sesuatu, kemudian membelalak, wajahnya memucat. Sasori mengangkat sebelah alisnya, heran, sebelum akhirnya ia mengikuti arah pandang Sakura dan melihat serombongan pasukan kerajaan yang sedang berjalan menerobos kerumunan orang-orang yang sedang melintas.

Sasori hendak bertanya pada Sakura sebelum tiba-tiba ia ditarik oleh bocah itu menuju sebuah gang sempit di antara pertokoan.

"Oi, oi, kenapa kita ke si—"

"Sssst!" Sakura meletakkan jari telunjuknya di depan mulutnya, berdesis panik. Sasori memandangnya dengan malas. Apa-apaan ini?

Ketika serombongan pasukan kerajaan sedang melewati gang tersebut, Sakura tampak semakin bergetar dan mengeratkan genggamannya pada mantelnya, membuat Sasori harus membungkuk karena bocah itu juga menariknya. Mereka terdiam beberapa saat sampai suara derap langkah kaki rombongan itu tak terdengar lagi.

"Hei…"

"Me-mereka pasti mencariku…"

"Huh?"

Sasori mengerjapkan matanya, bingung. Ia menunduk untuk melihat wajah sang bocah, yang tampak cemas dan berkeringat dingin. Hingga akhirnya sebuah pemikiran terlintas di kepalanya.

Tentu saja, putri kerajaan telah menghilang. Dan mereka mengutus orang-orang untuk mencarinya. Tapi orang yang mereka cari saat ini sedang berada di hadapan Sasori, sedang gemetar ketakutan.

Sasori mendengus.

"Baiklah, mereka sudah pergi. Kurasa sebaiknya kita langsung pulang saja?" tanya Sasori. Sakura segera mengangguk cepat-cepat.

Saat mereka keluar dari gang, Sakura terus-terusan menempel dengannya. Ia memegangi lengan mantel Sasori erat, jalannya agak lebih mendempet ke arahnya. Setiap kali ada orang yang lewat di sampingnya, Sakura semakin mendempet padanya—seolah orang-orang yang ada di luar sana selain Sasori akan menangkapnya kalau ia ketahuan. Dan karena Sakura harus menyeimbangkan jalannya dengan Sasori, tak jarang beberapa kali ia tersandung tumpukan salju dan Sasori hampir tertarik olehnya. Karena kesal, akhirnya Sasori mengeluarkan sebelah tangannya dari saku mantelnya dan menggenggam pergelangan tangan bocah itu. Sakura agak terkejut, tapi tak berbicara. Sasori menghela napas dan mengeluarkan uap putih dari mulutnya, dan mencoba menggenggam telapak tangan mungil si bocah.

Baru ia sadari kalau mereka tidak memakai sarung tangan.


"Ngomong-ngomong, Sasori…"

"Hm?"

"Kapan Sasori akan mengadakan pertunjukan boneka lagi?"

Sakura sedaritadi mengamati Sasori yang sedang memperbaiki tangan salah satu bonekanya. Ia hanya duduk di sampingnya dan sesekali menanyainya tentang marionette. Sasori tidak merasa terganggu dengan kehadirannya, jadi ia membiarkannya saja ketika Sakura memandang ingin tahu pada boneka-boneka kayunya yang tergeletak di atas meja kerjanya—atau terkadang iseng menggerak-gerakkan boneka itu.

"Besok sore." Sasori meletakkan tangan boneka kayu itu, lalu menggapai boneka yang lain, memeriksanya.

"Bolehkah aku ikut menonton?" tanya Sakura, penuh harapan. Sasori menoleh ke arahnya sebentar, tampak menimbang-nimbang.

"Bukannya kau takut akan ditemukan oleh pasukan kerajaan saat kau keluar nanti?"

"I-iya, sih… Tapi… tak adakah cara lain agar aku bisa keluar dari rumah tanpa dicurigai?" Sakura memasang wajah setengah memelas, setengah putus asa.

Sasori mencoba memikirkan sesuatu, sebelum akhirnya ia mendapat sebuah ide.

"Aku tahu bagaimana caranya."


Di sebuah rumah kecil yang agak tersudut dari pemukiman, di depan halaman rumahnya, seorang pemuda berambut merah baru saja keluar dari rumah tersebut. Ia mengenakan mantel dan syalnya yang biasa, dengan tas besar di punggungnya. Ia menutup pintu rumah, menguncinya, kemudian mulai menjejakkan kakinya di atas tumpukan salju—sebelum akhirnya menapakkan kaki di atas jalan bebatuan.

"Apa kau merasa sesak di dalam sana?" Pemuda itu bersuara, entah kepada siapa.

Dari sini ia hanya terlihat sedang berjalan seorang diri sambil menenteng tas besar di punggungnya. Dan saat itu jalanan sedang lengang.

"…T-tidak." Sebuah sahutan muncul entah dari mana. Suara anak kecil. Apa itu hanyalah delusi?

"Baiklah, kalau begitu berhati-hatilah agar kau tidak meremukkan bonekanya, Bocah," balas si pemuda, "beruntung hari ini aku hanya memerlukan sedikit boneka—jadi tasnya tidak penuh."

Dan suara ritsleting yang ditarik pun terdengar. Rupanya ritsleting tas pemuda itu. Tapi… ritsleting itu terbuka sendiri, dan…

Sebuah kepala menyeruak dari dalam tas tersebut.

Kepala anak perempuan, berambut merah muda.

"Kurasa aku berubah pikiran—di dalam sini sesak sekali, Sasori," protes si kepala merah muda itu. Wajahnya memerah dan berkeringat, mulutnya menghembuskan uap putih. Dan pemuda yang disebut Sasori itu memasang wajah kaget.

"Hei, jangan mengeluarkan kepalamu begitu, Bocah! Kalau ada orang yang melihatnya bagaimana?" serunya panik. Matanya celingukan untuk memastikan bahwa tidak ada seorang pun di sana.

"Maaf, Sasori. Tapi kurasa aku kesulitan bernapas di sini."

"Kalau begitu lebih baik kau pulang saja sana!"

"A-apa? Tidak! Aku mau nonton pertunjukan boneka Sasori!"

"Nah, masukkan kepalamu dan tutup ritsletingnya. Ini satu-satunya cara yang terpikirkan olehku untuk membawamu keluar."

"Ba-baiklah…"

Bocah itu memasang wajah cemberut dan mematuhi perkataan Sasori. Dan Sasori terus berjalan dengan hati-hati agar tidak terpeleset. Ia telah memasuki pemukiman penduduk. Orang-orang mulai berlalu-lalang melewatinya dengan celotehan ramai. Sasori meneruskan perjalanannya dan berhenti ketika ia telah sampai ke tempat tujuannya—sanggar teater. Ia masuk melalui pintu belakang dan dilihatnya beberapa orang sudah mengisi bangku penonton yang tersedia. Sebelum ia menurunkan tasnya, ia disela oleh si pemilik teater, dan berbincang sebentar mengenai pertunjukannya—hanya untuk basa-basi. Dalam hati Sasori ingin segera mengakhiri obrolan tidak penting itu, dan melirik cemas pada tas besarnya—lebih tepatnya pada bocah yang ada di dalam tas tersebut.

Setelah ia mohon undur diri dengan alasan ingin menyiapkan pertunjukannya, Sasori segera mengangkat tas itu dan membawanya ke belakang panggung. Dengan cepat ia langsung menarik ritsleting tasnya dan tiba-tiba kepalanya dihantam oleh kepala bocah yang mendadak muncul dari tas itu.

"Agh!"

"Aww!"

Dan mereka meringis kesakitan sambil mengelus dahi mereka yang berdenyut. Sasori mendelik tajam pada bocah yang juga balas memandangnya dengan tatapan memelas.

"Ma-maaf…"

Sasori mengabaikan permintaan maaf si bocah—Sakura—dan mengangkat bocah itu keluar dari dalam tas, sekali lagi, mengabaikan reaksi terkejut Sakura.

"Sudahlah. Nah, kau bisa menonton pertunjukanku dari sudut sana," ujar Sasori sambil mengarahkan telunjuknya ke tempat yang dimaksud. Sakura melirik sekilas pada arah yang ditunjuk Sasori dan akhirnya segera beranjak meninggalkan Sasori yang sedang sibuk menyiapkan boneka kayunya.

Sakura menaikkan tudung jubahnya—berjalan menunduk menghindari tatapan orang ketika ia melintasi bangku-bangku penonton—dan memilih untuk duduk di tempat yang agak terpencil. Ini bertujuan agar ia tidak banyak berinteraksi dengan orang lain.

Dari sini ia memang tidak dapat melihat dari dekat, namun setidaknya pandangannya tidak terhalangi oleh kepala para penonton, sehingga ia bisa menonton dengan lebih leluasa tanpa terhalangi. Tak berapa lama kemudian, pertunjukan boneka pun dimulai…


"Wow, cerita yang bagus, Sasori. Permainanmu dalam menggerakkan bonekanya sangat halus—seolah mereka memang bergerak dengan sendirinya." Sakura segera mengutarakan pujiannya ketika ia kembali ke belakang panggung menemui Sasori. Bangku penonton telah sepi, dan hanya ada mereka berdua saja di sana. Sakura masih berceloteh mengenai kekagumannya, dan Sasori hanya mendengarkan sambil mengemasi bonekanya.

"Kau tahu, Sasori? Ceritamu itu telah memotivasiku…" Sakura menggantungkan kalimatnya. Mata hijau cemerlangnya memandang penuh pada sesosok pemuda berambut merah di hadapannya. Sasori masih terfokus pada bonekanya. "…bahwa hidup seperti ini ternyata tidak seburuk yang kukira."

Sasori menghentikan gerakannya. Sakura masih menatapnya. Dan keheningan pun mengisi ruangan itu.

Sasori tak tahu harus berkomentar apa. Selama ini ia mengira bocah itu pastilah merasa terpukul atas apa yang telah dialami keluarganya, namun selama ini Sakura tak pernah menceritakan hal itu padanya—dan Sasori juga tidak ingin menanyakannya. Ia menganggap kalau bocah itu butuh beberapa waktu untuk dapat menenangkan dirinya dan menerima kenyataan. Dan Sasori tahu kalau di sepanjang tidur si bocah, ia selalu mengigau seolah mencoba memperingatkan ayah dan ibunya, dan Sasori selalu menahan diri untuk tidak menyinggung hal tersebut ketika bocah itu bangun. Ia tahu sangat sulit bagi Sakura untuk mengalami hal yang menyakitkan itu—bahkan Sasori pun dapat memahami perasaannya.

Karena ia juga pernah mengalaminya.

Bahkan lebih menyakitkan.

Merasa bahwa ia harus menanggapi perkataan Sakura, Sasori bersuara, "Ah? Begitu…"

Respon yang salah.

Sakura tampak tidak puas dengan jawaban Sasori.

"Bagaimana menurut Sasori?"

"Huh?"

"Tentang aku."

"…Huh?"

Sasori mengangkat sebelah alisnya.

"Itu… saat ini aku tinggal bersama Sasori, bukan? Di cerita tadi, anak laki-laki yang ditemukan oleh pemuda itu juga tinggal bersamanya karena tak punya rumah. Lalu… mereka pun akhirnya menjadi teman—seperti saudara…" Sasori masih mendengarkan perkataan Sakura, terdiam, mencoba menebak ke mana arah pembicaraan ini.

Sakura mencoba melanjutkan perkataannya, salah tingkah, dan tampak skeptis, tapi akhirnya ia bersuara, "Ja-jadi… menurut Sasori, ap-apakah… kita bisa menjadi teman juga—seperti mereka?"

Sasori terdiam.

"Teman? Ya, tentu. Kau bisa menjadi teman yang baik, Bocah," balas Sasori, kembali melanjutkan kegiatan mengemasi bonekanya. Sakura masih mengamati Sasori, bimbang.

"Berarti… aku boleh tinggal di rumah Sasori terus?"

Sasori hampir menjatuhkan boneka kayunya.

"…."

Ini akan sulit.

Sambil mengusap wajahnya dan memejamkan matanya, Sasori berkata, "Tidak bisa, Sakura."

Tampak mata Sakura yang semakin melebar ketika mendengar jawabannya. "K-kenapa…?"

"Tidak mungkin kau harus terus-terusan tinggal dengan laki-laki yang—umurmu delapan tahun ya?—sembilan belas tahun lebih tua darimu. Suatu saat nanti kau harus tinggal memisah denganku."

"Memang kenapa kalau lebih tua sembilan belas tahun? Suatu hari nanti kalau Sasori sudah tua dan menjadi seorang kakek, aku bisa mengurusmu…"

CTAK!

Perempatan siku-siku muncul di pelipis Sasori.

Mengapa bocah ini susah sekali untuk mengerti?

"Dengar, Bocah, apa yang akan dipikirkan oleh orang lain ketika ada laki-laki dua puluh tujuh tahun dengan bocah perempuan delapan tahun yang tinggal bersama?"

Sakura mengerjapkan matanya, mencoba mencerna perkataan Sasori.

"Umm… tampak seperti ayah dan anak perempuannya?" ujar Sakura polos.

"Kalau begitu, bagaimana ketika kau sudah berumur belasan tahun remaja dan aku sudah berumur tiga puluhan tahun, apa pendapat mereka?"

"Wow… Sasori sudah setua itu, kah? Tapi, yah… tetap terlihat seperti seorang ayah dan anak gadisnya, 'kan?"

"Tapi, bagaimana mungkin mereka bisa berpendapat begitu ketika aku belum menikah dan punya istri?!"

"Yaa… mereka mungkin mengira Sasori telah mengadopsi seorang anak, 'kan?"

Sasori menepuk jidatnya, frustasi. Ia memijit pelipisnya, mencoba mencari alasan agar bocah itu dapat mengerti mengenai apa yang dimaksudkannya. Sejak Sakura tinggal bersamanya, Deidara seringkali melempar cengiran menyebalkan padanya dan selalu mengangkat topik pembicaraan yang menyinggung pedofil setiap mereka bertemu. Rekan berambut pirang eksentrik itu juga selalu mencocokkan tema yang sering diangkatnya dalam pertunjukan bonekanya dengan keadaannya sekarang, dan juga sering menasehati Sakura agar berhati-hati padanya, seolah ia adalah hewan buas. Sasori sudah beberapa kali mematahkan tangan bonekanya ketika Deidara berkunjung ke rumahnya saat ia sedang bekerja, dan Sakura selalu tidak bisa memahaminya ketika ia mencoba menyiratkan alasan bahwa ia tidak mau tinggal bersama bocah itu. Namun…

Entah mengapa semua itu sulit sekali.

"A-apakah…"

Suara Sakura yang terdengar tercekat menghentikan Sasori dari kegiatan memijit pelipisnya.

"Apakah… selama ini Sasori merasa terganggu dengan kehadiranku…?" Wajah Sakura tampak murung, mata hijau cemerlangnya tampak suram, dan kepalanya tertunduk. Sasori merasa tidak enak padanya.

"Bukan begitu, hanya saja…" Sasori menggantungkan kalimatnya. Tidak mungkin ia menjelaskan bahwa ia tidak ingin disalahpahami sebagai pedofil, bukan? Jadi Sasori hanya menghela napas panjang, dan kemudian menarik tasnya tepat di depan Sakura.

Sakura hanya memandang kosong pada tas itu.

"Pulang?" tanya Sasori, ia membuka lebar-lebar ritsleting tasnya, menyuruh Sakura untuk segera masuk ke dalam. Dengan lambat, Sakura pun beranjak dan memasukkan kakinya ke dalam, lalu duduk meringkuk di sana—wajahnya masih sama murungnya. Sasori kemudian menutup ritsleting tasnya dan mengangkat tas itu ke punggungnya.

Dan sekali lagi, berjalan melangkahi pintu keluar ruang teater bersama bocah perempuan itu.


Sasori telah berhasil merahasiakan keberadaan bocah itu.

Hanya rekan berambut pirang eksentriknya itulah yang mengetahui keberadaan Sakura. Sejauh ini, Sasori selalu meninggalkan Sakura di rumah selagi ia sedang pergi ke luar membeli sesuatu. Sakura hanya ia ajak keluar kalau ia sedang ada pertunjukan saja—sehingga bocah itu bisa masuk ke dalam tasnya. Kalau Sakura ingin membeli sesuatu, maka Sasori yang akan membelikannya—tergantung dari barang apa yang diinginkannya. Jika itu adalah barang khusus perempuan, maka Sasori akan menolak membelikannya. Namun sejauh ini ia masih bersedia membelikan beberapa barang anak-anak, seperti boneka atau krayon. Akhir-akhir ini Sakura menghabiskan waktu dengan menggambar atau membantu Sasori memperbaiki boneka kayunya. Sasori tahu bahwa mungkin saja bocah itu sudah suntuk berada di rumah seharian. Tapi Sakura tak bisa terang-terangan mengeluh, apalagi semenjak kejadian dua hari yang lalu—ketika Sakura ingin pergi ke luar membeli syal, dan ingin memilih sendiri.

Dengan berat hati, Sasori membiarkan Sakura ikut keluar dengannya dengan mengenakan jubah dan tudung untuk menutupi wajahnya. Akhir-akhir ini pasukan kerajaan sering berkeliling daerah pemukiman penduduk untuk mencari putri kerajaan tersebut. Dan Sakura tentunya tak ingin ditemukan. Sejauh ini, pihak kerajaan masih merahasiakan bagaimana persisnya putri tersebut, namun pada hari di mana Sakura memutuskan untuk pergi keluar, sebuah selebaran yang di tempel di pohon depan rumah Sasori mengejutkan mereka berdua.

Sebuah selebaran yang menuliskan ciri-ciri putri kerajaan yang dicari—beserta himbauan agar segera melaporkan pada pihak kerajaan bila melihat atau menemukan putri tersebut, dengan imbalan yang besar.

Sakura tampak syok sekali saat melihat selebaran itu, dan Sasori tanpa pikir panjang segera mengangkat bocah itu dan membawanya masuk ke dalam—bersumpah untuk tidak akan membawa Sakura keluar lagi sampai batas waktu tertentu.

Berkat itulah, Sakura tidak bisa menikmati kebebasannya saat ia telah meninggalkan istana—malah kembali terkurung di dalam rumah pemuda dua puluh tujuh tahun untuk bersembunyi dari pelariannya. Sejujurnya, Sasori cukup kasihan melihatnya.

Hari ini, Sakura demam.

Untuk pertama kalinya sejak ia tinggal di rumah Sasori, bocah itu sakit. Sasori tidak tahu bagaimana mengurusnya—selain mengompres dahinya dan membelikannya obat. Untuk makanan, Sasori hanya menyiapkan bubur—ia sama sekali tidak tahu-menahu dalam merawat anak yang sedang sakit. Dan Sakura juga tampaknya tidak banyak tingkah, selain ia menjadi lebih banyak mengigau saat tidur. Sasori mengira kalau bocah itu demam karena ketakutannya akan pengejaran dirinya.

Dan ketika sudah mulai larut malam, saat Sasori sedang membuat boneka kayu yang baru, suara ketukan keras memecah keheningan malam di rumahnya. Sasori bertanya-tanya siapa orang bodoh yang datang ke rumahnya selarut ini selain Deidara. Dan ketika Sasori mencoba mengintip melalui jendela, ia terkejut.

Orang dari kerajaan.

Tanpa berpikir panjang, Sasori segera menghampiri Sakura yang sedang tidur di kamarnya—ia membiarkan bocah itu tidur di ranjangnya saat sakit sedangkan ia bergantian tidur di sofa—mencoba menyembunyikan bocah yang sekarang ada dalam gendongannya, terbangun, dan bertanya.

"A-ada apa…?"

"Orang kerajaan, kurasa mereka mencarimu. Aku akan menyembunyikanmu, tapi… di mana?" Ketika Sasori tengah kebingungan mencari tempat persembunyian teraman selagi pintu rumahnya digedor semakin keras, akhirnya ia melihat sebuah boneka kayu berukuran besar yang ia buat sebagai koleksi—boneka kayu seukuran manusia yang gemuk. Tanpa pikir panjang, Sasori membuka bagian perut boneka lalu memasukkan Sakura yang sedang terkulai lemas di sana.

"Kau… di sini saja. Jangan bersuara. Hanya sebentar, oke."

Dan Sasori segera menghampiri pintu rumahnya dan memutar kunci rumahnya terburu-buru, sebelum akhirnya ia hampir terjengkang saat pintu itu didorong terbuka dan orang-orang kerajaan itu langsung menerobos masuk ke rumahnya tanpa izin.

"Oi, apa-apaan kalian masuk ke ruma—"

"Kami sedang mencari putri kerajaan, kau tahu, disebutkan di selebaran yang tersebar bahwa kami akan menggeledah semua rumah untuk mencari keberadaan sang putri."

Dugannya benar.

Sasori terus memandang tajam sekelompok orang yang mulai menggeledah rumahnya. Dan sesekali melirik pada boneka kayu gemuk yang berada di ruang kerjanya.

"Asal kalian tahu, aku tinggal sendirian di sini. Tidak mungkin ada bocah perempuan di rumahku…"

"Diamlah! Ini perintah kerajaan, dan kami akan memeriksanya dengan teliti…"

Namun ketika salah satu dari mereka mulai mendekati koleksi boneka kayu besarnya, Sasori sempat panik sebentar sebelum ia menguasai dirinya lagi.

"Cukup. Aku masih bisa mentolerir kedatangan kalian yang mendadak selarut ini, tapi aku tak akan membiarkan kalian membongkar karya-karyaku," ujar Sasori dingin, dengan penekanan di setiap perkataannya, dan menatap tajam pada sekelompok orang di sana. Mereka terdiam dan saling memandang sejenak, sebelum akhirnya salah satu dari mereka berkata, "Baiklah, kita sudah memeriksa semua tempat dan tidak ada kemungkinan sang putri di sini. Kami mohon maaf telah mengganggumu, Tuan. Dan karena tugas kami selesai, kami akan segera pergi dari sini. Selamat malam."

Dengan aba-aba salah satu dari mereka, sekelompok pasukan itu pun berangsur meninggalkan rumahnya.

Ketika Sasori menutup pintu rumahnya dan menguncinya, ia segera berlari menghampiri boneka kayu besar itu dan membuka bagian perutnya—dan melihat Sakura yang gemetaran dengan air mata yang sudah membasahi wajahnya.

Bocah itu menangis sesenggukan sambil memeluk lututnya, tampaknya sedaritadi berusaha menahan isakannya. Melihat kondisi Sakura yang cukup mengenaskan, entah karena dorongan apa, ia menarik keluar bocah itu dan mendekapnya erat—membuat wajah Sakura bertubrukan dengan dadanya. Sasori membiarkan bocah perempuan itu menangis sesenggukan, sembari mengelus belakang kepalanya, mencoba menenangkan. Sejujurnya, ia tidak tahu bagaimana menenangkan tangisan seorang bocah, dan ia tahu bagaimana perasaan Sakura saat ketakutan di dalam tempat sempit tersebut. Karena itu, satu-satunya hal yang ia pikirkan untuk menenangkan bocah itu adalah dengan memeluknya.

Ia yakin kalau bocah itu pastilah telah melihat figur ayah pada dirinya—karena setiap kali Sasori menyinggung mengenai jauh perbedaan umur mereka, Sakura selalu menganggap kalau jarak umur mereka sudah seperti orangtua dan anak. Bocah itu tampaknya memang memandangnya sebagai sosok pelindungnya—yang kalau bukan seorang ayah berarti saudara.

Saudara, huh?

Tampaknya itu lebih baik daripada seorang ayah—bagaimanapun ia belum menikah.

Tapi…

Entah kenapa Sasori tidak menyukai pemikiran tersebut.

Dibanding seorang anak atau adik, ia memandang Sakura dengan pandangan yang berbeda—yang membuatnya merutuki perkataan Deidara.


TAMAT


Catatan Penulis: Akhir yang ambigu, dan menggantung. Maafkan saya bila ada yang kebingungan dengan latar waktu dan tempat, namun saya andaikan itu di masa kerajaan dengan teknologi yang masih sedikit. Saya harap pembaca dapat membayangkannya. Sampaikan kritik dan saran bila berkenan, dan terima kasih telah membaca.

N A N O