Goryeo (3rd Monarch)
Jikalau bumi ini bisa memutar balik waktu ke masa yang dulu, Wang Eun ingin mengulang waktu. Dimana dirinya masih bebas bernapas dengan lega, masih bisa tertawa, bercanda, bermain dengan aneka mainan yang dia miliki, atau sekedar melakukan hal-hal membosankan seperti mengikuti sesi minum teh bersama Raja dan Ratu berserta saudara-saudara nya, melakukan berbagai upacara yang selalu berhasil membuat dirinya mengantuk, bertengkar dengan Jung, belajar melukis bersama Baek Ah, menggoda dayang-dayang istana cantik ditemani Won, memaksa Wook untuk membantu nya menulis syair-syair indah, sampai bercerita tentang hal-hal menakjubkan yang ada di luar istana dan mengajari cara memainkan boneka bersama So.
Sungguh banyak yang ingin Wang Eun ulang kembali. Seperti ingin membuka buku usang, lalu setiap halaman nya dia baca satu per satu. Tentu ada beberapa hal yang juga ingin Wang Eun perbaiki kembali.
Dia ingin meminta maaf kepada semua orang yang sudah pernah dia pukuli dan berakhir dengan mendapatkan hukuman parah dari Raja. Dia juga ingin memberikan seluruh mainan yang dia miliki kepada semua orang sebagai wujud permintaan maaf nya. Dan tentu, Wang Eun juga ingin meminta maaf kepada istrinya, Park Seon Deok. Hampir tiga tahun sejak mereka menikah, sekalipun Wang Eun tidak pernah memperlakukannya selayak seorang pangeran kepada istrinya. Setiap malam ketika mereka ingin tidur, Seon Deok selalu tersenyum dan berkata, "Jika kau keberatan, aku bisa tidur di bawah." Maka lagi-lagi, Wang Eun harus merasa bersalah dan berakhir menggendong Seon Deok dikala dia terbangun lebih pagi, lalu meminta kepada seorang pelayan istana untuk mengaku bahwa mereka lah yang membopong Seon Deok setiap pagi untuk tertidur di kasur. Wang Eun selalu memarahi Seon Deok setiap kali dia mendapati istrinya sedang berlatih pedang terlalu keras, "Kau itu istri dari seorang pangeran! Bukan dari seorang prajurit! Berhenti atau kau tidak akan mendapatkan kesempatan untuk bermain katapel bersama ku nanti malam," itu adalah kalimat terwajar Wang Eun ketika sedang memarahi Seon Deok. Dan ya, setiap malam Wang Eun selalu bermain macam-macam permainan bersama istrinya. Wang Eun mengerti dan sangat tahu bahwa Seon Deok selalu terlihat lebih nyaman ketika bersama dengan Jung, "Seharusnya kau menikah dengan Jung saja! Kalian lebih cocok bermain pedang sebelum tidur dari pada harus membuat ku susah bertemu dengan Hae Soo," setelah itu sudah pasti Seon Deok akan berlari sejauh mungkin sambil menahan tangis nya yang pedih. Lagi dan lagi, rasa bersalah kembali menghampiri Wang Eun.
Begitu banyak perlakuan tidak baik yang sudah Wang Eun lakukan kepada istrinya. Tidak bisa di hitung berapa kali dia membentak, meneriaki, memaki Seon Deok. Namun begitu, Seon Deok tidak pernah melawan atau membalas kalimat pedas Wang Eun seperti yang selalu Hae Soo lakukan. Dia justru hanya menunduk, meminta maaf dan berjanji akan menjadi lebih baik.
Seon Deok tidak pernah marah ketika Wang Eun meminta melepas baju zirah nya, dia menuruti permintaan nya untuk menggunakan baju seorang putri.
Seon Deok rela melepas pedang nya hanya untuk menjadi istri yang baik.
Seon Deok selalu menahan tangis nya setiap kali Wang Eun membandingkan dirinya dengan Hae Soo.
Seon Deok tidak masalah untuk tidur dibawah.
Seon Deok tidak mengeluh ketika Wang Eun meminta nya mencarikan mainan baru di pasar malam setiap awal bulan.
Seon Deok selalu memastikan Wang Eun memakan makanan yang bersih, aman dari apa pun yang bisa membuat dirinya sakit.
Seon Deok selalu melindungi Wang Eun.
Semua perlakuan tulus itu belum sempat di balas setimpal oleh Wang Eun. Waktu tidak akan pernah kembali, waktu tidak akan pernah berubah, waktu tidak akan pernah bisa di atur. Tapi sampai saat ini, disaat semua orang sedang bersusah payah melindungi dirinya agar tidak tertangkap lalu di bunuh, dia masih menginginkan waktu untuk berputar. Agar dia bisa memperbaiki semua kesalahan yang telah dirinya perbuat.
"Lari! Ada banyak penjaga istana di luar sana!" seru Jung yang tergopoh-gopoh setelah berusaha untuk berlari secepat mungkin supaya bisa sampai di tempat persembunyian Wang Eun dan Seon Deok beserta Hae Soo tanpa tertangkap anak buah kakak nya yang telah menjadi raja, Wang Yo.
"Jung ah..." kata Wang Eun pelan, menunjukkan ekspresi terkejut nya karena seruan Jung barusan.
"Cepat! Aku akan menghentikan mereka, cepat lari!" seru Jung lagi, kali ini semakin panik. Jung menatap Hae Soo yang berdiri kaku di sebelah Seon Deok setelah memberikan beberapa daging kering untuk bekal Wang Eun dan dia di perjalanan nanti, "Kau juga Hae Soo! Ikut dengan mereka, tunjukkan jalan keluar seperti yang sudah kita buat kemarin. Kau masih ingat kan?"
Hae Soo mengangguk kemudian memberikan tatapan mengajak pergi sekarang juga kepada Wang Eun dan Seon Deok.
Sigap, Seon Deok langsung menggenggam tangan Wang Eun seerat mungkin dan berlari bersama Hae Soo.
Mereka berlari secepat mungkin, namun tetap waspada dengan setiap langkah yang di hentakkan. Bagaimana pun juga, mereka harus cepat keluar dari Damiwon dengan selamat.
"Kami disini untuk mencari pangeran kesepuluh. Cepat masuk dan geledah seluruh isi Damiwon!" terdengar suara penjaga istana dari luar Damiwon. Sial, mereka kalah cepat dengan para penjaga.
Wang Eun, Seon Deok dan Hae Soo berhenti berlari. Mereka semua saling tatap satu sama lain. Mencari jalan keluar teraman dan paling masuk di akal.
Seon Deok menatap Wang Eun lalu menghela napas, "Hae Soo, tolong bawa Yang Mulia ke jalan lain."
Membulatkan matanya, "Apa?" tanya Wang Eun kepada Seon Deok.
"Mereka tidak mungkin membunuh ku, mereka tahu siapa ayah ku. Yang mereka cari adalah kau, Yang Mulia." Jelas Seon Deok berusaha untuk tetap tenang, tidak gegabah.
Sayangnya, jalan pikiran Wang Eun dan Seon Deok berbeda. Kali ini bukan saat nya memikirkan siapa yang akan ditangkap dan siapa yang tidak akan ditangkap. Mereka bersembunyi untuk bisa selamat bersama, berarti pergi juga harus bersama. Itu lah yang ada di pikiran Wang Eun. Dan untuk kali ini juga, dia tidak akan membiarkan Seon Deok melindungi dirinya lagi. Mereka harus saling melindungi.
"Tidak. Kita harus pergi bersama." Kata Wang Eun, sambil menggenggam tangan istrinya.
Seon Deok menatap Wang Eun beberapa detik tepat di mata nya, lalu dia menatap Hae Soo, kemudian dia menatap tangan nya yang sedang di genggam oleh Wang Eun.
Dia tersenyum, "Aku akan menyusul mu nanti," sambil melepas tangan nya dari genggaman Wang Eun, "Aku berjanji."
Masih dengan keinginan nya yang bulat, Wang Eun menggelengkan kepala menolak keputusan Seon Deok.
"Aku mempercayai mu, Hae Soo." Ucap Seon Deok terakhir kali sebelum berlari meninggalkan Hae Soo bersama Wang Eun dan mengeluarkan pedang nya yang sejak kemarin sudah dia bawa untuk berjaga-jaga.
Sedangkan Wang Eun? Hanya terpaku menatap Seon Deok berlari memperjuangkan hidup mereka. Hidup mereka, sebagai seorang suami dan istri yang utuh.
"Dengarkan istri mu, ayo kita berlari, Yang Mulia." Ucap Hae Soo panik, menarik pergelangan tangan Wang Eun mengajak nya berlari.
Terkadang manusia terlahir bukan untuk menjalani hidup, tetapi untuk memahami arti sebuah kehidupan, arti sebuah pengorbanan, arti sebuah kebersamaan, arti sebuah ketulusan dan arti sebuah cinta. Wang Eun ingin membenarkan apa yang sudah pernah dia lakukan kepada Seon Deok. Dia ingin membalas semua nya, dia ingin untuk kali ini saja bisa membuktikan kepada Seon Deok bahwa dia bisa melindungi mereka. Seon Deok tidak memiliki siapa-siapa lagi, begitu pun juga dengan dirinya. Seok Deok lah yang selalu menunjukkan bukti ketulusan hati, kebersamaan, kehidupan, pengorbanan dan cinta. Untuk kali ini, untuk kali ini.
"Tidak. Aku tidak bisa bersembunyi memalukan seperti ini, di belakang istri ku."
Hae Soo berhenti menarik Wang Eun, menatap nya dengan ragu.
"Aku harus pergi, Seon Deok sendirian disana." Wang Eun melepaskan tangan nya dari Hae Soo dan hendak pergi,
"Yang Mulia!" seru Hae Soo, refleks menahan tangan Wang Eun erat dan menggeleng memohon untuk tidak berpikir pendek. Tetapi keputusan yang Wang Eun buat sudah bulat, dia harus bersama Seon Deok.
Wang Eun tersenyum, perlahan dia lepas tangan Hae Soo, "Apa yang bisa ku lakukan? Aku adalah orang terhebat yang dia miliki sekarang. Aku satu-satu nya yang dia miliki. Seon Deok adalah tanggung jawab ku."
Setelah itu, Wang Eun berlari mengejar Seon Deok bersama tekad yang dia miliki. Wang Eun tidak membawa apa-apa semacam senjata pedang atau panah, Wang Eun hanya membawa keyakinan dan keinginan nya untuk merubah segalanya.
Tunggu aku, Seon Deok. Kita harus bersama.
Kekuatan bisa hadir di saat yang tidak pernah kita ketahui. Rasa takut dapat tergantikan dalam sekejap. Padahal sudah jelas, itu semua belum cukup untuk menyelamatkan atau bahkan mengubah nasib setiap orang. Perasaan itu yang sekarang sedang meliputi Wang Eun dan Seon Deok. Berharap nasib mereka bisa terselamatkan di tengah pertempuran yang pada akhirnya mereka tahu akan berakhir seperti apa. Pengharapan tetap ada di dalam batin Wang Eun dan Seon Deok. Terutama pada Wang Eun yang sedang berusaha untuk melindungi istrinya.
Meskipun tadi Wang Eun sudah memohon kepada Wang Yo, "Hyung, biarkan kami pergi. Kami tidak akan pernah kembali ke Goryeo lagi, aku mohon. Bukankah kita bersaudara? Bukankah kita dulu tinggal bersama?" Namun sayang, hati Wang Yo terlalu keras seperti batu.
Dengan segala keberanian, tekad, kekuatan, yang datang nya entah sejak kapan, dia berlari sambil menggenggam pedang milik nya. Aneh, justru Seon Deok yang berdiri di hadapan dirinya berjuang melawan para penjaga istana. Sedangkan Wang Eun? Hanya berdiri kaku menatap istrinya dari belakang.
Tidak. Aku harus melindungi, Seon Deok.
Seon Deok terjatuh, lengan kanan nya tergores pedang. Segera tanpa berpikir berapa kali, Wang Eun berdiri di hadapan Seon Deok untuk menghalang penjaga istana yang ingin menghunus pedang.
"Yang Mulia..." suara Seon Deok terdengar sangat pelan, sebelah tangan nya menutupi luka yang dia dapati.
"Tidak. Aku akan melindungi mu." Wang Eun meyakinkan Seon Deok.
Tetapi sial, Wang Eun tidak menyadari di belakang ada salah seorang penjaga istana sedang berjalan dengan pelan untuk menikam dirinya. Sedetik sebelum dia mengayunkan pedang nya, Wang Yo memberi perintah untuk segera melakukan nya tanpa ampun.
SRET!
Seon Deok terkena hunusan pedang tepat di dada nya. Ternyata sedari tadi, dia sudah tahu bahwa ada seorang penjaga istana yang akan membunuh suaminya. Dia terjatuh telak, mata nya berkaca-kaca menatap Wang Eun dengan senyuman.
Dunia seakan berhenti saat itu juga. Wang Eun tidak bisa merasakan apa-apa di sekitar nya. Tidak bisa mendengar apa-apa, tidak mampu mengedipkan mata nya, tidak sanggup berucap apa-apa. Yang bisa dia rasakan, dia dengar, dia lihat hanyalah Seon Deok yang terbaring lemas. Pedang di genggaman nya terlepas begitu saja, tidak memikirkan apa-apa lagi, Wang Eun segera menghampiri Seon Deok dan memeluk nya erat.
"Istri ku..."
Seon Deok hanya tersenyum menatap Wang Eun. Senyuman yang sama sejak mereka pertama kali bertemu di waktu kecil. Senyuman yang sama ketika dulu Wang Eun memberikan nya bunga dan berkata, "bukan kah semua perempuan cantik menyukai bunga?". Senyuman yang sama ketika dulu Wang Eun meminta Seon Deok bermain sesuatu yang bisa menghibur dirinya. Senyuman yang sama ketika dulu akhirnya Wang Eun mau untuk menikah dengan nya. Dan senyuman yang selalu sama setiap kali dia menatap Wang Eun.
"Seon Deok, jangan. Kita harus pergi bersama, jangan tinggalkan aku."
Masih dengan senyuman yang sama, tangan Seon Deok bergerak perlahan ke arah dada Wang Eun. Tepat di depan hati Wang Eun, dia berkata, "Gunakan dengan baik, Yang Mulia. Di setiap bulan sabit," kemudian napas nya berhembus dan perlahan mata Seon Deok tertutup.
Wang Eun terpaku. Jangan tinggalkan aku dulu, Seon Deok. Jangan.
"Seon Deok..., istri ku...jangan tinggalkan aku dulu. Buka mata mu, Seon Deok." Sekali lagi, dia memohon agar mata Seon Deok terbuka.
Sesuatu akan terasa lebih berharga di kala telah pergi. Seon Deok telah pergi dan tidak mungkin akan kembali. Ternyata pedang dan baju zirah nya tidak berhasil melindungi mereka. Dan tentu, Wang Eun sekarang tidak memiliki siapa-siapa lagi tanpa sempat meminta maaf. Dia belum sempat memperbaiki semuanya. Benar, waktu tidak akan bisa mengembalikan semuanya. Waktu tidak akan bisa mengembalikan Seon Deok hidup kembali. Tidak ada lagi alasan Wang Eun untuk bertahan hidup.
Wang Eun masuk dalam lamunan nya terlalu jauh, sampai-sampai dia tidak menyadari lengan kiri nya telah tertusuk panah oleh Wang Yo. Lima detik kemudian, dia tersadar karena kehadiran kakak nya, pangeran keempat, Wang So.
Kehadiran Wang So yang mendadak itu karena ternyata Wang So menyaksikan kematian Seon Deok dan lengan kiri Wang Eun tertusuk panah. Saat itu juga, Wang Eun tahu apa yang harus dia lakukan.
Wang So masih bersusah payah melawan para penjaga istana. Tidak lama kemudian, Jung datang bersama dengan Hae Soo. Sayang nya, mereka langsung di tahan oleh beberapa penjaga istana. Wang Eun menatap Seon Deok yang sudah terbaring tanpa napas sekali lagi, lalu menatap ke arah kakak nya, Wang So.
Kau yang harus membunuh ku, Hyung.
Tiba-tiba Wang Eun merasa sebuah panah menusuk tepat di depan dada nya. Sakit luar biasa tentu saja, tetapi rasa sakit terkalahkan oleh rasa kecewa dan rasa terkhianat. Kecewa karena ternyata dirinya tidak mampu membahagiakan Seon Deok sampai napas terakhir nya. Terkhianat karena ternyata dirinya akan mati di tangan kakak nya sendiri, Wang Yo. Memang seharusnya Wang Eun mati saja, namun dia tidak rela jika harus mati karena Wang Yo.
Air mata yang sejak tadi sudah menetes di mata Wang Eun mengalir semakin deras. Wang So kini sudah berhenti melawan pelayan istana, dia justru langsung meletakkan kedua tangan nya di pundak Wang Eun untuk memastikan kalau adik nya baik-baik saja.
"Eun ah..." ucap nya bulat, sedikit menggucang tubuh Wang Eun agar tersadar.
Jung dan Hae Soo berteriak menyerukan permohonan agar Wang Eun di selamatkan.
"Hyung, istri ku..." Wang Eun berusaha untuk berbicara, rasa sakit sudah tidak mampu lagi dia rasakan.
Wang So menggeleng, "Kau harus bertahan, sedikit lagi. Kita akan segara keluar dari istana, eoh?"
Bukan itu yang Wang Eun inginkan sekarang. Wang Eun menatap Wang Yo yang sedang berdiri dengan kokoh di tempat nya, dia sedang menyiapkan sebuah anak panah lagi untuk Wang Eun.
"Hyung, aku masih ingat di saat ulang tahun ku...," Wang Eun tercekat sedikit, "kau bilang akan mengabulkan segala permintaan ku, bukan?"
Wang So mengangguk ragu.
"Hanya ada satu permintaan ku yang harus kau kabulkan untuk ku, Hyung," dia berhenti sebentar, menatap Wang Yo sedang bersiap melucutkan panah nya, lalu melanjutkan lagi, "bantu aku untuk pergi bersama Seon Deok..."
Otak Wang So tidak secerdas Wook atau sebijak Baek Ah, tapi dia paham maksud permintaan yang baru saja di pinta oleh adik nya.
"Tidak, Eun ah. Jangan bodoh, aku tidak mungkin melakukan itu." Wang So menolak.
Keputusan Wang Eun sudah bulat. "Sekarang, Hyung. Cepat. Untuk Goryeo dan untuk kita semua disini."
Wang So menatap Wang Eun tidak percaya. Tetapi Wang Eun mengangguk, memberi tanda segera melakukan nya.
Hening untuk beberapa detik. Wang So menggenggam pedang nya erat, air mata nya menetes, dia melihat Wang Eun sekali lagi. Dalam hati dia berucap maaf, setelah itu...
SRET!
"TIDAKKK...!" teriakan Jung sangat keras. Tidak hanya Jung yang menyaksikan kejadian saat ini, Hae Soo, Wang Yo dan Wang So serta seluruh penjaga istana.
Sedangkan Wang Eun? Darah nya mengucur, dia terjatuh tepat di hadapan Seon Deok. Tangan nya bergerak perlahan berusaha untuk menggenggam tangan istri nya di hembusan napas terakhir nya.
Wang Eun pernah dibacakan sebuah syair oleh Wook ketika dia sedang belajar bersama. Syair itu berbunyi,
"Manusia terlahir dengan semangat, tangis pertama mereka seperti nyanyian bahagia menyambut dunia ini. Senyuman mereka seindah matahari terbit dan setentram langit malam.
Namun setiap manusia akan kembali dengan cara berbeda-beda. Tidak seperti disaat mereka terlahir yaitu dengan semangat. Manusia pergi bersama dengan segala yang telah mereka perbuat selama hidup nya. Dan tidak semua manusia pergi bersama dengan senyuman. Hanya beberapa saja yang beruntung, yakni mereka yang pergi membawa damai dan mereka yang pergi membawa cinta. Tanpa meninggalkan sisa, air mata, dan penyelasan.
Setelah mereka pergi, mereka akan sampai di kehidupan yang baru. Kehidupan yang mengajari mereka untuk hidup lebih berarti. Segala sesuatu nya akan terbalaskan di kehidupan mereka yang selanjutnya, entah dimana itu tempat nya."
Lalu apakah Wang Eun termasuk manusia seperti yang tertulis di syair itu? Apa pun itu, ya atau tidak yang terpenting sekarang, Seon Deok telah beristirahat dengan tenang dan Wang Eun telah mendampingi nya hingga napas terakhir.
Seoul 2016
Tahan, tahan, tahan, sedikit lagi ini akan selesai. Pikir Hu Joon dalam hati saat dirinya harus mengulang adegan terakhir di drama terbaru nya ini. Proses syuting sudah di mulai sebelum matahari terbit dan sekarang matahari akan segera terbit kembali. Hu Joon mengerti, drama yang kali ini dia ambil bergenre Sageuk. Merupakan kali pertama untuk Hu Joon memerankan seorang Magistrate di jaman Joseon. Sebenarnya titik kesulitan nya hampir sama dengan drama-drama dan film-film yang sudah pernah dia ambil sebelumnya. Tetapi sekarang yang membuat Hu Joon harus pulang terlambat karena lawan main nya di drama tersebut selalu melakukan kesalahan.
Sekitar empat puluh lima menit kemudian, sutradara terpuaskan juga dengan adegan terakhir Hu Joon dan lawan main nya. Memberi hormat kemudian menyaksikan ulang hasil pekerjaan nya barusan melalui small screen, lalu Hu Joon hendak kembali ke dalam van nya.
"Apa jadwal ku hari ini?" tanya Hu Joon kepada manager setia nya, Kyungsoo.
Kyungsoo menepuk pundak Hu Joon, "Kau hari ini istirahat saja. Tidak ada jadwal apa-apa untuk pagi ini sampai besok sore."
Hu Joon yang sedang meneguk air mineral nya berhenti sejenak, "Lalu sore nya?"
"Ada interview dengan salah satu redaksi majalah sekitar tujuh puluh lima menit setelah itu kau bisa bebas. Tapi pagi nya, kau akan melakukan fitting untuk presscon film baru mu minggu depan."
Dan sang aktor hanya mengangguk paham mendengar penjelasan dari manager nya itu. Mereka sedang berjalan menuju tempat Hu Joon berganti kostum drama, hari ini dia berniat untuk tidur sampai sore lalu dia ingin jamming di dalam studio pribadi nya selama berjam-jam. Hu Joon tidak hanya berbakat dalam bidang seni peran, dia juga handal dalam urusan musik, menciptakan lagu, bermain alat-alat musik, dan menyanyi. Setiap kali dia mendapat jadwal kosong seperti ini, Hu Joon akan selalu menghabiskan waktu nya di dalam studio dan bermain musik. Atau mungkin dia sekedar menonton film di bioskop (secara diam-diam tentu saja), bertemu sahabat nya Kim Junmyeon yang juga seorang aktor. Hu Joon terjun ke dalam ranah akting sejak dirinya berumur delapan belas tahun hingga sekarang. Tidak terhitung berapa banyak penghargaan sudah pernah dia dapati. Semua orang selalu yakin, ketika Hu Joon memainkan suatu peran baru maka dirinya pasti akan menjadi sosok yang berbeda. Banyak orang kagum terhadap Hu Joon, karena mampu memerankan berbagai macam karakter. Well, thank you.
Hu Joon duduk di sebelah kiri kemudi van nya, meluruskan kedua kakinya sejenak dan menghela napas panjang. Dia menutup kedua matanya lalu meraih headset untuk mendengarkan musik.
"Seperti nya para crew terlihat sangat ramai tiba-tiba. Kau kalau ku tinggal disini dulu, tidak apa-apa kan?" kata Kyungsoo, menyadari ada sesuatu yang tidak beres di luar van. Syuting sudah selesai sejak tiga puluh menit yang lalu, tetapi secara mendadak suasana menjadi ramai kembali. Itulah yang membuat rasa penasaran Kyungsoo muncul.
"Hmm, terserah kau saja. Asal jangan terlalu lama, eoh? Aku lelah dan ingin segera pulang." Hu Joon menjawab dengan malas.
Akhirnya hanya Hu Joon sendiri yang berada di dalam van. Dia mendengarkan musik sambil memejamkan kedua matanya. Sesekali Hu Joon menghentakkan kaki nya pelan mengikuti irama musik, dia bergumam sendiri karena menikmati irama. Ah, sungguh menyenangkan jika hidup bisa selalu santai seperti ini, pikir nya dalam hati. Jangan salah mengerti dulu, Hu Joon sangat mencintai pekerjaan yang sudah menjadi bagian dalam dirinya sendiri. Dia hanya merindukan masa-masa dimana dia masih menjadi Hu Joon yang di masa lalu. Hu Joon yang selalu merasakan cinta dan kasih sayang seutuh nya dari Ibu. Hu Joon yang tidak perlu bersembunyi atau menyamar jika ingin melakukan sesuatu tanpa diketahui oleh fans nya. Hu Joon yang selalu bisa merasakan arti kebebasan. Hu Joon yang tidak pernah diatur ini dan itu. Dia mencintai pekerjaan dan fans nya, tetapi dia butuh kehidupan yang layak sebagai seorang manusia normal.
Hu Joon melamun sendirian di dalam van, sampai akhirnya dia menyadari kalau ini sudah hampir dua puluh menit setelah Kyungsoo keluar meninggalkan nya. Hu Joon menatap keluar melalui kaca van, terlihat orang-orang sedang berkerubung dan berlarian kesana-kemari. Sepertinya mulai ada yang tidak beres di luar sana, Hu Joon memutuskan untuk keluar dari van. Hu Joon bukanlah tipikal orang yang peduli dengan hal-hal tidak penting, tetapi dia harus mencari manager nya, Kyungsoo.
Keberadaan Kyungsoo tidak terlihat dimana-mana. Hu Joon menghampiri beberapa tim kostum yang sedang berkumpul membicarakan sesuatu.
"Permisi, apakah diantara kalian ada yang melihat Kyungsoo?" tanya Hu Joon dengan suara setenang mungkin.
"Sepertinya Kyungsoo berada di dalam sana juga. Dia ikut khawatir dengan keadaan orang asing itu, dia sudah memanggil ambulance untuk datang memberi pertolongan." Jawab salah seorang tim kostum, seolah-olah Hu Joon mengetahui apa yang Kyungsoo lakukan.
Tetapi Hu Joon tidak ingin memperpanjang urusan, jadi dia berpura-pura untuk mengerti maksud perkataan seorang tim kostum barusan dan bertanya lagi, "Kalau boleh tahu, dimana ruangan tempat Kyungsoo dan orang asing itu?"
"Disebelah sana, kau ke kanan saja. Di dekat tempat kau tadi melakukan adegan terakhir." Jawab nya lagi sambil menunjukkan arah untuk Hu Joon.
Hu Joon mengangguk lalu berterima kasih dan bergegas menghampiri Kyungsoo. Ada apa ini? Semoga tidak ada apa-apa, karena Hu Joon yakin, ketika ada sesuatu terjadi disini pasti Kyungsoo akan langsung memberikan pertolongan. Dia tahu betul sifat kemanusiaan yang dimiliki oleh manager nya itu. Pernah dulu sekali, ada seorang fans Hu Joon yang terluka parah akibat mengejar-ngejar Hu Joon di bandara, akibat Kyungsoo merasa bersalah dan bertanggung jawab, akhirnya dia mengantarkan fans Hu Joon itu ke rumah sakit serta membiayai pengobatan nya sampai sembuh. Memang betul, kita harus membantu sesama manusia. Tetapi bukan artinya harus setiap saat, seperti sekarang ini contoh nya. Hu Joon benar-benar lelah dan ingin segera pulang, bukan mencari Kyungsoo.
Hu Joon sampai di tempat yang dimaksud oleh tim kostum tadi lebih tepatnya tempat Kyungsoo berada. Sangat ramai disana, Hu Joon mencari keberadaan manager nya tersebut sampai akhirnya, "Hu Joon!" Kyungsoo memanggil nya dari jauh sambil berlari menghampiri Hu Joon.
"Dari mana saja kau, hah? Ayo kita pergi dari sini, aku lelah." Hu Joon tidak ingin berbelit-belit.
"Aku juga tidak mau berlama-lama. Tapi, keadaan sedang tidak beres disini." Suara Kyungsoo terdengar tidak meyakinkan.
Oh, jangan bilang. "Kau tidak boleh ikut campur urusan orang lain. Cepat kita pergi dari sini, waktu istirahat ku lebih berharga."
Kyungsoo menggelengkan kepala nya, "Tidak. Kau pulang lah dulu, aku akan meminta salah seorang tim untuk mengantar mu pulang. Bagaimana?"
Ternyata benar dugaan Hu Joon, pasti dan selalu akan berujung seperti ini. "Ada apa lagi kali ini? Kau selalu meninggalkan tanggung jawab mu!" ucap nya dengan sedikit meninggikan suara.
"Kali ini aku tidak bisa diam saja, Hu Joon. Kau tahu? Tadi salah satu crew menemukan orang yang terluka parah."
"Luka apa memangnya? Luka sedikit mungkin," ujar Hu Joon malas.
"Tidak. Orang itu terluka parah, sepertinya dia tertusuk panah dan terhunus sesuatu benda tajam dari yang ku lihat pada dada nya. Aneh sekali, dia menggunakan kostum drama juga seperti mu," jelas Kyungsoo.
Omong kosong macam apa itu? Hu Joon memutar bola mata nya. Mana mungkin ada seseorang di tempat ini terbunuh parah seperti adegan dalam drama? Tidak masuk akal sekali.
"Aku tidak peduli. Sudahlah, lebih baik kita pulang saja. Kau kan sudah memanggil ambulance, buat apa lagi disini?"
"Tidak bisa. Aku sudah memutuskan untuk menjadi penanggung jawab orang asing itu. Kasihan dia, kalau tidak cepat di tolong dia bisa mati."
Hu Joon mulai kesal. Dia kesal melihat Kyungsoo harus berurusan ini dan itu karena orang asing yang tidak dia kenali. Bisa saja kan penipuan? Kalau orang itu menuntut yang macam-macam, bagaimana?
"Sudahlah, terserah kau saja. Aku tidak peduli, mana kunci van nya? Aku bisa mengemudi sendiri."
Kyungsoo menghela napas, "Baiklah, kau hati-hati di jalan. Aku benar-benar minta maaf kali ini. Apa kau yakin mau mengemudi sendiri? Ku pesankan taksi saja bagaimana?"
"Tidak perlu. Aku bisa sendiri, kau hati-hati disini."
Ini bukan kali pertama Hu Joon berakhir mengemudi van nya sendiri seperti ini. Yang benar saja? Kyungsoo harus berterima kasih memiliki atasan baik hati. Hu Joon tidak masalah harus kembali sendiri tanpa diantar oleh manager seperti layaknya selebriti lain.
"Aku akan memberi tahu lokasi rumah sakit dan kamar tempat orang asing itu berada. Mungkin nanti hati mu bergerak untuk menjenguk." Kyungsoo berkata sangat pelan agar orang-orang tidak mendengar.
Hu Joon berdecak. "Oh, betapa baik nya hati ku ini. Aku tidak peduli, kau urus saja sampai orang itu sembuh." Dia tidak mau ikut campur, lebih baik pulang dan beristirahat.
Ketika Hu Joon sedang bergegas kembali ke van nya, Kyungsoo di panggil oleh crew lain dan diminta untuk membantu membopong orang yang sejak tadi menjadi sumber masalah. Hu Joon terdiam sesaat, dia cepat bersembunyi di balik tembok. Dia tidak ingin ada orang yang melihat dirinya ikut melihat kejadian rusuh ini.
Tidak lama kemudian, keluarlah Kyungsoo di bantu dengan beberapa crew membopong orang tersebut. Tim medis ternyata sudah sampai, langsung berlari membantu untuk segera di bawa ke rumah sakit. Hu Joon memang tidak bisa melihat dengan jelas dari tempat persembunyian nya itu. Tapi dia sempat melihat sedikit, sebuah panah tertancap dengan jelas di tubuh orang tersebut. Benar juga apa yang Kyungsoo katakan, kondisi nya memang parah.
Yang aneh disini adalah, mengapa orang itu tiba-tiba saja muncul? Tanpa identitas jelas pula. Siapa dia?
"Eyyy, aku sedang memikirkan apa? Lebih baik aku pergi dan tidur sepuasnya."
"Selamat ulang tahun, Eun ah.."
Berkumpul bersama dalam keadaan tidak formal seperti ini sudah menjadi kebiasaan yang jarang untuk Wang Eun dan saudara nya yang lain. Semenjak Raja telah lengser dan digantikan oleh pemerintahan Wang Moo, suasana istana berubah. Dia juga bisa merasakan kecanggungan diantara saudara nya masing-masing. Biarpun begitu, Wang Eun tetap selalu berusaha untuk membuat suasana diantara mereka tetap terjalin hangat ketika sedang berkumpul. Tepat di hari ulang tahun nya ini, Wang Eun meminta supaya mereka bisa datang dan ikut merayakan bersama.
Tidak semeriah dulu ketika kakak nya, Yeon Hwa membuat perayaan dengan mengundang beberapa penari dari rumah Gisaeng serta menyewa pemain musik. Apalagi ditambah dengan Hae Soo yang membuatkan pesta kejutan kecil-kecilan spesial untuk dirinya. Tetapi kali ini Wang Eun hanya menghidangkan berbagai jenis makanan istana yang sangat lezat, lalu menghias tempat perayaan nya dengan hiasan-hiasan lucu, dan juga Wang Eun meminta Hae Soo untuk membuatkan kue ulang tahun sebesar mungkin andalan nya. Meskipun Wang Eun tidak tahu bagaimana cara Hae Soo dulu membuatkan kue yang tinggi nya hampir setengah meter itu, tapi dia sangat senang.
Ketegangan beserta kecanggungan diantara saudara-saudara nya itu hilang sekejap mata saat mereka berkumpul merayakan ulang tahun Wang Eun. Yang hadir tidak hanya saudara nya saja, ada Hae Soo juga, istri-istri kakak nya, dan yeah..istri Wang Eun sendiri yaitu Seon Deok. Ini merupakan kali pertama Wang Eun merayakan ulang tahun nya bersama dengan seorang "istri".
Malam sebelum waktu menunjukkan pergantian hari, Seon Deok terbangun dan mengguncang pundak Wang Eun dengan ragu.
"Apa?" tanya nya sedikit meninggikan suara. Jujur saja, Wang Eun sangat mengantuk.
"Besok adalah ulang tahun mu, Yang Mulia. Aku ingin menjadi yang pertama untuk mengucapkan nya."
Wang Eun menghela napas. "Kau bisa membangunkan ku besok pagi sebelum para pelayan datang membangunkan ku. Dan kau bisa langsung mengucapkan selamat, jadi tidak sekarang. Mengerti?" lalu Wang Eun membalikkan badan nya lagi untuk kembali tidur.
Tepukan di pundak nya kali ini sedikit lebih kencang, membuat dirinya terganggu. "Ya! Park Seon Deok! Suami mu ingin tidur! Kembali ke tempat mu tidur, cepat!" Wang Eun membentak istri nya yang setengah menunduk takut.
TOK! TOK! TOK! "Tengah malam. Tengah malam. Tengah malam. Pergantian hari. Pergantian hari. Pergantian hari." TOK! TOK! TOK!
Suara ketukan dari penjaga istana memberitahu bahwa hari sudah berganti. Wang Eun menghela napas, mengerti maksud Seon Deok membangunkan nya lagi. Dia betul-betul ingin menjadi yang pertama.
"Hahhhh, baiklah. Kau bisa mengucapkan nya, sekarang." Wang Eun mengalah, biarlah sekali ini Seon Deok senang.
Pandangan Seon Deok yang sejak tadi hanya menunduk, perlahan naik dan menatap Wang Eun dengan senyuman lebar nya itu. "Selamat ulang tahun, Yang Mulia!"seru nya gembira.
Wang Eun mengangguk, kemudian menepuk pundak Seon Deok beberapa kali. "Terima kasih, Seon Deok ah. Sekarang bisakah aku kembali tidur?"
Seon Deok menggeleng. "Tunggu dulu, aku ingin memberikan ini untuk mu, Yang Mulia," sembari memberikan sebuah Talisman kepada nya.
"Untuk apa kau memberi ku jimat?"
"Simpan saja, Yang Mulia. Barang kali bisa berguna suatu saat nanti, entah kapan. Atau mungkin bisa kau gunakan saat kau berhasil keluar dari istana dan melihat dunia luar lebih luas lagi. Bukan kah itu keinginan mu, Yang Mulia?"
Dan penjelasan Seon Deok itu tidak Wang Eun dengarkan sepenuh hati karena rasa kantuk mulai muncul kembali. Tapi memang benar tebakan Seon Deok, keinginan nya adalah melihat dunia lebih luas lagi. Wang Eun ingin keluar dari istana, membuka toko mainan terbesar di Goryeo. Wang Eun ingin menelusuri dunia di luar sana, mengoleksi mainan baru. Wang Eun ingin bebas.
"Terserah apa kata mu saja, terima kasih ucapan dan...hmm, jimat ini. Setidaknya kau kali ini tidak menggunakan beruang jelek itu lagi. Aku benci melihat nya." Wang Eun kembali tertidur.
Begitu lah, hadiah Seon Deok selalu menjadi yang paling aneh diantara hadiah yang Wang Eun dapatkan. Dia mendapatkan katapel baru dari Wang So, mendapatkan sebuah gangsing baru dari Jung, mendapatkan sebuah boneka baru dari Baek Ah, lalu Wang Yo memberikan bola baru, dan masih banyak lagi. Sedangkan istrinya sendiri hanya memberi sebuah Talisman yang entah kapan akan berguna untuk bisa dipakai.
Namun, Wang Eun tidak ingin mengecewakan Seon Deok. Ya biarpun dia tidak mengerti apa kegunaan Talisman itu, dia harus menghargai pemberian istri nya. Jadi dia putuskan, Talisman pemberian Seon Deok akan selalu dia bawa kemana pun dia pergi.
Ya, Wang Eun selalu menyimpan Talisman itu di dalam baju yang dia gunakan.
Hu Joon akhirnya sampai juga di dalam apartemen nya. Menghela napas lega, Hu Joon langsung menjatuhkan tubuh nya yang lelah di atas kasur. Benar-benar hari yang panjang bagi nya setelah melakukan syuting seharian penuh.
Lima belas menit dirinya meluruskan otot-otot kaku nya di atas kasur, Hu Joon langsung bergegas mandi untuk membersihkan diri serta mengrilekskan tubuh nya. Air dingin memang selalu menjadi favorit Hu Joon ketika sedang lelah. Menghabiskan waktu hampir tiga puluh menit di dalam kamar mandi, kini Hu Joon sudah segar dan menggunakan kaus longgar yang sudah bertahan selama bertahun-tahun dalam lemari nya itu (warna putih nya sudah kusam karena terlalu sering dipakai) dengan menggunakan sweatpants.
Dia mengambil sekaleng soda di dalam lemari pendingin nya, kemudian duduk di sofa dengan nyaman.
Keburukan Hu Joon dikala sendiri seperti sekarang ini adalah, dirinya mulai memikirkan berbagai macam hal. Paling sering Hu Joon selalu teringat dengan Ibu yang sekarang entah tidak pernah mencoba untuk menghubungi nya lagi. Sang Ibu sudah lama pergi dan tidak kembali lagi ke Seoul karena dia tidak sudi bertemu dengan Hu Joon. Kekecewaan dalam benak Ibu nya mungkin terlalu besar. Kecewa karena anak kebanggaan nya itu tidak menjadi seorang dokter hebat seperti mendiang Ayah nya. Hu Joon sadar, dia salah memilih jalan hidup. Tetapi menjadi dokter bukanlah impian yang dimiliki Hu Joon.
Semenjak Ibu nya pergi dari Seoul, Hu Joon tidak memiliki siapa-siapa lagi. Memang ada keluarga yang lain, tetapi mereka hanya datang untuk memeras harta Hu Joon lalu pergi lagi bagai angin. Hu Joon hanya memiliki Kyungsoo nya yang setia, jutaan fans nya diluar sana, sahabat nya Junmyeon, beberapa teman selebriti lain, serta orang-orang yang berada dalam entertainment nya. Sungguh sepi bukan kehidupan seorang aktor ternama, Park Hu Joon?
Tapi tidak apa, Hu Joon sudah terbiasa untuk hidup sendiri. Dan menurut nya Kyungsoo dan kehadiran orang-orang di sekitar nya sudah lebih dari cukup. Hu Joon hanya rindu merasakan kebersamaan yang dulu.
Lamunan Hu Joon buyar ketika suara ponsel nya berbunyi menandakan ada sebuah pesan masuk dari Kyungsoo.
Sender: Kyungsoo the kind
Aku berada di Hyungjin Hospital. Delta, ruang 10. Jangan lupa jadwal mu besok pagi untuk fitting dan sore nya kau harus melakukan interview. Aku akan menjemput mu besok pagi pukul 8. Maaf, malam ini tidak bisa berkunjung untuk menemani makan malam. Kondisi orang ini masih belum jelas.
Don't forget to take your meal.
Hahhh, benar-benar si Kyungsoo yang baik hati ini. Hu Joon menghela napas, jadi hari ini dia hanya menghabiskan waktu nya sendiri di apartemen ini. Tanpa siapa-siapa, Hu Joon sudah terbiasa.
Menghabiskan waktu berjam-jam di dalam studio nya membuat Hu Joon lupa waktu. Tanpa dia sadari, sekarang sudah hampir menunjukkan pukul setengah tujuh malam. Mungkin karena tadi Hu Joon menulis sebuah lirik dan membuat sebuah lagu baru sekaligus, jadinya dia tidak menyadari sudah hampir waktu makan malam.
Sebenarnya malam ini Hu Joon ingin memakan Jajangmyeon bersama Kyungsoo. Namun, dia ingat kalau manager nya itu sedang sibuk dengan kegiatan "memolong orang asing". Ingin menghubungi Junmyeon, tetapi Hu Joon ingat kalau sahabat nya itu sedang tidak berada di Seoul.
"Apa aku harus menghampiri Kyungsoo di rumah sakit?"
Lebih baik Hu Joon pergi ke Hongdae dulu untuk membeli Jajangmyeon di tempat lagganan nya disana, kemudian dia langsung pergi ke rumah sakit. Hu Joon tidak bermaksud ingin menjenguk si orang asing itu. Dia hanya tidak mau makan malam sendirian tanpa seorang teman. Sesampainya Hu Joon di rumah sakit (tentu dia menggunakan masker dan topi agar tidak ada yang mengenali), dia mencoba menelpon Kyungsoo. Tiga kali di hubungi, Kyungsoo tidak menjawab.
"Kemana dia? Apa mungkin handphone nya sedang dalam mode silent? Ah, sudahlah aku datangi saja."
Hu Joon membuka ulang pesan dari Kyungsoo tadi siang. Delta, ruang 10. Berarti dia harus ke lantai empat dan mencari kamar bernomor sepuluh tanpa ada seseorang yang menyadari kehadiran nya di rumah sakit ini.
Di dalam lift, Hu Joon memikirkan tentang mengapa si orang asing itu bisa terluka parah sampai harus berakhir di rumah sakit seperti ini. Aneh, luka nya saja tertancap panah lalu kata Kyungsoo, terdapat sebuah bekas hunusan pedang di dada. Jaman sekarang masih adakah orang yang ingin membunuh dengan cara seperti itu? Dan janggal nya lagi, mengapa dia bisa muncul di lokasi syuting tanpa konteks yang jelas? Hu Joon memang tidak melihat begitu jelas wajah orang asing itu, namun dia yakin di hari terakhir nya syuting, hanya terdapat lima orang pemain figuran yang hadir. Dan ketika syuting berakhir, mereka semua sempat meminta foto bersama dengan Hu Joon. Setelah puas berfoto, para pemain figuran itu pamit pulang. Jadi tidak mungkin ada satu pemain figuran tertinggal lalu berakhir dengan luka parah seperti di kejadian tadi. Siapa orang itu?
Pintu lift terbuka, Hu Joon dengan segala rasa lapar dan pertanyaan di dalam kepala, keluar. Syukurlah tadi saat di lift tidak ada siapa-siapa, sekarang pun saat Hu Joon sedang menelusuri lorong rumah sakit tidak ada satu pun orang yang menyadari akan kehadiran nya. Masih terus mencoba menghubungi Kyungsoo, dia memperhatikan satu per satu nomor yang terdapat di pintu kamar.
"Ini dia kamar nomor sepuluh." Ujar nya sambil menghela napas panjang.
Hu Joon sempat mengintip dari celah pintu untuk melihat ada siapa-siapa di dalam kamar tersebut. "Kosong. Dimana Kyungsoo?"
Membuka pintu sedikit, Hu Joon mengintip dan memeriksa apa betul-betul tidak ada siapa-siapa di dalam. Dan benar saja memang tidak ada Kyungsoo atau siapa pun, yang ada hanyalah suara mesin pendeteksi detak jantung, suara tabung oksigen, dan...orang asing itu. Perlahan, Hu Joon masuk ke dalam kamar (tidak lupa menutup pintu dengan pelan), kemudian dia berjalan ke arah orang asing yang sedang terbaring tidak sadarkan diri.
Hu Joon memasang ekspresi heran menatap wajah orang asing itu. Dia lihat terdapat sebuah jarum IV di sebelah kiri tangan nya, orang itu bernapas di bantu oleh oksigen, mata nya tertutup rapat, wajah nya begitu pucat.
"Siapa kau?" Hu Joon bertanya pelan, seolah orang itu bisa mendengar. Dia melihat ke papan nama, namun tidak tertulis apa-apa. Jadi betul apa kata Kyungsoo? Identitas orang ini tidak jelas, pikir Hu Joon dalam benak nya.
Menghabiskan waktu selama hampir sepuluh menit di dalam kamar itu adalah yang Hu Joon lakukan. Jajangmyeon yang sengaja dia bawakan untuk nya dan Kyungsoo mungkin sudah mendingin karena terkena pendingin ruangan. Hu Joon hanya berdiri menatap orang asing itu dan bertanya-tanya sendiri. Sampai akhirnya pintu kamar terbuka, oh ternyata Kyungsoo telah kembali entah darimana.
"Hu Joon? Kau datang?" tanya Kyungsoo sambil menaruh kantung plastik yang berisi beberapa camilan untuk dia makan selama di rumah sakit.
"Darimana saja kau? Aku kesini untuk mengajak mu menikmati jajangmyeon bersama. Aku menghubungi mu beberapa kali tapi tidak ada jawaban." Jelas Hu Joon, kini dia sudah duduk di sofa yang terdapat pada sisi kanan kamar.
Kyungsoo mengeluarkan sekaleng soda untuk nya dan Hu Joon, lalu ikut duduk di samping nya. "Aku pergi keluar untuk membeli camilan agar tidak lapar. Handphone ku ada di dalam tas, jadi mungkin aku tidak dengar."
Seperti yang Hu Joon rencanakan, dia dan Kyungsoo menikmati makan malam bersama dengan menyantap jajangmyeon. Membicarakan jadwal-jadwal apa saja yang akan di lakukan, membicarakan tawaran drama dan film yang akan datang, dan masih banyak lagi. Ketika mereka sedang berdua tanpa berstatus selebriti dengan manager, Hu Joon hanyalah dirinya dan Kyungsoo pun hanyalah dirinya. Kyungsoo sudah seperti saudara sendiri bagi Hu Joon. Mereka sudah saling mengenal lama, tidak ada perasaan apa-apa diantara mereka. Kyungsoo memiliki tunangan yang selalu pergi ke luar kota karena pekerjaan nya.
"Kau sudah lihat sendiri kan keadaan nya?" Kyungsoo mulai membuka pembicaraan baru dengan Hu Joon.
Meneguk soda, "Hmm...setidaknya dia masih hidup." Hu Joon tetap dengan gaya tidak peduli handalan nya.
"Kemungkinan dia bisa selamat dan juga bisa mati."
Mendengar perkataan Kyungsoo barusan, Hu Joon menoleh, "Maksud mu?"
"Hah, manusia malang. Tidak memiliki nama yang jelas, tempat tinggal nya pun tidak ada yang tahu. Keluarga nya juga entah siapa. Dan parah nya lagi, kondisi dia sangat parah. Tadi dokter sempat keluar dari ruang operasi untuk memberitahu kepada ku bahwa panah yang tertancap di tubuh nya sangat susah di cabut. Setelah itu, dokter juga menemukan racun dalam panah nya. Kasihan sekali dia," Kyungsoo berhenti sejenak untuk menghela napas, "Dia tidak membawa apa-apa. Namun, suster menemukan sesuatu di dalam pakaian yang dia gunakan." Jelas nya melanjutkan kepada Hu Joon.
Hu Joon yang sedari tadi menyimak, mulai penasaran. "Sesuatu apa maksud mu?"
Kyungsoo mengeluarkan sesuatu dari jaket nya dan memberikan kepada Hu Joon.
"Apa ini? Talisman?" tanya Hu Joon terheran, namun dia tetap mengambil sesuatu dari tangan Kyungsoo.
Mengangguk, "Kau pasti pernah melihat benda itu bukan di drama yang baru kau selesaikan?"
"Ya, memang sih. Lalu untuk apa kau memberikan ini?"
Kyungsoo menepuk pundak Hu Joon, "Kau saja yang simpan. Sebagai jaminan kalau nanti dia macam-macam saat siuman."
Yang benar saja? Hu Joon tidak mau terlibat lebih jauh lagi dengan ini semua. "Ah, tidak perlu. Aku tidak mau menyimpan hal aneh seperti ini."
"Sudah kau simpan saja, kita tidak tahu kan apa yang nanti akan terjadi?" ucap Kyungsoo yakin.
Hu Joon berdecak. "Terserah kau saja lah. Dan kau tidak perlu khawatir, kali ini aku saja yang bertanggung jawab."
Heh? Aku bicara apa barusan?
Kedua mata besar Kyungsoo berbinar mendengar perkataan Hu Joon barusan. "Benarkah?"
Ah, sial. Ya sudah, sekali ini saja. Kasihan juga manusia kecil aneh itu. "Jangan senang dulu. Maksud ku bertanggung jawab disini adalah semua biaya akan aku tanggung sampai orang ini sembuh." Kata Hu Joon.
Kyungsoo tersenyum. "Aku tahu kau memang baik, Hu Joon."
Meskipun Hu Joon ingin menarik keputusan nya, tetapi dia hanya mengangguk. Lalu perlahan matanya menatap sosok yang sedang terbaring tidak sadarkan diri itu.
Siapa kau sebenarnya?
Jadi, begini rasanya mati?
Putih. Semuanya putih. Hanya warna putih yang Wang Eun lihat saat dia membuka kedua mata nya perlahan. Kebingungan dengan keberadaan dia sekarang, Wang Eun menengok ke arah kanan. Terdapat sebuah jendela bertirai putih, ada sebuah sofa putih, lalu mata nya melihat ke sekeliling tempat, terdapat dinding tebal berwarna putih. Kemudian Wang Eun menyadari ada sesuatu di tangan kiri nya. Seperti di tusuk namun tidak sakit, ada sebuah benda aneh menempel di hidung nya berbentuk panjang dan tipis, Wang Eun menghirup sesuatu dan merasakan napas nya terbantu. Wang Eun merasa kepala nya sangat pusing, dia tidak bisa bergerak sama sekali.
"Kau sudah sadar?"
Suara berat dan dalam itu membuat Wang Eun terkejut. Dia menoleh ke arah suara tersebut, tepat nya di sebelah kiri dekat pintu.
"Tunggu. Biar aku panggil dokter dulu, jangan bergerak." Kata suara itu lagi, Wang Eun tidak bisa mengucapkan apa-apa karena tenggorokan nya terasa sangat kering.
Biarpun pandangan mata Wang Eun masih kabur, dia tahu pemiliki suara itu bertubuh tinggi. Sedangkan si pemiliki suara itu sekarang berdiri di depan pintu setelah menekan sesuatu. Tidak lama, banyak orang yang memasuki ruangan dan mengelilingi Wang Eun. Semuanya menggunakan baju berwarna putih.
Seorang laki-laki menggunakan sesuatu kaca di mata nya yang Wang Eun tidak tahu benda apa itu, tersenyum kepada Wang Eun sambil memasang alat aneh di telinga nya.
"Hallo, jangan terlalu banyak berpikir. Lihat aku, tarik napas mu perlahan," ucap laki-laki itu. Tetapi Wang Eun menurut saja, dia menarik napas pelan-pelan seperti yang diminta, "lalu hembuskan dengan tenang," ucap nya lagi dan diikuti oleh Wang Eun.
Di samping laki-laki itu ada juga dua perempuan di kanan dan kiri nya terlihat sedang memperhatikan kemudian menulis yang pasti Wang Eun juga tidak tahu. Sedangkan laki-laki yang sejak tadi memberikan pertanyaan-pertanyaan kepada Wang Eun (hanya di balas dengan anggukan atau gelengan kepala), mulai menggerakkan tangan nya dan hendak membuka kerah baju yang Wang Eun gunakan.
Refleks, Wang Eun langsung menepis tangan nya lalu memberikan tatapan menghunus. "Berani-berani nya kau menyentuh ku. Siapa kau?"
Laki-laki itu tersenyum ramah, "Aku dokter mu. Tidak perlu khawatir, kami disini hanya ingin memeriksa keadaan mu."
Apa? Dokter? Memeriksa keadaan ku?
Wang Eun akhirnya memilih untuk diam saja. Kepala nya masih terasa sakit, mungkin maksud dari laki-laki yang bernama "dokter" ini memang ingin membantu dirinya. Semacam seorang tabib istana mungkin?
"Sama seperti tadi, kau hanya perlu menjawab dengan mengangguk atau menggelengkan kepala mu. Dengarkan baik-baik, apakah sekarang kepala mu terasa sangat sakit?"
Mengganguk, hanya mengangguk yang Wang Eun lakukan.
Dokter mnghela napas. "Lalu apakah kau kesulitan dalam bernapas? Dada mu masih terasa sakit?"
Menggeleng, lagi-lagi Wang Eun hanya menggeleng.
Dokter mengeluarkan sebuah stick dan keluarlah sebuah cahaya dari situ. Mungkin kalau sekarang kondisi Wang Eun tidak seperti ini, dia pasti akan gembira dan bertanya benda apa itu.
"Sekarang ku minta, mata mu untuk mengikuti pergerakan cahaya ini," kata dokter sekali lagi.
Wang Eun mengikuti pergerakan cahaya yang dokter gerakkan. Kali ini dia menurut saja, lebih baik begini dulu.
Setelah selesai diperiksa oleh dokter, Wang Eun di bolehkan beristirahat lagi. Ingin sekali dia bertanya kepada siapa saja, dimana dia sekarang? Apakah ini kehidupan baru setelah kematian? Dimana Seon Deok? Mengapa semuanya terasa sangat aneh? Dimana Hae Soo? Wang So? Jung dan yang lain nya? Kemana mereka semua?
Hanya tersisa Wang Eun sendiri di ruangan tersebut dan si pemilik suara tadi. Apa Wang Eun harus bertanya kepada orang itu saja?
Si pemilik suara tadi berjalan mendekat ke arah Wang Eun dan menatap nya dengan datar. Tangan nya di lipat, badan nya sangat tegap dan tinggi, rambut nya tidak panjang justru sangat pendek.
"Dengarkan aku. Setelah kau sembuh dan pulih, aku akan memberi mu uang untuk hidup. Semoga lekas sembuh." Ucap nya dengan dingin langsung berbalik badan, tanpa memperdulikan Wang Eun yang kebingunan.
"Tunggu. Siapa kau?"
Memberhentikan langkah nya. "Harusnya pertanyaan itu ku berikan kepada mu," si pemilik suara itu berbalik lagi untuk menghampiri Wang Eun. "Kau. Siapa kau?"
Tidak. Mengapa tidak ada yang mengenali ku? Dimana aku? Masih bertanya-tanya kepada dirinya sendiri, tiba-tiba Wang Eun teringat kalau dirinya sudah mati. Lalu dimana dia sekarang?
Bagaimana aku bisa disini? Apakah aku diberi kesempatan untuk hidup lagi? Dimana Seon Deok?
"Kau memiliki telinga tidak? Siapa kau sebenarnya? Kau tidak sadarkan diri hampir selama dua bulan. Bukan berarti aku tidak perlu identitas dirimu yang sebenarnya."
Tidak sadarkan diri hampir dua bulan? Aku tidak mati? Lalu? Apakah ini bertanda bahwa...aku di berikan kesempatan kedua... untuk hidup?
Tubuh Wang Eun mulai bergetar, napas nya mulai sesak, kepala nya semakin pusing. Dia tidak tahu harus bagaimana lagi.
"Aigoo, kau tidak perlu takut. Aku hanya bertanya dan tidak akan menuntut apa-apa dari mu."
Dunia macam apa ini? Aku tidak mengerti apa-apa tentang dunia ini. Aku takut. Wang Eun semakin gemetar.
Si pemilik suara itu mungkin menyadari ketakutan yang di rasakan oleh Wang Eun. Suaranya sedikit melembut, "Sebutkan saja nama mu, aku tidak akan memberi tahu siapa pun. Hanya kau dan aku serta teman ku, Kyungsoo."
"Eun..." bisik Wang Eun.
"Apa? Siapa nama mu?" Dia mendekat, Wang Eun menjauh sedikit karena takut.
Mungkin dia bukan orang jahat? Dia tidak mungkin mengenal Wang Yo.
"Wang.. Eun..."
Sebuah tangan terulur kepada Wang Eun. Si pemilik suara itu mengulurkan tangan kanan nya kepada Wang Eun sambil tersenyum hangat. "Nama ku Hu Joon, salam kenal..Eun?" katanya kaku.
Dia bahkan berani memanggil nama depan ku. Dunia macam apa ini? Wang Eun membalas uluran tangan Hu Joon. Mereka berjabat tangan untuk yang pertama kali nya.
"Aku yang membawa mu kesini, kau ditemukan terluka saat aku melakukan syuting drama. Tidak perlu takut, kau berada di rumah sakit." Hu Joon menjelaskan dengan sabar dan melepas tangan nya dengan Wang Eun.
Wang Eun menunduk. Aku benar-benar tidak mati, aku di beri kesempatan untuk hidup sekali lagi. Aku ingin hidup.
"Aku percaya kepada mu. Apakah kau percaya kepada ku?" tanya Hu Joon.
Apakah aku bisa mempercayai nya?
Aku ingin hidup.
Wang Eun mengangguk pelan. Aku akan mencoba mempercayai mu.
"Baiklah, kau akan bertemu dengan teman ku bernama Kyungsoo. Dia akan datang sebentar lagi. Aku rasa itu saja, istirahat lah kembali."
Hu Joon memberikan senyuman terakhir nya sebelum berbalik badan dan hendak pergi.
"Hu..Joon..?" panggil Wang Eun.
Menoleh, "Ya?"
"Siapa raja yang memimpin sekarang?"
Hu Joon berdecak. "Raja? Kau harus menghormati Presiden di jaman ini. Dia bernama Park Geun Hye jika kau ingin tahu," jawab nya yang langsung pergi meninggalkan Wang Eun sendiri.
Presiden?Aku mati atau sudah gila?
-2 minggu sebelumnya-
Hu Joon baru saja menyelesaikan photoshoot nya untuk salah satu iklan nanti. Tadi pagi dia sudah bertemu dengan beberapa media, mengklarifikasi tentang kesalahpahaman orang-orang tentang hubungan Hu Joon dan lawan main nya di drama. Mereka hanya berteman, tidak akan ada perasaan "tertarik" satu sama lain. Hu Joon tidak ingin mengambil drama atau film dulu selama tiga bulan kedepan nanti. Lebih baik mengerjakan beberapa lagu nya sedikit-sedikit, bekerja jika memang ada jadwal dengan photoshoot, interview, atau melakukan commercial film paling tidak. Tahun ini Hu Joon sudah menyelesaikan satu drama sageuk, satu film, dan satu web drama. Sudah cukup, bukan?
"Bagaimana kabar orang itu? Masih sama seperti kemarin?" tanya Hu Joon kepada Kyungsoo dalam perjalanan kembali ke apartemen nya.
"Masih sama, belum ada kemajuan apa-apa. Identitas dan tempat tinggal nya juga tidak jelas. Lebih baik aku tutup saja masalah pencarian jati diri orang itu, polisi mulai curiga dan berpikir yang macam-macam. Bagaimana menurut mu?" Kyungsoo berbicara kepada Hu Joon, namun mata nya fokus menatap jalan karena sedang menyetir.
Aku bahkan sudah berpikiran demikian, jauh sebelum kau meminta tolong polisi, pikir Hu Joon dalam hati. Sangat aneh, tidak ada yang mengenal orang itu, tempat tinggal nya juga tidak jelas. Lalu kenapa dia bisa berada dalam kondisi parah hampir mati tepat disaat hari terakhir Hu Joon syuting? Bisa saja dia memiliki maksud jahat atau ingin melakukan hal-hal yang tidak diinginkan?
Tapi ada hal yang membuat Hu Joon agak sedikit mengurangi rasa keraguan dan curiga terhadap orang tersebut.
Satu malam, Hu Joon sedang tidak memiliki jadwal apa-apa. Akhirnya dia putuskan untuk ke rumah sakit saja sendiri tanpa memberitahu Kyungsoo, tidak ada maksud apa-apa sebetulnya. Hanya ingin mengetahui keadaan orang itu saja. Masih Hu Joon ingat dengan jelas, saat dia memasuki kamar orang aneh itu berada,
"Hyung...biarkan kami...pergi..." suara nya sangat pelan, nyaris tidak terdengar bahkan.
Dia selalu meraung pelan setiap malam, seperti sedang di landa mimpi buruk. Oh tidak, Hu Joon tidak pernah memperhatikan orang itu setiap malam. Lebih tepat nya, setiap kali dia datang untuk menjenguk, selalu ada kejadian yang sama.
Hu Joon sempat mengira, orang itu sudah sadarkan diri. Ternyata saat Hu Joon datangi untuk memastikan kondisi nya, dia sedang mengigau. Ah, aku kira orang aneh ini sudah bangun. Perlahan, Hu Joon berjalan menghampiri si 'tidak memiliki identitas' yang masih tidak sadarkan diri. Masih meracau sendiri dan mengulang-ulang kalimat nya yang sama.
"Siapa kau, hah? Semua orang mempertanyakan mu. Semua orang bahkan polisi mulai mencurigai mu. Cepat lah bangun, dan pulang. Pasti keluarga mu sedang menunggu di rumah." Ucap Hu Joon sambil memperhatikan nya. Hu Joon perhatikan setiap inci wajah orang tersebut, mata nya tertutup rapat, kulit nya seputih awan, hidung nya kecil, rambut nya hitam panjang, bibir berbentuk unik, jemari kecil nya tertancap jarum infus.
Lebih baik aku memanggil dokter saja.
Hu Joon hendak memanggil dokter dengan melalui tombol darurat, namun tindakan nya berhenti seketika. Untuk kesekian kali, Hu Joon memandang wajah orang itu lagi. Pikiran dan hati manusia tidak selalu sama. Hati nya berkata lain, membuat dirinya ragu. Hu Joon tidak mengerti mengapa dirinya tiba-tiba saja begitu.
Terdengar suara lagi, "Hyung...aku tidak...akan...kembali...biarkan kami pergi..." orang itu masih meracau tidak jelas. Peluh mulai bercucuran dari dahi nya, dia semakin gelisah, lebih parah dari sebelum nya.
Yang Hu Joon ketahui saat ini adalah setelah dia memperhatikan orang asing di hadapan nya, dia menyimpulkan bahwa sejujurnya sama sekali tidak ada kejahatan atau kebohongan terlukis dari orang itu. Justru segala prasangka buruk serta rasa curiga Hu Joon mulai tergantikan oleh perasaan iba. Bagaimana mungkin manusia bertubuh sekecil itu mampu melakukan penipuan atau kejahatan? Lalu siapa pula yang tega menusuk nya dengan panah kemudian menghunus tubuh kecil nya hingga dia bisa dalam keadaan koma lebih dari satu setengah bulan?
Hu Joon mengeluarkan sebuah handuk kecil yang tersedia di dalam lemari rumah sakit, kemudian perlahan dia basuh peluh di dahi orang asing itu dengan air hangat.
"Eyyy, aku sedang melakukan apa?" walaupun begitu, Hu Joon tetap melanjutkan kegiatan nya membasuh dahi orang asing itu hingga akhirnya dia berhenti meracau.
Sejak saat itu, setiap kali Hu Joon mempunyai waktu kosong atau jadwal nya berakhir dengan cepat, Hu Joon selalu menyampatkan datang ke rumah sakit ya memang untuk sekedar ingin tahu saja. Di dalam hati nya, dia yakin pasti ada sesuatu yang masih tidak jelas dibalik semua keanehan ini. Jadi, Hu Joon memutuskan untuk menunggu sampai orang asing itu sadar.
"Wah, hebat sekali!" seru Wang Eun mendengar cerita-cerita Kyungsoo.
Ya, ini sudah memasuki hari kelima setelah dia tersadar dari koma. Walaupun masih kebingungan dan tidak mengerti apa-apa, tapi Wang Eun harus bersyukur karena berkenalan dengan orang sebaik Kyungsoo. Mereka sudah berkenalan, pembawaan Kyungsoo yang ramah, tenang dan menyenangkan membuat Wang Eun bisa sedikit demi sedikit membuka diri kembali.
Hal pertama yang dia tanyakan kepada Kyungsoo setelah mereka berkenalan adalah, 'aku sedang berada dimana?' kemudian hanya di balas dengan senyuman oleh Kyungsoo, dan dia balas dengan, "Ini rumah sakit, Wang Eun ssi."
Ya, ya, ya. Wang Eun tahu bangunan putih tempat dia berada saat ini bernama rumah sakit (diberi tahu oleh dokter). Yang dia maksud adalah, 'aku sedang berada di dunia apa?' tetapi Kyungsoo memahami ekspresi wajah Wang Eun saat itu, jadi tetap dia jawab dengan senyum lagi, "Kau berada di Seoul, 18 Oktober 2016. Kau di temukan dengan kondisi sangat parah sekitar dua bulan yang lalu. Apakah karena kau tidak sadarkan diri lama, membuat dirimu lupa dengan segala hal? Hmm?"
Seoul. Ini bukan Goryeo. Dirinya tidak berada di Goryeo lagi melainkan di Seoul. Dan masih banyak hal yang Wang Eun tanyakan kepada Kyungsoo. Setidaknya dia harus tahu tentang tempat nya sekarang berada. Untung saja, pertanyaan-pertanyaan aneh Wang Eun itu selalu di jawab oleh Kyungsoo dengan sabar. Wang Eun juga harus membiasakan diri ketika orang-orang tidak lagi memanggil nya 'Yang Mulia' tergantikan oleh 'Wang Eun ssi'. Tidak ada yang tahu dirinya adalah seorang pangeran kesepuluh dari Goryeo. Tidak ada yang tahu dirinya adalah seorang suami yang tidak berguna, meninggalkan istri nya terbunuh dan mati karena dirinya sendiri. Tidak ada yang tahu bahwa sesungguh nya Wang Eun seharusnya sudah membusuk di makan oleh buruh gagak karena terbunuh oleh kakak nya sendiri. Tidak ada yang tahu kalau sesungguh nya sekarang Wang Eun ketakutan, kebingungan, dan ingin mencari Seon Deok. Karena dia harus menemukan Seon Deok, agar mereka bisa hidup bahagia selamanya bersama.
Kyungsoo juga bertanya kepada Wang Eun, dimana tempat tinggal nya? Apakah dia memiliki keluarga yang berada di Seoul? Dan hanya dia balas dengan, gelengan kepala. Karena memang Wang Eun tidak memiliki siapa-siapa disini. Tempat tinggal pun tidak ada, dia saja tidak tahu dunia macam apa ini.
"Kau tenang saja, semoga Hu Joon bisa membantu. Tidak perlu takut kepada dirinya." Kata Kyungsoo sambil menepuk pelan pundak Wang Eun. Karena kata dokter, sore ini Wang Eun sudah dibolehkan untuk pulang. Namun, dia harus pulang kemana? Kembali ke istana sudah tidak mungkin.
Dan...ah, manusia yang bernama Hu Joon itu. Manusia tinggi yang bernama Hu Joon itu. Siapa dia? Mengapa dia selalu di sebut-sebut oleh Kyungsoo dan dokter? Kyungsoo selalu berkata, Hu Joon pasti bisa membantu. Memangnya siapa Hu Joon? Orang yang berpengaruh besar seperti Raja? Atau mungkin lebih hebat dari seseorang pengganti Raja bernama Presiden? Apakah Hu Joon lebih berani seperti Jung? Atau bijak seperti Baek Ah? Atau pandai seperti Wook? Entah lah, tapi Wang Eun percaya kepada nya. Karena Hu Joon pernah berkata bahwa dia mempercayai nya.
Aku tidak boleh sembarang memberi tahu identitas ku yang sebenarnya. Bisa saja ada yang mengenal Wang Yo disini. Aku tidak boleh gegabah.
"Wang Eun ssi? Nanti sore kau sudah boleh keluar dari sini. Apakah kau senang?" suara Kyungsoo membuat Wang Eun sedikit terkesiap karena sedang melamun.
Ragu-ragu, tetapi dia harus tetap bertanya."Dimana nanti aku akan tinggal?"
Bisa Wang Eun lihat dengan jelas, raut wajah Kyungsoo sedikit berubah. "Kau tenang saja, jangan terlalu banyak berpikir. Supaya ingatan mu cepat kembali," ujar Kyungsoo.
Ah, ternyata aku dikira kehilangan ingatan. Baiklah, aku akan berpura-pura dulu untuk sementara.
"Kau ingin aku apa?" suara Hu Joon terdengar kencang di lorong rumah sakit. Dia tidak bermaksud untuk berteriak, namun permintaan Kyungsoo benar-benar sudah terlewat batas. Sudah cukup Hu Joon ikut campur dalam urusan bantu-membantu orang asing itu. Memang betul, dia sedikit tersentuh dan iba kepada nya, tetapi tidak begini caranya.
"Ku mohon padamu, Hu Joon. Ini yang terakhir kali nya aku meminta tolong. Aku berjanji setelah ini aku tidak akan meminta tolong lagi." Kyungsoo memegang lengan Hu Joon erat, suaranya tidak sekencang Hu Joon tadi.
Hu Joon menghela napas, "Aku tidak masalah kau meminta tolong kepada ku. Tapi untuk kali ini, yang benar saja? Kalau nanti ada wartawan atau sasaeng yang tahu, bagaimana? Lagi pula aku terlalu sibuk untuk mengurus nya apa lagi memberikan atap untuk dia tinggal."
"Aku tidak mungkin membiarkan dia tinggal di apartemen ku yang hanya memiliki satu kamar saja. Belum lagi kalau Jongin kembali dari Anyang, tidak mungkin kan aku harus tinggal bertiga dengan Eun juga? Aku berjanji tidak akan ada yang tahu tentang ini. Kau hanya membagi apartemen mu untuk sementara waktu saja,"
Terdengar sangat mudah bagi Kyungsoo mengatakan nya kepada Hu Joon. Membagi apartemen berarti berbagi seluruh isi nya. Ah, harus membagi makanan dan segala macam.
Kyungsoo melanjutkan lagi, "Apa kau lupa? Kau sering berkata bahwa kau selalu merasa sepi. Tidak ada salah nya mengajak dia untuk tinggal bersama sementara waktu. Kau bisa mengajak nya bicara, dia sangat menyenangkan dan lucu."
Berdecak, "Aku tidak peduli dia lucu atau menggemaskan." Kata Hu Joon sambil melipat kedua tangan nya.
"Aku tidak mengatakan dia menggemaskan tadi." Jawab Kyungsoo datar.
Eh? Hu Joon berdeham untuk menyembunyikan ekspresi canggung nya. Telinga nya memerah, "Tidak peduli. Aku tetap tidak setuju."
Tiba-tiba saja pintu kamar terbuka,
"Permisi, boleh ku tahu bagaimana cara mendapatkan air? Gelas ku kosong. Tidak adakah pelayan yang bisa membantu ku, Kyungsoo?" tanya Wang Eun pelan, namun pertanyaan nya barusan terdengar seperti perintah.
Hu Joon menatap nya terheran-heran. Enak saja dia menyuruh-nyuruh Kyungsoo seperti itu? Barusan dia bilang apa? Pelayan? Bisa kah untuk sehari dia tidak bertingkah seolah-olah dia sedang berada di istana? Beberapa hari semenjak Wang Eun tersadar dari koma, Hu Joon menyempatkan ke rumah sakit untuk melihat kondisi nya. Mereka tidak berbincang apa-apa, hanya saling memberi hormat saja. Tetapi Hu Joon memperhatikan setiap gerak-gerik Wang Eun yang bersikap seperti itu.
"Berikan saja gelas mu Wang Eun ssi, biar aku yang ambilkan di dispenser. Kau tunggu disini saja bersama Hu Joon, karena tidak ada pelayan yang akan melayani mu. Semua harus kau lakukan sendiri, eoh?" jawab Kyungsoo sambil tersenyum.
Mengangguk. "Gelas ku berada di kamar dekat meja. Terima kasih, Kyungsoo," Wang Eun membalas dengan senyuman juga.
Kyungsoo memberikan tatapan terakhir untuk Hu Joon sebelum dia masuk ke dalam kamar untuk mengambilkan Wang Eun air minum.
Dan disini lah mereka. Hanya berdua, diliputi kecanggungan satu sama lain. Hu Joon membuang muka agar tidak melihat makhluk kecil asing bernama Wang Eun ini. Begitu juga dengan Wang Eun, dia hanya menunduk. Tidak ada yang berani membuka pembicaraan sampai akhirnya, "Terimakasih Hu Joon...ssi?"
Ah, dia mengajak ku bicara.
Hu Joon menoleh untuk menatap Wang Eun, memasang ekspresi bertanya tanpa mengeluarkan kalimat apa-apa.
"Kyungsoo berkata, kau sudah membantu banyak. Terima kasih Hu Joon ssi, aku pasti sudah banyak menyusahkan mu dan Kyungsoo." Ucap nya tenang, ekspresi nya penuh wibawa dan keyakinan. Kedua tangan nya dia kebelakangi, perlahan Wang Eun menunduk untuk menghormati Hu Joon.
Hu Joon hanya mengangguk sebagai balasan.
Tidak lama, Kyungsoo kembali dengan membawa segelas air untuk Wang Eun. "Wang Eun ssi, kenapa kau menunduk seperti itu?"
"Aku harus seperti ini sampai Hu Joon membalas ucapan ku dan meminta ku untuk bangun." Jawab nya.
Berdecak, "Astaga, kau pikir ini istana? Kau tidak sedang berhadapan dengan raja." Hu Joon tertawa kecil, mengolok.
Wang Eun tidak membalas melainkan tetap diam seperti itu.
"Sudahlah, balas ucapan dia." Bisik Kyungsoo di telinga Hu Joon.
Menghela napas. "Ya. Kau boleh bangun, puas?"
Setelah mendengar perkataan Hu Joon barusan, Wang Eun tidak lagi menunduk. Dia tersenyum kepada Hu Joon lalu kepada Kyungsoo. "Terima kasih juga air nya, Kyungsoo."
Kyungsoo tertawa, "Tidak masalah kok."
Kemudian setelah memberi hormat kepada Hu Joon yang terakhir kali, Wang Eun kembali masuk ke dalam kamar.
"Dia benar-benar aneh." Hu Joon menggeleng-gelengkan kepala.
Kyungsoo tertawa. "Bukan kah dia sopan? Dan...menggemaskan?"
Sial. "Terserah kau saja. Ayo, cepatlah kemasi barang nya. Kita pulang sekarang saja, aku masih memiliki schedule apa nanti malam?"
Tertegun, Kyungsoo menjadi diam sekarang. Dia menatap Hu Joon tidak percaya, dia ingin memastikan maksud ucapan Hu Joon barusan.
"Apa?"
Kyungsoo hanya diam, masih menatap Hu Joon.
Sudahlah biar saja, untuk kali ini. "Dia boleh tinggal bersama ku. Hanya untuk sementara. Cepatlah, sebelum aku berubah pikiran." Jawab nya malas.
Refleks, Kyungsoo langsung memeluk Hu Joon karena senang. "Aku tahu kau memang orang yang baik. Malam ini kau bebas, tidak ada jadwal sampai besok siang."
Hu Joon mengangguk. Kyungsoo dengan semangat masuk ke dalam kamar untuk menghampiri Wang Eun mengajak nya pulang. Sedangkan Hu Joon terdiam, bertanya kepada dirinya sendiri dalam hati. Kau sudah melakukan apa, bodoh?!
"Whoaaaaaaa..." Wang Eun tidak henti-henti nya terkagum dengan bangunan-bangunan tinggi di Seoul. Jalanan yang ramai, banyak orang yang berlalu lintas, dan juga tidak ada lagi kuda-kuda tergantikan oleh sesuatu bernama mobil, bus, motor, sepeda, masih banyak yang Kyungsoo beri tahu kepada nya dalam perjalanan.
"Diam lah. Aku ingin tidur, kau berisik sekali." Hu Joon yang duduk di bangku penumpang bersama Wang Eun merasa tertanggu karena suara Wang Eun terlalu kencang.
Kyungsoo tertawa. "Wang Eun ssi, biarkan dia beristirahat. Kasihan dia, banyak pekerjaan yang harus Hu Joon lakukan."
Wang Eun mengangguk dan tersenyum lebar kepada Hu Joon. "Ah, maafkan. Apakah posisi Hu Joon disini seperti Raja? Mengurus pemerintahan? Lalu mengapa orang-orang tidak boleh mengetahui wajah mu?"
Hu Joon meraung karena lelah menjawab pertanyaan Wang Eun yang begitu banyak. Dia tidak mengerti karena Hu Joon ketika keluar dari rumah sakit harus menunduk, menggunakan kacamata hitam, topi hitam serta menutup hidung dan mulut nya. Sepengetahuan Wang Eun, rakyat tidak boleh mengetahui wajah Raja, Ratu, Pangeran, dan Putri. Apakah Hu Joon memiliki derajat yang sama seperti mereka?
"Hu Joon menjadi figur penting disini, untuk menghibur orang-orang. Semua orang mengenal dia, itu sebabnya mengapa Hu Joon harus menutup wajah nya." Kyungsoo menjawab lagi dengan sabar sambil konsentrasi menyetir.
Bersyukurlah, setelah itu Wang Eun tidak bertanya-tanya lagi dan akhirnya Hu Joon bisa tertidur walaupun sebentar.
Hampir lebih dari dua puluh menit keheningan di dalam apartemen Hu Joon. Walaupun setiap hari nya memang selalu sepi, namun saat ini berbeda. Ada orang asing yang baru saja memasuki apartemen Hu Joon yaitu Wang Eun. Yang sama sekali tidak dia kenali, identitas nya tidak jelas. Tapi selalu ada maksud dari sebuah tindakan, bukan?
"Dengarkan, Wang Eun."
Hu Joon yang duluan mengeluarkan suara agar memecahkan keheningan mereka. Sedari tadi Wang Eun hanya diam sambil terus memerhatikan seluruh isi apartemen Hu Joon.
Yang dipanggil menoleh, "Ya?"
Berdeham terlebih dahulu, kemudian Hu Joon menatap mata Wang Eun dengan tegas. "Kau akan tinggal bersama ku disini untuk sementara waktu. Bersyukurlah karena kau bertemu orang seperti Kyungsoo, dia yang memohon kepada ku."
Ekspresi Wang Eun langsung berubah seketika. "Benar kah?" kata Wang Eun, dia tersenyum riang, matanya melengkung sama seperti senyuman di wajah nya.
Manis. Eh? Hu Joon berdeham kembali, "Namun disini, ada beberapa peraturan yang harus di sepakati. Karena aku pemilik tempat ini, aku berkuasa atas segala yang ada disini. Jika kau tidak setuju, kau boleh pergi." Jelas nya dengan suara bulat.
Menggeleng, "Aku akan mengikuti semua yang kau minta. Jangan suruh aku pergi, karena aku tidak tahu harus kemana."
PLAK! Hu Joon menepuk kedua tangan nya dan menghela napas. Sedangkan Wang Eun sedikit tertegun karena bunyi tepukan Hu Joon tadi.
"Peraturan nya sangat mudah dan akan selalu berkurang di setiap hari nya. Seperti bermain sebuah permainan."
"Bermain?" tanya Wang Eun antusias ketika mendengar kata 'bermain'.
Mengangguk, "Setiap permainan melarang pemain nya melakukan kecurangan bukan? Itu yang ku minta dari mu, Wang Eun."
Wang Eun tidak mengerti dan bingung maksud perkataan Hu Joon. Dia hanya menatap Hu Joon, lantas yang ditatap menggidikkan bahu nya, kemudian melanjutkan penjelasan nya kepada Wang Eun.
"Aku percaya kepada mu, seperti yang ku katakan saat kau pertama kali membuka dan bertemu dengan ku. Jadi ku minta, di dalam permainan ini kita harus saling mempercayai satu sama lain," dia berhenti sebentar untuk menatap Wang Eun sesaat, "aku tahu kau sebenarnya tidak kehilangan ingatan mu."
DEG! Senyuman Wang Eun memudar tiba-tiba.
Hu Joon yang menyadari ekspresi Wang Eun, tertawa kecil. "Kalau memang kau hilang ingatan, tidak mungkin kau menyebutkan siapa nama mu. Kau boleh tinggal disini selama apa pun, dan peraturan yang ku maksud adalah kejujuran mu,"
Diam. Wang Eun terdiam, dia menunduk.
Melanjutkan lagi, "Malam ini kau tidur disini. Di tempat duduk yang ku sebut sofa, kau bertanya kan tadi? Kau tidak boleh menyentuh apa pun selain makanan di dalam lemari pendingin. Kau tidak boleh bertanya lagi setelah kita sepakat. Kau tidak boleh melihat-lihat ruangan yang ada di dalam apartemen ku ini kecuali kamar mandi yang berada di sebelah kanan ruangan ini. Peraturan ini akan terus berlangsung sampai kau jujur tentang siapa dirimu yang sebenarnya. Kalau nanti kau sudah jujur, peraturan ini akan berkurang sesuai dengan tingkat kejujuran yang kau berikan nanti. Bagaimana? Tidak berat kan?"
Masih terdiam, Wang Eun juga masih menunduk. Dia memikirkan, apakah Hu Joon akan percaya dengan semua yang nanti dia cerita kan? Bagaimana nanti ketika dia tahu siapa Wang Eun sebenarnya? Harus kah Wang Eun memberi tahu yang sebenarnya kepada Hu Joon?
"Kau boleh mengeluarkan pendapat dan protes mu, Wang Eun." Suara Hu Joon terdengar lagi. Membuat Wang Eun semakin pusing untuk mempertimbangkan.
Wang Eun menaikkan wajah nya, "Bisa kah kau memberi ku selimut? Aku merasa sedikit kedinginan."
Hu Joon berdecak, "Ah, aku lupa satu peraturan yang harus kau lakukan. Kau tidak boleh menyuruh-nyuruh orang seenak jidat mu. Ingat, kau hanya menumpang hidup dengan ku disini."
Wang Eun sudah tidak sabar lagi dengan perlakuan Hu Joon yang terlalu banyak menuntut. Jelas saja dia berhak menyuruh-nyuruh, dia adalah anak dari seorang Raja. Pembangun Goryeo, Raja Taejo. Wang Eun menatap Hu Joon kesal, "Hei, Hu Joon ssi! Kau terlalu banyak menuntut, aku sudah cukup bersabar karena aku mengerti kau yang menolong ku!"
Mendengarkan perkataan Wang Eun barusan membuat Hu Joon mengernyitkan dahi. Dia menatap Wang Eun lekat-lekat, terlihat penuh dengan rasa sebal dan memberikan tatapan 'memandang enteng'. "Berarti kau memilih untuk tidur tanpa selimut malam ini."
Wang Eun tidak mau kalah, dia tidak ingin meminta maaf karena kesal. Memang nya dia harus selalu membutuhkan Hu Joon? Jadi dia balas tatapan Hu Joon dengan mengeluarkan lidah nya untuk meledek.
Hu Joon berdecak. "Terserah kau, anak kecil." Dan berdiri membalikkan badan nya masuk ke dalam kamar tidak lupa untuk mengunci pintu, dia pergi meninggalkan Wang Eun sendirian di ruang tamu dengan perasaan kesal.
"ANAK KECIL?!" Wang Eun berteriak kepada Hu Joon, hendak berdiri untuk mengejar sampai terdengar,
"BERANI KAU MENGHAMPIRI KU, BESOK PAGI KAU AKAN KU TINGGALKAN DI PINGGIR JALAN!" teriak Hu Joon dari dalam kamar.
Berani-berani nya dia?! Seandainya kau berada di Songak, akan ku perintahkan penjaga istana untuk mengambil kepala mu! Wang Eun menghentakkan kaki nya kesal.
Dingin, dingin, dan dingin.
Wang Eun benar-benar mati rasa. Dia meringkuk sendiri, memeluk lutut nya di sofa. Sudah malam namun Hu Joon benar-benar tidak keluar dari kamar. Wang Eun ditinggalkan sendirian di sofa kedinginan dan kelaparan. Dia merutuki dirinya sendiri yang ternyata belum juga berubah. Sifat egois dan kekanak-kanakkan nya membuat dia kedinginan sendiri seperti sekarang. Seharusnya tadi dia tidak membentak Hu Joon. Karena memang betul juga yang Hu Joon bilang, dia hanya menumpang.
Wang Eun benci sendiri. Dia benci sendiri, sejak kecil dia selalu bersama dengan pelayan-pelayan istana, saudara nya, paman dan bibi nya, bersama Seon Deok.
Seon Deok tidak pernah membiarkan nya sendiri. Dia selalu menemani Wang Eun dengan sabar. Menemani Wang Eun bermain saat dia mengeluh bosan, melakukan permainan kecil seperti membuat boneka-boneka kecil dari kain atau bermain perahu dan masih banyak lagi.
"Kau baik-baik saja, Seon Deok?" ucap nya perlahan masih terus memeluk lutut nya.
Dia merindukan Jung, merindukan Hae Soo, dan sangat merindukan Seon Deok. Apakah Seon Deok juga berada di tempat lain seperti dirinya? Apakah disana dia bertemu dengan laki-laki yang bisa melindungi nya? Apakah disana Seon Deok berhasil membuka tempat pelatihan bela diri? Apakah disana Seon Deok bahagia? Apakah disana Seon Deok juga sendiri seperti Wang Eun sekarang?
"Aigooo...dingin sekali."
Akhirnya dia putuskan untuk mencoba menutup matanya agar dia tertidur.
"Yang Mulia"
Refleks, Wang Eun membuka kedua matanya. Ada yang memanggilnya, suara nya seperti...Seon Deok? Mungkin kah? Pasti dia berhalusinasi. Sekali lagi Wang Eun mencoba kembali tidur, menahan air mata nya yang mulai terasa di pelupuk mata. Tidak, dia tidak boleh menangis. Dia harus bertahan, dia harus berani.
Beberapa menit kemudian, rasa kantuk datang dan Wang Eun masuk ke alam mimpi nya tanpa menyadari seseorang memperhatikan nya dari sudut ruangan.
Hu Joon berjalan dengan perlahan agar Wang Eun tidak terbangun. Dia sedari tadi bersembunyi memperhatikan nya. Membuka selimut tebal yang dia keluarkan dari lemari, lalu dia selimuti tubuh kecil Wang Eun yang bergetar karena kedinginan. Hu Joon menatap Wang Eun yang tertidur dengan pulas, dia perhatikan mulut Wang Eun sedikit terbuka dengan lucu, hidung kecil nya kembang kempis, rambut hitam panjang nya Wang Eun gulung keatas, dia meringkuk meremas selimut yang Hu Joon erat.
"Eyyyy, dia tidak menyebalkan kalau sedang diam." Ujar Hu Joon pelan sebelum menyalakan penghangat ruangan dan kembali ke kamar nya.
"Huh, syukurlah kau datang tempat waktu, Ha Jin-ah."
Pagi ini Hu Joon terbangun tiba-tiba karena mendengar telepon dari Kyungsoo. Mendadak dia memiliki jadwal untuk rapat dengan seorang CEO salah satu Mall besar di Seoul. Karena Hu Joon diminta untuk menjadi bintang commercial Mall tersebut dan juga nanti sore dia juga harus rapat tentang tawaran film baru nya tahun depan (mungkin). Bergegas membersihkan diri dengan cepat, hingga bel apartemen nya berbunyi. Awalnya dia mengira yang datang adalah Kyungsoo. Jarang sekali Kyungsoo datang sepagi ini hanya untuk menjemput, biasanya dia menunggu di lobi apartemen saja sampai Hu Joon datang menghampiri.
Ternyata yang datang adalah Go Ha Jin, orang yang sudah bekerja membantu Hu Joon selama kurang lebih satu bulan. Tugas nya adalah membawakan Hu Joon kostum yang sudah Kyungsoo beri tahu dimana dia harus ambil, membersihkan apartemen, dan memasak makanan agar nanti ketika Hu Joon pulang, dia bisa langsung memanaskan sendiri. Go Ha Jin orang yang cekatan dan ramah, dia bisa menjaga mulut nya untuk tidak memberi tahu fans-fans Hu Joon diluar sana tentang segala kehidupan pribadi Hu Joon.
Disaat yang tepat seperti sekarang, ketika ada Wang Eun di apartemen nya menumpang, Hu Joon bisa meminta tolong Ha Jin mengawasi serta menemani Wang Eun selama dia sedang tidak berada di apartemen.
Ha Jin tersenyum sembari memasuki apartemen Hu Joon. "Kyungsoo menghubungi ku ketika matahari terbit. Dia meminta ku untuk membawakan kau pakaian yang harus dikenakan. Jadi aku buru-buru kesini supaya kau masih sempat untuk berganti dulu."
"Ah, terima kasih sekali lagi. Tapi aku kali ini mau meminta sesuatu yang akan sedikit merepotkan mu." Kata Hu Joon ragu sembari menggunakan sebuah long coat yang dibawakan Ha Jin.
"Apa itu? Selama aku mampu, pasti akan ku bantu."
Menghela napas, Hu Joon menjawab, "Ikut aku."
Hu Joon mengajak Ha Jin ke ruang tamu tempat Wang Eun berada. Dia belum bangun, masih tertidur pulas.
"Aku ingin meminta tolong, temani dia selama aku pergi." Ucap Hu Joon malas.
Ha Jin tersenyum ke arah Hu Joon sebelum akhirnya dia membulatkan kedua matanya. Dia mengusak kedua matanya untuk memastikan apa yang di hadapan nya sekarang tidak salah.
"Siapa...dia...?" tanya Ha Jin pelan.
Belum sempat Hu Joon menjawab, telepon nya berbunyi. Menandakan dirinya harus segera pergi. "Kau bisa berkenalan dengan dia nanti. Tolong buatkan dia makanan, ajak dia bicara. Aku berangkat dulu, Kyungsoo sudah menunggu lama. Semangat!" katanya dan langsung keluar dari apartemen.
Begitu Hu Joon pergi, Ha Jin terpaku menatap sosok yang sedang tertidur di hadapan nya. Benarkah yang di hadapan nya sekarang adalah...pangeran kesepuluh? Bagaimana mungkin? Tangan Ha Jin bergetar, tapi dia beranikan dirinya untuk sedikit menyentuh pipi orang yang dia kira pangeran kesepuluh ini.
Pelan...
Pelan...
Pelan...
Ha Jin masih menusuk-nusuk pipi kanan orang itu dengan jari telunjuk nya, sampai akhirnya mata orang itu terbuka,
"Huwaaaaaaaaa!" Ha Jin berteriak dan langsung menutup kedua matanya karena kaget. "Siapa kau?!"
Wang Eun yang baru terbangun, mengusak kedua mata nya dan merasa terganggu karena teriakkan Ha Jin barusan, baru menyadari ada seorang perempuan di hadapan nya. "HAE SOO?!" sekarang dia yang berteriak.
"YANG MULIA?!" Ha Jin sangat terkejut sehingga tidak bisa menutup mulutnya yang sedari tadi menganga lebar.
Wang Eun menahan napas nya mendengar ada yang memanggil nya. Apa betul dihadapan nya sekarang adalah Hae Soo?
"Soo-ya? Ini benar-benar kau?" ucap nya ragu perlahan menghampiri Ha Jin yang berdiri membeku.
Mengangguk ragu, "Yang Mulia? Pangeran kesepuluh?" dia balik bertanya.
"Ini aku, Soo-ya. Wang Eun, pangeran kesepuluh."
Dulu kakak nya, pangeran kedelapan yaitu Wang Wook pernah membacakan sebuah syair singkat. Berbunyi,
"Saudara kandung mu bisa kau lihat dengan sorot mata. Saudara kembar mu bisa kau lihat dengan refleksi tubuh mu sendiri. Kau bisa memiliki berpuluh-puluh saudara kandung. Namun kau hanya memiliki tujuh saudara kembar tak berdarah aliran sama di belahan dunia dan dimensi yang berbeda."
Meskipun saat dibacakan syair itu, Wang Eun tidak percaya tetapi sekarang dia harus percaya. Setelah mendengarkan penjelasan dari Hae Soo atau Ha Jin yang tidak masuk akal, dia harus percaya. Karena ini lah yang terjadi sekarang.
"Identitas ku sebenarnya adalah Go Ha Jin. Aku tenggelam di dalam danau saat menolong anak kecil yang hampir tenggelam. Aku pikir saat itu, aku akan mati. Tetapi aku berhasil keluar dari dalam air. Namun, aku tidak lagi berada di danau melainkan menembus di Damiwon. Kau yang pertama melihat ku, Yang Mulia."
Wang Eun tersenyum kecil mendengar Hae Soo menjelaskan serta mengingat kejadian waktu dulu dia pertama kali bertemu dengan perempuan di hadapan nya ini.
"Aku kebingungan, aku bertanya-tanya dimana diriku berada? Apakah aku sudah mati? Ini yang disebut dengan surga? Aku bertemu dengan Chae Ryung, Nona Hae, dan kakak mu, Wang Wook. Kalian semua memanggil ku 'Hae Soo', saat itu juga aku mengetahui bahwa aku berada di Goryeo masa pemerintahan Raja Taejo di abad kesembilan. Aku pikir diriku sudah gila, tetapi aku sadar. Tuhan memberi ku kesempatan untuk hidup sekali lagi, agar bisa memaknai arti hidup." Jelas nya kepada Wang Eun.
Mereka sedang menyantap makan siang yang Hae Soo buatkan. Banyak pertanyaan-pertanyaan yang Wang Eun tidak mengerti, dia tanyakan kepada Hae Soo. Termasuk tentang Goryeo telah berubah menjadi Seoul, ini sudah masuk ke abad dua puluh satu. Wajar saja waktu dia tanyakan pada Hu Joon, siapa raja yang memimpin di jawab dengan tawa. Pantas saja semua orang bisa hidup bebas, peralatan dan benda-benda yang Wang Eun lihat sudah sangat canggih, laki-laki dan perempuan berpakaian dengan bagus. Seperti sekarang dirinya menggunakan sebuah celana panjang ketat dan baju Hu Joon yang berukuran sangat besar di tubuh nya.
"Lalu bagaimana kau bisa kembali lagi kesini?" tanya Wang Eun.
Hae Soo tersenyum, "Aku mati beberapa hari setelah berhasil melahirkan anak ku dan So dengan selamat. Ketika aku membuka mata, aku terbangun di rumah sakit setelah tidak sadarkan diri berbulan-bulan."
Wang Eun membulatkan mata nya. "Kau dan So Hyung memiliki anak? Bagaimana bisa? Bagaimana kabar yang lain? Mereka baik-baik saja?"
"So tidak pernah tahu aku mengandung anak nya, yang dia tahu aku mengandung anak dari Jung. Aku berhasil keluar dari istana karena Jung membantu ku, akhirnya kami tinggal bersama. Sedangkan Baek Ah, dia tidak berakhir dengan bahagia. Woo Hee mati karena berkorban demi membela rakyat Baekje. Selebihnya aku tidak tahu, karena aku sudah keluar dari istana saat itu."
Banyak yang terjadi saat Wang Eun tidak ada disana. Dia merindukan semua orang dan ingin segara pulang ke Goryeo. Dia tidak ingin berada di tempat aneh bernama Seoul terlalu lama. Bagaimana dengan Seon Deok? Apakah dia baik-baik saja?
"Soo-ya..." panggil nya pelan.
Hae Soo sedang menatap lurus kedepan, tatapan nya kosong. Wang Eun yakin, dia sedang menahan air mata nya yang ingin tumpah. Mungkin sekarang apa yang dirasakan oleh Wang Eun juga dirasakan oleh Hae Soo. Mereka sama-sama terjebak di dalam situasi dan masa yang berbeda.
"Ya, Yang Mulia?"
"Mengapa kau terlihat sangat sedih? Apa aku salah menanyakan sesuatu kepada mu?"
Hae Soo tertawa dulu sebelum menjawab pertanyaan Wang Eun lagi. "Aku merindukan kalian semua ketika dulu sedang berkumpul. Aku rindu bertengkar dengan mu, Yang Mulia. Aku rindu suasana pasar malam, aku rindu—"
"Wang So Hyung?" kalimat Hae Soo dipotong oleh Wang Eun. "Aku sudah mengetahui tentang kedekatan kalian selama ini. Aku diceritakan oleh Jung, dan tanpa diberi tahu pun aku akan tetap tahu."
Hae Soo mengangguk. "Kau tidak marah kepada Wang So, Yang Mulia?"
"Kenapa aku harus marah?"
"Dia yang membunuh mu bagaimana juga. Walaupun aku tahu, kau sendiri yang meminta."
Sekarang gantian Wang Eun yang tertawa pahit. "Hyungnim, harus menepati janji nya dulu kepada ku. Tentu saja aku tidak marah, buat apa? Aku yang meminta dia, aku percaya dia pasti tidak ingin melakukan itu. Hyungnim, tidak keji seperti yang dikatakan oleh semua orang. Bagaimana kabar nya, Soo-ya? Aku berharap, orang-orang tidak menyalahkan dia atas apa yang telah dia perbuat kepada ku saat itu."
Hae Soo menitikkan air mata di sela-sela senyuman nya, "Dia telah menjadi Raja yang baik untuk rakyat nya. Dia membebaskan para budak, dia memperjuangkan hak-hak rakyat kecil. Gwangjong adalah raja yang hebat dan bijak. Dia berhasil membuktikan pada semua orang, mereka salah. Dia diingat sebagai raja terbaik bukan sebagai raja yang kejam."
Mendengar Hae Soo menceritakan itu di sela-sela tangisan nya, Wang Eun langsung memeluk nya memberikan ketenangan. Dalam hati, Wang Eun bersyukur karena Goryeo jatuh di tangan yang benar.
"Ku antar kau sampai disini saja, tidak apa-apa kan? Jongin sudah pulang dan dia sudah menunggu di restoran orang tua ku. Aku harus segera kesana, Hu Joon." Ujar Kyungsoo saat mereka telah sampai di lantai apartemen Hu Joon berada.
Mengangguk, "Eyy, kau seperti baru kenal saja. Tidak masalah, terima kasih karena telah membantu hari ini. Apakah besok aku memiliki jadwal?"
Kyungsoo meminta Hu Joon untuk menunggu sebentar, karena dia harus memeriksa jadwal artis nya melalui iPad yang selalu berada di dalam tas nya. Setelah membaca dengan hati-hati dan memastikan dia tidak salah membaca, "Kau hanya memiliki waktu kosong sampai makan siang selesai."
"Baik lah, sampai bertemu besok." Kata Hu Joon dengan cengiran lebar di wajah nya, dia berbalik badan untuk beranjak pergi sebelum mendengar Kyungsoo berseru lagi.
Setengah berlari menghampiri Hu Joon, "Besok kau kan memiliki waktu senggang, ajak lah dia berbelanja dan ubah sedikit penampilan dia. Mungkin...rambut nya harus sedikit kau rapihkan?"
Hu Joon menggeram. "Ah, kau ini. Ku kira ada apa, urusan anak kecil itu adalah urusan ku sekarang. Terserah aku dong mau ku buat dia menjadi apa. Cepat sana pergi, Jongin sudah menunggu."
Kyungsoo memutar bola mata nya mendengar Hu Joon berkata demikian. Tapi biarkan saja, dia tahu Hu Joon tidak mungkin melakukan hal jahat kepada Wang Eun. Dia yakin, Hu Joon tidak akan kesepian dan merasa sendiri lagi sekarang.
Hu Joon berjalan menuju apartemen nya dengan santai. Ahhh, hari ini benar-benar melelahkan. Padahal dia hanya bertemu dengan CEO Mall dan juga melakukan rapat tentang tawaran film baru untuk pertengahan tahun depan. Karena drama sageuk nya kemarin mendapatkan respon baik dari para masyarakat yang menikmati serta memiliki rating sangat tinggi, membuat Hu Joon mendapatkan banyak tawaran lagi untuk bermain sageuk. Salah satu nya film yang baru saja dia rapatkan seharian ini. Cerita nya menarik dan kali ini berlatar pada jaman Goryeo bukan Joseon lagi seperti drama kemarin, well, let's give it a try.
Cukup melelahkan memang, karena proses syuting setelah di runding bersama sutradara dan tim yang lain akhirnya di putuskan pada bulan Februari. Hu Joon memang belum menanda tangani kontrak, tapi sepertinya dia cukup tertarik.
Dia membuka pintu apartemen nya dan masuk dengan perlahan. Terdengar suara tawa dari ruang tamu. Ah, aku baru ingat ada si anak kecil itu. Pikir Hu Joon dalam hati sembari tetap berjalan pelan tidak ingin membuat suara. Dia ingin melihat apa yang dilakukan Wang Eun dan Ha Jin disaat dia sedang tidak berada di apartemen.
Bersembunyi di balik tembok, Hu Joon melihat Wang Eun sedang tertawa bersama Ha Jin sambil memainkan sebuah permainan yang Hu Joon tidak ketahui.
"Kau curang! Tidak boleh mendahului lawan, Soo-ya!" seru Wang Eun dengan suara melengking nya itu.
Aishhh, berisik sekali. Tunggu, barusan Wang Eun memanggil Ha Jin apa?
Hu Joon tetap bersembunyi di balik persembunyian nya, memperhatikan yang mereka sedang lakukan.
"Aku tidak curang, Yang Mulia. Kau sendiri yang menyuruh untuk melakukan perlawanan." Suara Ha Jin juga sama kencang nya dengan Wang Eun.
Hah? Apa? Yang Mulia? Aku tidak salah dengar, kan?
"Kau yang curang, Soo-ya!" Wang Eun berteriak sekarang sambil memajukan mulut nya kedepan.
Hu Joon baru kali ini melihat sikap anak-anak Wang Eun. Dari kemarin yang dia lihat kalau bukan sikap menyuruh-nyuruh nya, wajah murung nya, dan...wajah nya ketika sedang tertidur. Tetapi sekarang Hu Joon melihat hal baru dari diri Wang Eun.
Lucu juga... Eh?
Wang Eun dan Ha Jin tertawa dengan gembira sampai rasanya mereka tidak menyadari kedatangan seseorang yaitu Hu Joon. Dan entah mengapa ada perasaan aneh di dalam diri Hu Joon ketika dia pulang, melihat ada seseorang dalam apartemen nya yang selalu kosong.
"Eoh? Hu Joon ssi? Kau sudah pulang?"
Suara Wang Eun memecahkan lamunan Hu Joon. Ternyata dia sudah menyadari keberadaan sang pemilik apartemen yang dia tumpangi ini. Hu Joon cepat-cepat memasang wajah cuek nya dan berdeham. "Kalian terlalu berisik. Tidak baik di dengar oleh penghuni di apartemen sebelah," katanya sambil melepaskan mantel musim dingin nya.
Ha Jin tersenyum menghampiri Hu Joon. "Karena kau sudah kembali, lebih baik aku pulang saja. Makan malam mu baru saja ku buat, masih belum dingin. Yang Mu—" dia berhenti sekejap ketika ingin mengucapkan 'Yang Mulia' "— Eun belum makan juga karena ingin menyantap makan malam nya bersama mu." Jelas Ha Jin kepada Hu Joon yang sekarang hanya menggunakan kaus lengan panjang hitam nya.
"Ya sudah, kau boleh pulang. Terima kasih karena sudah menemani anak kecil ini." Jawab Hu Joon dan langsung di sambar dengan teriakkan Wang Eun, "Aku bukan anak kecil!"
Ha Jin mengangguk. "Tentu! Senang bisa bertemu dengan Wang Eun. Baik lah, selamat malam." Katanya lalu segera meraih barang-barang bawaan nya untuk segera pulang.
"Ha Jin-ah, bisa kah kau kesini lagi besok pagi?" pinta Hu Joon perlahan saat dia mengantar Ha Jin kedepan pintu.
"Ada apa memang nya? Bukan kah aku hanya datang setiap hari Kamis dan Jumat saja?"
Berdeham, "Bantu aku membeli keperluan untuk nya. Tidak mungkin kan dia menggunakan pakaian ku terus?" Hu Joon berkata dengan bisikkan.
Seperti mengerti maksud Bos nya, Ha Jin mengangguk. "Oke! Aku akan kesini lagi besok pagi pukul delapan."
Setelah sepakat akhirnya kali ini Ha Jin benar-benar meninggalkan Hu Joon bersama Wang Eun lagi di apartemen nya. Menghela napas lelah, Hu Joon berjalan ke ruang makan karena terus terang dia sangat lapar. Ketika dia sudah duduk dan siap untuk menyantap makan malam nya, Hu Joon baru sadar ada yang memerhatikan nya dari tadi.
"Kau tidak ingin makan? Terserah kau saja." Ucap nya malas sebelum melihat Wang Eun berlari dengan riang untuk menghampiri Hu Joon di meja makan. Dia terlihat sangat kecil karena hanya menggunakan celana ketat panjang paling kecil yang Hu Joon miliki dan menggunakan hoodie berwarna abu-abu milik Hu Joon, rambutnya dia gulung rapih keatas.
Tangan Hu Joon terangkat tanda untuk menyuruh Wang Eun memberhentikan langkah kaki nya itu.
"Kenapa? Bukan kah kau menyuruh ku untuk makan malam juga?" tanya Wang Eun bingung, mata kecil nya itu sangat berekspresi. Membuat Hu Joon merasakan kupu-kupu bertebangan dalam perut nya.
"Apakah kau lupa peraturan disini?"
Wang Eun menghela napas kemudian melipat kedua tangan nya. "Itu berlaku juga saat makan malam?"
Mengangguk dan menyantap makanan nya adalah cara Hu Joon menjawab pertanyaan Wang Eun. Bertingkah seolah dia tidak peduli dengan keberadaan Wang Eun disana yang sedang kelaparan. Jujur, sebenarnya dia membolehkan saja si anak kecil itu untuk makan malam, tapi rasa iseng nya itu lebih besar. Tentu saja, Hu Joon menghargai sikap Wang Eun yang sudah menunggu dirinya pulang dulu supaya mereka bisa makan malam bersama. Karena jelas sekali kalau Hu Joon tidak suka harus makan malam sendiri. Hu Joon ingin menguji kejujuran Wang Eun dulu.
"Baik lah, aku akan mengaku." Jawab Wang Eun dengan nada suara seperti anak kecil.
He? Umur berapa sih dia? Ku tinggal sehari saja bersama Ha Jin membuat sifat asli nya terlihat.
"Cepat katakan saja, nasi dan sup milik mu sudah mulai dingin disini." Hu Joon masih melahap makan nya tanpa memberikan Wang Eun tatapan.
"Aku adalah pangeran. Puas?" ucap nya santai.
Hu Joon tersedak ketika mendengar perkataan Wang Eun barusan. "Kau apa?"
Memutar bola mata nya, "Pangeran. Kenapa? Kau tidak percaya kan? Percuma saja aku mengaku kalau nanti pada akhirnya kau pasti mengira aku ini berbohong lagi."
Dia menatap Wang Eun yang sedang mengerucutkan mulut nya seperti anak kecil. Memang betul juga perkataan nya barusan, Hu Joon tidak percaya. Pasti dia sedang mengarang cerita.
"Jadi bagaimana? Aku bisa makan tidak?" tanya Wang Eun berharap.
Hu Joon menahan tawa nya karena gemas melihat sikap Wang Eun. "Aku tidak menganggap pengakuan mu barusan itu jujur. Tapi kau bisa makan, aku sedang dalam mood baik."
Tanpa sempat Hu Joon berkedip, Wang Eun sudah duduk di hadapan nya dan memberi hormat kepadanya. "Terima kasih atas makanan nya," kemudian dia menyantap makan malam dengan lahap namun dengan manner yang baik.
Melihat nya Hu Joon hanya bisa menggelengkan kepala tanpa menyadari ada senyuman terlukis di wajah tampan nya itu.
Malam ini Wang Eun masih tidur di sofa seperti malam sebelumnya. Tapi kali ini Hu Joon memberikan nya selimut agar dia tidak kedinginan. Wang Eun masih belum menceritakan apa-apa kepada Hu Joon mengenai dirinya. Tidak ada maksud untuk berbohong atau menipu, hanya saja dia perlu waktu untuk mengaku dan juga Hu Joon pasti tidak akan mempercayai apa yang Wang Eun jelaskan nanti.
Seharian penuh bersama Hae Soo membuat dirinya terbuka kembali. Banyak sekali yang dia dapatkan mengenai Seoul, termasuk siapa Hu Joon sebenarnya.
"Dia adalah seorang selebriti, Yang Mulia."
Merasa asing. "Selebriti?" tanya nya bingung kepada Hae Soo.
"Ya. Seseorang yang sangat terkenal disini karena memiliki bakat dan penampilan baik. Mereka sangat dekat dengan pemberitaan orang-orang, terkenal, semua orang mengenali siapa Hu Joon."
Masih belum mengerti, Wang Eun bertanya lagi, "Lalu kenapa Hu Joon selalu menutupi wajah nya? Dan...ah! Aku ingat! Waktu kemarin aku kembali dari rumah sakit, aku melihat wajah Hu Joon di tengah jalan berada dalam papan yang sangat besar. Mengapa semua orang mengenal nya, Soo-ya?"
Hae Soo tersenyum melihat kepolosan Wang Eun. "Kau nanti pasti akan mengerti siapa dia, Yang Mulia. Alasan dia selalu menutupi wajah nya, supaya orang-orang tidak mengetahui kehidupan pribadi nya disaat dia tidak sedang 'bekerja'. Dan ya, mengapa wajah Hu Joon bisa kau temui dimana-mana karena semua orang mengenal nya. Dia sangat terkenal, banyak perempuan tergila-gila dan menyukai Hu Joon. Semua orang mengenal dia karena film serta drama yang Hu Joon bintangi sangat terkenal."
"Maksud mu seperti pertunjukan lakon di Goryeo?" tanya Wang Eun.
Hae Soo mengangguk. "Bisa di bilang seperti itu. Di jaman ini, semua orang bisa menyaksikan film dan drama melalui layar kaca. Hampir seluruh negara di dunia mengenal Hu Joon berkat semua film dan drama nya yang sukses."
Wang Eun baru mengerti sekarang.
"Tapi kasihan dia, karena ketenaran nya itu, orang-orang selalu menuduh nya yang macam-macam."
"Maksudnya bagaimana?"
"Hu Joon pernah di tuduh mengencani banyak wanita. Dia juga pernah di bohongi oleh penggemar nya sendiri. Itu sebab nya dia merasa curiga kepada mu, Yang Mulia. Dia tidak bisa langsung menerima orang asing seenaknya, karena mana tahu kau itu penipu atau bukan. Walaupun sudah jelas tidak. Karier Hu Joon selalu di permainkan oleh semua orang, kasihan dia. Padahal dia memiliki bakat yang luar biasa."
Ah, aku baru mengerti sekarang. Maaf kan aku Hu Joon ssi, aku berjanji suatu hari nanti pasti akan ku jelaskan kepada mu tentang siapa diriku sebenarnya.
Dijelaskan banyak hal oleh Hae Soo seharian penuh membuat Wang Eun teringat oleh Seon Deok. Dimana dia sekarang? Wang Eun sengaja tidak langsung menanyakan pada Hae Soo tentang istri nya karena...entah lah, tadi saja ketika Wang Eun bertanya tentang kabar orang-orang yang ada di kabar saja sudah membuat Hae Soo bersedih. Jadi dia rasa, mungkin nanti kalau dia bertemu Hae Soo lagi.
Wang Eun menghela napas lalu memeluk dirinya sendiri dengan selimut supaya hangat. Kehidupan baru nya di Seoul benar-benar berbeda, segala sesuatu harus dia kerjakan sendiri. Tidak ada pelayan lagi, tidak ada penjaga istana, tidak ada para dayang cantik, tidak ada lagi saudara-saudara nya, dan tidak ada lagi Seon Deok. Dia merindukan mereka semua, Wang Eun ingin kembali.
"Kau belum tidur?"
Suara berat Hu Joon mengejutkan Wang Eun yang sedang melamun. Hu Joon keluar dari kamar nya dan memperhatikan dirinya dari tadi ternyata. Dia hanya menggunakan sweatpants serta kaus lengan panjang berwarna hitam nya, rambut nya basah menandakan bahwa Hu Joon baru saja selesai mandi. Wang Eun tidak pernah melihat Hu Joon seperti sekarang ini, dia hanya selalu melihat Hu Joon menggunakan pakaian yang bagus, rambut di sisir dengan sangat rapih dan wajah nya selalu terlihat ketus. Namun sekarang, Hu Joon benar-benar terlihat seperti...Hu Joon? Inti nya, Wang Eun suka melihat penampilan sederhana Hu Joon.
"Kau tuli ya?"
Suara berat Hu Joon terdengar lagi, kali ini dia duduk di sebelah Wang Eun membawa sebuah minuman untuk nya dan Wang Eun.
"Ya, ya, ya. Aku dengar, aku belum tidur seperti yang kau lihat." Jawab Wang Eun apa adanya saja.
Hu Joon mengangguk, dia memberikan minuman untuk Wang Eun. "Ini untuk mu, kata ibu ku dulu kalau sedang tidak bisa tidur lebih baik meminum susu."
Tumben sekali dia baik. "Terima kasih." Kata Wang Eun lalu meraih gelas yang berisi susu dari Hu Joon. "Wah, enak sekali! Susu seperti ini ya sekarang? Tidak berwarna putih." Ujar nya gembira setelah meminum.
Tertawa, "Apakah di tempat mu berasal tidak ada susu dengan rasa stroberi? Jangan bilang juga kalau kau tidak tahu apa itu stroberi."
Wang Eun tidak mengerti, "Apa pun itu, aku tetap suka ini!" ucap nya riang lalu meminum lagi.
Hu Joon melihat tingkah Wang Eun yang seperti anak-anak itu hanya menggelengkan kepala saja. "Jadi, bagaimana hari mu bersama Ha Jin?"
Ha Jin. Aku lupa kalau Hu Joon mengenal nya sebagai Go Ha Jin bukan sebagai Hae Soo.
Berdeham dulu, "Menyenangkan sekali!"
"Kau melakukan apa saja seharian bersama nya? Kalian cepat sekali dekat."
"Hae..Ha Jin mengajari dan memberitahu banyak hal kepada ku. Termasuk tentang mu, wah...ternyata kau hebat juga ya."
Hu Joon yang sedang meminum, tersedak. "Maksud mu?"
"Kau sangat terkenal! Aku tadi sempat melihat mu di...tevisi?" jawab Wang Eun.
Mendengar jawaban Wang Eun yang sangat polos itu membuat Hu Joon tertawa sangat kencang. Suara tawa nya itu membuat Wang Eun kaget, tetapi dia senang mendengar Hu Joon akhirnya bisa tertawa juga.
"Televisi bukan tevisi, Eun-nie." Hu Joon akhirnya berhenti tertawa.
Hah? Kau memanggil ku apa?
Namun Wang Eun tidak berkata apa-apa, dia melanjutkan percakapan ini dengan Hu Joon. "Iya! Itu maksud ku, televisi. Kau keren sekali saat sedang bermain drama, kau...djjang!" kata nya semangat sambil menunjukkan jari telunjuk kepada Hu Joon seperti dulu saat dia bersama dengan Hae Soo.
Hu Joon tidak mengerti, tetapi dia tertawa saja melihat tingkah anak-anak Wang Eun. Apa yang sudah dilakukan oleh Ha Jin sehingga membuat Wang Eun memperlihatkan dirinya seperti ini. Tetapi apa pun itu, Hu Joon tidak masalah. Lebih baik seperti ini daripada harus melihat Wang Eun seperti kemarin.
"Sudah malam, anak kecil sudah harus tidur." Ucap Hu Joon dan berdiri untuk kembali ke kamar nya.
"Aku bukan anak kecil!" Wang Eun memajukan mulut nya, membuat Hu Joon tertawa lagi karena gemas.
"Tidur lah, besok kita akan pergi bersama Ha Jin."
Mendengar kata pergi dan Ha Jin membuat mata Wang Eun berbinar-binar. "Benar kah?!"
Hu Joon mengangguk. "Tidur lah. Sekarang." Lalu membalikkan tubuh nya dan hendak melangkah kan kaki untuk bergegas pergi ke kamar nya, sampai,
"Selamat malam, Hu Joon."
Suara pelan Wang Eun memberhentikan langkah Hu Joon. Dia tidak menoleh, dia hanya berdiri kaku dan menjawab, "Ya" sebelum kembali ke kamar nya.
Tidak lama kemudian Wang Eun tertidur pulas. Mungkin benar apa yang ibu Hu Joon bilang, ketika kita sedang tidak bisa tidur, kita harus meminum susu.
Wang Eun tertidur di sofa dengan selimut hangat membungkus tubuh kecil nya itu. Di temani dengan hembusan angin malam yang dingin. Dia tetap tertidur pulas, tidak menyadari pintu kamar Hu Joon terbuka perlahan. Hu Joon keluar dengan membawa sebuah bantal. Pelan-pelan, dia angkat kepala Wang Eun kemudian dia letakkan bantal itu dibawah kepala Wang Eun. Tidak lupa juga Hu Joon tutup jendela apartemen nya dan dia nyalakan penghangat ruangan.
Setelah itu, dia berjongkok di hadapan Wang Eun yang sedang tertidur pulas. Hu Joon perhatikan wajah polos nya, hidung nya kembang kempis, mata kecil nya tertutup rapat, mulut nya sedikit terbuku, membuat Hu Joon gemas sampai-sampai membuat tangan nya bergerak tanpa sadar. Tangan nya bergerak untuk menyentuh pipi Wang Eun, semakin dekat...dekat...
Dan berhenti ketika terdengar suara Wang Eun, "Seon...Deok..."
Cepat-cepat Hu Joon tarik kembali tangan nya dan mendekatkan telinga nya ke depan mulut Wang Eun supaya dia bisa mendengar apa yang Wang Eun katakan.
"Seon...Deok..."
Siapa? Seon Deok?
Dengan perasaan kosong dan pertanyaan baru yang timbul di hati nya, Hu Joon kembali ke kamar nya setelah mengucapkan, "Selamat malam juga, Eun-nie. Mimpi indah."
Pagi ini Wang Eun bangun awal sekali karena suara berisik Hu Joon dan Hae Soo. Ketika dia membuka mata nya, Hae Soo langsung menyambar dengan senyuman.
"Ayo kita berangkat!" seru Hae Soo semangat.
Rasanya nyawa Wang Eun belum terkumpul semua. Dia masih sangat mengantuk, masih ingin tidur. Tetapi Hae Soo cepat memberi perintah untuk segera mencuci wajah nya dan menyikat gigi (kemarin sudah di ajarkan). Wang Eun masih menggunakan pakaian yang sama dari tadi malam.
"Sudah siap atau belum? Aku harus pergi lagi setelah makan siang." Suara Hu Joon terdengar dari depan pintu masuk apartemen.
"Sudah kok sudah." Jawab Hae Soo sembari menarik Wang Eun yang masih sangat mengantuk.
Wang Eun menatap Hu Joon yang sudah berdiri di depan pintu. Pagi ini dia kembali menjadi 'selebriti' lagi. Menggunakan topi hitam dan penutup yang bernama masker, kemarin Hae Soo memberi tahu juga. Hilang sudah Hu Joon tadi malam, tergantikan oleh Hu Joon hari ini. Wajah nya memang tidak terlalu ketus sih.
"Kyungsoo tidak ikut?" tanya Wang Eun ketika mereka bertiga sudah sampai di dalam mobil. Dia duduk di bangku penumpang sedangkan Hae Soo duduk di depan bersama Hu Joon yang kali ini menyetir.
"Dia sibuk. Kita keluar pagi-pagi begini juga karena ide dari Kyungsoo. Jadi, tugas kau hari ini hanya menuruti kemana alur kita sehari penuh. Mengerti?" Hu Joon menjawab dan langsung tancap gas. Sedangkan Wang Eun memutar bola nya karena sebal dengan jawaban Hu Joon yang ketus lagi seperti biasa.
Di dalam perjalanan, diisi dengan canda tawa Wang Eun dan Hae Soo. Tidak ada suara dari Hu Joon karena dia sedang berkonsentrasi. Well, sedikit protes karena terganggu dengan keributan yang Wang Eun dan Hae Soo buat adalah satu-satu nya yang Hu Joon lakukan. Dan setelah menempuh perjalan penuh siksaan bagi Hu Joon, akhirnya mereka sampai di sebuah salon. Tentu saja sudah di sewa khusus oleh pelanggan setia salon tersebut yaitu Hu Joon.
"Soo-ya..tempat apa ini? Kenapa aku memiliki firasat buruk?" bisik Wang Eun sambil terus merangkul pergelangan tangan Hae Soo sejak turun dari mobil. Tidak ada alasan jelas mengapa dia tiba-tiba merasa sangat gelisah ketika sampai. Hu Joon masuk lebih dulu dari Wang Eun dan Hae Soo ke dalam salon.
"Ini namanya salon, Yang Mulia."
"Hah? Salon?"
Hae Soo mengangguk. "Penampilan kau akan di betulkan. Seperti yang biasa ku lakukan waktu dulu menjadi Kepala Dayang di Damiwon. Ingat kan? Wajah mu selalu aku beri perawatan dari bunga-bunga, lalu rambut mu di rapihkan. Pokoknya di tempat ini, banyak benda baru yang lebih canggih. Kau tenang saja, Yang Mulia."
Tetap saja Wang Eun masih merasa gelisah. Dan perasaan gelisah nya itu pun semakin bertambah bahkan berubah menjadi rasa takut ketika dia duduk di kursi berhadapan dengan meja. Lalu ada seorang wanita datang menghampiri nya membawa gunting dan benda aneh di tangan nya hendak memotong rambut Wang Eun.
Refleks tangan Wang Eun menangkis tangan si perempuan yang ingin memotong rambut nya. "Berani sekali kau menyentuh rambut ku!" hardik nya. Membuat Hu Joon dan Hae Soo lari menghampiri nya karena terkejut.
"Ada apa ini?" tanya Hu Joon heran.
"Perempuan ini berani menyentuh dan ingin memotong rambut ku!" teriak Wang Eun.
Hae Soo membulatkan mata nya. "Astaga, aku lupa."
Hu Joon menoleh kepada Hae Soo. "Lupa apa maksud mu?" tanya nya semakin heran.
Memberi hormat terlebih dahulu sebelum menjawab, "Boleh kah aku berbicara berdua dulu dengan Wang Eun?" pinta Hae Soo sopan kepada Hu Joon.
Menghela napas. "Ya sudah, lima menit saja," Hu Joon membolehkan dan menyuruh si perempuan malang tidak berdosa yang di bentak oleh Wang Eun tadi untuk pergi dulu. Kemudian dia meninggalkan mereka berdua untuk bicara.
Setelah Hu Joon pergi, Hae Soo berjongkok di hadapan Wang Eun. "Yang Mulia, aku lupa memberi tahu sesuatu kemarin."
Wang Eun menatap Hae Soo penuh tanya.
"Di jaman ini, laki-laki tidak perlu memanjangkan rambut nya. Tidak akan ada hukuman gantung jika memotong rambut mu, Yang Mulia." Hae Soo menjelaskan dengan perlahan agar Wang Eun mengerti.
Benar kah? Aku tidak mau. Mendengar penjelasan Hae Soo, tidak lama kemudian Wang Eun menangis.
"Eyyy, kenapa kau menangis? Tidak apa-apa, Yang Mulia. Percaya saja, ada aku dan Hu Joon disini. Kau pasti terlihat sangat rapih jika rambut mu di rapihkan, percaya lah." Hae Soo berusaha membujuk Wang Eun.
Masih menangis, "Aku tidak bisa merelakan rambut ku, Soo-ya."
Hae Soo tersenyum. "Percaya saja, Yang Mulia. Rambut mu nanti bisa tumbuh lagi, coba dulu. Bagaimana?"
Wang Eun menangis semakin parah, membuat Hu Joon kebingungan menunggu mereka dari jauh. Sekitar lima belas menit kemudian, akhirnya tangisan Wang Eun mereda. Mungkin aku harus merelakan rambut ku untuk awal yang baru?
"Baik lah." Kata Wang Eun dengan suara nya yang tercekat karena masih sedikit menangis.
Semua orang di salon itu yang sedari tadi menyaksikan drama tangisan Wang Eun menghela napas lega. Mereka langsung mengerjakan tugas nya untuk memperbaiki penampilang Wang Eun supaya lebih rapih. Hu Joon dan Hae Soo menunggu di ruang tunggu sambil berbincang-bincang.
Karena terlalu lama menunggu, akhirnya Hu Joon memutuskan untuk membuka pembicaraan. "Ha Jin-ah, boleh aku bertanya sesuatu?"
"Tentu saja, Hu Joon."
Hu Joon sempat diam untuk beberapa detik, berpikir berkali-kali memastikan pertanyaan yang akan dia tanyakan pada Hae Soo benar atau tidak. "Kau harus jujur."
Hae Soo mengangguk.
"Apakah kau mengenal, Wang Eun?"
Dua jam menunggu dan berbincang dengan Ha Jin membuat Hu Joon memikirkan banyak hal. Dia jadi berpikir dalam hati, apakah aku gila jika harus mempercayai apa yang baru saja ku dengar dari Ha Jin?
Yang aneh dalam dirinya adalah sudah jelas itu semua tidak masuk akal, mengapa dia tetap memikirkan nya dan sedikit...sedikit...emm..percaya? Hu Joon melamun sendirian sampai tidak mendengar Ha Jin memanggil namanya lima kali.
"Hu Joon? Memikirkan itu nanti saja, sekarang kita harus menghampiri dia disana." ujar nya pelan.
"Oh, iya aku lupa. Sudah selesai memang nya?" Hu Joon mengembalikan kesadaran nya.
"Sudah dari tadi, ayo kita kesana."
Hu Joon dan Ha Jin bersama-sama menghampiri Wang Eun untuk melihat hasil yang sudah di kerjakan oleh semua orang yang merias pangeran kesepuluh. Pikiran Hu Joon masih kalang kabut, semakin tidak karuan ketika seorang laki-laki tertubuh kecil berjalan ke arah nya dan Ha Jin. Siapa dia? Jawaban nya adalah Wang Eun.
Rambut nya yang panjang dan selalu di gulung keatas kini telah dipangkas dengan rapih. Dari berwarna hitam sekarang telah berubah menjadi brunette. Mata nya diberi sedikit eyeliner tipis dan memperlihatkan karakter ceria Wang Eun.
Jantung Hu Joon tiba-tiba saja berdegup sangat kencang. Sampai rasanya dia takut ada yang mendengar nya. Wang Eun terus berjalan menghampiri nya dan Ha Jin.
"Annyeong haseyo, Wang Eun imnida." Kata Wang Eun dengan lantang lalu tersenyum. Bibir nya melengkung dengan hangat dan tentu saja mata nya...ah, mata nya juga ikut tersenyum indah. Jantung Hu Joon semakin berdegup kencang, sekujur tubuh Hu Joon merinding.
Kau kenapa, Park Hu Joon?!
